Merupakan bagian dari kumpulan cerpen Rintik gerimis di jendela oleh Anta Samsara

Salah satu lukisan Norman Garstin (1847–1926), A Steady Drizzle.

Pada renyai gerimis yang jatuh, yang melayang sejenak terbawa angin, lalu mencapai tanah yang likat dengan debu, Samad berharap sangat, agar cuaca tak menderas seperti seminggu yang lalu. Seperti waktu ia duduk bersila di muka Toko Terang Jaya; saat tak ada seorang pun yang memberinya uang; padahal ia duduk semenjak hari belum hujan di saat pagi hingga azan asar berkumandang dan menyelusup di lambungnya yang lapar. Untungnya waktu itu A Lin, sang juragan toko itu, memberinya nasi bungkus dengan gorengan tempe di dalamnya, yang hanya ia makan sebagian dan sebagian lainnya ia bawa pulang.

“Pergilah jauh-jauh, jangan biarkan badan dekilmu itu membuat orang yang akan belanja di tokoku menjadi membatalkan keinginannya,” kata sang pemilik warung nasi, jaraknya sekitar lima toko dari tokonya A Lin, mengusirnya. “Kota ini luas, mengapakah kau hanya duduk di depan warungku saja?” Kata-katanya semakin menyakiti. “Ayoh, pergi sana! Pergi jauh-jauh. Jangan dekat-dekat sini!” sang pemilik warung nasi berkata sambil bertolak pinggang.

Hatinya benar-benar perih tiada terperi. Di wilayah pasar ini yang ramah kepadanya hanyalah A Lin. Walaupun ia seringkali tega karena tidak mau membagi apa yang dia dapatkan dari orang-orang yang membeli perangkat elektronik di Toko Terang Jaya-nya, namun ia tak pernah mengusirnya. Tak pernah kasar seperti pemilik-pemilik toko yang lainnya.

Samad meraih tongkatnya, dan dengan berjalan tertatih-tatih, gerimis tipis ditembusnya. Ia berpindah ke dekat gerobak martabak Kang Ahdi. Kang Ahdi melirik dengan sinis dengan sudut matanya. Tapi ia bergeming. Dagangan Kang Ahdi laris, karena itu ia berharap akan ada satu atau dua pembelinya yang memberinya uang barang sedikit. Ia bersimpuh di tanah yang tercecah oleh basah hujan rimis. Orang-orang menatapnya. Ia berkata dalam hatinya bahwa ia tak boleh putus asa dan harus terus berharap, karena harapanlah yang membuatnya terus hidup.

“Berilah saya uang, Bu. Saya belum makan semenjak kemarin,” katanya memelas. Si ibu melengos dan berlalu begitu saja. Dalam pikiran, Samad berkata bahwa alangkah angkuhnya orang-orang terhadap orang yang tak berpunya. Dilihatnya si ibu itu lalu naik ojek, mungkin untuk pulang ke rumahnya. Bahkan ia tak sekalipun menatap ke tempat Samad bersimpuh, tanda bahwa kata-katanya sama sekali tak menyentuh hatinya.

Pada pembeli berikutnya ia kembali berkata dengan lirih, “Berilah sebagian hartamu pada orang fakir, ya Bapak. Karena kesombongan sebesar zarah-pun akan membuat Bapak jauh dari surga.”

Bapak itu menatapnya dengan tajam,”Apa maksudmu dengan jauh dari surga, hah? Kau sendiri mengapa sehari-hari cuma mengharapkan belas kasihan orang lain?,” ia berkata menusuk hati. “Bantulah orang lain berdagang, jangan cuma meminta-minta,” tegasnya lagi.

Samad cuma terdiam. Ia membatin, mungkin bapak itu benar, ia semestinya bekerja selayaknya orang lain. Tapi ia tak pernah lulus dari sekolah, bahkan ia tak bisa membaca huruf Latin. Ia putus sekolah semenjak kecil, karena sejak umur tujuh tahun harus membantu orang tuanya menggarap sawah Wa Haji yang terletak di sebelah timur desanya. Ia juga tak fasih hitung-menghitung, ia sangat takut melakukan kesalahan jika membantu orang lain untuk berdagang. Pendeknya, Samad merasa bahwa ia hanyalah orang yang bodoh. Orang yang bodoh yang hanya bisa mengemis.

Yang ia bisa hanyalah membaca huruf Arab, karena ia pernah mengaji beberapa tahun di mesjid di kampungnya. Ia hanya tahu pengetahuan agama, itu pun serba sedikit. Lainnya ia tak tahu.

Sambil bersimpuh Samad merenungi nasibnya yang malang. Pikirannya berandai-andai. Andai aku adalah anak orang kaya dan bukan anak seorang buruh tani... Andai semua manusia punya rasa belas kasihan terhadap sesama... Andai aku adalah seorang yang tegap dan kuat dan bukan seorang yang kakinya lumpuh... Tapi yang paling mengganggu pikirannya adalah kejadian di masa lalu yang mengubah nasibnya dengan tiba-tiba....

* * *

Pada suatu hari ia sedang pulang dari kota, naik angkutan desa yang menuju ke kampungnya. Ia duduk di depan sambil asyik mengobrol dengan supirnya. Sang Supir, yang bernama Kasim, adalah kawan lamanya semasa kecil dulu. Ia menikah dengan orang kota dan kini tinggal dekat alun-alun pusat kota.

Kasim berbelok di kota kecamatan, namun belum sempurna ia membelok, mesin kendaraan mati. Kasim mencoba menstarternya beberapa kali namun gagal. Akhirnya ia meminta bantuan Samad, untuk mencoba mendorongnya dari belakang. Samad pun keluar, dan pergi ke bagian belakang mobil. Berusaha mendorong mobil.

Hari telah gelap, lembayung ungu telah tiada. Dan entah mengapa lampu penerang jalan di pertigaan jalan itu mati pada malam itu. Samad dengan sekuat tenaga mendorong mobil itu. namun tampaknya ia tak dapat. Setelah Kasim turun dan turut mendorong mobil di pintu samping, mobil itu mulai bergerak.

Itu adalah pertigaan tercuram di wilayah kecamatan itu. Jika kendaraan bergerak dari arah kota, tempat Kasim dan Samad tadi berangkat, maka kita akan menemui turunan yang membuat kendaraan manapun akan melaju lebih cepat. Gerak turun dan gaya tarik bumi akan menyebabkannya demikian.

Dan tepat ketika kendaraan telah bergerak sepanjang tiga langkah menurut perhitungan Kasim, Samad merasa bahwa ada sesuatu yang keras menghantam kakinya yang sedang menjulur ke belakang untuk menopang gerak dorongannya ke depan. Samad setelah itu tak ingat apa-apa lagi, yang terakhir ia lihat hanyalah gelap. Dan ia tak bisa membedakan apakah gelap itu adalah gelap malam atau karena ia memang telah berada di alam lain.

Semua orang bersyukur bahwa Samad masih hidup. Namun karena keluarga Samad adalah keluarga yang sangat sederhana, maka ia tak berobat secara selayaknya. Remuk di kaki kanannya karena terhantam bagian depan mobil lain, tak pulih. dan ini menimbulkan kecacatan pada Samad. Orang yang menabraknya itu, tak mampu bertanggung jawab, karena ia hanyalah supir bayaran dari sebuah toko material di dekat situ. Kasim, kawannya -- yang hanya supir angkot --, juga tak mampu menanggung pengobatannya. Ia turut bersedih, namun tak dapat membantu banyak.

Samad berusaha tetap tegar, walaupun dalam hati ia tak kuasa menahan kesedihan: ia kini adalah orang yang cacat. Ia kehilangan pekerjaan sebagai buruh tani.

Istrinya -- yang memang ringan lidah -- mulai mengeluh akan susahnya hidup, dan akhirnya memaksa Samad untuk menceraikannya. Walaupun Samad berusaha sedapat mungkin untuk mencegah keinginan istrinya itu, akhirnya ia mengalah juga karena kalah petah dalam berbicara.

Tinggallah Samad dengan bayang-bayang kesengsaraannya yang mendatanginya tiap waktu. Hampa, sepi, dan sangat menyesakkan dada.

* * *

Samad telah punah harapan saat ini. Tak lagi dibujuknya orang yang lewat di hadapan Toko Terang Jaya itu. Ia akhirnya duduk di sini setelah pemilik kedai yang lainnya merendahkan dirinya. Samad merasa menjadi anjing pincang yang sudah selayaknya dibuang atau ditelantarkan di pinggir jalan. Ia tak lagi merasa menjadi manusia yang sama dengan yang lainnya. Hati Samad bergejolak dan mengutuki orang-orang. Ia berdoa dan kali ini tak mendoakan kebaikan. Ia tahu bahwa neraka berlapis-lapis, dan ia berdoa semoga orang-orang yang tak memberinya uang untuk sekadar makan hari ini ditempatkan di keraknya. “Neraka untuk semua orang kikir dan surga firdausi untuk semua pengemis. Engkaulah Tuhanku, Tuhan para pengemis dan semua orang yang menderita. Engkau Maha Tahu dan Maha Adil,” demikian doanya.

Angin gunung yang dingin menghembus dan membuat renyai rimis meliuk-liuk dan seolah-olah akan terbang kembali ke langit. Pucuk-pucuk pohon yang melatari pasar tradisional itu terlihat bergoyang-goyang. Hari telah senja, dan Samad tak mendapat sepeserpun. Barangkali akan lebih baik jika ia pulang saja dan berbaring di gubuknya. Samad menggapai tongkatnya untuk bangkit. Ia kemudian berdiri dengan bertelekan tongkatnya. Tepat ketika ia akan mengayunkan tongkatnya untuk melangkah, sebuah suara yang telah akrab di telinganya terdengar, “Mang Samad, jangan pergi dulu. Ke marilah sebentar!” A Lin memanggilnya. Samad menoleh, dan A Lin terlihat tersenyum di belakangnya.

“Ada apa, Agan?” Samad tersenyum dengan harap-harap cemas. Apa yang akan dia berikan hari ini? demikian pikirnya.

A Lin tersenyum ramah. Ia kemudian dengan halus berkata, “Mang Samad, aku memohon maaf jika aku tidak banyak memberi sebelum ini. Baru siang tadi saya menyadari bahwa ternyata selama ini aku salah. Dan mungkin hal itulah yang kemudian berimbas ke nasib anakku. Aku akui bahwa selama ini aku terlalu tamak dan hanya menghitung keuntungan lebih besar yang ingin kuraih setiap hari.”

A Lin melanjutkan, “Tapi tahukah, Amang[1] , bahwa aku juga punya alasan?”

Samad menjadi gugup, karena tidak menyangka ia akan diajak berbicara serius. Samad menjawab, “Tidak, Amang tidak tahu kenapa, Agan[2] .... Memangnya sebenarnya ada apa?”

A Lin memegang kedua belah pundak Samad, lalu dengan suara yang hampir menangis berkata, “Anakku mengalami gangguan jiwa, Mang. Ia telah bertahun-tahun dirawat di tempat terbaik di Jakarta sana. Namun ia tetap tidak sembuh juga. Aku hanya memberi sedikit kepada Amang, karena aku ingin mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya pengobatan terbaik untuknya.”

Samad terdiam dan suasana menggantung, menunggu penjelasan berikutnya. Namun diam akan membuat pernyataan A Lin berikutnya mengalir tanpa paksaan.

“Aku baru menyadari siang tadi, Mang. Aku menyadari bahwa selama ini aku kurang memberi pada yang kurang beruntung, dan kupikir itulah yang membuat anakku tak kunjung sembuh.”

Samad tambah terhenyak. Ia ingin mengucapkan kata-kata yang menguatkan hati A Lin, yang demikian rendah hati, sehingga menceritakan semuanya kepada seorang pengemis yang tiap hari mengganggu tokonya.

“Mang, mulai sekarang, aku akan menanggung biaya hidupmu. Uang untuk pengobatan anakku selama ini akan kusisihkan sedikit untukmu. Mudah-mudahan apa yang kulakukan akan meringankan penderitaan anakku, sehingga kondisinya membaik dan tidak lagi berkepanjangan menanggungkan penyakit.”

Samad tahu semestinya ia berteriak girang, namun kata-kata yang diucapkan oleh A Lin telah membuatnya lumpuh emosi.

"Bukankah Amang pandai mengaji? Bisakah Amang membacakan ayat Quran untuk anakku sehingga ia lekas sembuh?”

Samad tercenung dan menggangguk, lalu menjawab lirih, “Ya, Agan, nanti Amang bacakan tiap malam.”

Namun Samad teringat sesuatu dan berkata, ”Tapi Agan, Amang tidak menjual ayat Quran.”

“Tidak, Amang, saya ingin Amang mengajikan anak saya sebagai seorang sahabat saya. Dan saya pun menanggung biaya hidup Amang sebagai sahabat Amang.”

A Lin mengangguk menunggu persetujuan. Kedua pipinya basah dijatuhi linangan air mata. Tatapannya yang lara seolah menembus hingga ke inti perasaan Samad.

Dan Samad pun mengangguk.

A Lin tersenyum dan melepas pegangannya pada pundak Samad. “Ini sedikit makanan untuk Amang,” kata A Lin sambil menyerahkan bungkusan. “Dan ini uang untuk Amang,” katanya sambil memasukkan amplop pada saku baju koko Samad yang telah lusuh.

Samad ingin memeluk A Lin, namun ia merasa dirinya terlalu kumal untuk melakukannya. Samad mengucap terima kasih, sambil bersyukur pada Tuhan untuk segala karunia-Nya pada hari itu.

Samad berbalik dan mengayunkan tongkatnya lalu melangkah pergi. Ketika hampir menyeberang, ia mendengar suara A Lin memanggil namanya, ia menoleh dan A Lin berkata dengan agak keras dengan nada yang lebih ceria, “Terima kasih telah berada di toko saya setiap hari! Sehingga saya tahu apa yang harus saya lakukan!”

Samad melanjutkan langkahnya. Hatinya bergumul dengan kata-kata.

Ketika tiba di seberang ia menengadah ke langit. Ia seperti melihat Tuhan dalam senja yang perlahan-lahan datang. Dan ia kini menyadari, bahwa ternyata gerimis adalah percikan karunia-Nya yang agung -- yang Ia sebarkan ke seluruh jagat.

Catatan kaki

sunting
  1. Kata amang adalah bentukan dari mamang, yang dalam Bahasa Sunda berarti ‘paman.’
  2. Sunda: ‘juragan.’