Gereja-gereja Yunani dan Timur/Bagian 2/Divisi 5/Bab 5

BAB V

KRISTEN ABISINIA

Kristen Abisinia adalah bentuk agama Monofisit Yudaistik yang terpengaruhi sepanjang masa selama waktu yang lama dari pengaruh dunia Kristen lainnya. Golongan tersebut biasanya nyaris sangat berasosiasi dengan Gereja Koptik, karena golongan tersebut memiliki cikal bakalnya dari Mesir, bersepakat dengan Koptik dalam mengikuti Dioskurus dalam menentang dekrit-dekrit Kalsedon, yang dulunya menjalin persekutuan dengan patriark Aleksandria, dan selama jangka panjang tetap bersentuhan dengan Kristen Mesir. Antara Abisinia, yang dikenal sebagai Etiopia pada masa awal, dan Mesir adalah Nubia, yang lama menjadi negara Kristen independen. Kala wilayah tersebut dikuasai oleh Arab dan Kristen disingkirkan, Abisinia memutus seluruh hubungan langsung dengan Mesir. Wilayah tersebut masih berada pada rute Laut Merah, rute tempat injil mencapai Abisinia pada contoh pertama. Namun kala Mesir dikuasai penguasa Muslim, Koptik tak memiliki niat atau kekuatan untuk memakainya dalam rangka tetap bersentuhan dengan sebuah wilayah terpencil di selatan yang tak lagi terhubung dengan mereka secara langsung.

Seperti nama "India," kata "Ethiopia" dipakai dalam berbagai arti oleh para penulis kuno. Tak ada keraguan bahwa dua nama tersebut terkadang tumpang tindih. Wilayah di kedua sisi Laut Merah sampai selatan dikenal sebagai Ethiopia. Ratu Sheba diyakini berasal dari Asia atau dari Afrika. Namun, Etiopia yang kami kenal pada zaman Kristen secara tak diragukan berada di Afrika. Bentang wilayah yang diberi nama tersebut tak pernah didefinisikan, namun kami memahaminya berkaitan dengan Abisinia modern, sebuah wilayah yang batas-batasnya tak ditentukan pada masa sekarang. Abisinia adalah bentuk nama yang diberikan oleh Arab (Habeʿsh, artinya "percampuran," "persamaan," karena karakter campuran orang-orang yang menghuninya). Namun, Abisinia tetap menyebut diri mereka sendiri "Etiopia" (Itiopyavan) dan wilayah mereka "Etiopia " (Itiopia). Karakter Yahudi dari beberapa kebiasaan Abisinia memberikan kesimpulan bahwa orang-orang tersebut dipengaruhi oleh Yahudi sebelum mereka menjadi Kristen. Namun kenyataannya, beberapa kebiasaannya, seperti sunat, pengesahan makanan bersih dan tak bersih, dan pernikahan lewi, sangat tersebar, ditemukan kurang lebih di Arabia dan belahan Afrika lainnya, yang ditujukan untuk menghancurkan landasan dari hipotesis tersebut. Dr. Reynolds menyatakan bahwa perayaan Sabat hari ketujuh di Abisinia berakar dari pengaruh Yahudi dalam gereja perdana. Meskipun demikian, sejumlah unsur menciptakan argumen yang selaras dengan persebaran gagasan Yahudi awal. Tak ada keraguan bahwa diaspora berpengaruh selama dua atau tiga abad. Kegiatan misionarisnya tak dianggap karena kegiatan besar penginjilan Kristen yang menyingkirkan dan menaunginya. Kisah sida-sida dari Etiopia dalam Kisah Para Rasul menekankan pengenalan awal Kristen ke Afrika. Namun nama "Candace" yang diberikan kepada ratu tak ditemukan di wilayah Etiopia yang ada. Sebutan tersebut diketahui merupakan gelar suksesi ratu di Meroe, Nil Hulu (separuh jalan antara Berber dan Kartoum). Sehingga, sida-sida Etiopia diyakini merupakan orang Nubia dari Soudan. Kristen dapat mencapai Etiopia lebih mudah dari pesisir; dan bahwa ini terjadi pada masa awal yang disebutkan oleh pernyataan Origenes: "Kami tak menyebut bahwa injil telah dikotbahkan di antara seluruh orang Etiopia."

Kami beralih ke abad keempat untuk pengenalan efektif Kristen di Ethiopia. Menyoroti Rufinus, yang merupakan otoritas terawal kami, menyatakan pada kami bahwa ia menerima informasinya langsung dari salah satu dari dua pemuda yang memberikannya cerita, kami dapat menganggap bahwa kami disini mendapati sumber sejarah yang baik dan tak lazim. Kisah tersebut ddiulang dengan beberapa ragam oleh para sejarawan Yunani. Kisah tersebut adalah sebagai berikut: Meropius, seorang filsuf dari Tyre, memiliki dua kerabat muda—mungkin putra—bernama Frumentius dan Ædesius pada perjalanan penjelajahan menuju "India." Di perjalanan, mereka melewati pelabuhan di sisi Afrika dari Laut Merah menuju perairan. Orang-orang di wilayah tersebut sedang memberontak dari Roma, dan mereka membantai Meropius dan seluruh awak kapal, namun membiarkan dua pemuda tersebut, bersetugan dengan rasa malu bagi mereka kala mereka mendapati mereka bagian dari pengikut mereka yang terduduk membaca di bawah pohon. Mereka membawanya ke raja mereka, yang mengangkat Ædesius menjadi pembawa cangkirnya dan Frumentius menjadi penjaga gulungannya. pada kematian raja tersebut, pemuda tersebut berencana untuk dibebaskan; namun atas perintah ratu, yang kini menjadi wali raja, mereka memutuskan untuk menetap dan membantu kepengurusan pemerintahan sepanjang putranya masih kecil. Frumentius, yang paling handal dan bertenaga dari keduanya, kini mendorong Kristen di kalangan pedagang Roma di wilayah tersebut, dan memberikan mereka otoritas dan nasehat untuk pembangunan gereja-gereja. Sehingga, ini hanyalah menjadi gerakan di kalangan pemukim asing. Namun, ini adalah benih karya pewartaan besar yang ditujukan untuk membuat nama Frumentius terkenal dalam sejarah Kristen. Di samping risalah-risalah ratu, dua kakak beradik tersebut meninggalkan wilayah tersebut kala pangeran muda telah beranjak dewasa untuk mengambil tanggung jawab pemerintah. Mereka berdua harus memiliki karakter relijius terawal, karena Ædesius menjadi presbiter di Tyre, tempat Rufinus menerima cerita tersebut dari mulutnya sendiri, sementara Frumentius datang ke Aleksandria dalam rangka membujuk uskupnya, yang tak lain Athanasius agung, untuk mengangkat uskup untuk menangani karya pewartaan di Ethiopia. Athanasius membawa persoalan tersebut ke hadapan sinode, dan memberikan pesan pada Frumentius, dengan berkata, "Apa ada sosok lain yang harus kami temui bertindak seperti itu, yang dalam roh Allah, sebagaimana yang dijadikan oleh-Nya, siapa yang akan dapat mengurusi tugas-tugas tersebut?" Menurutnya, Frumentius ditahbiskan menjadi uskup Auxume di Etiopia. Ia disebut Abba Salama ("Bapak Perdamaian"), sebuah gelar yang disematkan oleh para penerusnya sampai sekarang. Kisah tersebut dikonfirmasikan dan ditambahkan pada sastra Gereja Etiopia—tawarikhnya, liturginya, dan syairnya.

Kemudian, Konstantius menulis kepada Raja Etiopia yang membujuknya mengganti Frumentius dengan Teofilus, seorang Arian, yang berada di bawah naungan Gregorius, uskup Arian yang bertugas pada Gereja Aleksandria. Namun, suratnya tak nampak memiliki dampak apapun, dan Arianisme tak menjamah Gereja Etiopia. Setelah itu, kami sedikit mengetahui sejarah Gereja tersebut untuk waktu yang lama. Namun, sejumlah orang kudus dirayakan dalam puisi Etiopia, salah satunya adalah Aragawi, yang disamakan dengan malaikat agung Michael, pelindung gereja dan kerajaan, yang pada tanggal kedua belas dalam setiap bulan ditahbiskan.

Terdapat kisah lain dari perpindahan agama Etiopia, yang dikisahkan oleh Nikeforus, berkaitan dengan catatan dalam Yohanes dari Efesus. Menurut kisah tersebut, Kaisar Etiopia bersumpah bahwa jika ia menaklukan bangsa Homerit dari pesisir Laut Merah, ia akan masuk Kristen, dan menyerahkan kemenangan yang didapatkan olehnya kepada Yustinianus untuk menolong mewujudkan sumpahnya, kala kaisar Romawi menanggapinya dengan mengirimkannya para uskup. Sifat Monofisit dari Kekristenan Etiopia berjalan bertentangan dengan kisah ini, dan terdapat kemungkinan lainnya yang terhubung dengannya. Kami harus selalu mengaitkan Kekristenan Abisinia dengan Koptik, bukan dengan golongan Bizantium. Pada sekitaran masa tersebut, terjadi penindasan Kristen di Arab Selatan di bawah kekuasaan Dunaan, seorang perampas kekuasaan Yahudi, dan salah satu martirnya adalah Aretas, yang datang dari Auzume sebagai gubernur provinsi. Ia dan istrinya beserta sejumlah Kristen lainnya sangat didera di lubang perapian.

Monastisisme diperkenalkan ke Etiopia pada abad kelima, dan masih menjadi salah satu lembaga Kristen Abisinia sampai sekarang. Terdapat sejumlah besar biarawan dan biarawati di wilayah tersebut, serta para imam yang menikah mengikuti perilaku Gereja-gereja Oriental secara umum. Kanon kitab suci Etiopia sangat diminati. Kanon tersebut berisi banyak kitab yang tak tercantum dalam kanon Gereja Katolik Barat dan Timur. Perjanjian Lama memiliki seluruh kitab Septuaginta kecuali Makabe, bersama dengan Kitab Henokh, Yibelium, iv. Ezra, dan tulisan apokrifa lainnya, dan kitab-kitab Perjanjian Baru terdiri dari tiga puluh lima buku—delapan kitab dari Hukum Kanon (disebut Sinodos) ditambahkan pada dua puluh tujuh kitab lazim.

Setelah abad keenam, Abisinia nyaris sepenuhnya hilang dari pandangan selama nyaris seribu tahun—sebuah belahan dunia Kristen yang terputus dari kelompok utama Gereja karena gangguan kekuatan Muslim. Namun, selama jangka panjang, gereja tersebut bergantung pada metropolitannya dari Mesir, dan sangat memahami hubungan gerejawinya dengan patriarkat Koptik Aleksandria. Kanon tersebut mewajibkan dua belas uskup untuk penahbisan metropolitan; namun hanya ada tujuh di Abisinia. Pada abad kedua belas, raja meminta agar lebih banyak orang dipilih, dan pemerintahan Muslim menyepakati permintaan tersebut, namun patriark Gebriel menolaknya—sebuah tindakan impolitik yang mengakibatkan Abisinia mengambil hal-hal dengan tangannya sendiri dan memilih metropolitannya sendiri. Setelah itu, walaupun patriarkat Aleksandria dapat secara simbolis diperluas sampai Abisinia, Abisinia sebetulnya memiliki gereja independen.

Dalam hal waktu, kami menyaksikan kejadian menyedihkan dari penyingkiran Kristen dari Nubia, kala gereja tersebut sempat menjadi kuat dan berkembang. Selama beberapa tahun, wilayah Soudan berdiri sebagai kerajaan Kristen, yang enggan menerima kedaulatan Arab. Ahmed, putra Solaim, yang datang ke Nubia selaku utusan dari penguasa Muslim, menceritakan bagaimana ia "melewati sepanjang nyaris tiga puluh kota dengan rumah indah, biara, pepohonan palem yang tak terhitung, kebun anggur, taman dan ladang yang terbentang luas, disamping sekawanan unta yang sangat cantik dan berkembang baik." Kartoum kemudian terpukau dengan bangunan-bangunan luar biasa dan rumah-rumah besar. Gereja-gerejanya diperkaya dengan emas, dan seluruh kota dipercantik dengan taman-taman. Raja Nubia memanfaatkan undangan para uskup untuk bergabung menjadi ahli bijaknya dalam berdiskusi dengannya soal perkara kerajaan. Pada kenyataannya, ia memiliki sebuah Dewan Bangsawan, yang terdiri dari para anggota temporal dan spiritual. Ahmed sendiri diterima oleh Raja Gregorius, yang, ia katakan, mengambil Muslim dengannya dalam prosesi hari raya. Namun sebetulnya, hubungan bahagia tersebut, yang hanya dapat pulih sepanjang pemerintahan Mesir tak memiliki kekuatan untuk menindasnya, berujung pada akhirnya. Raja Nubia selalu menolak menerima kedaulatan sultan. Ia bersikukuh menolak upti budak yang penguasa Muslim tawarkan kepdanya. Kala kekuasaan yang kuat terhimpun, hal tersebut meniadakan kemerdekaan Nubia dengan sepenuhnya merangseki dan menaklukan wilayah tersebut dan secara efektif menyingkirkan Kristen. Hasilnya terlihat saat ini pada Muslim barbar dari suku-suku Soudan, yang leluhurnya menghimpun kerajaan Kristen yang sangat berperadaban.

Penghancuran kerajaan Kristen Nubia adalah sebab utama isolasi Abisinia selama berabad-abad. Wilayah tersebut baru tersoroti lagi pada abad keenam belas, lewat jiwa wirausaha Portugis. Hal ini akan memiliki dampak bagi bagi wilayah malang tersebut jika meninggalkan isolasinya dan ketidakjelasannya. Dalam bawaan mereka, Portugis membawa para utusan Gereja Roma, yang, sesuai dengan kebiasaan pada masa itu, memulihkan kekerasan dan kekejaman dalam upaya mendorong suatu bangsa agar mereka yang dianggap sebagai bida'ah menjadi tunduk pada kepausan. Namun, penjalinan komunikasi pertama bersifat sipil dan bersahabat. Pangeran Henry dari Portugal, mendengar kisah-kisah yang nyaris sangat menakjubkan dari Prester Yohanes di sebuah "India" yang misterius, mengirim dua utusan, Pedro de Corvilhãa dan Alfonso de Payva, ke wilayah kekuasaan Kristen Abisinia. Alfonso wafat; namun Pedro diadopsi oleh bangsa Abisinia tersebut, dengan sangat dihormati oleh raja, dan dinikahkan dalam keluarga Abisinia tersohor. Meskipun demikian, ia tetap menjalin komunikasi dengan Portugal. Pada awal abad keenam belas, Ratu Helena, yang kala itu menjadi wali raja untuk putranya, seorang anak berusia sebelas tahun, mengirim Matius, seorang peniaga handal dan terpercaya Armenia, pada pengutusan ke Raja Portugal, membujuknya untuk menjalin aliansi dengannya dalam rangka memerangi Turki, dan mengusulkan pernikahan silang antar dua keluarga kerajaan. Matius mula-mula datang ke Goa di India dan sehingga memutar melewati Tanjung menuju Portugal, menghadapi banyak kesulitan dan rintangan pada perjalanannya. Disana, ia menerimanya sepanjang untuk mengamankan utusan Portugis untuk membalasnya kepada Abisinia. Kapelan utusannya adalah Alvarez, yang meninggalkan catatan grafis dari pengalaman dan pengamatannya sendiri terkait wilayah tersebut dan orang-orang yang dikirim olehnya. Penjelasannya yang dipegang oleh beberapa kritikus tidaklah sepenuhnya selaras. Namun, usai memaklukan ketidakakuratan, kami masih memiliki serangkaian informasi soal Abisinia, termasuk apa yang secara khusus berharga untuk keperluan kehadiran mereka, menyoroti praktek-praktek Gereja. Sehingga sepanjang tirai terbentang, dan lagi selama berabad-abad ketidakjelasan, kami dapat menelusuri Kristen Abisinia.

Alvarez memajukan saksi untuk menunjukkan kebiasaan Yahudi di kalangan Abisinia. Kemudian, ia berujar bahwa para biarawan beristirahat selama delapan hari usai Paskah—sebuah kebiasaan yang kami anggap selaras dengan hari raya Paskah Yahudi. Mereka sebagian memperingati Sabat Sabtu, dan mereka tetap menerapkan penyunatan. Namun kebiasaan tersebut, yang kami lihat, sangat tersebar untuk mengaitkannya dengan pengaruh agama Yahudi. Para penjelasan menyaksikan sejumlah besar biara dan gereja. Seperti kuil Osiris di Abu-Simbel, beberapa gereja sepenuhnya terbuat dari batu. Salah satunya memiliki ukuran sebesar katedral, dengan bagian tengah dan lorong yang dibuat dengan baik, atap berbentuk kubah, dan kolom-kolom persegi—semuanya dipotong dari batuan padat. Biara Bisa terdiri dari enam biara lainnya, masing-masing dengan Daud di puncaknya di bawah pemimpin ibadah Abba, dan sangat kaya. Jumlah biarawannya katakan sebesar 3.000 orang, namun Alvarez hanya melihat 300. Biara-biara tersebut umumnya dibangun diatas batu dan puncak bukit yang dikelilingi oleh hutan. Gereja-gereja secara keseluruhan nampak berkubah. Namun, bangunan-bangunan tersebut beratapkan jerami. Hanya ada satu altar dalam setiap gereja, dalam mimbar. Lonceng, atau batu ketukan tipisnya dipakai. Ibadah dilakukan dengan tanpa melantunkan nada tertentu. Ada doa dan mazmur dan satu pelajaran, semuanya diteriakkan ketimbang diintonasikan atau dibacakan. Misa dimulai dengan teriakan Haleluya, dan disesuaikan dengan prosesi empat atau lima salib, disertai drum, simbal, dan dupa, yang ditempatkan mengitari gereja sepanjang tiga puluh kali. Kala misa berlangsung, lilin dinyalakan oleh orang-orang yang mengelilingi imam yang bertugas. Teriakan dan nyanyian dilakukan oleh orang-orang di luar gereja serta umat di dalamnya. Perjamuan kudus diterima oleh kaum awam serta oleh rohaniwan dalam dua jenis, komunikan setelah itu menerima cangkir yang mencuci mulut mereka dengan air suci dan meminumnya. Roti diberkati dan dibagikan ke seluruh biara dan gereja pada Sabat Sabtu, Minggu, dan hari-hari raya. Para biarawan menempatkan salib di hadapan mereka kala mereka berjalan keluar, dan kaum awam mengenakan salib di belakang mereka. Alvarez berujar kepada para biarawan, "menjadi tipis dan kering bak kayu, mereka nampak menjadi sosok kehidupan suci. … Busana-busana yang dikenakan mereka terbuat dari kapas kuning tua, dan mereka berjalan dengan kaki tak berkasut." Praktek poligami, walau tak sering, dan walau dikecam oleh Gereja dengan mengkecualikan dari perjamuan kudus, tidaklah dilarang. Di satu tempat, Barua, Alvarez mendapati pria dengan dua dan bahkan tiga istri. Disana, ada dua gereja, yakni St. Mikael khusus pria, dan St. Petrus dan St. Paulus khusus wanita. Para imam yang sama melayani kedua gereja tersebut. Seperti di Timur pada umumnya, para imam tidak selibat, namun jika imam kehilangan istrinya, ia tak dapat menikah untuk kedua kalinya. Imamat utamanya direkrut dari keluarga imam, yang sehingga menjadi sebuah kasta. Tak ada sekolah atau guru untuk menyiapkan calon untuk penataan, dan rohaniwan diajarkan sedikit apa yang mereka ketahui sendiri kepada para putra mereka.

Pada masa itu, Abisinia berperang dengan Turki, yang menyerbu wilayah mereka dengan membantai banyak orang, dan menghancurkan gereja-gereja dan biara-biara. Tentunya, Portugis datang untuk membantu sesama Kristen mereka. Namun, tak lama sebelumnya, gangguan Turki sepenuhnya tertangkis. Kemudian, ketegangan timbul antar dua gereja yang kini terwakili di wilayah tersebut. Raja Daud menyelaraskan diri dengan catholicos Abisinia, Abuna Mark, yang telah sangat tua dan perlu dibantu untuk mengurusi perkara gereja, untuk menahbiskan seorang Portugis, João Bermudez, untuk menggantikannya. Dengan cara ini, Katolik Roma, yang memikat raja, terwakili dalam kepemimpinan Kristen Abisinia. Namun ini tak membuat gereja nasional tunduk pada kepausan. Paus membuat upaya untuk menimbulkannya melalui patriark Koptik Aleksandria. Namun, ini juga gagal. Pada tahun 1600, seorang Yesuit ulung, Pedro Piaz, datang selaku misionaris Roma ke Abisinia. Beberapa tahun kemudian, Raja Socinios menerima kepercayaan dua unsur Katolik usai sengketa publik tentang subyek dalam keberadaannya. Ini adalah langkah pertama terhadap pengajuan kepada Roma. Di sisi lain, Abuna Simon memberlakukan hukuman ekskomunikasi melawan setiap orang yang mendukung bahwa ada dua unsur dalam Tuhan Yesus Kristus. Sehingga, pertikaian Monofisit lama yang terdiam selama berabad-abad muncul lagi di Abisinia berkaitan dengan pertanyaan gerejawi seputar supremasi paus. Ini berujung pada perang saudara, yang membuat Abuna terbunuh—yang dikatakan meneriakkan kutukan melawan penguasanya. Raja mengeluarkan manifesto yang mengecam penekanan bida'ah dan moral rusak dari gereja nasionalnya. Kala kabar pengajuannya ke Roma mencapai Lisboa, Alfonso Menez ditahbiskan menjadi patriark Etiopia disana. Ia disambut oleh Socinios pada Februari 1626. Raja kemudian mengeluarkan proklamasi yang memerintahkan pengajuan kepada iman Katolik Roma soal luka kematian. Gereja-gereja dikonsekrasikan ulang, rohaniwan ditahbiskan ulang, orang-orang dibaptis ulang, dan peniadaan penyunatan dan poligami diberlakukan. Lagi-lagi terjadi kerusuhan, disusul oleh penyakit dan pertumpahan darah. Namun kala menyerahkan takhtanya kepada putranya, Socinios mengeluarkan proklamasi yang mentoleransi kepercayaan kuno dan baru.

Catatan Inggris terlengkap dari sejarah Abisinia ditemukan dalam lima volume kuarto karya Bruce tentang perjalanannya dalam mencari muara sungai Nil. Dari pengamatannya sendiri, ia mampu memberikan kami penjelasan mendetil wilayah tersebut pada abad kedelapan belas. "Tak ada wilayah di dunia," ujarnya, "tempat adanya banyak gereja seperti Abisinia"; dan ia menambahkan bahwa setiap orang besar yang meninggal didorong untuk menebus kesalahannya dengan membangun gereja. Rajanya membangun banyak gereja. Gereja-gereja berada di dekat air mengalir untuk upacara pemurnian, dan ditanami sekelilingnya dengan pohon, sehingga "tak ada penambahan terlalu banyak pada keindahan wilayah tersebut seperti gereja-gereja dan penanaman-penanaman di sekitarannya." Bangunan-bangunan tersebut beratapkan jerami, dan dikelilingi oleh colonnades, tiang-tiang yang terdiri dari serangkaian pohon cemara. Dalam bentuk yang mengelilinginya, dan pada bagian dalam melingkarnya merupakan perwujudan bentuk yang ada dalam "suci dari segala kesucian," hanya dimasuki oleh para imam. Menurut Bruce, para biarawan tak tinggal di konven, namun mereka menempati rumah-rumah terpisah berkelompok di sekitaran gereja-gereja. Bruce memberikan kami sedikit informasi soal kehidupan dalam Gereja di Abisinia; namun ia menyebut bahwa imam yang berujar padanya tak pernah yakin bahwa unsur-unsur dalam Perjamuan Kudus berubah lewat konsekrasi menjadi tubuh dan darah Kristus yang sebenarnya. Imam tersebut menganggap bahwa kepercayaan Katolik Roma berseberangan dengan penekanan Gerejanya sendiri. Dalam Gereja Abisinia, gambar-gambar, meskipun bukan patung, dipakai seperti dalam Gereja Timur lainnya. Sebagian besar orang kudus dimuliakan, dan dalam beberapa kasus disembah dengan upacara yang luar biasa.

Pada saat ini, wilayah tersebut terganggu oleh perang suku dan persaingan pengklaim yang bersaingan terhadap kekuatan tertinggi yang diklaim oleh Negus Negasti (raja dari segala raja), namun hanya ditentukan oleh pemimpin berdaulat yang lebih kuat dan handal. Pada tahun 1829, para misionaris datang dari English Church Missionary Society dan diterima dengan baik. Misionaris lain menyusul, namun, berseberangan dengan para imam tersebut, mereka semuanya disuruh untuk meninggalkan wilayah tersebut dalam kurang dari sepuluh tahun.

Meskipun demikian, perjuangan tersebut bukannya tak membuahkan hasil. Misionaris dan karya pendidikan Inggris dan Amerika menyebar ke sepanjang Mesir dan meluas sampai Lembah Nil melalui Nubia. Sepanjang masa itu, hal ini diharapkan menjamah Soudan sampai berjabat tangan dengan upaya misionaris lainnya di bagian dalam Afrika. Kemudian, Abisinia akan lebih tersentuh dengan gerakan modern, yang merupakan bagian dari dorongan umum untuk meluaskan spiritual dan pengetahuan Kristen. Jika ini dilanjutkan dan meluas serta menjadi berbuah, kami dapat berharap untuk melihat orang-orang dari kursi kuno Kristen dibangkitkan ulang dan bahkan mungkin menikmati beberapa pengembalian vitalitas masa lalu terkenal mereka.