Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 2/Divisi 5/Bab 1

DIVISI V

GEREJA-GEREJA KOPTIK DAN ABISINIA

BAB I

CIKAL BAKAL DAN SEJARAH AWAL GEREJA KOPTIK

Gereja Koptik adalah gereja nasional kuno Mesir, yang berpisah dari Gereja Yunani pada abad kelima karena tak menerima keputusan konsili Kalsedon, seperti halnya Gereja Siria yang memisahkan diri karena menolak menerima keputusan konsili Efesus. Meskipun Siria menganut Nestorianisme, koptik memegang pendirian yang sangat bertentangan—Monofisitisme. Tak benar mereka disebut "Jacobit"—sebutan Kristen Siria yang memegang doktrin yang sama, karena pendirian mereka terpisah dari gerakan yang lebih timur, dan bermula dari masa sebelumnya. Beberapa Kristen Mesir yang bersekutu dengan Konstantinopel dan Gereja Yunani dikenal sebagai "Melkit," pengikut kebijakan kekaisaran. Nama "Koptik" merupakan adaptasi dari kata Yunani Aiguptos, yang awalnya dipakai untuk Nil dan kemudian untuk daratan Nil, yang merupakan bentuk Helenisasi dari sebutan Mesir lama, Ha-ka-Ptah—"Rumah Ptah," tempat Ptah bermukim. Orang Arab menyebut Koptik dengan sebutan Qubti. Sehingga, nama tersebut singkatnya memiliki arti orang Mesir. Mereka memiliki ketonjolan gerejawi, karena kebanyakan Koptik berasal dari Gereja Monofisit di Mesir, sementara Muslim dikenal sebagai Arab, walaupun dengan campuran ras yang kini meliputi darah Berber Mesir dan Nubia yang menjalin hubungan dengan para penakluk dari Arab serta penduduk Mesir asli yang masuk Islam. Di kota-kota, orang Mesir sebenarnya utamanya adalah orang Kristen; namun Fellaheen dari pedesaan, yang menjadi ras petani asli, mengingatkan kami dengan pengujian monumen kuno, sebagian besar masuk Islam.

Gereja Mesir tanpa diragukan lagi merupakan salah satu gereja paling kuno di dunia, telah ada jaruh jika bukan sejak zaman rasuli, walaupun, seperti Siria Timur, dan bahkan gereja Roma, tak memiliki catatan sejarah dari cikal bakalnya. Tradisi yang umum diterima menyatakan bahwa gereja tersebut dibentuk oleh St. Markus tak dapat ditelusuri lebih awal ketimbang abad keempat; dan fakta bahwa tradisi tersebut tak ditemukan pada Klemens dari Aleksandria, Origenes, atau penulis abad kedua dan ketiga lainnya, menimbulkan keraguan kami akan historisitasnya. Di sisi lain, kepribadian St. Markus—terlepas dari kepengarangannya terhadap Injil Kedua—disesuaikan. Gereja-gereja kuno besar dapat ditelusuri cikal bakalnya pada para rasul. Kala Antiokhia, pesaing Aleksandira, mengklaim St. Petrus selaku pendiri dan uskup pertamanya, patriarkat Mesir nampaknya takkan sukarela menerima tempat kedua dengan menempatkan klaim sosok yang tak lebih ketimbang ketimbang juru tulis rasul tersebut, alih-alih pernyataan tak terbantahkan yang menentukan persoalan tersebut. Sehingga, pada catatan ini, kami terselimuti kemungkinan terbayangkan bahwa tradisi tersebut benar, dan bahwa St. Markus benar-benar mendirikan Gereja Aleksandria.

Di Mesir, wilayah tersebut biasanya disebut Babel pada Surat Pertama Petrus yang mengarah pada nama tempat di Nil, dekat dengan tempat Kairo sekarang berdiri, dan takhta keuskupan penting pada zaman gereja perdana. Namun, jika rasul itu sendiri beserta juru tulisnya tinggal disana, bagaimana kami seharusnya mencatat keheningan mutlak dari zaman kuno kala kediaman Petrus di Mesir dan cikal bakal gereja tersebut hanya dikaitkan dengan Markus?

Walaupun di antara desa-desa Nil, Kristen ditekan oleh tirani Muslim, fakta melankoli tersebut tak harus membutakan kami pada rekoleksi yang pada zaman awal mendapati lahan yang paling subur di Mesir Hulu. Meskipun Aleksandria sangat ter-Hellenisasi, wilayah tersebut menempati wilayah paling selatan di seluruh Mesir. Dampaknya adalah metamorfosis filsafat dari pemujaan kuno, memberikannya napas hidup baru dalam ranah Yunani terdidik di Mesir, tak pernah diterima atau dimengerti di antara cerita rakyat yang disederhanakan dari daerah-daerah pedesaan. Namun, orang-orang selatan yang konservatif gagal mempertahankan dewa-dewi alama mereka kala mereka menghadapi perombakan pengakuan dari gerakan Helenik. Sehingga, mereka terjerumus dalam keadaan di luar kendali kala Kristen muncul sebagai pengklaim baru untuk kepercayaan mereka, dengan dampak injil memenangkan caranya di antara mereka dengan lebih mudah. Sementara itu, di wilayah utara yang ter-Helenisasi, Kristen diadopsi dan diadaptasi oleh budaya spesifik zaman itu, dan, entah dalam Gnostisisme bida'ah atau Origenisme yang lebih ortodoks, ini nampak dengan pergerakan yang tak pernah menyinggung Nil. Dampaknya adalah perbedaan antara gereja Koptik murni di selatan dan Gereja Yunani-Mesir di Aleksandria. Pada masa berikutnya, kami mendapati perbedaan tersebut ditimbulkan oleh perpecahan doktrinal kala pihak Bizantium mendapatkan pengaruh di Aleksandria dan membuat kota tersebut menjadi takhta Melkit, sementara Koptik memegang pendirian mereka sendiri di selatan. Ini terjadi di gereja-gereja lembah Nil agar mereka memiliki akar sebenarnya dan mata air dari Gereja Katolik lama murni. Koptik sedikit melirik teologi pencerahan Aleksandria. Sastra mereka terdiri dari Alkitab dan kisah orang kudus dan martir.

Gereja di Mesir memiliki kekhasan mengerikan namun heroik karena menjadi kelompok Kristen yang paling sering dan berulang kali ditindas sepanjang masa dalam sejarah, dari abad kedua nyaris sampai zaman kami sendiri. Orang-orang yang banyak diuji tersebut dihadapkan pada penindasan penuh mereka di bawah kekuasaan Romawi sepanjang dua atau tiga abad kala Kristen selalu dianggap ilegal dan ditekan. Neale berujar bahwa penindasan Dominitianus nampaknya tak mencapai Mesir, namun mungkin terjadi sejumlah penindasan disana di bawah kekuasaan Trajanus. Namun, penindasan pertama yang kami dapati dari informasi manapun terjadi di bawah kekuasaan Septimius Severus, yang sangat mendera daerah tersebut, kala Leonidas, ayah Origenes, mengalami kemartiran, sebuah penindasan yang menjadi kisah romansa Potamiciena. Sampai masa itu, sejarah Gereja mengalami kekosongan. Decianus, yang menjadi sosok pertama dari penindasan yang benar-benar besar yang dirancang untuk menghancurkan kristen sesuai dengan kebijakan negara yang direncanakan secara serius, tersungkur dengan sifat khas Kristen di Mesir. Kemudian, kebanyakan dari mereka kabur ke gurun, hanya untuk dijadikan budak oleh Arab. Penindasan Diokletianus juga sangat terasa di Mesir. Pada tahun 311, Petrus sang uskup Aleksandria dipenggal tanpa diadili atas perintah Maximinus. Sehingga, terjadi kengerian dan kepahlawanan dari penindasan tersebut yang dicap dalam kenangan Gereja bahwa Koptik mengalami era baru Diokletianus "era para martir." Sebetulnya, Mesir bernapas lega di bawah edik toleransi buatan Galienus, dan dalam perdamaian Gereja yang timbul pada masa edik Milan. Namun, kedamaian tersebut ditolak dan delusif. Penindasan kemudian terjadi dalam bentuk baru, kini Kristen sendiri yang diklaim sebagai alasan untuk menindas Kristen. Bida'ah Arian mula-mula timbul di Aleksandria, dan ketegangan buruk berkelanjutan terjadi di kota tersebut, di bawah kekuasaan Gregorius orang Cappadocia, yang diberlakukan Konstantius pada Gereja tersebut, ditabiskan, seperti penuturan sejarawan pagan menonjol Ammianus, "melawan kepentingan publik dan dirinya sendiri." Athanasius berujar pada kami bahwa "para perawan dilempar ke panjara; para uskup dirantai oleh prajurit; panti-panti asuhan dan janda digerayangi," dll. Menurut Sozomen, Gregorius "menahan dan mendera banyak pria dan wanita," dan "terhitung selaku tirani dan menjadi sosok yang dibenci secara universal." Sulit untukberlaku lebih sadis terhadap para pembunuh dari tirani semcam itu. Mereka adalah pagan—bukan Kristen Athanasian, seperti Arians yang diadili secara terbuka.

Arianisme ditekan; namun bida'ah-bida'ah baru mengganggu perdamaian gereja sepanjang serangkaian ketegangan mereka di Mesir. Usai pergesekan Monofisit dari Gereja Yunani, ketidaksenangan kekaisaran membuat kehidupan dangat keras bagi Koptik yang mereka siapkan untuk menyambut invasi Arab sebagai pemulihan. Namun tak lama sebelumnya, mereka menjadi korban penindasan Muslim. Dengan setiap perubahan pemimpin, mereka diharapkan pada waktu-waktu yang baik. Namun entah di bawah Arab, Kurdi, atau Turki, Kristen selalu terderadari setiap invasi baru dan penaklukan Mesir, dengan pengecualian tambahan, pembatasan, kesalahan dan penghinaan. Ini terjadi hingga Eropa modern campur tangan dengan perkara Mesir, dan, pada akhirnya, Inggris memberikan keadilan setara kepada seluruh kelas dan kebebasan beragama untuk seluruh keyakinan.

Beralih ke karakteristik internal Gereja Mesir, kami mengamati bagaimana pada zaman bapa gereja, Aleksandria dan Delta, wilayah penanaman utara, ditandai oleh liberalisme dalam pemerintahan dan doktrin. Klaim kesucian dan kerasulan Katolik perlahan menjadikan diri mereka terasa disana ketimbang Gereja lainnya. Eutikius, seorang patriark Aleksandria pada abad kesepuluh, mencatat tradisi yang sangat signifikan yang menerangi pada zaman mula-mula. Ia berujar bahwa "St. Markus bersama dengan Ananias"—yang diakui menjadi penerus St. Markus dalam "kerasulan"—"menahbiskan dua belas presbiter untuk bertahan dengan patriark. Sehingga kala patriarkat menjadi lowong, mereka dapat memilih salah satu dari dua belas orang tersebut, yang memimpin sebelas orang lainnya yang harus melayangkan tangan mereka, dan memberikannya kesetiaan dan menjadikannya patriark." Usai mengutip pernyataan tersebut, Neale menyatakan bahwa "secara muluk-muluk cerita tersebut" akan membuat kita berpikir bahwa pengarangnya merupakan pemalsu selain dari St. Hieronimus, yang berujar pada "di Aleksandria sampai pertengahan abad ketiga, para presbiter dicalonkan dan dipilih dari antara diri mereka sendiri untuk jabatan uskup yang lebih tinggi," Ia berniat untuk menyalamatkan keadaan dengan memajukan penjelasan alternatif,bahwa ini adalah satu-satunya pemilihan oleh para presbiter, bukan penahbisan, atau dua belas orang tersebut harus menghimpun "perguruan kerasulan." Kedua hipotesis tersebut murni bersifat terkaan. Mereka menerapkan pengaturan tahbisan kerasulan yang tak diberlakukan pada zaman awal. Uskup Wordsworth menunjukkan bahwa penahbisan presibterian bukannya tak diketahui. Ini akan nampak bahwa pemerintahan presbiterian dibentuk di Mesir setelah dinaungi oleh pemerintahan kerasulan di wilayah lain, dan bahkan usai pengakuan tiga ordo, ordo kedua, presbiterat, masih lebih penting untuk waktu lama. Terdapat sejumlah kecil uskup untuk menaungi penduduk Kristen. Para presbiter di gereja-gereja lokal yang dipimpin oleh mereka sebagai pastor individual bersifat lebih independen; dan pengaruh pribadi dari para tetua lebih menonjol di Mesir ketimbang di tempat lain. Tak ada yang lebih menonjol dalam perkembangan rohaniwan Gereja Katolik, ketimbang kehilangan tetua dari bagian aktif dalam persoalan-persoalan. Ia nampak terjepit di antara uskup dan deakon. ia memiliki takhtanya di persekutuan; namun kala mereka datang ke gerakan yang meraih perhatian masyarakat, ia kehilangan kenampakan, dan mereka hanya memiliki uskup dan deakon hadirinnya yang nampak. Namun, penggambaran tersebut tak mewakili keadaan di Mesir. Disana, mereka sering bertemu dengan tetua penting. Dua contoh familiar timbul dalam pemikiran kami yang secara langsung merefleksikan kami soal pendirian Aleksandria. origenes merupakan seorang presbiter—walaupun ditahbiskan di Cæsarea dan sehingga tak diakui demikian oleh uskupnya Demetrius; Arius juga merupakan presbiter. Selain itu, Profesor Harnack menunjukkan bahwa "tanpa seluruh tunda yang didapati kami, kami mendapati bahwa di Mesir pada umumnya, dan khususnya di Aleksandria, lembaga perguruan bertahan lama dalam pendirian dengan organisasi kerasulan gereja-gereja, walaupun hak mereka untuk berkotbah dalam upacara ibadah ditiadakan."

Di tempat kedua, kala membuat survei umum sejarah awal Gereja di Mesir, kami terpikat dengan tenaga dan kebebasan intelektualnya. Ini memiliki setiap pergerakan dalam penghormatan yang dimulai. Aleksandria menjadi pusat perguruan pembelajaran lama, di tempat para penata bahasa menjalani pembelajaran klasik, dan retorikawan berkotbah dari teks dalam Homer, sebuah karya klasik paling dimuliakan. Ini juga merupakan kursi spekulasi filsafat, dan disini Neo-Platonisme berkembang berdampingan dengan teologi Kristen. Cendekiawan Yahudi diwakili oleh kitab Kebijaksanaan dan ajaran-ajaran Philo yang mengajarkan orang-orang yang memakai Septuagint untuk memadukan otoritas sucinya dengan spekulasi Platonik dan Stoik. Sebagai pusat perdagangan besar, Aleksandria berada di bawah pengaruh Roma dan Athena, dan memadukannya dengan gagasan Persia dan bahkan India. Selaku tempat pembelajaran besar paling kosmopolitan, kota tersebut, kala menerima Kristen, dipersiapkan untuk menerima doktrin baru dengan perlakuan lebih bebas dan beragam. Disini, injil datang dengan pemikiran paling luas, lengkap dan kokoh pada masa itu. Kepercayaan tersebut yang mula-mula timbul pada lembah Galilea kini meluncur pada samudra kehidupan intelektual dunia. Dampaknya menyusul. Terkadang, ini mendapatkan seluruh pengakuan. Pada saat lain, kala mempertahankan unsur esensialnya, ini diperkaya oleh perkembangan berharga dari kebenaran vitalnya. Marabahaya dalam kedua kasus seharusnya menjadi lebih sedikit ketimbang ignosis, sebuah sistem intelektual, teodisitas Kristen, menjelaskan ranah dalam pengartian Allah selaku yang diwahyukan dalam Kristen. Dari nasib tersebut, ini diselamatkan pada masa awal lewat penindasan. Kursi penyiksaan dan pedang eksekusioner mengajarkan orang-orang untuk memegang agama mereka secara serius sebagai materi kehidupan dan kematian.

Mesir menjadi tempat lahir teologi spekulatif, yang dikatakan dimulai dengan Gnostik pada paruh pertama abad kedua. Terdapat Gnostisisme Siria dan Gnostisisme Asiatik, namun tak ada yang sebanding dengan kejadian berkaitan dengan unsur intelektual atau pengaruh pada pemikiran Gereja dengan Gnostisisme Aleksandria. Irenæus dan Hippolytus membahas dan mengecam sejumlah besar sistem Gnostik; namun semuanya walau mereka memiliki pemikiran satu sistem Valentiuus sebagai pesaing paling serius dari ortodoksi Katolik, mendapatkan pertambahan pengikut dan masyarakat Kristen di Home serta di berbagai belahan kekaisaran—dan diyakini Valentinus adalah orang Aleksandria.

Kemudian, teologi Kristen spekulatif di Aleksandria menghadapi pertentangan dari Gnostisisme yang berbahaya karena gerakan itu sendiri bersifat gnosis sejati. Klemens menyebut Gnostik sebagai Kristen tercerahkan. Dalam De Principiis, Origenes memberikan risalah terawal tentang teologi sistematis di Gereja. Para Cendekiawan Aleksandria menulis dalam bahasa Yunani. Mereka berasal dari komunitas Kristen ter-Helenisasi utara. Namun, kami tak harus melupakan bahwa ini berada pada Delta dan Nil. Origenes, sosok tersohor dari mereka semua, adalah seorang Koptik. Sehingga, pemikir paling menonjol dalam gereja awal tersebut tidaklah berdarah Yunani, kala kami mula-mula melirik gulungan intelektual spekulatif. Ia memiliki ras orang-orang yang membangun Piramida dan Karnak, dan menulis "Buku Kematian," dan menuturkan dunia mitos Osiris.

Tak lama kemudian, datanglah Arianisme—bida'ah yang benar-benar memisahkan Gereja selama dua generasi, satu-satunya bida'ah yang pernah membayangi dunia Kristen—yang mula-mula timbul dan mula-mula dikecam di Mesir. Namun, ini menjadi fakta menonjol bahwa gerakan tersebut, mewakili berkembang di Aleksandria, mendapatkan dukungan yang lebih nyata di Konstantinopel dan kota-kota lain di luar Mesir. Ini adalah salah satu fakta yang tersemat dalam pikiran kala kami mendapati Origenes dan mazhabnya mengubah sudut pandang terhadap Arianisme. Penyidikan penuh menghasilkan dua cendekiawan yang sangat berbeda kala Kardinal Newman dan Profesor Harnack sempat mendapati kesepakatan. Ini bukan pada Aleksandria, namun pada Antiokia; tidak pada Origenes, namun pada Lucianus, bahwa mereka menyusuri benih dan sumber Arianisme. Arius dikecam di Gerejanya sendiri di Aleksandria yang pada awalnya mengembangkan ajarannya, dan tempat yang kemudian dibuat terlalu panas baginya, sehingga ia melarikan diri. Setelah itu, hal apapun tak nampak akan terdengar dari Arianisme jika ia bukanlah orang yang berpaling dari sosok berpengaruh Eusebius dari Nikomedia, kapelan istana untuk Konstantinus, seorang politikus gerejawi yang tak tertandingi, tegas, berpengaruh. Kemudian, kala bida'ah tersebut menjadi dominan di Aleksandria, mereka hanya memiliki pengarahan wajib dari uskup asing, yang menerima dan menduduki kursi patriarkal lewat bantuan pasukan kekaisaran. Dengan cara ini, Arianisme di Mesir berdampingan dengan tirani dan tekanan, dan supremasinya melibatkan Gereja Koptik dalam penindasan.

Sehingga, Koptik tak jatuh di bawah naungan Gereja Katolik. Penekanan mereka memacu mereka dalam pendirian yang sangat berlawanan. Ini menekankan penerimaan gagasan Keilahian Kristus untuk menjunjung unsur manusia-Nya. Aleksandria memegang pendirian yang berlawanan dengan Nestorianisme. Disini, karena seringkali dalam hubungan lainnya, persaingan antara Aleksandria dan Konstantinopel menimbulkan kontroversi, diwarnai dengan intrik politik dan unsur panas dari kepribadian ofensif, Cyril dikanonisasi dan tulisannya menjadi standar penghitungan ortodoks. Namun, pembaca yang tak berprasangka harus menyoroti bahwa mereka berjalan lama untuk bersiap menghadapi bida'ah yang dikecam di konsili ekumenikal berikutnya, penyangkalan dua unsur dalam Kristus lewat penekanan virtual manusia.

Eutyches menyusulnya dengan baris serupa, dan sehingga pengembangannya terhadap jalan pemikiran serupa tak selaras dengan kesepakatan Gereja, dan berada di bawah pengecaman selaku bida'ah. Kini, bida'ah tersebut mulanya benar-benar nampak di Konstantinopel. Advokatnya Eutyches menjadi arkimandrit biara besar di dekat kota tersebut. Namun, ia adalah teman Cyril, yang memberikannya salinan Kisah Para Rasul dari konsili Efesus, dan ia menyeret patriark Aleksandria pada kontroversi Nestorian, memperlakukannya selaku penentang kuat Nestorianisme. Meskipun demikian, penerus langsung Cyril, Dioscurus, menjadi penentang Eutyches dan penulis sejumlah pemikiran yang kurang tajam ketimbang arkimandit lama yang telah dijelaskan, yang datang atas nama bida'ah Monofisit. Peristiwa ketidakselarasan "Sinode Perampok" utamanya terjadi karena tindakan Dioscurus dan para biarawannya—yang tak mewakili Gereja Mesir.

Lagi dan lagi kami melihat para biarawan Koptik menghasut gerombolan dalam beberapa tindak kekerasan. Kala penyerbuan Serapeum, pembunuhan Hipatia, sengketa Monofisit, kala perilaku kekerasan terburuk dilakukan, jika bukan oleh prajurit, hal tersebut dilakukan oleh para biarawan yang timbul dari gurun Nitria atau beberapa tempat penarikan diri jauh lainnya, mengerumuni jalan-jalan Aleksandria, dan menyetir sejumlah masyarakat pada serangan kriminal. Kami harus ingat bahwa monastisisme mula-mula muncul di Mesir. Mengikuti contoh Therapeutæ, yang mula-mula menjadi penyendiri di gubuk dan gua mereka, kemudian, pada tahap kedua, menghimpun kehidupan Cœnobite, para biarawan Mesir menghimpun fondasi sistem yang menyebar ke belahan Siria dan Asia Kecil, dan akhirnya memegang pendirian pada seluruh Gereja, sampai memegang pengamanan pendirian melalui sosok yang menjadi biarawan tanpa menjadi orang kudus, ia tak dapat menjadi orang kudus tanpa ia mula-mula menjadi biarawan. Sekarang, tak disangkal bahwa terdapat sejumlah orang kudus di kalangan biarawan. Kehidupan asketis memiliki dampak kuat pada unsur-unsur terkuat. Ini nampak pada kehadiran gagasan menonjol pada mereka. Seperti biarawan Bapa Yeremia, eremit daari Kaisar Anastasius dikenal pada masa-masa awalnya, dan ia sangat dihormati kala ia meraih takhta kekaisaran, yang benar-benar muncul selaku sosok baik, tak egois dan tak keduniawian. Tanpa ragu, ada banyak orang yang seperti itu, yang namanya tak pernah muncul dalam sejarah. Namun ini meliputi kejahatan fatal dari seluruh sistem yang dikembangkan di Mesir. Terdapat para biarawan yang berlaku buruk—penghirau, meninggikan diri, ganas. Beberapa orangh dinyatakan tanpa nama. Namun pengikisan tersebut bukanlah sebab kejahatan monastisisme terburuk. Kekeliruan terburuk ditimbulkan oleh penarika orang-orang terbaik dari kehidupan sipil dan domestik. Sehingga, masyarakat Mesir diperiksa di setiap lingkup yang harus didominasi jika sifat rakyatnya memegang standar yang tinggi, dan sosok paling berjalan menarik diri dari pelayanan umat manusia. Ini terjadi di seluruh belahan kekaisaran. Kemudian, ini menjadi salah satu sebab kejatuhan Roma. Namun kini, ini lebih berdampak serius ketimbang di Mesir, peristiwa cikal bakal monastisisme dan seringkali ketenaran terbesarnya. Mrs. Butcher menyebut kegaduhan biara tersebut sebagai "bunuh diri bangsa."

Salah satu biarawan Mesir paling terkenal adalah Senuti, yang hidup pada paruh kedua abad keempat dan paruh pertama abad kelima. Selaku putra petani Mesir, dan dibesarkan selaku gembala, ia masuk biara Panopolis, dekat Athrebi, Mesir Hulu, dan menjadi biarawan yang dimuliakan, dikenal karena kemampuan supranatural, dan dikenal sebagai nabi. Cyril mengutusnya ke konsili Efesus, kala ia memiliki tempat penting selaku utusan, dan kami meyakini murid dan penerusnya Besa mendapatkan bagian besar. Menurut penuturan dari biarawan yang dimuliakan tersebut, Nestorius ikut serta dalam konsili tersebut dengan pompa besar, dan, berisi gulungan Injil tentang takhta di bagian tengah ruangan, menurunkannya dan mendudukannya sendiri; sementara Senuti mengambil carikannya dan memberikannya pada Nestorius. Biasanya, patriark yang merasa bangga tersebut merasa percaya diri, khususnya kala ia memahami bahwa lawannya tak memiliki pangkat gerejawi. Cyril dengan cepat mengecamnya dengan mengangkat arkimandrit di tempat. Kisah tersebut diyakini bergantung pada apa yang kami pikir soal penulisnya dalam kelanjutannya. Ia kemudian berujar bahwa, kala Cyril mulai kembali ke Mesir pada keputusan konsili tersebut tanpa Senuti, biarawan tersebut mengikuti awan. Sehingga ia menjadi makin dimuliakan, agar Maximus, panglima Romawi, mengadakan ekspedisi melawan orang-orang buron yang disebut Blemmys, membuatnya keluar dari padang gurun untuk memberkatinya, untuk mengganggu campur tangan orang kudus tersebut. Gagasan bahwa ia berpihak pada kelompok ekstrim Dioskurus usai konsili Kalsedon mungkin merupakan kekeliruan. Sehingga dengan demikian, ia secara tak diragukan lagi merupakan pemimpin menonjol dalam penindasan Nestorius sampai kematian gerejawan malang tersebut. Senuti dikatakan hidup sampau usia 118 tahun, dan wafat kala Timotius Ælurus menjadi patriark. Sisa-sisa tulisannya dikumpulkan di antara fragmen-fragmen sastra Koptik awal. Pada kenyataannya, Senuti tak pernah disebutkan oleh penulis Yunani atau Latin manapun. Walau temannya Besa menyebutkan pendirian menonjolnya di konsili Efesus, tak ada catatan lainnya bahwa konsili tersebut melibatkannya. Kebungkaman tersebut lebih kepada pandangan bahwa ia melampaui garis sempit ortodoksi dalam penentangannya terhadap Nestorianisme. Jika itu terjadi, kami dapat memahami kenapa para teman dan penasehat Cyril akan bersikap bungkam dengan keberadaan sosok tersebut yang, walau diregukan ortodoksinya, tak pernah menjadi asisten kepercayaan utama patriark besar tersebut. Di kalangan Koptik, tak ada orang kudus yang dapat sangat dimuliakan; namun Koptik dicap bida'ah.

Keadaan yang berujung pada pergesekan akhir Gereja Koptik telah ditelusuri pada bab sebelumnya. Dekrit Kalsedon yang menggulingkan Dioskurus menjadi sebab langsung. Tiga belas uskup yang mendampinginya berada dalam dilema yang menakutkan. Hierakles, juru bicara mereka, menekankan soal kanon Nikea, menyatakan bahwa seluruh Mesir harus tunduk pada uskup Aleksandria dan tak melakukannya tanpanya. Ini tak dimaklumkan. Legatus kepausan yang mengatur konsili tersebut memperlakukan permohonan mereka dengan sorotan. "Malu kalian; malu kalian!" ucap pria tua tersebut. Tak ada rasa malu yang ditunjukkan mereka. Mereka dipaksa untuk menandatangani penarikan patriark mereka, dan menempatkan Aleksandira untuk mengadakan pemilihan penerusnya. Disana, mereka mendapati serangkaian perseteruan. Proterius, yang menjabat sebagai locum tenens untuk Dioskurus kala berhalangan, dan sosok yang dinyatakan selaku salah satu pendukungnya, kini berbalik menerima penahbisan selaras dengan Kalsedon. Ini membuat semangat penduduk memanas. Kami tak terkejut bahwa orang-orang menonjol tersebut, membenci tindakan pengkhianatannya pada patriark mereka yang dicekal, dan mengambil langkah yang lemah terhadap pemerintah kala kematian Marisanus, menimbulkan kerusuhan yang menggila, dan membunuh orang yang dianggap sebagai Yudas oleh mereka. Kemudian, nuansa merah lainnya ditambahkan pada tawarikh-tawarikh Gereja Koptik. Kala kematian patriark yang dicekal Dioskurus dan Timotius Ælurus terpilih menjadi penerusnya di Aleksandria, persaingan dua pihak di kota tersebut kembali muncul. Ini terjaid sebelum pembunuhan Proterius; namun kejahatan tersebut tak mengakhiri pertikaian. Kaisar Leo yang baru mencekal Ælurus, dan sosok baik yang sebenarnya, Timotius Surus atau Salofakiolus, terpilih pada patriarkat atas dasar Kalsedon. Dengan sangat hormat, masyarakat menyambutnya di jalanan, berujar, "Bahkan jika kami tak dapat berkomunikasi dengan kehendak, kami tetap mengasihi kehendak." Upaya kini dibuat oleh sosok moderat untuk dikirim ke sekitaran pemukiman yang seharusnya menyatukan dua pihak tersebut. Namun, ketegangan terlalu mendalam. Ini menjadi rasial serta teologis. Pihak Kalsedon, Melkit, adalah orang-orang Yunani. Koptik adalah Monofisit. Ini merupakan rahasia dari kelanjutan skisma. Ini menjadi gerakan nasional, dan pengangkatan patriark atas dorongan Yunani dikirimkan lagi kala keributan soal hak Gereja nasional. Patriark Koptik yang baru, Yohanes Talai, yang nampaknya bertindak secara lemah jika bukan tak menghormati dalam penerimaan jabatan lowong tersebut kala kematian Timotius yang baik (tahun 482), kala kaisar memutuskan untuk berniat mengutusnya untuk menghimpun rekonsiliasi antar kedua belah pihak, sebetulnya merupakan perwakilan Gereja nasional yang menentang Yunani, dan hak dan kebebasan Kristen umumnya bertentangan dengan campur tangan kekaisaran. Ini bersifat sama bahkan dengan sosok malang Petrus Mongus, yang dipilih kaisar untuk menggantikan Yohanes, semenjak kesepakatan ganda patriark tersebut memberikan dakwaan besar terhadap istana.

Evagrius menyatakan bahwa, akibat Henoticon karya Zeno—yang singkatnya membungkam kontroversi tanpa menyelesaikannya, "kala dibacakan, seluruh warga Aleksandria menyatukan diri mereka sendiri pada Gereja Katolik dan Apostolik suci." Namun, itu tidak benar. Evagrius adalah sejarawan berpikiran adil, namun selalu melebih-lebihkan untuk membuat sedikit mungkin perpecahan gerejawi—sebuah dampak langka pada zaman dan golongannya. Pada kenyataannya, kala Petrus Mongus menandatangani Henoticon, Monofisit ekstrim terpecah dari persekutuan dengannya, dan sehingga menerima gelar Acephali. Meskipun demikian, peristiwa tersebut berakhir damai; dan peristiwa tersebut terjadi di Mesir di bawah penerus Zeno, Anastasius, yang menjabat pada masa pertikaian yang beralih ke Konstantinopel menurut catatan yang disukai yang ditunjukkan oleh kaisar kepada Monofisit. Pada kematiannya dan kenaikan takhta Yustinianus ke takhta (tahun 518), kemenangan Monofisit temporer berakhir, Henoticon dibatalkan, dan seluruh Gereja wajib menyepakati keputusan Kalsedon, dengan dampak penyatuan kembali temporer Mesir dengan gereja ortodoks berakhir. Sehingga, Koptik kembali terputus sebagai golongan bida'ah.

Kemudian, timbul kontroversi tentang "Tiga Bab" di bawah masa kekuasaan Yustinianus. Kaisar lemah tersebut terdorong untuk mengecam Theodoret, Ibas, dan Theodore dari Mopsuestia atas dakwaan Nestorianisme. Ini menunjukkan bahwa pertentangan nyata terhadap konsili Kalsedon mendapatkan kesepakatannya dari tiga teolog tersebut, alih-alih pernyataan doktrinalnya. Sehingga, ini menghadapkan bahwa dengan membuat kambing hitam pada orang yang sudah meninggal, yang tak dapat membela kasus mereka, semua pihak dapat diselaraskan. Konsili Konstantinopel kedua (tahun 553) mengambil jalan tengah, dan, walau menganatemakan "Tiga Bab" yang merupakan kekeliruan mereka dikedepankan, melepaskan dua diantaranya, Theodoret dan Ibas, dan hanya mengecam sosok ketiga, Theodore dari Mopsuestia, yang tanpa rafu menjadi pencetus sebenarnya dari Nestorianisme. Sehingga, konsili tersebut memaklumkan pendirian Monofisit. Namun, Gereja Mesir tak memberikan pernyataan keputusannya. Kemudian, timbul Jacob al Bardai dan kampanyenya di Siria di bawah naungan Permaisuri Theodora, akibat dari perpecahan Gereja Jacobite Siria dari Nestorian dan tambahan besar pada kekuatan Monofisit di Timur. Kemanangan semacam itu menunjung teologi mereka yang tak dapat lebih mendorong Koptik. Malangnya, kontroversi baru dengan Julianis soal kecacatan dari tubuh Allah—yang dimajukan oleh Yulianus dari Halicarnassus—memicu ketegangan dengan Gereja Aleksandria. Ini merupakan hal memalukan besar yang seharusnya dimulai oleh Monofisit untuk memperjuangkan diri mereka sendiri kala mereka sangat berkuasa. Namun, ini sama dengan Protestan pada masa Luther dan Zwingli, dan dengan Methodis dalam perpecahan antara Wesley dan Whitfield. Ketiadaan hasil kala pendakwaan sosok tersebut membara. Perpecahan Julianis di Aleksandria menimbulkan pelantikan patriark ortodoks—sosok dari Yunani—yang sebetulnya menerima golongan Monogisit. Ini separti kasus dalam pemilihan Inggris kala Konservatif kembali ke kubu Liberal karena terjadi perpcahan dalam kubu Liberal. Namun, dalam kasus ini, pelantikan Melkit menandakan kemenangan kekaisaran atas golongan populer. Siria dan juga Armenia, serta Mesir dan Abisinia, kini menjunjung Monofisit.

Poposal Monotelet menjadi upaya terakhir penyatuan kembali dengan provinsi-provinsi yang hilang atas dasar doktrinal. Kasus tersebut mereda. Lompatan jauh tebing dari gereja ortodoks menjadi persoalan yang sangat serius kala dipandang dari sudut pandang Katolik. Namun, keadaan lain menimbulkan pergesekan pada situasi tersebut. Mula-mula Persia, musuh bebuyutan Kekaisaran Romawi di Timur, menjadi agresif, dan meraih kemenangannya sampai ke Mesir. Kemudian, teror baru timbul di Selatan, kala setidaknya menyebar, dan Arabia terancam meruntuhkan Gereja dan kekaisaran dalam serangkaian kebangkitan dan kemenangan mendadak Islam. Sehingga, terdapat motif agama serta politik yang kuat untuk menyatukan Gereja dan kekaisaran yang terpecah. Walaupun dicetuskan oleh patriark Konstantinopel, gagasan Monotelet benar-benar dimajukan selaras dengan kebijakan kekaisaran. Ini ditawarkan kepada Gereja oleh pemerintah, dan menimbulkan beberapa dampak di bawah pengaruh otoritas. Sirus uskup Phasis, dengan niat menerima doktrin yang ada, diangkat menjadi patriark Aleksandria oleh Kaisar Heraklius (tahun 630); dan ia menang atas sejumlah Monofisit. Namun ia tak dapat membuat dampak besar, dan walaupun Sofronius, pembela ortodoksi, berhasil menekan persebaran bida'ah baru di Gereja Yunani. Ecthesis yang dikeluarkan oleh Kaisar Heraclius sebagai edik doktrin agamis wajib (tahun 638), meluruskan gagasan Monotelet, meskipun disepakati oleh konsili-konsili di Konstantinopel dan Aleksandria, tak pernah digerakkan ke keputusan sebenarnya di kalangan orang-orang dari golongan tersebut. Seluruh gagasan dari pemurnian Kristologi terbaru diperiksa dan dinaungi. Ini tak menimbulkan nasib yang baik, karena dihimpun pada kebijakan, bukan dakwaan; dan ini dipromosikan oleh otoritas negara, bukan oleh pihak agamis. Politik setara, penghimpunan setara pada pengaruh pemerintah, adalah hal yang didorong oleh Type, yang dimajukan oleh Kaisar Constans pada tahun 648, dan yang, tanpa menekankan penjunjungan pihak manapun, melarang kontroversi apapun lebih lanjut dan mengancam hukuman berat terhadap seluruh pihak yang harus menyoroti perpecahan kekuasaan yang bungkam. Sekitar tiga puluh tahun kemudian, bida'ah tersebut dikecam oleh konsili Konstantinopel ketiga (tahun 680–681).

Tak ada upaya rekonsiliasi, kompromi, dan penekanan yang berhasil mengirim kembali gereja nasional Mesir bersatu dengan Gereja Yunani. Ini bahkan masih bertahan dalam perpecahan. Dengan pengecualian sekitar 6.000 Melkit, kebanyakan Yunani, nyaris seluruh Kristen di Mesir pada masa sekarang adalah Monofisit. Gereja nasional Mesir, Gereja Koptik, adalah keyakinan yang sama dengan Gereja Jacobite di Siria.

Kembali ke konfisi internal Gereja Koptik pada masa itu, kami melihat bahwa selama enam puluh tahun usai pencekalan John Talai, tak ada patriark Melkit di Mesir. Kemudian, Yustinianus membujuk seorang sosok bernama Paulus untuk mengisi jabatan lowong tersebut (tahun 541). Tak ada Koptik yang mengakuinya. Namun ketidakadilan kejam dilakukan pada Gereja nasional dalam mengalihkan pendapatannya ke patriark Melkit, yang memanfaatkannya dalam kedudukannya, sementara patriark yang sebetulnya berkarya di pucuk Gereja di Mesir bergantung pada kehendak bebas umatnya. Ini sama dengan rohaniwan di bawah naungannya. Dorongan gerejawi dan pendapatan resmi disita karena penekanan Melkit yang sedikit. Keadaan tersebut selaras dengan United Free Church di Skotlandia pada masa kami sendiri; dan tanpa parlemen manapun yang menghimpun sikap toleransi. Kemudian, Gereja Koptik tak hanya dianatematisasi oleh Gereja ortodoks; gereja tersebut ditiadakan dan dilepaskan oleh Negara. Sehingga, gereja tersebut tidak meretak. Komunitas kecil tersebut meraih hal apapun selain laba pendapatan dari transaksi tak adil. Dengan seluruh dorongan yang tak pernah berkembang, tak pernah bertumbuh. Ini masih terjadi sampai saat ini. Gereja hantu dengan jabatan, namun tanpa fungsi, dan dalam seluruh penghormatan orang asing di wilayah yang dimajukan selama beberapa abad lampau. Setelah invasi Muslim, organisasi Melkit tersebut kehilangan hak dan pemasukannya.

Sementara itu, Gereja Mesir yang sebenarnya menjadi lebih nasional. Liturgi-liturginya kini diterjemahkan ke bahasa Koptik. Pada awal masa kekuasaan Kaisar Maurice (tahun 582), terjadi pemberontakan di Mesir Utara, dipimpin oleh tiga bersaudara—Abaskiron, Mena, dan James—melawan pihak biru, atau imperialis, yang pada masa itu berhasil merebut nyaris seluruh Delta dari pemerintahan. Pemberontakan lain menyusul. Bagaimana singkatnya kami dapat melihat penglihatan pemutusan penaungan kekuasaan Bizantium di Mesir. Ini terjadi pada suatu masa di bawah invasi Persia, yang tak dapat sama-sama tak disambut Koptik. Peristiwa tersebut secara temporer direstorasikan oleh kemenangan pihak militer besar, Kaisar Heraclius. Namun pada keadaan semacam itu, kekaisaran tak berharap untuk memberikan pertahanan loyal di Mesir melawan invasi Muslim yang pelik, kala tentara Arab menyerbu bak serombongan belalang. Dan sehingga pertahanan kini tak berarti apapun ketimbang perlindungan dunia Kristen dari keruntuhan total.