Habis Gelap Terbitlah Terang/Pendahuluan

Habis Gelap Terbitlah Terang
oleh Kartini, diterjemahkan oleh Armijn Pane

PENDAHULUAN.

Pada 8 Augustus 1900 saya datang ke Jepara bersama-sama dengan isteri saya. Waktu itu saya menjabat pangkat Directeur van Onderwiys, Eeredienst en Niyverheid. Maksud saya pergi ke Jepara hendak membicarakan dengan marhum regén Jepara, Radèn Mas Adipati Ario Sosroningrat dan isterinya, radèn ayu serta anak-anaknya yang perempuan, bagaimana patutnya dan apa akal akan meluaskan pemandangan dan mempertinggi pikiran anak-anak perempuan Jawa yang bangsawan dan anak orang kebanyakan.

Hari itu ialah hari yang tidak mudah kami lupakan dalam hidup kami.

Adapun berkenalan dengan regén itu dan radèn ayunya menyenangkan hati kami sekali; akan tetapi yang terlebih-lebih meriangkan hati kami ialah anak-anak perempuan bupati yang peramah itu, apalagi pertemuan dengan ketiga orang anak perempuannya yang tertua yang seolah-olah tiga setangkai seperti daun laiknya, sangat menggirangkan hati kami. Akan anak-anak perempuannya yang lebih muda pada masa itu masih kecil-kecil.

Kira-kira sebulan kemudian dari pada itu datanglah regén itu dengan radèn ayu serta ketiga anak perempuannya yang molék itu ke Betawi menjelang kami dan tinggal beberapa hari di rumah kami. Waktu itulah persahabatan kami bertambah rapat, yang seorang lebih mengenal dan lebih menghargai akan seorang; maka yang jadi akibat perkenalan itu: sejak itu kami setia berkirim-kiriman surat; lebih-lebih dengan yang tertua dari ketiga anak perempuan itu, yaitu Radèn Ajeng Kartini, kami selalu berbalas-balasan surat.

Maka surat-suratnyalah pula yang terlebih menarik hati kami, karena dalam pikirannya, tinggi hématnya dan halus perasaannya serta keras kehendaknya akan memajukan bangsa Jawa, lebih-lebih akan memajukan perempuan bangsa Jawa.

Karena itu kamipun hati-hati sekali membalas suratnya itu, sebab kami merasa beratnya tanggungan yang terpikul atas kami dalam membalas surat-surat itu.

Bahwasanya mudah sekali turut menjaring angin bersama-sama dengan orang yang besar cita-citanya. Akan tetapi karena cita-cita itu tidak dapat dicapai dengan tidak merusakkah barang sesuatu yang telah berzaman-zaman lamanya, wajiblah atas tiap-tiap orang mengurangi cita-citanya itu.

Besarnya bahaya merusakkan barang yang telah berurat-berakar itu, tidak terkirakan. Dan kalau kejadiannya mendukacitakan, maka dukacita itu tiada selamanya dapat dihilangkan orang. Itulah sebabnya maka kerap kali kami terpaksa menahan hati kami, sungguhpun sebenarnya kami lebih suka sama-sama bergirang hati dengan R. A. Kartini dan saudara-saudaranya dalam hal memuliakan cita-cita meréka itu.

R. A. Kartini sendiri merasa berat tanggungannya dalam hal membiarkan saudara-saudaranya yang perempuan bersama-sama bekerja dengan dia akan menyampaikan maksudnya itu: "Saya tahu, jalan yang saya hendak jalani dan turuti ialah suatu jalan yang susah, yang penuh ditaburi dengan duri dan ranjau, dan banyak lekuk-lekaknya; jalan itu sangat berbatu-batu, turun naik dan licin; ya, jalan itu belum lagi ditebas."

Tetapi saudara-saudaranya menghiburkan dia dengan perkatakan ini: "Bukan kakanda, bukan orang lain yang dapat memberi kami cita-cita, jika benihnya tidak ada pada kami sendiri. Bagaimanapun juga kita pergi bersama-sama, baik ke surga ataupun ke neraka."

Adapun yang disukai R. A. Kartini pengetahuan, supaya mudah ia dapat menjalankan pekerjaannya yang telah dijanjikannya dalam hatinya sendiri, yaitu menambahi kepandaian dan budi perempuan Jawa, supaya ia cakap memeliharakan anak-anaknya. Lain dari pada itu melepaskan anak perempuan Jawa dari pada kawin terpaksa dan dari segala gangguan yang mengurangi kebébasan si anak itu. Dengan cara demikian R. A. Kartini hendak menyampaikan maksudnya, supaya perempuan-perempuan menjadi sahabat yang berharga untuk suaminya. Dalam pada itu berapapun keras hati R. A. Kartini hendak menyampaikan niatnya itu, iapun sekali-kali tidaklah mau mendukacitakan ayahanda yang dicintainya.

Adapun perbédaan Kartini dengan ayahandanya, hanyalah dalam perkara ini saja, yaitu karena R. A. Kartini hendak bébas sama sekali dari pada adat-adat yang lama. Datangnya perbédaan itu mudah dipikirkan, yaitu R. A. Kartini berdiri lebih jauh dari adat yang lama-lama itu dari pada ayahandanya. Adapun ayahandanya itu anak pengéran Demak yang tua; dari mudanya ia mendapat pelajaran bangsa Eropa seperti saudara-saudaranya juga; di antara saudara-saudaranya itu hanyalah regén Demak, Pengéran Ario Hadiningrat, yang masih hidup. Bagaimana sekalipun bébas pikiran ayahanda R.A. Kartini, si bapak tidak dapat juga menuruti kehendak si anak, sungguhpun si bapak telah banyak pula mengubahi adat-adat yang lama itu. Sepanjang pikiran R. A. Kartini, dinding yang membatasi zaman dulu dan zaman sekarang tidak ada lagi, pada hal dinding yang tersebut masih berdiri; kerap kali ia tertumbuk pada dinding itu, bila diketahuinya, banyak di antara orang-orang yang dicintainya tidak dapat diubahnya pikirannya menurut kemauannya.

Demikianlah hal itu selama-lamanya, bila si pembuka jalan memandang kepada meréka itu, yang belum dapat membebaskan dirinya dari pada pikiran yang lama-lama. Akan R.A. Kartini tiadalah sia-sia menggerakkan dinding yang di atas itu. Bukan saja ayahandanya dapat diputar oléh R. A. Kartini menurut pikiran yang baru itu, tetapi bundanyapun akhirya membenarkan pikiran R. A. Kartini. Akhirya radèn ayu menjadi sepakat dengan pikiran yang menuju kemajuan itu; karena pikiran itulah radèn ayu- menjadi lebih mencintai dan menyayangi anak-anaknya, dan jalan itulah selalu diturutnya sampai sekarang. Saudara perempuan Kartini yang tua yang lebih dulu bersuamipun akhirya membenarkan buah pikiran Kartini, sungguhpun pada permulaannya ia membantahi pikiran itu dengan keras. Demikian pula saudara-saudaranya yang laki-laki mengiakan pikiran yang mulia itu.

Lama-kelamaan buah pikiran Kartini itu tentu makin dimuliakan orang dan mendapat kemenangan, dan Kartinipun tidaklah sia-sia bekerja dan menanggungkan kesusahan karena buah pikirannya itu.

Dengan segera tanah Belanda telah menarik hati R. A. Kartini; ia berkehendak bertukar pikiran dengan anak-anak perempuan di Eropa; untuk menyampaikan kehendaknya itu dimasukkannya surat ajakan dalam sebuah surat-bulanan perempuan. Itulah sebabnya ia berkirim-kiriman surat dengan nona Estelle H. Zeehandelaar, sekarang nyonya Hartshalt. Dengan lekas kedua anak perempuan itu menjadi bersahabat dan yang seorang mempercayai yang lain, sungguhpun mereka itu belum pernah berjumpa. Lain dari pada itu banyak lagi orang tempat R. A. Kartini berkirim surat di Eropa. Beberapa orang dari pada meréka itu saya ketahui namanya. Dan meréka itulah dapat saya menyalin surat-surat Kartini yang berguna akan dicétak.

Isteri saya, anak saya E. C. dan saya sendiripun banyak pula menerima surat Kartini. Seberapa yang perlu surat-surat itupun disalin dan diaturkan. Mengaturkannya itu menurut hari bulan surat-surat itu. Lagi pula saya telah mendapat izin akan menyuruh cétak surat-surat itu dari pada Radèn Adipati Ariojoyo Adi Ningrat, regén Rembang, yaitu suami R. A. Kartini dan dari bundanya Radèn Ayu Adipati Ario Sosroningrat, janda bapaknya yang baru berpulang kerahmatu'llah.

Dan lagi pula saya tahu, bahasa saudara-saudaranya laki-laki dan perempuan tidak ada sangkutan baginya menyuruh cétak surat-surat itu.

Akhirya saya percaya sungguh, bahwa mengeluarkan segala buah pikirannya itu akan banyak menolong menyampaikan cita-citanya yang terdapat pada hati nuraninya itu.

Saya tidak akan memberi tahukan segala surat-suratnya yang dipercayakannya kepada saya dan tidak pula segala isi surat-surat itu, hanyalah sebagian saja saya suruh salin, karena menurut pikiran saya bagian itu akan diizinkan juga oléh R. A. Kartini mengeluarkanya. Hanyalah surat-suratnya yang kesudahan sekali saya suruh cétak semuanya, karena surat-surat itu adalah seolah-olah ucapan selamat tinggal kepada negeri yang fana ini.

Dari segala surat-suratnya yang tidak dicétak seluruhnya adalah beberapa pikirannya yang pandak yang dijadikan satu, dicétak di belakang surat-surat itu.

Lukisian-lukisan yang dalam kitab ini ialah rumah regén Jepara, rumah tempat R. A. Kartini berperang dalam kehidupan beberapa tahun lamanya dan ada lagi beberapa tempat lain-lain yang dinamainya "sudut yang dilupakan", yang terutama yaitu Laut Bulu ujung di Jepara atau "Scheveningen kecil" yang dicintainya, tempat ia duduk bersaat-saat menanggungkan kesedihan hatinya, dan di tempat itulah pula ia merasa kesukaan yang menyuruhnya meminta terima kasih.

Lukisan Kartini yang ditanda tangani sendiri itu dikirimkannya kepada kami pada tahun 1902, yaitu pada lukisannya bertiga bersaudara yang hampir sama besar itu.

Gambar-gambar yang lain diperbuat dengan pinsil oléh "bunda” (nyonya Abendanon). Bunda itu baru ini mencoba menggambar-gambar itu, karena kasih dan cintanya kepada Kartini juga.

Ke dalam kitab ini ditambahkan pula sebuah surat peringatan yang dikarangkan oléh R. A. Kartini dan dengan segala suka hati telah diberikan kepada saya oléh nyonya A. Buyn-Glaser yang dahulu menjadi guru perempuan di Jepara dan sahabat kepada Kartini serta kedua saudaranya.

Maksud kitab ini dicétak lain dari pada menerbitkan kesukaan hati, ialah akan meminta pertolongan orang banyak untuk mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis bangsa priayi seperti yang dimaksud oléh R. A. Kartini, mula-mula berdikit-dikit dan lambat launnya dibesarkan dan diluaskan dengan kekuatan sendiri. Pada sekolah itu haruslah anak-anak sanggup membuat ujian guru pembantu untuk pengajaran Bumiputera.

Sekalian keuntungan yang akan saya terima dari tukang cetak, akan dipergunakan untuk mendirikan sekolah Raden Ajeng Kartini; sebagian dari pada uang untuk mendirikan itu sudahlah tersedia.

Tambahan lagi, bila kitab ini telah dicétak, maksud saya hendak meminta pertolongan kepada beberapa nyonya akan mendirikan sebuah komisi yang akan mengumpulkan uang untuk mendirikan sekolah itu pada sebuah negeri yang séhat di Jawa Tengah. Saya berharap wang yang diberikan oléh pihak partikulir akan ditambah dan ditolong oléh Pemerintah dengan wang bantuan.

Kabar kawat yang mewartakan wafat Kartini yang tidak disangka-sangka pada 17 September 1904, mendatangkan suatu Kedukaan yang amat sangat kepada kami. Adalah serasa kami kehilangan anak kandung sendiri. Bagaimana kedukaan sahabat kenalannya yang lain-lain dapatlah dibaca orang dalam surat bulanan Hollandsche Lelie pada 30 November; dalam surat kabar itu nyonya Ovink-Sur meratapi Kartini yang disayanginya itu, demikian bunyinya: "tidak lain yang saya lihat dari padamu hanyalah kesucian hatimu saja, Kartini. Engkau selalu mengurbankan dirimu untuk keselamatan orang lain, selalu engkau pandang kesejahteraan orang lain itu lebih perlu dan pada untung dan keselamatanmu sendiri. Saya berharap mudah-mudahan anak yang engkau tinggalkan itu bukan saja akan jadi seorang terpelajar dan budiman, tetapi menjadi seorang mulia seperti bundanya juga. Engkau akan selalu tinggal menjadi ingat-ingatan pada saya."

Demikian pula Augusta de Wit menguraikan hal keadaan hidup Kartini dalam surat kabar hari-hari dan nyonya Nellie van Kol menulis sepucuk surat kepada Regén Radèn Adi Pati Ariojoyo Adi Ningrat. Atas permintaan juru kabar Locomotief di Semarang telah disiarkan surat itu dalam surat kabar yang tersebut. Yang sebenarnya isi surat itu nyonya itu berharap, supaya Radèn Mas Sienggih berusia panjang dan menjadi seorang yang senilai dengan bundanya yang ternama itu.

Kepada sekalian yang dikatakan itu saya hendak menambahkan ini sedikit: "Buah pikiran pahlawan yang mulia itu tentu akan menghiasi namanya sendiri. Pada sekalian orang tentu akan terbit pikiran yang sama duka mengingat, betapa Kartini, orang yang mengurbankan hidupnya kepada kemajuan bangsanya itu hanya beberapa hari saja dapat memelihara anak kandungnya. Tetapi nama ibunya itu tentu akan mengingatkan si anak itu kepada kewajiban yang tertanggung di atas bahunya."

Bahwasanya nama Kartini itu tentulah akan tinggal memberi berkat kepada bangsa Jawa dan bangsa lain-lainpun di tanah Hindia. Kepada bangsa-bangsa itu adalah Kartini itu sebagai fajar yang sedang menyingsing yang menunjukkan jalan dari tempat kegelapan kepada cahaya kemajuan yang terang-benderang, yakni kemajuan yang hanya dapat diperoléh dengan meninggalkan pikiran dan memuliakan kalbu nurani.

Kepada bangsa kulit putihpun pastilah nama itu akan memberi berkat pula. Ialah yang telah mendekatkan bangsa itu dengan buah pikirannya kepada bangsanya sendiri.

Mr. J. H. ABENDANON.

's Gravenhage, April 1911.