Habis Gelap Terbitlah Terang/Surat-surat dalam tahun 1902

Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Kartini, diterjemahkan oleh Armijn Pane
Surat-surat dalam tahun 1902

3 Januari 1902 (VIII)

sunting

Tetapi tuan residén akan melihat kami dan akan bercakap-cakap dengan kami. Tuan besar itulah yang membawa kami mula-mula keluar rumah 6 tahun yang lalu. Oléh permintaannya, dapatlah kami berjalan keluar. Dahulu dari waktu itu tidak pernah kami pergi keperjamuan, sehingga pendopopun belum pernah kami jejak, dan sekalian orang yang hendak melihat atau bercakap dengan kami, harus pergi masuk ke dalam atau pergi keserambi di belakang. Senang hati kami mengingatkan bagaimana kami selangkah-selangkah menempuh jalan kemerdékaan. Tuan Siythoff itulah pula yang mula-mula menolong kami melangkahkan langkah yang pertama menempuh jalan itu. Sekarang kami telah bersiap akan menempuh zaman yang baru. Enam tahun sudah lamanya yang boléh kami namakan tahun beruntung............betul didalam tahun-tahun itu kami banyak menangis, tetapi banyak pula bersukacita.

Ketika kami tiba di Semarang, datanglah saudara perempuan kami yang sulung yang tinggal di Kendal, melihat kami. tidak senanglah hatinya sebelum berjumpa dengan kami bertiga: "Adik, adikku,” itulah saja katanya ketika melihat kami. Tangannya yang memeluk kami gementar dan air matanyapun berlinang-linang dipipinya.

Ketika kami berhadap-hadapan dan bertentangan dengan saudara itu, tidak dapatlah kami mengeluarkan kata sepatah juapun, mengertilah kami apa yang' terasa dihati pada waktu itu. Sekaranglah baru kami dapat bertemu dengan hati yang sesuai. Kasih dan iba hati kami melihat saudara kami itu. Dimukanya tampak oléh kami, bahwa ia suka benar hendak menurut kepada kami, dan tahu pula ia akan kelemahannya. Barulah sekarang, setelah beberapa tahun, baru dapat ia menghargai kami dan menyukai maksud kami. Sekalian itu menguatkan dan meneguhkan cita-cita hati kami serta menambah keberanian hati. Saudara kami itu mulamulanya sungguh-sungguh benci kepada sekalian adat yang baru, ia sungguh kaum kuno, tetapi sekarang............?

Alangkah tidakajubnya ia melihat keadaan kedua adik-adikku yang masih kecil itu. Besar hatinya bukan buatan melihat perubahan itu. janganlah kiranya tuan terkejut melihatkan kami, berani memuji diri dan berhati gaduk sebagai ini! Sebenarnyalah besar hati kami, melihatkan bagaimana ia dengan tidakajub mengaku, bahwa kami tiada jahat seperti perasaan hatinya dahulu; tetapi iba pula hati mengingatkan bagaimana ia berdukacita melihatkan kami berkelakuan yang demikian.

Suaminya seorang laki-laki yang baik hati. Baru inilah saya tahu, bagaimana dan siapa ia. Dahulu kami bertemu sekali-sekali dengan dia, dan bercakap sepatah dua saja. Sekaliannya tidak tahu saya bagaimana dia. Baru-baru ini ketika kami bertemu dengan dia, lama kami bercakap-cakap............pada pikiranku saudaraku perempuan beruntung mendapat suami yang demikian. Suaminya itu dahulu bersekolah di H.B.S. dan belajar disana hanyalah pada beberapa kelas, kemudian pergilah ia menjadi pegawai. Iparku itu tidak berbapak lagi. Sekalian adiknya perempuan dan laki-laki bersekolah Belanda. Seorang adiknya laki- masih bersekolah di H.B.S. Ia sekarang dikelas 4 dan akan naik kekelas 5. Anak itu tajam otaknya. Paman iparku itu, seorang regén, menyuruh adiknya yang di H.B.S. itu dikeluarkan dari sekolah. Regén itu akan menolong supaya ia mendapat kerja. Selalu iparku diasutnya, tetapi ia tidak mau mengeluarkan adiknya dari se­kolah itu. "Apa, menyuruh adikku keluar dari H. B. S. itu? Dan akan menjadi jurutulis asistén-wedana yang bergaji ƒ 15 atau ƒ 20? tidak mau saya," katanya, "Ia harus meinyampaikan pelajarannya di H. B. S. Nanti ia boléh bekerja per­kara dagang atau dikeréta api."

Iparku itu mémang gagah, ia tidak suka memimpikan payung emas atau buah baju leter W. Dan ibunyapun juga bermaksud demikian, yakni mau menyuruh anaknya belajar sampai tammat, sungguhpun ia tahu, bahasa anaknya di rumah adalah 4 orang lagi. Baik benar maksud ibunya itu, bukan?

Alangkah senangnya orang yang beruang banyak. Dengan uang itu banyak orang dapat ditolongnya supaya berbahagia. Besar kemauanku hendak beruang beribu-ribu rupiah, dan kalau ada uang itu dapatlah saya mengirim anak itu pergi belajar ke Eropa.

Ada pula seorang anak gadis kenalan saya, yang telah belajar disekolah geréja di Semarang, tetapi kasihan si gadis itu sekarang telah kurus, karena angan-angan saja. Kehidupannya sekarang berlainan dari dahulu. Ia sekarang telah tinggal di rumah seperti anak wedana biasa, tidakboléh bercampur gaul atau bercakap-cakap dengan orang asing. Seperti diracun oranglah rasa hatinya. jikalau sekiranya adalah kepandaiannya, yang memudahkannya mencahari penghidupan sendiri tentulah tidak begitu halnya? Kepada anak yang seperti itu harus diberi contoh, supaya tahu, bahwa "bekerja itu meninggikan diri" dan anak gadis bangsa Bumiputera tidak perlu selalu bergantung hidupnya kepada kaum keluarganya, kalau ia tidak suka.

Apakah kehinaan yang lebih besar lagi lain dari pada selalu bergantung saja kepada Orang lain? jikalau adalah ia belajar sesuatu kepandaian, yang boléh menghasilkan uang, tentulah ia akan bébas dan pandai tegak sendiri. Sekarang apa­kah nasib yang akan ditanggungkannya, kalau 'umumja dipanjangkan Tuhan? Tentulah ia akan kawin.

Baru-baru ini datang bermain kemari suatu wayang orang. di antara perempuan-peirmpuan anak wayang itu adalah se­orang cucu perempuan dari seorang regén. Apakah asalnya terjadi kehinaan yang sedemikian itu?

Dahulu bukanlah menjadi adat menyuruh anak-anak pergi belajar: tetapi sekarang telah menjadi keperluan biasa. Kalau ada seorang yang beranak 25 orang banyaknya, tentulah ia tidak diapat memberi sekalian anaknya itu pendidikan yang sempurna.

Orang ada bertanya sekarang, apakah sebabnya bangsawan Bumiputera kehormatannya menjadi kurang? Adakah orang yang bertanya itu. memikirkan lebih jauh, bahwa manusia itu tidak berhak menyebabkan hamba Allah lahir kedunia, jikalau sekiranya tidak akan dihidupkan dengan sempurna? Sungguhlah amat bodoh saya ini!

Kalau kupikirkan segala hal itu, timbullah dihatiku, suatu keinginan yang amat sangat: "Beri apalah kiranya orang Jawa pendidikan yang baik." Pendidikan itu bukanlah sahaja hendaknya penambah pikiran, tetapi juga berguna untuk penyucikan hati. Tiap-tiap saya mendengar atau melihat perkara yang menyedihkan hati itu, timbullah dihatiku permintaan "Beri apalah kiranya orang Jawa pendidikan yang baik!

Besar cita-citaku hendak berkenalan dan berunding de­ngan segala orang pandai-pandai dan orang yang berkehendak kemajuan di tanah Hindia ini.

Seorang diri saja ta adalah kekuasaanku; tetapi jikalau sekalian anak-anak muda yang berkehendak kemajuan itu menjadikan sebuah perserikatan, tentulah dapat kami bersama-sama berbuat baik. Tiadalah tepermanai besarnya hati kami, kalau kami membaca karangan bangsa kami yang berisi. Bagaimanakah daya kami dapat berkenalan dengan meréka itu' Kupanya itulah suatu hal yang mustahil. Tentulah orang mengatakan kami nanti hendak bermaksud jahat. Persahabatan antara anak-anak muda laki-laki dan perempuan belumlah masuk dalam pikiran orang masa sekarang. Kalau saudara kami yang laki-laki pulang dari negeri Belanda, barulah dapat kami mulai berbuat seperti kemauan kami itu ......... Kupikir sendiri-sendiri dihatiku, jikalau sekiranya saya berbuat kesalahan yang sebenar-benarnya, tentulah mereka itu akan memisahkan dirinya dari saya, dan tentulah saya akan diusir dan dihmakannya; tetapi maukah bapak dan ibuku berbuat juga sedemikian akan daku? O, tidak, tentu tidak maulah ia berbuat demikian. Saya ini tinggal anaknya jua, tempat hatinya, meskipun saya berdosa besar. Dan ketika itu timbullah dihatiku, kasih sayang yang tidak berhingga akan orang tuaku. Ketika kami sedang duduk merenda pakaian adikku Rukmini (kamilah saja yang diizinan membuatnya) selalu pintu bilik terbuka, dan bapak masuklah ke dalam hanya akan meraba kepala anaknya ini, yang penuh berisi pikiran berlawan-lawanan.

Empat pekan lagi antaranya saudaraku itu tidaklah akan tinggal lagi bersama-sama dengan kami. "Saya tahu yang engkau keduanya akan tercanggung bila kutinggalkan", kaanya. lelah biasa kami hanya bercampur gaul bertiga saja, selalu berkumpul bertiga, tetapi sekarang?..........................

Tiadalah sekali-kali kami dapat melupakan hal itu.

15 Februari 1902 (I)

sunting

Kalau ada orang berbuat apa-apa yang tidak patut kepadaku, maka darahkupun naiklah, marahku terbitlah, tetapi sesudah itu datanglah kesukaan dalam hatiku: Saya girang karena meréka itulah yang berbuat salah kepadaku dan tiadalah saya berbuat jahat kepadanya, dan pekerjaan yang sedemikian tidak patutlah saya membuatnya. Kalau saya berdukacita, tidaklain sebabnya, ialah karena meréka itu telah berkelakuan yang tiada patut dan tidak adil kepadaku. Maafkanlah saya, sebab saya baru sekarang berkirim surat kepadamu; setelah adikku biji mataku itu berangkat, tiadalah dapat saya mengenangkan hendak berkirim surat. Sungguhpun demikian tiadalah hilang wajah tuan dari dalam pemandanganku. Adikku berangkat tanggal 31 Januari dari sini kerumahnya yang baru itu. Moga-moga Tuhan memberin jauntung dan rahmat seperti untuk seorang anak yang suci hati dan yang tiada berdosa.

Engkau tahu bahasa kami bertiga sangat berkasih-kasihan, dan Rukmini ialah biji mata, dan tangkai hati kami, karena ia seorang anak yang lemah, dan harus banyak mendapat pertolongan dari saudara-saudaranya. Sebelum ia kawin, banyak perasaan-perasaan yang kami tanggungkan, karena mengingatkan kami akan bercerai itu, sehingga tatkala waktu itu datanglah, kamipun seakan-akan tidakmerasa lagi, adalah sebagai manusia yang tiada berhati. Ketika itu kami sungguh amat sabar, tiadalah kami berpikir dan tiadalah merasai apaapa juapun. Waktu berangkat kami lihat dengan mata yang kering. Kami takut akan diri kami sendiri, kami biarkan saja ia berangkat dengan hati yang dingin, tidakada perasaan apaapa yang menarik hati kami. Hal yang seperti itu tidakpernah kami tanggungkan, dan tabiat berhati dingin itu tiadalah tabiat kami. Kami takut, kalau-kalau ada bahaya yang akan datang, atau celaka yang tersembunyi seperti sakit dsb. Kepalaku rasanya seperti tiada berisi, dan badanku lemah seperti tiada bertulang. Annie Glasser, sahabat kami, acap kali datang kerumah, ialah sebab permintaan adik kami itu. Pada suatu malam ketika ia datang bertandang, ia bermain lagu-lagu yang amat disukai oléh adik kami, dan juga lagut-lagu yang lain yang kami sukai dipiano. Lama-lama hilanglah dukacita kami, karena merdunya bunyi lagu-lagu itu. Dan sekejap itu juga pilu pula rasanya hati kami mengenangkan hal yang telah lalu. syukurlah yang perasaan kami telah kembali semula dibadan diri kami! syukurlah kata kami, karena barang siapa yang tiada merasai kepiluan hati, tiadalah pula ada perasaannya untuk kesukaan hatinya. Dan siapa yang belum pernah berdukacita, belumlah pula dapat bersukacita.

Adikku telah jauh dari mata kami, yang tidakdapat kami memikirkan yang tidakada bercampur lagi dengan kami, adik kami yang kami kasihi itu. Selalu wajahnya terbayang-bayang dimata kami, ia seperti selalu ada disisi kami. Bédanya hanya kami sekarang tidak dapat lagi bercakap-cakap seperti dahulu, hanya berkata-kata dalam kenangan saja. Alangkah ajaibnya bagi kami, bahwa kami harus mengambil kertas dan da wat, kalau kami hendak bercakap-cakap dengan dia. Biji mataku, tangkai hatiku, betulkah tuan telah bercearai dengan kami? Wahai adikku yang dicinta, beruntunglah hendaknya tuan dalam hidupmu yang sekarang ini, dan tabuikanlah disana untung dan bahagia, seperti yang telah engkau perbuat disini. Mudah-mudahan dapatlah tuan menghubungkan hati meréka itu kepada dirimu.

Stella, sabarlah engkau dahulu akan saya, suka benar saya sekarang hendak mengirim surat yang meriangkan hati, tetapi belum dapatlah rasanya saya menulis surat yang se­perti kehendakku itu. Meskipun demikian janganlah kiranya tuan berkecil hati, karena sampai sekarang belumlah pernah kami berniat hendak membuangkan cita-cita kami. Kami selalu bekerja untuk penambah darajat kami. syukurlah bertambah banyak juga sekarang orang yang mencintai maksud kami.

Adalah seorang anak muda, yang amat pandai, lagi budiman, yang kami kenal, tetapi juga bercintakan maksud kami, dan selalu ia bertanyakan hal kemajuan kami, seolah-olah ia sebagai saudara kami lakunya. Kami selalu berkirim-kinman surat dengan dia, dan nanti ia akan datang kemari dengan adik-adiknya perempuan hendak berkenalan dengan kami. Alangkah besar bédanya anak muda itu dengan laki-laki yang lain yang kami kenal. Pada suatu kali adalah saya membaca, bahwa harta yang mahal sekali didunia ini, ialah hati laki-laki yang mulia. Kamipun percaya akan kebenaran kata itu, hati laki-laki yang mulia itu mémanglah harta yang mahal sekali, tetapi amat sukar mencarinya. Sungguh beruntung perempuan-perempuan yang dapat mestika itu. Kamipun ber­untung, karena adalah kami mengenal beberapa orang yang ada mempunyai benda yang mahal didapat, sukar dicari itu. Lihatlah sekalian yang baik, selalu memberi kami bantuandan menambah kekuatan dan keberanian hati akan bekerja dan memerangi kesusahan hidup.

..........................................................................

Adikku Rukmini, sangat sayang kepadamu dan tinggi kehormatan tuan dimatanya. Ia itu anak yang baik lagi setia. Engkau tentu dapatbercampur beramah-ramahan dengan dia, apabila engkau telah berkenalan dengan dia. Tetapi tuan sendiripun tahu kepadanya karena saya, bukan?

Ketika saya sakit, kuminta dia mengirim surat kepadamu, tetapi ia tidak mau, sebab takut kamu nanti berdukacita.

Rendah gunung, tinggi harapanku, supaya cita-citanya lekas akan sampai.

Tahukah engkau apa yang tergorés dihatiku dan yang melemahkan pengharapanku?

Ketika adikku itu sakit, dan kemudian saya pula dalam sakit, tepekurlah saya: "Lihatlah disini adia terbaring seorang hamba Allah yang senantiasa dalam gembira hendak mencapai maksudnya yang mulia, dan berkehendak sungguhsungguh, selalu hendak berbuat baik, seperti terkata dalam hatinya. Menurut dugaannya ia sampai kuat akan- mengangkat sebuah gunung, tetapi lihatlah ia sekarang terbaring dengan tiada berdaya dan tiada berkuasa!

Kalau sekiranya adalah seorang mengangkatnya dan melémpaikannya ke dalam sumur, tentulah dibiarkannya saja, karena ia sekali-kali tiada berdaya dan tiada berkuasa.

Sekarang baru kami mengerti benar-benar apa yang dikatakan oléh de Genestet dalam syairnya yang bernama "Terug­blik (Melihat kebelakang) :

Wat wiy wenschen, willen, streven,

..........................................................

..........................................................

Pengarang itulah yang menghiburkan hati kami dalam waktu kesusahan dan kesakitan itu.

18 Februari 1902 (VIII)

sunting

Kami pandai pula bermanja-manja dan beriang hati, seperti orang muda-muda — o, betapalah besar hati kami, kalau sekiranya tuan dtengan sekejap mata boléh kami terbangkan kemari. Hari Ahad yang lalu sesudah menerima surat nyonya, dan hari Ahad ini juga kami dengan Anneke pergi ketepi laut. Kami terkenang akan .nyonya dan selalu memperkatakan tuan. Wah, betapa baiknya kalau nyonya sekarang ada disini, melihat ombak yang berkejar-kejar itu, dan warna langit sedang bagus dan ajaib, disinari oléh cahaya matahari yang hendak terbenam. Anginpun memperlihatkan kesukaannya pula dan dengan sebentar sajapun rambut kami kusut-kusut ditiupnya dan pakaian kami, kami peganglah erat-erat supaya jangan diembusnya. Keriangan rupanya terbebar dimana-mana, dipohon-pohon kayu, dimuka laut ditepi 'langit, demikian pula dihati kami sedang bermainmain dan membiarkan diri dikejar-kejar ombak. Alangkah sukacitanya hati kami! di antara bunyi ombak yang mendayu-dayu itu kedengaranlah suara dan gelak kami. Itulah perbuatan "guru perempuan" dan "puteri-puteri" yang betertib sopan, gila berlari-lari dan berkejar-kejaran, sehingga rambutnya menjadi kusut dan pakaiannya berkibaran diterbangkan angin. Kami sekarang bersukasuKaan seperti anak muda-muda yang manja! Kusir kami dan orang yang lalu disana ternganga mulutnya héran melihat pekerti kami. Bésoknyapun kami pergilah pula kepantai, laut waktu itu sudah tenang, telah berhenti memperlihatkan kegagahannya. Lautan yang tiada tepermanai luasnya itupun telah teduh, hening tiada bergerak terkembang dimuka kami; hanyalah disana-sini tampak ombak² kecil, bersinar-sinar seperti intan oléh cahaya matahari, dan dalam laut yang seperti cermin itu kelihatanlah pula wama langit yang hijau bagus itu. Kamipun pergilah berenang kelaut; tanahnya datar tidak berbatu, tiada berlumut dan tiada berlumpur. jauh kami berenang ketengah laut, sehingga air sampai kedagu kami. Babu kami yang duduk ditepi pantaipun takutlah melihat dan suara kami masing-masing kedengaran oléh kami berkacau bilau saja. Seperti orang gila si babu ditepi laut melambaikan tangannya memanggil kami. Tetapi ia kami tertawakan dari jauh, karena ketakutannya itu. Dari jauh dilihatnya ditengah laut adalah 5 buah kepala orang terapung-apung, dan dalam itu kamipun gila meloncat-loncat dan menari-nari didalam laut. Dan yang kede­ngaran waktu itu hanyalah suara kami saja sediang bernyanyi dengan gembira.

Dengan perasaan yang segar dan bertambah muda, keluarlah kami dari dalam laut dan terus pulang kerumah de­ngan lapar yang amat sangat. Setelah kami kenyang makan, maka Annie pergilah kepiano. Oléh kegirangan hati dimainkannyalah dengan asyiknya lagu yang meminta terima kasih kepada Tuhan dan kamipun turutlah bernyanyi bersama-sama. Sementara itu haripun telah pukul setengah sebelas. Se­karang haruslah kami pergi bekerja. Diserambi di belakang telah sedia kotak gambar. Berlima-lima duduklah kami mengelilingi méja dan sebentar lagi kamipun asyiklah pula menggambar; tiadalah jari tangan saja yang bekerja, mulut kamipun turut pula bergerak, tidak sekejap jua dapat tertutup. Selalu kami bercakap-cakap dan tertawa-tawa serta bernyanyi-nyanyi. Beberapa antaranya pukul satu berbunyilah, dan kamipun pergilah pula makan. Petang-petang kami pergi bersiar-siar dengan keréta, sudah itu berjalan-jalan ditepi laut. Sesudah berjalan-jalan itu kalau sekiranya hari belum kelam, kami minumlah téh dalam kebun, dibawah pohon² kayu yang amat rindang daunnya, dan di atas kepala kami kelihatanlah langit dengan bagus warnanya, serta ditaburi oléh bintang-bintang yang cemerlang, dan bulanpun terbitah pula menambah kebagusan malam. Sudah itu kami pergiyah membat ya kitab atau pergi bennain musik. Kalau Annie bermain piano, kamipun duduklah menjahit atau menulis senang hati bekerja, jika waktu itu musik berbunyi. Kercapun lekas habis. Tiap hari kamipun belajar bertanak dan menggulai dan pekerjaan itu kami lakukan petang, sesudah makan tengah hari.

Datanglah tuan kedua kemari akan meiepaskan lelah sesudah bekerja di Betawi itu. Ayuhlah, cobalah tuan kedua datang, supaya boléh kami meriangkan hati tuan. Boléh kami melipurkan hati tuan, hidup dikampung dengan senang sentosa damai dan ma'mur; kami nanti menyambut tuan dengan gembira, kami akan gembira bersama-sama dengan pohon-pohonan, angin, lautan dan burung-burung, semua itu akan memberi selamat datang akan tuan kedua dan bernyanyi mengeluarkan suaranya yang merdu itu setiap pagi.

Datanglah, wahai sahabat kami kedua, datanglah kerumah kami yang sunyi dan sederhana ini, supaya dapatlah tuan kedua mengambil kekuatan yang baru dengan segeranya!

........................................................................................................................................

Sekarang kuceriterakan lagi tentang peralatan kawin adikku, anak-dara yang cantik rupanya. Ia kawin dengan berpakaian seperti wayang, amat élok rupanya. Malamnya ketika dalam alat besar itu, rupanya seperti seorang puteri yang tersebut dalam hikayat seribu satu malam. Ia memakai mahkota emas dikepalanya. tidak ubahnya kami sebagai bermimpi melihatnya, tentulah keadaan itu akan d'itiru orang nanti.

Residén Siythoff yang suka melihat adikku menjadi anakdara itu. turut menghadiri peralatan itu sampai penghabisannya. Meréka itu bemiat benar hendak menjabat tangan adik kami, akan memberi selamat, tetapi tiadalah dapat; hanyalah dengan mata saja meréka itu dapat memberi selamat, karena anak-dara itu seperti patung yang hidup tetap duduk di atas "kwadé", yakni singgasana keemasan, yang cemer­lang cahayanya: adikku itu selalu disana duduk lurus sebagai mercu, kepalanya tegak dengan sikapnya, dan matanya terus melihat kemuka, memenungkan nasib yang akan datang, yang dalam sedikit hari lagi mulai ditanggungkannya. Sebagai adatnya air matapun bercucuranlah waktu itu; tetapi adikku dan kami berdua tinggal berdiam diri, hening sebagai mayat. Gamelan, musik, kemenyan dan bunga-bungaanpun tidak dapatlah menyedihkan kami dalam hal itu.

Kami tiada berperasaan lagi. Sekalian orang bersangka, bahwa perceraian kami tentulah akan menghancurkan hati kami benar-benar. Sekarang sungguh tercenganglah meréka itu melihat kami.

Banyak orang datang melihat kami, meréka itu makin lama makin bertambah banyak. Sekalian meréka itu ingin hendak melihat, bagaimana kami .akan menanggung kesukaran, pada waktu perceraian kami itu.

Malam itu juga kami mengabarkan cita-cita hati kami kepada tuan residén. cobalah tuan pikirkan: ditengah peralatan yang sebagai itu, kami hendak memperkatakan juga perkara yang penting dan sulit sebagai itu. Tetapi pada waktu itulah saja kami dapat menghadapnya, dan pekerjaan itu harus dilekaskan. Ditengah bunga-bungaan dan cahaya emas dan intan itu serta di antara orang beramai-ramaian itu, pada waktu itulah kami dengan memegang gelas yang berisi anggur, memperkatakan perkara yang penting. Ketika itu hari telah larut malam. Sejak bermula kami telah ketahui, bahasa ia akan/mentertawakan kami, dan tentulah akan mengatakan kami "gila". Tetapi tiadalah kami indahkan. Mula-mula ia berkata dengan saya, kemudian dengan Rukmini akan mengetahui kalau-kalau kami ada bersedih hati dalam hal perkawinan adik kami itu.

Sedang ia bercakap-cakap dengan kami itu, acap kali ia pergi dari tempat kami, dengan tiada berbesar hati, tetapi ke­mudian datang lagi kembali menyambung perkataannya tadi.

........................................................................................................................................

Kalau sekiranya kami dapat pergi belajar kenegeri Belanda, manakah yang baik bagi kami dalam pikiran tuan, kami pergi kesana atau kami tinggal disini? Maukah tuan menjawab pertanyaan ini? Karena tuan tidak dapat melihat mataku ketika menulis surat ini, baiklah kukatakan kepada nyonya, bahasa saya bertanya dengan muka yang manis dan mata yang cemerlang!

Sebuah lagi permintaanku. Maukah nyonya dengan hati yang baik pergi menanyakan kepada sahabat tuan, Dr. Snouck Hurgronye, adakah dalam undang-undang agama Islam tersebut, bahwa kalau seorang anak telah ber'umur sekian tahun, ia boléh berdiri sendiri, tidak usah lagi bergantung juga kepada orang tuanya?

Atau baikkah saya sendiri bertanyakan kepada tuan itu? Suka benar saya hendak mengetahui tentang hak dan kewajiban, menurut undang-undang agama Islam, lebih-lebih tentang hak gadis dan perempuan. Tentulah amat bagus ceriteranya; tetapi malulah kami menanyakan, karena kami sendiri orang Islam tidak tahu akan hal itu. Alangkah sedikitnya pengetahuan kami!

Saya sangat bersedih hati mendengar kabar, yang sekolah H. B. S. perempuan akan ditutup, sayang!

28 Februari 1902 (VIII)

sunting

Darah asal itu tiadalah akan mendustakan dirinya. Besar harganya kepadaku 'mengetahui dari mana asalnya barangbarang yang mengelilingi aku. Dalam perasaanku barangbarang, yang asalnya dari meréka yang kukasihi dan hormati, akan memberi untung akan daku! Kitab yang datang dari nyonya tentulah dengan berahi, gembira dan mudah saya pelajari! Perasaan gila, perasaan hatiku itu, bukan? Saya ini tidak ubahnya seperti anak-anak yang telah ber'umur, yang berkehendak selalu akan dikasihi, dan suka hendak mengetahui sekaliannya, supaya dapat ia memperhatikan keadaan benda itu. Itulah niat kami yang sebenarnya!

Mengetahui itu ialah suatu kepandaian yang sukar bu­kan, kekasihku? — susah mempelajarinya, kalau Tuhan belum mentakdirkan kepadanya.

Mengetahui dalam suatu perkara, menyuruh kita berhati adil dan suka mengampuni kesalahan orang. Itulah yang membuat kita berhati yang sempurna baik. Berapa banyaknya tuan kedua telah berbuat baik kepada kami, sebab itu kamipun banyak meminta terima kasih, karena tuan kedualah yang mengajar kami mengetahui keadaan bermacam-macam hal.

Malam jumat, yaitu malam kami bermain gamelan, bermacam-macam lagu yang kami sukai, kami lagukanlah!

Hati yang sebagai batu waktu itu menjadi lemah dan cahayanya bercemerlang menyinari tubuh yang dingin. Sekarang barulah perasaan kami hidup kembali! Sedang angin mencjayu-dayu dipendopo, mengandung lagu yang manis dan suara yang merdu itu, rasa terbanglah nyawa kami kesurga kenang-kenangan!

Bermimpilah wahai diriku, teruslah tuan bermimpi sedapat-dapatnya! Kalau sekiranya tidak adia mimpi didunia ini, dimanakah hidup akan senang. Hidup yang sebenarnya bukan main beratnya. Barangkali benarlah seperti kata orang, bahwa kami haruslah tinggal dipulau yang tiada didiami orang! Tetapi itulah kelobaan manusia yang sebenar-benarnya, bukan? Pikiranku, kita harus hidup bersama-sama dan bertolongtolongan, itulah gunanya kita dilahirkan kedunia akan membaguskan "hidup bersama-sama!" Sengsara itu menyucikan hati, kalau orang yang ditimpanya itu berhati baik. Sekiranya jahat hatinya, maka iapun masuklah ke dalam naraka dunia. Kamipun sekarang telah berubah pula, tetapi bagaimana perubahan itu pada hari yang akan datanglah dapat menentukannya, hanya yang kami ketahui sekarang, bahwa kami tiadalah lagi anak-anak manja seperti dahulu.

Sekalian barang-barang yang tidak berguna dibilik kami, ka­mi buang, kami hadiahkan kepada anak-anak akan pembesarkan hatinya. Bilik anak gadis yang indah dahulu, tempat ia bermimpi, bemiat dan berpikir, mengeluarkan kepiluan hati dan tempat tertawa karena kebesaran hati, tempat ia bekerja memerangi kesengsaraan hidup dlan tempat menanggung azab sengsara, sekarang telah berubah sama sekali. Hanyalah tempat lemari kitab kami yang tidak berubah dan sahabat-siahabat lama kami masih selalu bermuka manis melihat kami, selalu mendidik kami, dan menambah karib persahabatan kami!

Seorang dari sahabat kami, yaitu seorang tua yang tiada dipandang orang lagi, karena ia masuk kaum kuno, sehingga kalau dilihat rumahnya sampai ke dalam, tampaklah oléh kita, bahasa ia masuk bagian manusia zaman dahulu. Banyak orang yang mengéjékkan orang tua itu, tetapi kami kasih akan dia dan dialah yang belum pernah suka meninggalkan kami dan ialah yang selalu turut bersukacita dalam kesenangan kami, dan memberi kami bujukan dalam hari kedukaan. Orang tua itu............de Genestet. Ialah yang membujuk kami pada waktu yang lalu, yang belum lama terlampau!

5 Maart 1902 (VIII)

sunting

Tahukah nyonia siapa yang selalu menggambarkan wayang untuk kami? tidak dapatlah tuan terka. Ialah tukang ga­melan kami. Ajaib kita melihatkan bagaimana pandainya membuat itu dengan bagusnya. Rupan ya pandai menggambar di Jepara, sudahlah menjadi kebiasaan orang disana. Budak-budak kecil tukang gembala kerbau, bagus-bagus wayang digambarnya, baikpun di tanah, didinding, dijambatan atau dipagar-pagar. Dinding di belakang rumah kami penuh diukir orang dengan gambaran wayang. Kalau pagar jambatan hari ini diputihkan dengan kapur, bésoknya jambatan itu penuhlah pula dengan gambaran wayang, yang digambar dengan arang atau batu témbok oléh budak-budak, yang bertelanjang bulat, yang penuh badannya berlumur dengan lumpur. Sungguh amat mudah bagi kami disini akan menaruh tukang gambar. Kami hanya perlu mengatakan dan menerangkan saja kepadanya apa yang akan dibuatnya.

Sekarang tukang ukir itu sedang membuat barang yang indah, yakni sebuah lemari kitab, terbuat dari kayu jati dan tepinya terbuat dari kayu sena. Pintunya diberi berkaca besar dan berbingkai dua lapis yang terbuat dari kayu sena juga dan pada beberapa tempat berukir dengan gambar wayang. di antara bingkai dibawah dengan bingkai di atas, terukir ular-ular yang membelit-belit diri sedang berkelahi, seperti akar cina. Pada bingkai di atas terukir gambar wa­yang dan kahmat pujian. Kepala lemari itu berdiri antara dua buah tiang yang berukir, terbuat dari kayu sena. ukiran-ukiran itu kami lihat di Muntingan, dikuburan Sultan Muntingan yang jauhnya lebih kurang setengah jam dari sini. Gambar itu disana tidaklah terukir pada kayu melainkan terukir pada batu. ukiran itu asalnya dari tanah cina, dan sultan itu dahulu telah pergi kesana.

Panjang ceriteranya kubur itu. Kubur itu keramat; kami acap kali pergi kesana. Seorang cina yang menurutkan sultan itu kemari, telah meninggal dunia disini. Dekat kuburnya adalah pohon pace'. Pohon itu kera­mat pula kata orang. Perempuan yang tiada beranak pergilah kesana bernazar, supaya boléh mendapat anak. Dikubur sultan itu dibakarnya kemenyan dan ditaburkannya bunga. Kalau buah pace' itu gugur keatas kubur cina itu, maka dipungutlah oléh perempuan yang bernazar itu, dan dibuatnyalah rujak lalu dimakannya. Itulah tanda maksudnya akan sampai. Banyak orang mengatakan kepada kami, bahwa barang siapa yang berniat di tempat itu, kebanyakan maksudnya sampai. Benarlah kata si Edi, bahwa bangsa Jawa ialah suatu bangsa yang banyak berceritera yang ajaib-ajaib. Kata orang sekalian perempuan yang bernazar dikubur Sultan Muntingan beranak perempuan belaka! Kasihan perempuan-perempuan yang bernazar itu! Kami hanyalah mau bernazar kekubur keramat yang memberi anak laki-laki saja, karena sudah terlampau banyak anak perempuan didunia ini!

Ya Allah, betapa maka saya tersesat sampai kemari." Saya tadi menuliskan perkara lemari, tetapi sekarang itu telah lupa. Lemari itu dibuat untuk Kardinah, pemberian tuan dan nyonya Ovink. Adikku sungguh beruntung mendapat lemari itu!

Bulan yang lalu sudah dua buah sekeram dibuatnya untuk seorang kemendur, yang hendak pergi kenegeri Belanda. Bagus benar sekeram itu, berukir-ukir dengan gam­bar wayang, yang sebuah berlipat tiga, terbuat dari kayu jati, dan yang sebuah lagi hanya terbuat dari sebilah papan kayu jati saja dan bertepikan kayu sena. Betul bagus!

Besar hatiku, melihat banyak orang meminta barang-barang ukiran Jepara. cobalah nyonya pikirkan, apa yang terjadi baru-baru ini. Didalam sebuah surat kabar tersebut, bahwa perkara ukir-mengukir di Jepara telah mundur, karena dirusakkan oléh beberapa orang perempuan, anak-anak dari seorang yang berpangkat tinggi disana, yang selalu menyuruh mengukir menurut lukisan Eropa. Tercengang kami membaca kabar itu, karena dalam pikiran kami, bahwa lukisan wayang itu ialah lukisan Hindia, tetapi rupanya sekarang ka­mi salah sangka, karena kata orang ukiran itu, ukiran Ero­pah, karena lukisannya datang dari kabupatén. Tetapi bersalah sangka itu sudahlah menjadi adat manusia, bukan? Apalagi kami ini hanya manusia seperti manusia yang banyak juga, lagi pula kami ini hanyalah seorang Jawa saja. Amat susah kami dahulu menyuruh tukang-tukang itu, supaya meréka mau membuat bonéka-bonéka wayang itu. Me­réka itu takut kalau-kalau semangat wayang itu marah kepadanya. Setelah bapak mengaku bahasa bapak yang akan menanggung sekalian hal, baik kemarahan, atau ancaman semangat wayang-wayang itu, dan tiadalah akan menggoda meréka itu, melainkan bapak yang akan digodanya, karena ialah yang menyuruh memperbuatnya, baharulah meréka itu bekerja seperti sekarang. Tertawa kita melihat keadaan itu, begitu jua dalam hal yang lain-lain!

Dahulu amat susah membuat gambar porterét dikampung-kampung. Menurut kepercayaan orang disini, singkat 'umur, kalau dibuat gambar diri sendiri, dan tukang gambamja itu berdosa besar. Sekalian gambar porterét itu nanti akan meminta nyawanya pada hari kemudian. Ketika kami dengan seorang tukang gambar pergi kekampung, menangislah beberapa orang perempuan, karena takut akan digambar. Kesudahannya adalah seorang yang berani, dan karena itu yang lainpun mengeringkan air matanya. Ke­tika kami datang sekali lagi, datanglah meréka itu sendiri meminta digambar. Begitulah pergerakan dalam dunia ini, satu orang mestilah berani dahulu, untuk memberi contoh! Adikku Rukmini sedang bekerja membuat gambar adikku Kardinah sebagai anak-dara. Ia menggambar tiada bercontoh, tetapi diluar kepala saja. Bibir di atas dan hidung belum serupa benar, dan yang selebihnya boléhlah: apa­ lagi pakaian anak dara itu bagus benar digambarnya. Ia nanti hendek mencoba lagi menggambarkan gambar itu dipapan seperti yang nyonya katakan kepadanya. Didalam kitab gambarnya adalah digambarkannya adikku Kardinah. Sungguh pintar anak itu, karena sekalian itu diperbuatnya tiada dengan belajar, tetapi tidak heranlah karena ia anak Jepara. Disini anak gembala kerbaupun pandai menggambar. Beruntunglah negeri Jepara itu! tidak tahulah tuan betapa besarnya hati kami, karena kami anak Jepara. Banyak pula orang yang tinggal disini menyumpahi kemalangan, karena meréka berumah dinegeri yang buruk ini. Perasaan berlain-lainan!

Sekarang sedikit perkara kegadukan hati. Baru-baru ini saya bertanya kepada seorang perempuan pengarang Belanda bagaimanakah menurut pikirannya............bahasa Belandaku. Pekan yang lalu saya dapat surat dari padanya dan dalam surat itu ada tertumpang lagi sebuah surat dari seorang nyonya tempat ia meminta pertimbangan, sesudah ia telah membaca suratku! Besar hatiku mendengamja! Pekan yang terlampau itu pula, saya diminta oléh seorang nyonya pengarang sebuah surat kabar pemajukan perempuan, kalau² suka saya menjadi pembantu disurat kabar itu, supaya saya sekali 14 hari menulis disana. yang menyampaikan permmtaan itu, ialah seorang nyonya sahabatku dan saya harus mengirim surat tiap-tiap surat kabar itu dikeluarkan. Sahabatku itu menceriterakan peri hal kami kepada nyonya itu dan nyonya itu menyukai sekali maksud kami dan sudi memberi tempat disurat kabarnya untuk kami, akan pendidik perempuan Jawa. Dan dalam pertimbangannya patut benar anak perempuan bangsa Jawa sendiri mengeluarkan suaranya, akan menunjukkan kepada bangsa Belanda, bagaimana benar keadaan bangsa Jawa itu dan menyuruh bangsa Belanda itu mengasihi bangsa itu. Saya suka benar memperkenankan maksudnya itu, tetapi kami harus lebih dahulu mendapat izin dari bapak. Sekarang adalah harapanku, yang permintaanku akan dikabulkannya.

14 Maart 1902 (I)

sunting

Pada suratmu kulihat engkau berhati masgul. Buangkanlah kesusahan hatimu itu, karena belumlah ada seorang juapun yang berbuat jahat kepadaku. Tetapi kesukaanku mémang suka menggunting hati sendiri. Sipat itu ialah suatu kebodohanku, bukan? Banyak orang berkata: "Penanggungan itu boléh mendatangkan kegirangan hati," teta­pi tahukah meréka itu betapa ganasnya penanggungan itu?

Tentang adikku telah kuceriterakan dalam surat yang dahulu. Sunyi benar kami sekarang, karena biji mata, tangkai hati kami tidak ada lagi. Seperti kehilangan saudaralah kami rasanya; tetapi untunglah selalu kami menerima surat yang meriangkan hati dari padanya. O, itulah anak yang baik budi dan berhati mulia. Ia lebih berharga dari pada kami berdua. Ia adalah dalam selamat dirumahnya yang baru itu dan banyaklah pula orang kasih akan dia disana. Kaum keluarga suaminya menyayangi dia, seperti menating minyak yang penuh, dan kemana saja ia pergi selalu ia diterima orang dan disambut dengan baik dan hati yang suci, baik oléh bangsa Bumiputera ataupun oléh bangsa Eropa. Orang Eropa berharap yang ia akan memajukan isteri pegawai-pegawai Bumiputera disana.

Adikku itu sekarang banyak dapat membuat apa-apa yang kami maksudi.

Apa pangkat suaminya, tentulah engkau telah tahu, ketika kami mengirim karcis perkawinannya dahulu. Ia patih yaitu pangkat yang kedua yang tertinggi dalam dunia pegawai Bu­miputera, tetapi ia bakal menjadi regén juga, kalau ayahnya nanti berhenti dari pekerjaannya. Kalau ia telah menjadi isteri regén, tentulah banyak ia dapat memajukan perempuan bangsa Bumiputera, lebih banyak dari pada kami. Ka­mi berharap yang suaminya itu akan menolong membantunya, apalagi kabarnya ia suka benar menyokong cita-cita tuan Abendanon. Ia amat kasih akan isterinya, selalu berhati besar dan ramah, dan kepada orang lain pengasih dan penyayang. Itulah sebabnya maka banyak sekali kaum keluarganya yang dipeliharakannya, baik hati ia, bukan?

Banyaklah anak Bumiputera yang berbuat yang sedemikian dan siapa yang berada selalu mengenal akan sanak saudaranya yang miskin. tidak adalah kepala anak negeri yang tiada memeliharakan kaum keluarganya di rumah. Tiadalah sia-sia orang mengatakan, bahasa orang Hindia peramah dan pemurah. Tentu engkau berbesar hati, karena engkau telah mendengar sekalian hal ihwal adikku itu.

Hanyalah sekarang ia didalam kecemasan saja, mengingatkan kekecilannya, sebab banyak orang yang berharap akan kebaikannya, dan saudaranya yang tertua merasa juga sedemikian, apalagi ketika seorang Belanda memujinya di Am­sterdam, dalam surat kabar.

Sebenarnya, Stella, janganlah engkau berbuat begitu pula. Tentu engkau saya umpat dengan sejadi-jadinya, kalau saya tiba-tiba diterbangkan oléh Tuhan keribaanmu. Engkau menyangka bahwa saya sungguh baik hati dan arif bijaksana. Sekalian itu belumlah berharga seduit juapun untuk badanku, sungguh kataku itu. Tetapi betul ada­lah sebuah benda dalam hatiku yang tidak akan mengecéwakan tuan, yaitu kesayanganku kepadamu!

Baru-baru ini sa ya mendapat sepucuk surat dari seorang tuan yang telah tua, mengatakan yang saya berhati lemah-lembut, beradat bagus dan pandai berbahasa Belanda. Sayapun tersenyum ketika membaca surat itu dan timbullah pikiran dalam hatiku, tahu benarkah tuan itu akan daku. Pada penghabisan tahun yang lalu maksudnya akan datang kemari, hendak mengunjungi kami; tetapi adalah alangan yang merintangi maksudnya itu; karena penyakitnya haruslah ia dengan selekas-lekasnya pergi kembali keEropah. Dan isterinyapun turutlah pula bersama-sama, memnggalKan negeri yang panas ini, yang selalu disinari oléh matahari.

Sayang sekali ia tidak datang; kami beringin benar hendak bertemu dengan dia akan memperkatakan maksud kami. Baru-baru ini ketika kami menyangka, yang kami akan terus pergi belajar kenegeri Belanda, berharaplah kami akan pergi bersama-sama dengan tuan dan nyonya itu dalam musim panas. Sayang pengharapan itu telah menjadi angin. Kemarin kami mendapat surat dari negeri Belanda, dan saya berkata dalam hatiku: "Hai diriku, tegakkan kepalamu, karena bukanlah saja kecéwa yang akan menggodamu semasa hidupmu, percayalah engkau, bahwa waktu yang akan datang, banyak lagi mengandung kesengsaraan yang akan engkau tanggungkan!" Sayapun tidak memikirkan hal itu lagi. Hidup kita nanti akan mengajar kita berhati berani.

Sekarang kuperkatakan lagi permintaan nona Van der Mey. Marilah kuminta dahulu terima kasih atas segala kesusah.mmu telah menolongku, dan lagi kuucapkan terima kasih atas karanganmu tentang "hak dan keuntungan". Surat yang berisi permintaan itu kubacakan kepada bapak. Bapak mau dahulu menantikan kedatangan tuan van Kol, barulah ia memutuskan perkara itu. Besar harapanku yang bapak akan mengabulkannya. Perlu juakah siaya mengata­kan bahwa "saya mau?" Engkau tahu bahwa saya suka benar menulis dan kerja karang-mengarang selalu menarik ha­tiku, dan engkaupun telah beberapa kali pula mengatakan bahasa saya pandai mengarang.

Ya Stella, saya mau menulis dan mengarang, tetapi saya tidak suka memberi tahukan namaku yang sejati, ia harus dirahsiakan, katakan hal itu kepada nona Van der Mey. Adakah itu akan memberi paédah!!! Kalau orang Hindia membaca karangan seorang perempuan Jawa, tentulah ia lekas boléh menunjukkan, siapakah yang berbuat salah itu. Hal yang demikian menjemukan hatiku. Saya tidak suka bila orang memperkatakan buah pénaku (yang tiada sempurna), apalagi kalau orang selalu memujikui, bah! Kalau perempuan Jawa mengarang dalam bahasa Belanda, rupanya hati orang jadi tertarik membacanya, itulah rahsianya akan mendapat untung dengan mudah. Sungguhlah membesarkan hatiku! Tetapi marilah dahulu kukatakan apa benar gunanya "penarikan hati?" Itulah sekali-kali tidak dapat kulupakan.

Betul besar paédahnya. Engkau dan sayapun mengaku, bahasa anak negeri sendiri harus mengeluarkan suaranya. Banyak paédahnya kalau bangsa Jawa sendiri menceriterakan sakit senang kehidupan bangsanya.

Pun amat banyak perempuan bangsa kami, yang menanggung sengsara dalam hidupnya. Tapi sebelumnya saya mengeluarkan suaraku, mengabarkan perkara yang lalimlalim, yang ditanggóengkan perempuan bangsa kami, haruslah saya berpikir benar-benar lebih dahulu; saya mesti tahu betul-betul apa yang akan kuperbuat. Kalau kubukakan suaraku, niscaya sekalian orang yang memperoléh keuntungan karena kelalimannya akan benci kepadaku, tetapi saya ialah hendak melawan kelazimannya itu.

Untuk diri saya sendiri tiadalah saya indahkan permusuhan ini, tetapi ia dapat merusakkan cita-cita kami. Sekiranya saya menjadi guru, tentulah meréka itu tidak sudi menyerahkan anaknya kepadaku, karena saya telah bersalah, melawan adat-adat yang telah berurat berakar itu. Akan menulis karangan yang demikian tidak mau bapa memberi izin saya, apalagi pada waktu ini. Kerap kali orang meminta kepa­daku mengarangkan sekalian hal ihwal itu. Tetapi saya tidak boléh melakukannya.

Tetapi apa yang diminta oléh nona Van der Mey, ialah fasal yang lain pula. Saya harap permintaannya itu dapat dikabulkan. Tetapi seperti yang telah kukatakan tadi, engkau mesti berjanji akan merahsiakan namaku.

Seorang sahabatku telah menyuruh saya juga mengarang, betul seperti itu, untuk orang banyak. yang baik saya karangkan ialah perkara-perkara yang dapat diperbincangkan dimana-mana, ya, boléh hendaknya diperbincangkan dalam persidangan Tweede Kamer, sehingga dengan perintah persidangan itu disuruh periksa lebih terang dan lanjut tentang segala perkara itu.

Saya selalu berniat juga hendak mengeluarkan karangan tentang segala hal keadaan itu, tetapi saya sendiri merasa, bahwa masa sekarang belumlah ada waktunya untuk menyampaikan maksudku itu, banyak rahsia yang belum kuselidiki, dan lagi belumlah cukup kekuatanku mengerjakannya. Saya harus lebih banyak melihat dan mendengar segala yang terjadi disini, sekalian itu harus kutimbang dan kupikiri baik-baik.

Buah pikiranku belumlah masak, Stella, kalau sekiranya telah masak tiadalah saya akan enggan mengabarkan hal keadaan itu kepada orang banyak. Kalau kami menghadapkan permintaan kami itu kepada Koningin Wilhelmina, itu artinya bukaniah kami meminta pertolongan kepada kerajaan, supaya berkat daulat Seri Baginda dapatlah kami pertolongan Pemerintah, lain tidak, melainkan dalam hal itu kami meminta kepada Seri Baginda, supaya Seri Baginda sendiri menolong kami. jikalau engkau sekiranya mengetahui akan ketinggian hati kami, tentu mengertilah pula engkau, bagaimana beratnya hati kami memutuskan hendak meminta pertolongan.

Tetapi seperti katamu juga: kalau ada keperluan yang besar, maka keperluan yang kecil haruslah didiamkan dahuloé.

Dan ketinggian hati kami itu, kami hilangkanlah, supaya kami dapat bekerja untuk kebajikan orang banyak. Selalu kami benci kepada minta-minta, sungguhpun kami telah mengetahui, bahwa permintaan itu akan diperkenankan. Dan dalam hal yang demikian, meminta itulah jalan yang tunggal akan memperoléh maksud itu.

Adalah seorang yang telah pergi menghadap kedua Seri Ba­ginda Maharaja dinegeri Belanda, mengatakan dengan sungguh kepadaku, bahwa Seri Baginda Ibu Suripun banyak pula mengetahui dan amat mengindahkan tentang hal keadaan tanah Hindia.

Kami mau benar mempercayai kabar itu. Tatkala kami menyembahkan beberapa persembahan kepada Seri Baginda Maha­raja Wilhelmina, waktu Pertunjukan perusahaan Perempuan, maka Seri Baginda Ibu Suripun menitahkan kepada sekertarisnya, menanyakan kepada presidente perserikatan itu, yang menguruskan kirim-kiriman dari Hindia, apakah isinya persembahan kami dahulu itu. Bagindalah yang meminta kepada presidente pertunjukan itu, yang selalu mengiringkan Seri Baginda dalam pertunjukan itu, membacakan isi suratku sedikit kepada Seri Baginda. Kepada Pemerintah atau kepada Seri Baginda Maharajalah tempatku menyembahkan permintaanku itu. Kalau permintaanku tiada diperkenankan oléh Seri Baginda atau oléh Pemermtah, maka pergilah saya ke Mojowarno, meskipun disana tiadalah se­perti yang dimaksudi benar. Tahukah engkau, kalau saya keputusan asa, kemana saya hendak pergi? Kenegeri lain diluar tanah Jawa, kepada seorang sahabat kami[1] yang tinggal jauh ditengah suatu pulau yang Bumiputeranya masih biadab, dan disanalah ia berbuat baik akan meréka itu dan menolong meréka itu memberi obat-obat.

Sebagai ayam kena kepala saya hendak pergi kepadanya, tentulah ia akan meraba-raba kepalaku, sampai keluhku hilang' dan napasku yang sesak jadi berhenti, dan dari tangannya yang dingin akan mengalirlah perdamaian yang meliputi segenap tubuhnya, masuk ke dalam diriku! Sungguhpun demikian iapun seorang manusia juga, yang selalu menanggung sakit dan senang, dan kesusahan hati, yang mesti dilawannya.

Stella, Stella, kalau sekiranya saya dapat memeluk léhérmu sekarang dan menyandarkan kepalaku kedadamu, alangkah senangnya.

Barangkali jadi juga saya pergi ke Selébés kepada sahabatku itu dan meréka yang biadab, pemotong kepala itu. Dengan jalan apa sekalipun kita berbuat baik, tidak gunalah diindahkan benar, asal saja perbuatan itu baik. Wah, janganlah engkau terkejut dan jangan barpikir panjang lagi, Stella, barangkali tidak perlu lagi saya pergi kesana, dan teka-teki yang sukar itu barangkali dapat diterka dengan jalan yang menyenangkan hati. Dalam badanku masih ada kemauan dan kekuatan, syukurlah!

Perbanyak doa, ingatlah saja kepada yang baik, dan janganlah engkau lupa kepadaku, Stella, kekasihku.

21 Maart 1902 (V)

sunting

Benarlah kata nyonya itu. Adikku berangkat itu, sebagai kami kehilangan besar. Kami telah lama dan selalu hidup damai dan riang bersama-sama dengan dia. Tiadalah salah jika orang mengatakan bahasa kami bertiga telah menjadi satu, satu dalam pikiran, satu dalam perasaan. Rasanya belum percaya benar kami, bahwa si adik itu meninggalkan kami untuk selama-lamanya; sangatlah menggundahkan hati kami mengenangkan, yang ia telah berangkat dan tidak akan kembali lagi. Kami bersangka bahasa ia hanya pergi menumpang untuk beberapa hari saja dan sedikit hari lagi akan pulang kembali. Kami sungguh tercanggung karena kehi­langan si cantik kecil itu. Tetapi lebih baiklah kami tidak memikirkan hal itu, karena perceraian yang meremukkan hati itu, bukanlah sebuah saja. Tentu ada pula nanti perce­raian yang lain, yang akan menuruti pada hari yang akan datang. Lambat launnya manusia didunia ini akan bercerai jua, "bercerai”, itulah kata yang selalu kita dengar selama hidup!

Sekali-sekali baik tali persahabatan yang kuat dan suci itu diputuskan, kata de Genestet, tetapi nasihat itu mudah disebutkan, tetapi amat sukar akan dilakukan, betulkah atau tidak?

Kami selalu menerima surat yang berisi kabar baik dan kegirangan hati dari pada adik kami itu. Ia adalah dalam selamat wa'lafiat saja. syukur, alhamduli'llah! Rahmat yang diperoléhnyapun menjadi rahmiat kami pula.

Sekarang marilah saya perkenankan kehendak tuan, menceriterakan ini dan itu tentang alat perkawinan adikku itu.

Alat perkawinan anak negeri selalu amat banyak huru-haranya. Beberapa hari dan beberapa pekan dimuka sebelum alat itu dilangsungkan, maka disediakanlah sekalian alat keramaian itu. Ketika itu tiadalah kami bersuka-sukaan benar, karena adalah seorang keluarga kami yang meninggalkan dunia, yaitu seorang saudara perempuan, adik oléh mempelai itu, telah berpulang kerahmatu'llah sebelum peralatan itu menjadi. Kasihan sekali, ia masih muda dan meninggalkan anak beberapa orang. Ketahuilah oléh nyonya, bahwa adik­ku kawin ialah dengan anak saudara perempuan bapak, jadi kawin bersaudara namanya. Dahulu adalah ia datang sekali kemari, tetapi ketika itu ia masih kecil sedang bersekolah dan seorang juapun tiadalah yang mengenang akan perkawinan itu.

Acap kali didapati adalah anak-anak yang dipertunangkan ketika kecil dan nanti kalau meréka telah besar lalu dikawinkan saja.

Adikku mengulangi persahabatannya dengan suaminya itu, ketika tuan besar Gubernur jenderal ada di Semarang. Menurut sepanjang adat tidak boléh sekali-kali anak-anak gadis pergi keluar rumah, kecuali kalau ia pergi menuruti suaminya, biarpun belum peraah dikenalnya. Tetapi seperti yang telah saya katakan, banyaklah dari pada adat-adat itu yang tiada kami turut lagi, karena tiada sepadan dengan pendidikan kami yang bébas itu. Kami bermaksud sekarang banyak lagi hendak menghapuskan adat-adat kuno dan buruk itu! Lebih-lebih beberapa lamanya menjelang anak gadis yang akan dikawinkan, ia sekali-kali tidak boléh ke­luar dari rumah. Ia harus tinggal di rumah atau kalau ia ada berbilik, dikurung didalam biliknya.

Bulan December yang lalu kami ada di Semarang, dan sekalian toko-toko disana semua kami masuki, pergi membeli apa-apa yang kami sukai.

Kepada anak gadis Jawa yang baru bertunangan, tiadalah diucapkan orang selamat, demikianpun hal itu tiadalah diperkataan orang dengan dia, dan ia sendiripun lebih-lebih tidak suka memperkatakan pertunangannya itu, dan berlaku seperti ia tidak tahu saja. jikalau sekiranya boléh, maulah saya masuk ke dalam hati bangsaku hendak membaca, apa yang tergorés didalamnya, ketika adikku dengan mudahnya memperkatakan perkawinannya dengan meréka itu. "Terlalu sekali” kami ini. Oh, ya, sedangkan bagi orang yang beradat sopanpun bukankah begitu pula? Meréka itupun suka sekali menyalahkan barang sesuatu pekerjaan yang tiada dapat dima'luminya.

Tidak boléhlah kami marah kepada bangsa kami yang belum berpengetahuan itu dan karena tidak tahulah maka meréka seperti itu.

Sehari dua sebelum perkawinan itu akan dilangsungkan, kamipun kenduri dan mendoa, menyeru arwah-arwah kaum keluarga yang telah miati. Lihatlah itu, betapa bagusnya adat kami. Dengan segala sukacita selalu kami mengenang kepada keluarga kami yang telah meninggalkan dunia. Kenduri artinya makan-makan bersama-sama, sesudah itu bersama-sama pula dengan 'ulama menadahkan tangan arah kelangit meminta kepada Allah dan rasul, rahmat dan ni'mat untuk se­gala arwah-arwah orang tua-tua dan ahli lain yang telah meninggal itu, dan berkat meréka itu mudah-mudahan perkawinan itu akan diselamatkan Tuhan. Mendoa itu dilakukan di rumah anak-dara. Iparkupun datang dengan kaum keluarganya, waktu bésoknya akan kawin. Mempelai Belanda setibanya dinegeri kekasihnya itu, tentulah ia yang pertama-tama sekali akan pergi kerumah anak-dara itu, tetapi menurut adat kami tidak boléh diperbuat yang demikian. Mempelai tidak boléh melihat isterinya, sebelum ia menjawat kabul, demikianpun kaum keluarganya tidak boléh juga me­lihat anak-dara itu.

Bésoknya alat akan dilangsungkan, dimandikanlah anak-dara hari ini dengan air bunga-bungaan; setelah itu barulah ia diserahkan ketangan tukang paés atau tukang sanggul namanya, yaitu seorang perempuan yang digaji, yang faham dalam menghiasi dan pakai-memakaii anak-dara dan mempelai.

Anak-dara itu didudukkan di atas tikar yang berlapis dengan kain sekelat dan sutera yang telah dilengkapkan un­tuk hari yang mulia itu. Tikar itu kelak menjadi kepunyaan tukang sanggul. Berkeliling anak-dara itu terletak makan-makanan, sirih dan pinang, pisang, air sekendi, beras, ayam panggang dan lagi seékor.......... ayam hidup dan pelita kecil yang menyala.

Kemenyanpun dibakar oranglah dan tukang sanggul mulailah mencukur bulu roma dipipi dan dikodok anak-dara itu. Rambut yang dikening diguntingnya sama panjang, demikian juga rambut yang dekat telinga, alis mata diperbaiki dan dicukur ditepi-tepinya. Melihat rambut ke­ning dan rambut dekat telinga yang telah digcenting dan alis mata yang telah dicukur itu, maka tahulah kita, bahasa perempuan Jawa baharu kawin.

Pukul empat petang mulailah orang mengenakan pakaian si anak-dara tadi. Keningnya dihiasi dengan lukisan yang berwarna hitam sampai ketelinganya dan mukanya dibedaki putih-putih, serta rambutnya disanggul seperti bangun kepala capung, yang dihiasi dengan bunga-bungaan.

Pada sanggul anak-dara itu dicocokkanlah tujuh buah tusuk sanggul permata, yang beranting-anting dan selalu memancarkan cahayanya. Kain yang bertaburi emas dan kebaya yang dihiasi, dikenakanlah kepadanya. Dan banyaklah lagi perhiasan yang dipakainya, seperti: pending, dokoh, gelang, subang, buah baju lengan dan lain-lain, cukuplah semuanya. Anak gadis Jawa tidak boléh memakai bunga dirambut, hanyalah perempuan yang telah kawin saja boléh memakainya. Itulah sebabnya maka perempuan yang telah ber'umur banyak kelihatan memakai bunga dirambut.

Malam bésok akan kawin, malam itu bernama "widodaréni”. "Widodari” artinya "bidadari” dalam bahasa Melayu, yang bertempat disurga. Pada malam itu anak gadis, yang bésoknya akan dipersuamikan, dipandang seperti bidadari dan iapun dimuliakanlah pula seperti itu.

Nyonya barangkali telah melihat porterét-porterét ukiran-ukiran buatan jepun di rumah nyonya Rooseboom. Bukankah di antaranya adalah sebuah porterét sebagai singgasana yang mempunyai tiga buah pintu gerbang? Singgasana itu namanya dalam bahasa Jawa "kwadé”, yaitu suatu perkakas rumah yang dipakai ketika beralat kawin. Kwadé berukir-ukir itu, iang berwarna mérah tua dan berlukis dengan air emas, terletak dikabupatén dalam bilik besar di belakang. Sekalian méja, kursi dan bangku dipindahkan dari bilik itu ketempat lain, setelah itu dikembangkanlah disana sehelai permadani besar.

Sebelah menyebelah kwadé yang dihiasi dengan tabir dan bunga-bungaan itu terletak dua buah jambangan tembaga, yang dihiasi dengan pucuk pohon kelapa dan bunga-bu­ngaan. jambangan itu namanya "kembang mayang” dan pada tiap-tiap peralatan kawin tidak boléh ditinggalkan. Kira-kira pukul setengah delapan malam, tatkala jamu perempuan telah berkumpul dibilik "kwadé” itu, duduk berléret di atas permadani sebelah menyebelah kwadé itu, maka adikkupun masuklah ke dalam bilik itu dibimbing oléh saudara perempuan yang telah kawin dan oléh ipar perempuan kami serta diikuti oléh seorang perempuan yang membawa cerana dan tempat ludah. Adikku duduklah dipintu gerbang kwadé yang tengah-tengah, diapit oléh kaum keluarganya dan orang patut-patut. cerana tempat sirih itu diletakkan dimukanya, asal menurut adat saja, sebab adikku si gadis kecil itu tiada biasa memakan sirih. Dibelakangnya adalah seorang anak gadis tukang mengipas-ngipasnya.

Dimuka kwadé yang cemerlang cahayanya itu serta diapit oléh jamu perempuan-perempuan isteri kepala-kepala negeri, yang duduk teratur menurut pangkatnya serta berpakaian yang indah-indah, disanalah adikku duduk bersila berdiam diri seperti patung Budha. Orangpun segera menghidangkan makan-makanan, yang disertai dengan air téh. Masing-masing meréka itu mendapat semangkuk téh dan dua piring kué-kué, dan si anak-dara dengan jamu-jamu yang ternama masing-masing mendapat sebuah dulang yang penuh berisi makan-makanan. Waktu itu rupanya bilik itu adalah seperti sehelai permadani yang penuh ditaburi dengan sedap-sedapan dan disana-sini disela dengan cerana dan tempat ludah yang terbuat dari pada emas, pérak, tembaga dan kulit penyu. Sekalian jamu itu perempuan yang telah bersuami; dan kami yang belum bersuami tidak boléh duduk bersama-sama dengan meréka itu.

Nyonya barangkali telah mendengar juga, bahwa tiadalah kemalangan dan malu yang lebih besar bagi seorang perem­puan, kalau ia tiada bersuami. di tanah Eropa, yang telah berkesopanan terang cuaca, belum berapa lama yang lalupun orang masih berpikir demikian itu juga, bukan? Sebab itu tidak patutlah kita marah atas kepercayaan bangsaku, bangsa Hindia yang masih dungu dan bodoh itu.

Kalau sekiranya ibu mempelai masih hidup, turutlah ia juga duduk pada malam itu meramaikan alat menantunya.

jamu yang laki-laki duduk dengan bapak dipendopo, dan mempelai tinggallah saja berdiam diri di rumah tempatnya menumpang. Betapa besar hati adikku, ketika hari telah pukul setengah sepuluh, tidak dapat dikatakan, karena ia telah boléh berorak sila. Dengan segala adat tertib sopan, berjalanlah ia perlahan-lahan dari majelis radèn-radèn ayu itu, dan setiba diluar pintu, berlarilah ia kebiliknya akan menanggalkan sekalian pakaiannya itu. Sekarang ia telah menjadi adik kami kembali, si gadis yang suka berbesar hati itu, tidaklah lagi duduk sebagai patung Budha. Malam itu malam Maulud. Kami kenduri dan bersedekah tidaklah di rumah, hanya sekali itu dimesjid, dan waktu itu orangpun memintakan doa selamat kepada Tuhan, supaya perkawinan itu akan berbahagia. di tempat kenduri itu hanyalah laki-laki saja, kami perempuan-perempuan makan di rumah, demikian juga regén-regén yang datang menghadiri alat kami.

Pada 24 Januari, sebelum pajar terbit, telah ramailah orang dikabupatén, yang telah dihiasi dengan gaba-gaba dan bendéra-bendéra. Ditengah jalanpun riang dan ramai pula. Bendéra si tiga warna, yang berpancangan pada gaba-gaba, yang menuju rumah anak-dara itu, selalu berkibar-kibar membesarkan hati. Dipeséban yang dihiasi dengan bunga-bungaan dan daun-daunan dan dipanggung-panggung di tanah lapang, dimuka kabupatén, berbunyilah gamelan sambut-menyambut dengan gembiranya.

Diserambi belakang tersedialah beberapa keranjang bunga kenanga, bunga melati dan bunga cempaka; disanalah pula duduk perempuan-perempuan mengatur bunga-bungaan itu atau menderai-deraikan akan ditaburkan nanti di tempat anak-dara dan mempelai akan berjalan. Kabupatén waktu itu penuh dengan manusia, bunyi gamelan dan bau bunga-bungaan yang harum itu. Dibilik kami anak-dara mula-mula sekali dihiasi orang. Keningnya dilukisi dengan warna hitam dan lukisan itu dihiasi dengan emas.

Adikku duduklah seperti orang yang akan dibedah. di belakang lukisan itu ditaruh orang rénda lilin pada kedua belah pihak, yang berwarna hitam. Pada lubang-luhangnya itu dihiasi dengan intan permata. Kebiasaannya rénda lilin itu terbuat dari pada rambut anak-dara sendiri yang diberi berlilin. Tetapi adikku, kami beri rénda lancung, karena membuat rénda itu dengan rambut benar, si gadis nanti banyak menanggung kesakitan, lebih-lebih adik­ ku itu baru sembuh dari sakitnya; tentulah tidak dapat ia menanggungkan. di belakang rénda itu disisipkan tusuk kundai emas bepermata mutu manikam. Dalam hal itu ram­but disanggul seperti bulan sebelah dan dihiasi dengan bunga-bungaan. Berkeliling kepalanya tergantung bunga me­lati bersusun terumbai-umbai sampai kebahu. Pada sanggul itu disisipkan lagi tujuh buah bunga intan beranting-anting dan di belakang telinganya sebelah-menyebelah tergantung enam buah rantai bunga, terjurai-jurai sampai kedada dan kepinggangnya. Rantai bunga itu besarnya sebesar jari, diatur dari bunga putih disela dengan gelung-gelung dan diujungnya tergantung sebuah bunga kenanga kuning, yang diapit dengan bunga-bunga melati.

 
KABUPATÉN JEPARA.

Kalau berpakaian seperti wayang haruslah léhér, bahu dan lengan di atas ditampakkan. Sekalian itu digosok dengan minyak kuning yang harum baunya, melainkan muka sajalah yang dibedaki. Adikku memakai kain yang bertaburkan emas dan dipalut lagi dengan kain sutera, itupun bertabur pula dengan emas dan berikat pinggang yang terbuat dari pada sutera kuning, yang ujungnya berumbai-umbai, terbuat dari pada sutera mérah bertatahkan emas. Sehelai kain pand yang berwarna hijau daun tua, amat bagus rupanya, bertekat dengan benang emas, yang ditengah-tengahnya berwarna hijau muda dan dipalutkanlah kebadannya, sedang lengan dan bahu sama sekali kelihatan. Ikat pinggangnya sutera kuning yang bernama "mendologiri" dipalut dengan emban, tiga jari lébarja, bertatah pula dengan mutu manikam. Diikat pinggang itu dengan ujung pangkalnya terjumbai-jumbai, dililitkan lagi rantai bunga dari sebuah paha kepaha yang lain. Pada léhérnya tergantung dokoh intan berjila-jila sampai kepinggangnya.

Pada lengannya dibawah dipakainya gelang tangan, dan pada lengan di atas gelang ular-ular. Kepala dan ékor ular itu menengadah keatas, dan disana tergantunglah uang tali emas terjumbai-jumbai.

Dalam pada itu haripun telah sampai kira-kira pukul lima petang. Dibilik kwadé itu telah berkumpul sekalian isteri kepala-kepala negeri, yang berpakaikan pakaian kehormatan. Dari kwadé sampai kependopo jalannya penuh ditaburi dengan bunga-bungaan, seakan-akan permadani panjang layaknya. Disanalah nanti pengantin itu berjalan.

Adikku dibimbinglah oléh saudara-saudaranya keluar dan berdirilah dimuka kwadé itu. Lampu-lampupun telah dipasanglah dan dipendopo penuhlah berdiri regén-regén berpakaian kebesaran. Beberapa orang kenalan kami bangsa Belanda ada juga disana hendak melihat adikku untuk penghabisan. di tanah lapang dan dipekarangan kabupatén penuh manusia seperti semut banyaknya, hanyalah dijalan-jalan yang dihiasi dengan gaba-gaba dan bendéra tinggal lapang.

Dari jauh kelihatan menguning payung-payung emas angkatan. Bertambah lama bertambah dekat, kiranya itulah kedatangan kepala-kepala anak negeri Bumiputera, yang berpakaian kebesaran dan berjalan masing-masing dibawah payung keemasannya. Dan di belakang meréka itu kelihatanlah upacara mempelai. Mempelai duduk dengan regén-regén didalam keréta yang terbuka dan berpayung emas. Dari peséban dan kabupatén kedengaranlah bunyi gamelan tanda memberi selamat datang kepada meréka itu. upacara itu setiba dikabupatén berhentilah dimuka pendopo; sekalian kepala-kepala negeri duduklah berjongkok; dan mempelaipun turunlah dari kerétanya diiringkan oléh regén-regén lalu naik ketangga terus pergi ketengah-tengah pendopo dan duduklah ketiganya disana di atas parmadani, memberi hormat kepada bapak dan regén-regén yang lain-lain. Regén-regén yang mengiringkan mempelai itu berlutut mundur kebelakang serta meninggalkan mempelai yang berpakaian wayang itu ditengah-tengah pendopo; sebentar antaranya datanglah kepala-kepala negeri itu mengelilinginya dan di belakang meréka itu duduklah 'ulama-'ulama. Diujung pendopo itu, disitulah duduk regén-regén bersila di atas permadani. Bapak dan penghulu duduk dekat mempelai. Bapak lalu mengatakan kepada meréka yang hadir, apa maksudnya memanggil meréka itu beramai-ramai datang pada hari itu dan kemudian dimintakannyalah penghulu mengawinkan anaknya dengan mempelai itu, Sementara penghulu itu mendoa, kedengaranlah dipendopo itu bunyi suara manusia yang sebanyak itu berulang-ulang menderu-deru, sayup-sayup sampai seakan-akan diawang-awangan rasanya menyebutkan: amin, amin!

Sayang sekali kami tidak dapat mendekati benar majelis itu. Seorang guru perempuan, sahabat kami, Rukmini dan saya, kami bertiga sajalah perempuan dipendopo itu yang hadir. untunglah ada diizinkan orang kami berdiri disana, dengan sesuka hati kami. Tetapi akan duduk dekat laki-laki yang banyak itu, mendengarkan perkawinan itu sekali-kali kami tidak boléh. Sungguh sayang sekali: kami suka benar hendak mendengar syahadat nikah dan melihat keadaan penghulu mengawinkan orang dari bermula sampai kesudahannya. Hanya yang kami ketahui, bahwa ketika ia membaca syahadat nikah dipegangnyalah tangan mempelai dan mempelai wajib menyebut syahadat itu sekali lagi.

Selama-lamanya keadaan itu dilakukan dalam seperempat jam saja, tetapi bagi kami serasa berjam-jam lamanya. Waktu itu orang duduk tepekur dan berdiam diri, melainkan yang kedengaran ialah suara 'ulama yang sayup-sayup sampai membaca doa selamat.

Setelah itu mulailah kerapatan itu bergerak, karena 'ulama-'ulama itu menganjur dirinya beringsut-ingsut kebelakang. Itulah tanda perkawinan itu telah selesai.

Regén-regénpun berdirilah, dua orang di antaranya pergilah membimbing mempelai dan berjalanlah meréka itu bersama-sama di atas permadani bunga-bungkan itu diiringkan oléh regén-regén yang lain. Dibilik kwadé adikkupun dibimbinglah pula oléh saudara-saudaranya dan pergilah pula berjalan dijalan yang berbunga-bungaan itu, diiringkan oléh ibuku dan sekalian jamu perempuan. Ketika mempelai dan anakdara beberapa langkah lagi akan bertemu, dilepaskan oranglah meréka itu dan kedua pengantin itu teruslah lémpar-melémparkan sirih bergulung, yang berisi dengan bunga-bungaan. Böberapa langkah lagi meréka itu akan berhadapan, keduanya lalu berjongkok, demikian pula sekalian pengiring meréka itu.

Sementara mempelai duduk, datanglah anak-dara beringsut-ingsut dengan lututnya, pergi menghampiri mempelai; setelah berdekatan benar, lalu menyembah dan mencium lutut mempelai yang sebelah kanan. Setelah sekali lagi ia menyembah, maka mempelaipun berdirilah, lalu mengangkat isterinya dan berbimbing-bimbinglah meréka itu, pergi kekwadé diiringkan oléh pesemandan. Regén-regén itu baliklah kembali kependopo.

Kedua pengantin itu duduklah dimuka kwadé itu, kedua-duanya seperti patung Budha rupanya. Pada sebelah menyebelahnya duduklah keluarga dan sekalian jamu perempuan. Di belakang pengantin itu duduklah dua orang anak gadis mengipas-ngipas pengantin itu. Menurut adat yang biasa disitulah pertemuan yang pertama kali antara laki dan isteri, yang baru-baru kawin. Kira-kira pukul setengah tujuh, masuklah regén-regén itu ke dalam dan duduklah seperti bulan sebelah dimuka pengantin itu. di belakang pengantin itu duduklah pula kaum keluarga perempuan. Sesudah itu pergilah kedua pengantin itu mencium kaki keluarganya yang tua-tua. Anak-daralah yang lebih dahulu berdiri, dan pergilah berlutut kepada ibuku, lalu menyembah dan mencium lutut ibu; demikianlah jalannya ia menerima rahmat dari pada ibu atas perkawinannya. Dari ibu itu pergilah adikku kepada mamak-mamak muda. Saudara-saudara yang tua akan meminta rahmat seperti tadi. Kemudian pergilah ia lagi kepada bapak mencium lututnya meminta rahmat, sesudah itu pergilah ia kepada mentuanya yang laki-laki dan bapak-bapak muda dan saudara-saudara laki-laki sekalian. Sesudah itu duduklah ia kembali ketempatnya dan mempelaipun mulailah pergi mencium lutut sekalian meréka itu, seperti yang telah diperbuat oléh anak-dara tadi. Setelah sudah berbuat yang demikian itu, maka berdirilah regén-regén itu pergi minum téh dan makan makan-makanan yang telah dihidangkan orang, seperti tadi malam. Pukul tengah delapan barulah diizinkan pengantin berdiri dari tempatnya.

Berbimbing-bimbingan berjalanlah meréka itu keluar. Sepatutnya meréka itu berjalan berlutut, tetapi karena meréka itu keduanya baru sembuh dari pada sakitnya, di­izinkan ia berjalan berdiri.

Pada kaum regén yang lain: mempelai itu setiba dirumah mentuanya, haruslah merangkak menaiki tangga, sekali-kali tidak boleh berdiri, sebelum ia bertemu dengan isterinya. Itulah adat orang besar-besar namanya.

Mempelai pergilah kebilik anak-dara dan adikku pergilah kebilik kami mengganti pakaiannya akan menyambut kedatangan jamu bangsa Eropa.

Mengenakan sekalian pakaian anak-dara itu sehari lamanya, tetapi menanggalkan hanyalah dalam lima menit saja. Sanggul dan perhiasan dikeningnya tidaklah kami tanggalkan. Kami anak-anak gadis sebenarnya tidak boleh mengenakan pakaian anak-dara, tetapi hal itu tiadalah kami pedulikan, kami buatlah saja pekerjaan itu. Pikiran yang seperti itu, pada sangka kami pikiran gila. Masakan kami tidak boleh memakaii adik kami dengan pakaian anak-dara! Kami beri adikku berkain sutera bertekat emas dan kebaya beledu bersuji perak. Kami kenakan dilehernya dokoh intan yang lain. Bunga-bunga emas yang dirambutnya dan tusuk kundainya kami tanggalkan dan kami lekatkan dikepalanya mahkota emas dan dengan layahnya[2]. Dikepalanya kami tusukkan intan permata yang bertangkai berpilin-pilin. Demikianlah. adikku kami pakaii, bermahkota berlayah, tidak ubahnya. seperti puteri dalam ceritera seribu satu malam.

Bagus sekali rupanya ia memakai pakaian itu, demikianpun berpakaian seperti wayang. Sayanglah tidak dapat kami menyuruh membuat porteretnya.

Mempelai waktu itu memakai baju angkatannya. Sekali lagi pergilah pengantin itu duduk kemuka kwade, dan tatkala hampir pukul delapan, pergilah mereka itu berkepit tangan keserambi muka, duduk dikursi keemasan yang tersedia untuk mereka itu, yang dilingkungi dengan pohon pinang. Disana berdirilah mereka itu menerima ucapan selamat dari nyonya-nyonya dan tuan-tuan bangsa Eropa. Itulah namanya receptie, dalam bahasa Belanda; dalam pada itu dipendopo berbunyilah musik, amat merdu-merdu sekali lagunya, dan tari-menari menjadilah pula; kedua pengantinpun dengan berkepit tangan berjalan-jalanlah pula berkeliling pendopo beberapa kali.

Pun menurut adat yang biasa, anak-anak gadis tidak boleh pergi kealat kawin. Itupun tidaklah kami indahkan. Masakan kami akan tinggal di belakang saja, waktu memperalatkan perkawinan adik kami itu!

Hampir pukul dua belas, tuan residen yang datang juga menghadiri peralatan itu berpidatolah, mengucapkan selamat kepada pengantin, Pidato itu dijawab bapak. Setelah itu maka jamu bangsa Eropa memberi selamat tinggal lalu pulang kerumahnya masing-masing, tetapi tuan residén dan beberapa orang tuan-tuan yang lain dan seorang nona sahabat kami, tinggal disana menghadiri keramaian Bumiputera. Setelah jamu bangsa Belanda berjalan, maka datanglah kepala-kepala negeri Bumiputera yang tadinya duduk disisi pendopo, lalu masuk ketengah dan duduk seperti bulan sebelah mengelilingi mempelai, yang waktu itu akan memperlihatkan kepandaiannya tentang menari.

Regén-regén dan kepala-kepala negeri yang lain masingmasing sekarang berpakaian angkatan yang biasa. Gamelanpun berbunyilah dan tukang tari seorang gadis jogét mulailah menari.

Patih Jepara menyembahkan kepada mempelai sehelai kain sutera di atas sebuah dulang pérak. Setelah diterimanya seléndang sutera itu, maka Patih itupun balik ketempatnya. Gamelan teruslah dibunyikan dengan lemah lembut, tanda meminta datang juara alat, akan membuka peralatan itu. Mempelaipun berdirilah dari tempatnya lalu pergilah ketengah-tengah pendopo. Seléndang sutera itu diikatkannya pada kerisnya dan dimintanya orang membunyikan lagu yang disukainya. Permintaan itu segeralah dikabulkan.

Tidak maulah saya mencoba menceriterakan keadaan tari itu, karena tidak cakap rasanya pénaku merencanakannya. Hanyalah yang dapat saya katakan, bahwa amat senang mata memandang jogét yang lemah gemalai itu menarikan dirinya. Pergerakan badannya amat sesuai dipandang dengan bunyi lagu gamelan itu, dan dibelakangnya itu menarilah gadis jogét itu sei'ta menyanyi sekali. Kepala-kepala anak negeri yang duduk berkeliling itu bertempik dan bersoraklah beramai-ramai dan menyanyi bersama-sama.

Ketika mempelai hampir habis menari, maka tuan residénpun tiba-tiba datang membawa dua gelas berisi minuman kepada si pandai tari itu, yaitu pada waktu gung berbunyi penghabisan, akan penutup lagu itu, dan ketika kedua pandai tari itu sedang duduk berlutut. Dengan mengangkat sembah diterimanya oléh si pandai tari yang laki-laki segelas minuman itu dari tuan residén, dan kedua orang besar-besar itu meminum habislah isi gelas masing-masing, dan orangpun bersorak-sorak dan gamelan berbunyilah pula melagukan lagu yang bersukacita. Seorang bujang pergilah mengambil kedua gelas yang kosong itu, dan tuan residénpun mohonlah berangkat pulang. Setelah mempelai berdiri sekali lagi, lalu menari. Sekarang bapakku minumlah memberi selamat menantunya. Sambil menari itu datanglah keduanya dekat mendekati dan ketika gung penghabisan akan berbunyi berlututlah si pandai tari yang muda menyembah menerima minuman dari pada mentuanya, tanda ucapan terima kasih.

Setelah sekalian regén-regén yang hadir, mengucapkan selamat, barulah ia boléh berhenti menari dan pergi duduk kembali dekat istennya. Sebentar lagi pengantinpun berangkatlah. Dan jamu bangsa Eropa yang masih ada lagi pulanglah kerumahnya masing-masing; tetapi kepala-kepala negeri Bumiputera teruslah beramai-ramai sampai pagi. Tuan-tuan itu sekaliannya turutlah juga menari, apalagi tuan asisten-residen kami sangat pandai benar menari cara Jawa.

Ibuku, serta sahabatku yang perempuan dan saya bersama-sama Rukmini duduklah juga melihat keramaian itu sampai waktu jamu bangsa Eropa habis pulang semuanya.

Besoknya tinggallah kedua pengantin itu di rumah menyenangkan diri Dan pada malamnya itu haruslah meréka itu mencukupi lagi adat perkawinannya, yakni kedua pengantin itu perlu pergi menjelang rumah orang tua mempelai. Orang Jawa mengatakan adat itu "ngunduh mantu" artinya kalau dibahasa Melayukan: "memetik menantu perempuan." Menantu perempuan dimisalkan oléh orang-orang tua mempelai seperti bunga yang dipetik oléh meréka itu untuk anaknya yang laki-laki.

Yang sebenarnya kedua pengantin haruslah hendaknya berpakaian pengantin seperti pergi berarak, tetapi karena banyak mendatangkan kesusahan kepada pengantin, sebab itulah tiada dipakaikan. Mempelai berpakaian seperti biasa, adikku bersarung kain keemasan dan memakai kebaya sutera. Rambutnya disanggul seperti kepala capung. Pada tempat yang kuberi bertanda ini, diberi berbunga-bunga. ya, sama sekali di atas kepalanya penuhlah dengan bunga melati yang bagus susunannya. Pada sanggulnya itu disisipkanlah iagi bunga-bunga intan yang gilang-gemilang cahayanya.

Kedua pengantin itu duduklah' dikeréta, dimuka dan di belakang keréta itu berjalanlah sekalian kepala-kepala negeri, yang turut berarak pergi menjelang rumah tempat bapak mempelai menumpang.

Berhari-hari, berpekan-pekan sesudah pêrkawinan itu, kedua meréka itupun dikatakan orang juga anak-dara dan mempelai. Dan anak-dara dikatakan orang sampai ia beranak. Adalah juga perempuan-perempuan dan ibu-ibu, yang' selama hidupnya dikatakan orang "ngantén", yakni kepéndékan dan pada "pengantin".

Bebarapa hari sesudah beralat, pergilah meréka itu mengunjungi sahabat-sahabatnya bangsa Eropa dan handai tolannya.

Lima hari sesudah kawin, beralatlah sekali lagi dikabupatén; karena hari pekan yang pertama sesudah kawin menurut adat Jawa harus dimuliakan.

Sepekan sesudah beralat besar itu, maka kedua pengantinpun berangkatlah meninggalkan rumah orang tuanya. Dimana-mana meréka berhenti, selalu disambut dengan segala kehormatan dan sukacita oléh sanak saudara.

Di Tegal peralatan itu diulang sekali lagi; "disana meréka itu tinggal sepekan, kemudian barulah pergi ketempatnya sendiri di Pemalang.

Demikianlah ceritera peralatan kawin orang Jawa yang besar-besar. Adikku kawin dikatakan dengan peralatan kecil, sebab kami tiadalah memakai sekalian adat upacara. Walaupun demikian bukan buatan susah kami mengerjakannya; dan betapakah susahnya lagi kalau beralat dengan adat yang selengkapnya?

Kami sesudah beralat hampir tiada berdaya lagi. Pemberian yang dibawa orang ketika beralat kawin, yakni: kain sarung, kain pinggang, kain kepala, dan sutera untuk kebaya, laken bakal baju jas dan ada juga makan-makanan seperti: beras, telur, ayam dan kerbau; sekalian itu terutama dipergunakan selama dalam beralat.

Kardinahpun ada mendapat seékor sapi jantan yang bagus dari bapak muda. Dan pemberian itu patutnya diperlihatkan pula bersama-sama dengan barang-barang anugerah yang lain!!!

O ya, ada lagi yang hendak saya ceriterakan, kalau orang menyembelih kerbau ketika beralat kawin itu — biasanya menyembelih lebih dari pada seékor — maka pada beberapa jorong digali orang lubang dan dimasukkan ke dalam lubang itu sebuah ketiding yang berisi sirih, kué², pinang, daging sesayat, darah kerbau yang disembelih itu sedikit dan bunga-bungaan, atau diletakkan ketiding yang berisi itu disimpang-simpang jalan, jambatan dan disumur; sekalian itu gunanya untuk sedekah kepada jin dan sétan yang tinggal disana. Kalau tiada dibuat demikian, maka jin dan sétan yang tinggal dijorong, disimpang, dijambatan dan disumur itu marah nanti kepada meréka yang beralat itu, dan merékapun tentulah akan dicelakakannya. Demikianlah kepercayaan Bumiputera! Dari mana asal kepercayaan itu tidak tahulah saya.

Bagaimana pikiranmu tentang hal itu sekaliannya, Hilda? Seorang sahabat kami mengatakan bahwa bangsa Jawa itu, yaitu satu bangsa yang penuh dengan ceritera dan kabar yang ajaib-ajaib. Siapakah yang akan membawa bangsa kami yang penuh dengan ceritera wayang dan ceritera yang ajaib-ajaib itu kepadang kemudian, hidup yang sebenarnya? Kesanalah kami harus pergi. Kalau kepercayaan yang sia-sia itu telah hilang lenyap, niscaya tidak gunalah kami menginjak-injak kehéranan dan kebagusan dalam ceritera-ceritera itu.

Apa pulakah yang kukatakan itu? Dari pada membicarakan itu lebih baik saya bertanya kepadamu, besarkah hatimu membaca karangan yang panjang ini, dan sukakah engkau memaafkan kesalahanku, karena telah menyuruh engkau menunggu sekian lama? Sesungguhnya banyaklah hal yang bagus dan ajaib-ajaib dihati dan alam bangsa kami, terutama banyak kehéranan dalam kepercayaan hatinya yang masih seperti anak-anak itu.

Tentu engkau tercengang mendengarkan sekalian hal itu, tetapi benarlah kataku itu, bahwa engkau bangsa Eropa telah mengajar saya mengasihi dan mencintai bangsa dan tanah airku sendiri. Pendidikan kami yang seperti adat Belanda, tiada akan menjauhkan kami dari pada bangsa kami, melainkan ialah yang membawa kami bertambah dekat kepadanya. Pendidikan itulah yang membuka mata dan hati kami akan mengetahui kebagusan yang tersimpan pada tanah dan bangsa kami, dan ialah pula yang membukakan mata kami akan mengetahui kesusahan dan kesengsaraan meréka itu. Bukan buatan cinta kami kepada tanah dan bangsa kami! O! dapatlah kiranya kami hendaknya menolong nasib meréka yang malang itu. Kalau dapat berapalah sukacita kami!

Tetapi tidak gunalah saya lebih lama lagi menggaduh engkau, dengan cakar ayam seorang anak gadis Jawa yang "gila" ini. cukuplah sehingga ini dahulu.

Hubungan surat:

Pada beberapa tempat, adatnya ketika kedua pengantin itu baru bertemu, maka sebelum anak-dara mencium lutut suaminya, haruslah lebih dahulu membasuh kaki mempelai akan tanda si perempuan memperhambakan dirinya.

Jikalau seorang janda laki-laki kawin dengan anak gadis, atau janda perempuan kawin dengan seorang anak bujang, maka sesudah melémparkan sirih, maka janda itupun menunjukkan sekerat kayu yang masih berapi kepada si gadis atau si bujang yang belum kawin; dan dalam hal itu si janda menerima pula sebuah kendi yang berisi air akan pemadamkan api itu. Setelah api itu padam dan air dalam kendi kosong, maka kayu itupun dibuangkan dan kendi itu dipecahkanlah. Apa maksud atau arti perbuatan itu, tidak guna saya terangkan, karena mudahlah dima'lumi.

Engkau hendaknya patut sekali melihat adikku tatkala ia duduk bersama seperti patung Budha dimuka kwade itu, betul-betul bagus. Baik benarlah sedianya disuruh porterét atau yang lebih baik lagi disuruh gambar dengan tangan, sehingga sekalian warna yang dipakainya itu dapat dilihat dengan seterang-terangn ya.

Betapa halus tertib dan sopannya waktu berjalan di atas permadani dengan bunga-bungaan sebanyak itu serta harumnya ditambah lagi dengan bau dupa, tidak dapat saya perikan. Tetapi rupanya hampir seperti Budhisatwa.

Kalau saya sekarang mendengar bunyi gamelan dan mencium bau bunga-bungaan yang bercampur dengan bau dupa, maka terkenanglah oléhku keadaan adikku yang telah lalu.

Banyaklah meréka itu yang memungut bunga-bungaan yang tertabur di atas permadani tempat adikku berjalan itu, karena menurut kepercayaannya, bunga itu membawa untung baik kalau disimpan; dan kalau anak-anak gadis yang menyimpannya, akan berutung mendapat suami!!!

Padaku sekarang adalah sebuah kitab agama Budha, yang bernama "De ziel van een volk" (nyawa suatu bangsa); isinya amat bagus!

27 Maart 1902 (VIII)

sunting

Celaan dan penghinaan orang banyak tiadalah kami indahkan; tetapi kesayangan meréka itu yang berbudi, yang seribu kali lebih tinggi darajatnya dari pada meréka itu, amat besar harganya kepada kami, karena ialah yang membesarkan hati bekerja, memberi kekuatan, pertolongan dan penghiburan hati. Bagaimana juga kesudahannya, janganlah tuan jemu berbuat baik; itulah kalimat yang saya baca tadi, dan menurut pikiran kami sekalian cita-cita kami mémanglah baik.

Sekalian orang tahu, bahwa biasanya anak gadis bangsa Jawa dikawinkan oléh orang yang mengasuhnya dengan tiada setahu si anak. Betul di tanah Sunda anak-anak perempuan kenal akan jodohnya, pernah melihat dan bertemu dengan dia, tetapi cobalah tanyakan, di tempat manakah yang lain di tanah Jawa diperbuat orang demikian?

Wahai, cobalah lihat di rumah orang yang "baik-baik dan berada!" misalnya dikabupatén. Tiadalah saya tanyakan, bagaimana pikiran perempuan-perempuan dan perasaannya tentang hal itu, tetapi saya tahu betapa anak-anak gadis yang mendapat pendidikan cara Eropa memikirkan hal itu. Sekiranya hal itu tidak dapat dipikirkan oléh meréka itu, tetapi tentulah sekurang-kurangnya ia merasa, betapa ia dihinakan orang.

"Meréka itu hidup bersenang-senang!"

Kesenangan melipurkan kedukaan dan perasaan perempuan. Meréka itu tidak boléh mengadukan halnya, karena ia telah membuat hal itu menurut kehendak hatinya sendiri! Tetapi bagaimana anak-anaknya? Apakah yang lebih lagi menghancurkan hati lain dari pada kalau melihat kehidupan anak-anak yang celaka dalam kesengsaraan, karena anak-anak yang semuda itu telah merasai selekas itu akan kesusahan dan kekejian hidup? Apalagi anak-anak gadislah yang teraniaya benar, karena setiap hari meréka dipaksa membunuh perasaan hatinya. Tiadakah namanya itu meruntuhkan kemauan alam, jika seorang laki-laki tiada berbudi, memaksa isteri-isterinya wajib berjinak-jinakan seorang dengan yang lain?

Patut benarlah sekarang anak perempuan bangsa Bumiputera sendiri berani mengeluarkan suaranya!

Dan maukah juga nanti orang mengatakan dengan hati yang tetap: "Meréka itu hidup bersenang-senang, kalau sekira dilihatnya pula apa-apa yang telah kami lihat, dan diketahuinya pula apa-apa yang telah kami ketahui?"

Saya telah menyalin buah pikiran tuan Prof. Max Müller, seorang jérman yang pandai dalam bahasa-bahasa tanah Timur, babad, tambo d.l.l. Beginilah bunyinya: "Beristeri banyak seperti adat bangsa-bangsa disebelah timur, itulah suatu "kebaikan" bagi perermpuan-perempuan dan gadis-gadis, yang tidak dapat hidup di tanah airnya kalau tiada bersuami, atau kalau tidak ada seorangpun yang akan menjaganya."

Max Müller telah meninggal, tidak dapat lagi kami memanggilnya kemari akan menyuruh memperlihatkan kepada kami, dimana benar "kebaikan" beristeri banyak itu terdapatnya. Acap kali orang mengajar kami serta mengatakan, bahasa kalau perempuan tidak kawin, itulah yang sebesar-besar malu, lagi berdosa besar. ya, kerap kali benar orang mengatakan sedemikian kepada kami.

O, dihinakan dan dicela orang benar perempuan yang tiada bersuami itu. Kami ingin benar hendak pergi ketanah Belanda, karena tanah Belanda itulah yang akan membébaskan kami.

Tanah Eropahlah yang akan memberi kami berdinding besi, yang akan menangkis dan mengalangi segala asutan dan penghinaan orang banyak di Hindia ini!

Akan menjadi bébas harus kawin dahulu, sesudah itu bercerai lagi! Tetapi bercerai tidak mudah pula. Kalau suami tidak suka, kelangitpun perempuan berteriak tidak akan dapat kebébasan itu; tetapi kalau si laki hendak bercerai, tidak usah ia menanya kemauan isterinya, setiap waktu boléh perempuan itu diusirnya. O, Allah! dimanakah letaknya rahmat dan keadilan untuk dunia perempuan dalam hal itu? Boléh juga perempuan membébaskan dirinya yaitu dengan uang, ia wajib membayar uang sekian banyaknya. Itulah pula suatu keadaan yang buruk benar, yang dilakukan oléh laki-laki kepada ikan dalam belanganya! Tetapi bagaimanakah kami akan dapat meminta keadilan, kalau di tanah Barat, tanah yang telah tinggi kesopanannya, masih juga menyamakan perempuan dengan anak-anak atau orang-orang gila? tidak guna saya memperkatakan hal itu lagi, nantilah pula saya hubung.

8 April 1902 (VIII)

sunting

Tambo tanah Belanda yang dahulunya, ketika saya masih bersekolah, tidak pernah menarik hatiku untuk mempelajarinya karena menjemukan hati, sekarang barulah membesarkan hatiku. Girang hati membacanya, apalagi banyak kabar yang indah-indah didalamnya. Kitab yang kubaca sekarang jauh berlainan dengan kitab yang kubaca disekolah.

Belajar ketika telah ber'umur ada pula kebaikannya; sekaranglah baru kami mengerti dan dapat memahamkan perkara-perkara yang diajarkan dengan mudah. Banyak perkara yang dahulu seperti benda yang "mati" saja, tidak dapat menarik hati kami, sekarang telah bersemangat dan bernyawa, suka benar kami hendak mengêtahui sekarang keadaan benda-benda itu. Dahulu tidak mau kami mengindahkannya, karena kami tidak dapat mema'luminya. Alangkah beruntung kami, kalau sekiranya ada kami menaruh sekarang guru yang pandai menguraikan perkara-perkara yang hendak kami ketahui! Guru-guru yang berdiam diri dirumahlah yang wajib memberi kami jawaban akan sekalian pertanyaan kami. Hari ini saya mengajarkan 'ilmu "bahasa". Anak-anak kecil itu tercengang-cengang saja melihat apa-apa yang saya perbuat, sebab meréka tiada mengerti, tetapi mestilah diajarkan juga. Apabilakah akan tiba masanya kami dapat memeluk kepandaian dimuka bumi ini, seperti seorang laki-laki yang mengasihi isterinya?

......................................................................................

Kita harus mencahari dalam ingatan kita sekalian pikiran yang baik-baik; kalau tiada kedapatan biarlah yang ada dalamnya meski yang tidak baikpun digosok bersih², supaya boléh bercahaya; itulah suatu akal, supaya hidup boléh mendapat kesukaan, bukan? Telah banyak kupikirkan tentang hal yang dikatakan orang "hidup senang". Dalam beberapa hal yang kulihat dalam beberapa hari yang baru lalu ini acap kali terkenang oléhku akan kalimat itu, dan pahitlah senyumku memikirkannya. O, nyonya yang kucintai! Rupanya tidaklah akan sekali ini saja orang merahsiakan dan menidakkan sesuatu hal yang kejadian! Dunia ini masih penuh berisi manusia yang mengatakan dirinya mempunyai kesopanan tinggi. Karena itulah maka meréka itu tidak mau melihat keadaan dan kebenaran yang sesungguhnya, sebab sekalian itu diumpamakannya seperti seorang perempuan yang bertelanjang bulat, dan dipalingkannyalah mukanya, sambil mencela dan menghinakan perempuan itu.

..........................................................................................................................................

Petang ini runtuhlah rasanya hati kami melihat suatu contoh kesengsaraan hidup. Adalah kami bertemu dengan seorang anak yang ber'umur 6 tahun sedang menjual rumput. Anak itu kira-kira sebesar anak bapak muda. Waktu memikul rumput itu tiadalah tampak badannya, hilang di antara kedua rajut rumput yang dipikulnya itu, hanyalah seperti dua buah rajut rumput yang tampak oléh kami berjalan. Bapak menyuruh memanggil anak itu, dan disanalah kami dengar kabar penanggungannya, perasaan yang ditanggung oléh beratus-ratus, ya, beribu-ribu kawannya yang lain didésa-désa. Anak itu tiada berbapak lagi, ibunya pergi bekerja dan di rumah tinggallah dua orang adiknya laki-laki. Ialah anak yang tua. Kami tanyakan kepadanya: sudahkah ia makan? "Belum," jawabnya. Meréka itu makan nasi sekali sehari, yaitu malam hari, kalau ibunya telah pulang; tengah hari dimakannya kué sagu sebuah yang berharga setengah sén.

Saya pandanglah anak yang sengsara itu, kemudian saya pandang lagi anak muda yang sama besar dengan dia itu, dan teringatlah oléhku, bahwa makan kami 3 kali sehari; itulah yang menghancurkan hati kami.

Kami beri ia makan, tetapi ia tidak mau memakan makanan itu disana, makanan itu dibawanya pulang.

Sayapun memandang anak kecil itu sampai hilang dari mataku; perkakasnya hanyalah sebuah pemikul dan sebuah sabit. Banyaklah pikiran yang timbul dikepalaku dan perasaan dihatiku ketika memandang anak itu dari jauh.

Malulah saya memikirkan kelobaan diriku sendiri. Saya hanya memikirkan dan mengenangkan halku sendiri; tetapi lihatlah diluar rumahku, amat banyak orang yang lebih celaka dan sengsara! Sebentar itu juga seperti kedengaranlah oléhku orang dikelilingku mengeluh dan memekik meminta tolong sampai keudara karena kesengsaraan. Lebih kuat lagi dari pada keluh dan pekik yang terdengar ditelingaku, suara yang mengatakan: "Bekerja, bekerja! bekerja! Berperanglah engkau merebut kebébasanmu itu! Kalau engkau telah bébas oléh karena bekerja itu, barulah dapat engkau menolong orarig lain! Bekerja! Terang sekali kedengaran oléhku suara itu sedemikian terangnya, sehingga seperti tampak oléhku tertulis dipemandanganku, menyuruh saya menuliskannya kepada tuan, karena tuanlah yang mau menurut bersama-sama menanggung perasaan kami. Tuan kedua saya taruh dihatiku, dan kaum keluargaku sekalipun tiadalah kukasihi demikian. Dalam pikiranku bersama-sama dengan tuanlah hati dan nyawaku, tuan kedua telah menjadi hati jantungku sejak kita berkenalan! Alangkah ajaibnya hidup didunia ini, belum berapa lamanya yang lalu, saya tidak tahu, bahasa tuan kedua adalah hidup didunia ini dan tuanpun tidak tahu pula kepadaku, tetapi sekarang tuan tidak dapat diperceraikan lagi dengan saya!

27 April 1902 (VII)

sunting

Dari sejak kecil saya suka belajar dan selalu niat dan maksud saya yang terutama sekali hendak mengetahui sekalian hal, supaya saya boléh memberi paédah dalam hidup bersama-sama. Berapa sukanya hatiku hendak turut belajar bersama-sama dengan anak laki-laki bangsa kami disekolah menengah (H.B.S.), tetapi sayang tiada dikabulkan! Telah beruntunglah kami, karena kami telah dapat mengunjungi sekolah Belanda itu, sebab bukanlah adatnya anak-anak gadis pergi kesekolah; dalam hal itu kami meminta terima kasih kepada bapak kami, karena keberaniannya telah merusakkan adat, menyuruh kami bersekolah. Pengetahuan dalam bahasa Belanda mernberi kami kesukaan yang tiada tepermanai banyaknya. Ialah yang membukakan kazanah ni'mat bagi kami, yang dahulunya tidak tahu kami akan keadaannya.

Apa-apa yang bagus pada bangsa asing, suka kami memberikannya kepada bangsa sendiri, tetapi tidak adalah maksud bagi kami hendak membuang apa-apa yang bagus pada bangsa kami dan menggantinya dengan benda-benda bangsa asing; melainkan itu berguna kepada kami akan menambah kebagusan kepunyaan kami. yakni akan mengangkat darajat bangsa dan membawanya kepada kelakuan dan kesopanan yang lebih tinggi, sehingga keadaan kemanusiaannya menjadi baik dan beruntung; itulah cita-cita kami. Sekalian peperangan hidup kami berguna untuk mencapai cita-cita itu. Tetapi bagaimanakah kami akan mencapainya? dan apakah mulamula akan dikerjakan? Kita harus mulai bekerja pada permulaannya. Dan permulaan itu bernama: pendidikan!

O! acap kali timbul dihati kecil kami, tiap-tiap kali apabila kami mengenangkan kesusahan dan ratap-tangis meréka itu, karena kesengsaraan badan dan hati, suatu pengharapan yang amat sedih: "Berilah orang Jawa pendidikan yang baik." Sama sekali, sekalian anak negeri sekarang akan diberi pendidikan yang baik, tentulah tidak dapat, hanya boléh jadi kalau dimulai dahulu dengan orang yang patut-patut dan kemudian berangsur-angsur dilébarkan sampai kepada bangsa yang dibawahnya!

17 Mei 1902 (I)

sunting

Tidak dapat kukatakan kepadamu betapa besar hatiku, karena barulah sekarang saya boléh lagi terus belajar. Sekarang saya mengulang pengetahuan yang telah kuketahui dahulu. Telah lebih dari 10 tahun saya keluar dari sekolah; dan héranlah saya karena tiada sekaliannya telah saya lupakan. Adalah pula keélokan dan keuntunganku lambat belajar itu, yaitu saya sekarang lebih mudah mengerti dan memahamkan pengajaran dari pada témpoh masih kecil. Sayang sekali 'umurku sekarang telah 23 tahun, tidak lagi tiga belas tahun seperti dahulu. Waktu itu tentulah saya dapat banyak menambah pengajaranku, tetapi saya sekarang terikat oléh 'umurku. Mula-mula saya hendak mengambil diploma guru Belanda dan kemudian saya toèrut dalam ujian mengambil diploma satóe atau dua bahasa anak negeri.

Sebentar ini saya harus berhenti bekerja, karena tangkai pénaku patah, belum pernah kejadian hal sebagai itu padaku! Kasihan, pada pénaku itu! Saya sayang kepadanya, karena telah lama kami bekerja bersama-sama dengan hati yang girang.

Saya ini seperti orang gila, karena siapakah yang mengeluh demikian, sebab tangkai pénanya yang patah?

Pada bulan April yang baru lalu, kami pergi berjalan jauh, karena kami hendak pergi melihat adik kami. Ketika kami berangkat dari rumah, tiadalah kami berhajat pergi kepadanya, melainkan kami hendak pergi melihat saudara perempuan kami yang tua, yang déwasa itu sedang sakit. Disana kami terima surat dari pada adik kami, yang bersungguhsungguh meminta, supaya perjalanan kami itu mestilah diteruskan sampai ke Pemalang. Bésok harinya kami berkerétaapilah pergi kesitu. tidak dapatlah saya menceriterakan pertemuan kami itu! Betul-betul sangat menggirangkan hati kami! Mula-mula tiadalah lain, yang kami perbuat hanyalah seorang melihat yang lain, lalu tertawa tersenyum-senyum dengan berpegang-pegangan. Meminta syukurlah saya melihat adikku itu dalam séhat wa'lafiat. Lebih-lebih dari dahulu rupa badannya sekarang, adalah semisal bunga yang baharu kembang. Pipinya mérah sebagai pauh dilayang. Bertambah-tambah banyak saya meminta syukur melihatkan betapa suaminya menghormati dan menghargainya.

Betul girang sungguh hatiku memperhubungkan tali salatu'rrahim dengan saudaraku yang baharu itu. Ia seorang yang baik hati dan banyak sipat yang baik-baik terdapat padanya. Ia selalu berkata benar, adil dan setia serta berhati yang pengasih dan penyayang. Adikku itu tidak saja isterinya, tetapi juga menjadi kawannya, sahabatnya yang perempuan dan ibu dari pada anak-anaknya, yang tiga orang itu, yang mengasihi adikku sebagai ibu kandungnya sendiri.

Anak-anak itu selalu menurutkannya kemana-mana, seperti kucing mau. Anaknya yang sulung ber'umur tujuh tahun, tinggal di rumah nénéknya. Adikku itu suka benar hendak membawa si anak itu kerumahnya, dan anak itupun amat sayang kepadanya dan mau pula datang kesitu, tetapi nénéknya tidak mau melepaskannya. Anaknya yang dua orang lagi anak perempuan baru ber'umur 4 dan 6 tahun; sekarang adikku mengajar meréka itu di rumah, dan anak-anak itulah nanti bakal jadi murid-muridku, Stella! Suaminya menyerahkan pendidikan anaknya sama sekali kepada adikku, tentulah adikku akan mengasuh anak-anaknya itu seperti cita-cita kami. Adikku tatkala masih gadis tidak dapat menyampaikan kenang-kenangan kami, tetapi kerja yang ditanggungnya' sekarang kurang baguskah itu? Ia selalu boléh menaburkan kebajikan kesana sini.

Jalan yang kami turut sungguhlah berlain-lainan, tetapi kami kedua dalam itu sama-sama bermaksud akan menghasilkan cita-cita kami itu. Kalau jalan yang diturut itu berlainan sekalipun tiadalah ia akan menjadi alangan, bukan? asal saja jalan itu baik dan kitapun sampai ketempat yang ditujui itu.

.................................................................................

Saya berniat sungguh-sungguh hendak pergi kenegeri Belanda, adalah beberapa sebabnya. Pertama karena disana lebih baik dari pada disini melengkapkan sekalian keperluan untuk kerjaku nanti, yang akan kutanggung; kedua saya hendak bernapas dalam udara di tanah Eropa akan membuangkan kecelaan yang masih ada pada diriku; sungguhpun tidak banyak, tetapi ia mengganggu usahaku. Negeri Belanda wajib dan akan menjadikan saya seorang perempuan yang bébas sebenar-benarnya. udaramu, kedinginan tanah airmu wajib menarik dan membuangkan sekalian kecelaan yang ada pada diriku; sesudah itu barulah saya bébas!

Dengarlah umpamanya ini: Saya tiadalah akan berhati gentar dan malu-malu akan menempuh sebuah bilik besar, yang penuh dengan tuan-tuan bangsa Eropa; tetapi amat bingung saya rasanya akan menerima seorang laki-laki bangsaku yang tidak kukenal, dan yang belum beristeri menjadi jamuku. Engkau tentu mengatakan kelakuanku yang sedemikian bodoh, tidak patut dan gila, tetapi sekalian itu benar; saya tidak berani umpamanya, lalu dimuka orang laki-laki asing, kalau tidak ada pengiringku. Sekiranya ada pengiringku tiadalah senang hatiku menempuhnya, karena malu!

Sekarang ma'lumlah engkau, sungguhpun besar kehendakku akan bébas, tidak dapatlah juga saya menjauhkan diriku dari pada kekerasan pendidikan bangsaku, yang memperceraikan sungguh-sungguh dunia anak-anak perempuan dengan dunia anak-anak laki-laki. Selalu dipertaruhkan orang kepadamu, bahasa tidak patut anak gadis menampakkan dirinya kepada mata laki-laki asing dan harus senantiasa menjauhi tempat laki-laki; dan dengan hal yang demikian tidak héranlah lagi, yang anak gadis itu sangat sekali takut akan bertemu dengan machluk itu. Hal yang seperti itu mestilah berubah; dan kecelaan itu wajiblah hilang. Kalau tiada hilang bagaimanakah kami boléh bekerja bersama-sama dengan laki-laki nanti? Itulah cita-cita kami yang amat besar!

Udara di tanah Eropa sajalah yang dapat membersihkan kekerasan pendidikan bangsaku yang ada pada diriku ini; tanah airmu, Stella, yang akan membuangkan celaan yang merintangi kemajuan itu.

Tertawakanlah saya sesuka hatimu atas perkataanku yang tidak sempuma itu. Tetapi pastilah tanahmu yang akan membébaskan diriku, betul-betul bébas!

Pada 19 April baliklah kami dari perjalanan itu. Bapakku menjemput kami dari setasiun, yang tiada berapa jauhnya dari rumah, dan diceriterakannyalah kepada kami dengan riang, bahwa ia dapat surat kawat yang panjang isinya, dari pada tuan residén, mengatakan kabar baik, yakni tuan van Kol akan datang bésok ke Jepara. Itulah suatu surat selamat datang yang amat menggirangkan hatiku, apalagi di rumah telah menanti pula suratmu. Sekalian pegawai yang berkedudukan disepanjang jalan yang akan dilalui oléh tuan van Kol dapat perintah dari pada tuan residén akan menunggu kedatangan tuan itu. Dalam perjalanannya dari Semarang ke Jepara sekaliannya diperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

Alangkah rajin dan tajam otaknya! tidak ada yang tiada diselidikinya. Melihat, mendengar, memasukkan kepikiran, memahamkan, sekalian itu telah 'menjadi satu padanya. Hari Ahad kira-kira pukul 3 petang sampailah tuan van Kol ke Jepara dengan seorang juru kabar, yang menjadi penunjuk jalan serta juru bahasanya, bersama-sama dengan bapak yang pergi menyongsong meréka itu kebatas. Ditengah jalan meréka itu mendapat kecelakaan, yaitu sumbu roda keréta meréka itu patah, dan perjalanan itu diteruskanlah dengan sado yang amat lambat larinya. Beruntung benar tuan itu! karena dimana-mana saja, kalau perlu, dapatlah ia melepaskan lelahnya; di atas sado yang terbanting-banting itu dapatlah ia tidur nyenyak seperti di tempat petiduran yang berkasur.

Tuan itu tidak mau menumpang di tempat-tempat lain, lain dari pada di rumah makan, sebab itulah selalu ditolaknya permintaan orang yang hendak menjamunya menumpang di rumah meréka itu. Ketika ia baru datang, ia bermaksud ójuga hendak menumpang di rumah makan; tetapi setelah ia berkenalan dengan kami, maka diterimanyalah permintaan kami, supaya sekali itu ia menumpang di rumah kami. Kemudian kami dengarlah, bahasa karena kamilah maka tuan van Kol memutuskan maksudnya itu. Dilihatnya disini banyaklah hal-hal yang hendak dijadikannya pengetahuan dan pemeriksaan. Ia hendak menyelidiki, bagaimanakah kebaikan pendidikan bangsa Eropa untuk anak-anak perempuan bangsawan dan itulah sebabnya maka ia tidak mau melepaskan saat yang baik itu.

Untung benarlah kemudian baru kami tahu akan maksudnya itu; jika sekiranya waktu itu kami tahu, bahwa kami akan jadi benda yang akan diselidikinya, tentulah kami akan bergusar hati dan tiadalah akan berlaku seperti yang biasa saja.

Ketika makan tengah hari selalu kami memperbincangkan anak isterinya. Besar hati kami mendengarkan bagaimana ia menghormati isterinya. Karena berkirim-kiriman suratlah ia kenal akan isterinya. Itulah yang memperhubungkan meréka itu, Stella. la berkirim-kiriman surat dengan isterinya itu dahulu, ialah tentang karangan nyonya itu. Dengan tiada disangka-sangkanya diketahuinyalah sekarang, bahwa ia adalah menaruh rahmat Tuhan yang amat baik itu, yakni pandai mengarang. Ia dahulu jadi pendidik, dan pada suatu hari ia pergi dengan kawan-kawannya tamasya kepada sebuah gedung dikaki gunung Penanggungan. (Menurut nama gedung itulah nanti rumahnya di Prinsenhage dinamainya pula sedemikian: "Lali jiwa"). Seorang di antara meréka itu harus mengarangkan perjalanan itu. Ketika diundi, nyonya itulah yang kena. Iapun mengirimkan karangannya tentang perjalanan itu, dan sesudah itu juru kabar kerap kali meminta karangannya lagi.

Tuan van Kol mengunjungi sekalian negeri tempat ia diam dahulu dan tempatnya bekerja. Anak-anak yang dahulu bermain-main dengan anak perempuannya, sekarang dilihatnya telah menjadi ibu. Ia masih tahu akan nama meréka itu. Di Jawa Tengah ia hendak tinggal 4 hari lamanya, dan dalam hari yang empat itu ia hendak tinggal sehari bersama-sama dengan kami. Stella, kesukaan hati kami seperti pada, hari'itu dan malamnya bersama-sama dengan tuan van Kol, telah lama tidak kami rasai. O, alangkah baiknya kalau adikku ada di rumah ketika itu, betapakah ia akan bergirang hati dan jikalau engkau ada disini, Stella, tentulah engkau akan turut berbesar hati bersuka raya; tetapi engkau pada masa itu ada bersama-sama, karena engkau ada selalu dalam kenang-kenanganku, ketika saya duduk dekat tuan van Kol. Hatiku berdebar-debar mengatakan: Stella, Stella. Sekalian itu perbuatan engkau, hai kekasihku, karena engkaulah yang sebenarnya tuan van Kol duduk bersama-sama dengan kami, bercakap, bercengkerma, mengeluarkan pikiran yang menggirangkan hati benar-benar, ialah akan menjadi penebas jalan untuk kami! Saya selalu banyak meminta terima kasih kepadamu, tidak terbalas jasamu oléhku, Stella. Kami semuanya duduk dimuka dipendopo yaitu jamu kami, orang tua kami, Annie Glaser, Rukmini dan saya sendiri. Kami perlihatkan kepadanya sekalian barang-barang hasil kepandaian bangsa kami. Tuan van Kolpun tercengang tersenyum-senyum melihatnya, sambil dituliskannyalah nama barang-barang itu dalam sebuah kitab peringatannya. Beberapa orang dalam majelis itu, berdirilah meninggalkan tempatnya, maka sayapun beralihlah dulu kepada sebuah kursi yang kosong, dekat tuan van Kol itu.

Iapun mulailah bertanya: "Betul Radèn Ajeng hendak pergi kenegeri Belanda? Melchers, yang mengatakan kepadaku." Sayapun membenarkan katanya itu, dan ia lalu terus berkata: "Tetapi susah bagi tuan balik kemari nanti. Dan akan balik kemari itulah suatu kesusahan yang amat besar."

"Apakah maksud tuan berkata demikian?"

Iapun lalu meminta hendak berkata terus terang dan me­ngeluarkan pertimbangannya. jawabku: "Itulah yang saya kehendaki kepada tuan." Iapun berkata pula: "Bagi Radèn Ajeng nanti susah, kalau kawin. Kalau Radèn Ajeng telah pergi kenegeri Belanda, tentulah tuan tidak akan bersenang hati lagi, kalau tuan menjadi isteri seorang kepala negeri."

Diberinya bermacam-macam umpama, bahwa banyak sahabatnya nona-nona Hindia yang terpelajar, yang telah kawin dengan Belanda totok. Meréka itu betul amat cinta-mencintai, tetapi nona Hindia itu tidak dapat hidup cara Belanda dan suaminya tidak dapat hidup cara Hindia; itulah sebabnya banyak perselisihan di antara meréka itu."

Mula-mula saya berdiam diri saja membiarkan dia mengeluarkan buah pikirannya. Sesudah itu barulah saya menerangkan pertimbanganku: "Tuan van Kol, maksudku pergi kenegeri Belanda hendak belajar mencari kepandaian untuk menjadi guru, dan kalau balik nanti ke Hindia, saya hendak membuka sekolah untuk anak-anak kepala-kepala negeri yang perempuan. Saya hendak memberi pendidikan kepada meréka itu."

Ia tercengang melihatlcu, matanya yang hijau itu bersinarsinarlah bergirang hati serta memandang saya, seakan-akan ia berkata dalam hatinya: "Itu bagus, hagus kehendakmu itu, berbahagia maksudmu itu," dan katanya kepadaku: "Tiadakah besar hati Radèn Ajeng menaruh sesuatu maksud hidup?"

Ia bertanya itu dengan beriang hati. keriangan itu kelihatan pada matanya yang bercahaya-cahaya itu Hatikupun besar mendengarkannya; dengan tiada setahuku, keluarlah sepatah kata dari mulutku mengatakan: "Stella". Stella, jikalau sekiranya saya dapat menjelmakan engkau kemari, dekatku barang sebentar, biarpun sekejap mata, maka bumi ini rasanya kecillah bagiku, karana pada saat itu saya mengerti sungguh-sunggosh akan maksudku sendiri; dan hal inilah. menjadi suatu untung dan bahagia serta rahmat bagiku, apalagi cita-citaku itu dihargai oléh orang besar seperti tuan van Kol itu; perasaan hati yang demikian mestilah pula dirasai hendaknya oléh ibu-ibu, kalau dilihatnya pikiran anaknya dima'lumi dan dihargai orang.

Tuan itu sangat memudahkan kerjaku; saya tidak guna banyak berkata, ia mengerti lekas akan maksudku dengan sebsnar-benarnya.

Ia bertanya kepadaku; sudahkah saya memperbincangkan hal itu dengan nyonya Rcoseboom? Tidak, saya tidak sempat mengabarkan hal itu, karena dua kali kami telah bertemu dengan nyonya itu, selalu pertemuan itu dalam majelis besar, sekali dalam keramaian menari dan sekali lagi dalam perjamoaan yang besar. Rupan ya meréka itu diistana di Bogor, menceriterakan hal kami, karena tuan van Kol setiba di rumah kami, tiba-tiba berceritera kepada kami, bahwa tuan besar Gubernur jenderal kenal akan kami ketiganya.

Sayang saya tidak dapat pergi ke Bogor akan bercakap-cakap dengan nyonya Rooseboom. Dalam perbincangan lebih mudah kita mengatakan apa-apa, yang kita pikirkan dan yang kita maksud. Baru-baru ini saya dijamu oléh seorang nyonya, ia meminta saya datang ke Bogor menumpang dirumahnya. nyonya itu kerap kali datang kepada nyonya Rooseboom. Annie Glaser kalau ia telah témpoh pada bulan yang akan datang, akan pergi ke Betawi dan ke Bogor; ia akan pergi juga menyampaikan pesan kami kepada tuan dan nyonya A.. dan akan memperkatakan apa-apa yang terasa dihati kami, dan juga akan pergi kepada nyonya yang kusebutkan di atas tadi. Ah, kalau sekiranya saya dapat pergi bersama-sama dengan dia, alangkah baiknya. Tuan van Kol akan mengirim kabar nanti dari Betawi, apa yang patut kami perbuat, misalnya, menulis surat permintaan dll. dan sebuah lagi, kalau ia telah kembali ke Betawi, haruslah kami mengirim seposcuk surat kepadanya, menga­takan nama dan 'umur kami, ringkasnya sekalian apa-apa yang kami kehendaki. Dan supaya dinegeri Belanda dapat ia miengenangkan kami, haruslah saya mengirim surat kepada isterinya. Permintaan itu telah kerap kali dimintanya dan sayapun suka benar mengabulkannya.

Maksud Rukminipun hendak pergi kesekolah tinggi; itulah suatu maksud yang disukai tuan itu dan juga maksudnya hendak pergi kesekolah urusan rumah tangga untuk perempuan, yang akan dimasukinya, jikalau diketahuinya nanti bahwa ia tidak akan cakap belajar tentang hal kepandaian yang dimaksudnya itu. Ia lebih suka, kalau Rukmini pergi dahulu belajar kesekolah tinggi beberapa bulan lamanya, sebelum ia menetapkan pikirannya untuk pergi belajar tentang perkara urusan rumah tangga itu. Baik benar menurut pendapatannya; kami berdua akan bekerja ber­sama-sama, yang seorang akan memenuhi dan menolong yang lain. Ia selalu berkata: "Pada pendapatanku, bagus benar kedua Radèn Ajeng bermaksud yang demikian dan berani akan mengerjakannya."

Dan juga saya perkatakan tentang hal pengajaran pada segala sekolah 'ilmu keséhatan tubuh dan segala ke­pandaian yang bersangkootan dengan 'ilmu itu; saya katakan kepadanya yang saya nanti hendak bersekolah dalam 'ilmu ke­séhatan tubuh dan kepandaian palut-memalut orang luka, membela orang yang sakit, dan segala pengetahuan itu nanti akan saya ajarkan disekolah kami. Menurut pertimbangannya bagus benar maksud kami itu.

"Di Hindia tidak dapat Radèn Ajeng akan menyampaikan maksud itu, atau boléh juga disampaikan disini, tetapi de­ngan kesusahan yang amat besar. di tanah Éropah mudah be­nar menyampaikannya, karona disitu semuanya boléh didapat, dan dalam beberapa tahun saja, tentulah tuan akan tammat belajar. Radèn Ajengpun telah pandai bercakap, menulis, membaca dalam bahasa Belanda." Akhirya ia berkata: "Kita harus pergi kenegeri Belanda. Kalau maksud Radèn Ajeng demikian haruslah tuan pergi ke Eropa, karena disini tuan tidak dapat menyampaikan maksud yang mulia itu. Sayang sungguh saya kalau tuan tidak dapat menyampaikan cita-cita hati tuan itu." Saya ceriterakan joaga kepadanya, apa sebabnya maka kami hendak tinggal beberapa lamanya di tanah Eropa. Iapun membenarkan perasaan kami itu. Ia membenarkan pula kata kami, yakni kami akan memberi contoh teladan kepada orang banyak, tentu sukalah orang akan menurut buah pikiran kami; tetapi tentulah akan bertambah-tambah kesukaan itu, kalau kami dididik dan dibawah perlindungan Pemerintah bekerja. Bangsa Jawa yang boléh dimisalkan seperti seorang anak yang besar, amat suka akan keindahan dan keemasan. jadi dimana saja Pemerintah yang berkuasa itu mencampurkan dirinya, niscayalah pekerjaan itu akan dihormati oléh orang banyak.

Ketika saya katakan kepada tuan van Kol sekalian citacita dan buah pikiranku itu, maka bertanyalah ia kepadaku menanyakan, dari manakah saya mendapat pikiran yang sedemikian. Dengan sungguh-sungguh hati ia mendengarkan sekalian yang saya ceriterakan itu. Sebentar-sebentar ia bertanya kepadaku: "Maukah tuan menulis surat kepada isteriku ?"

Kamipun memperkatakan tentang hal pendidikan (kalau boléh disebutkan) untuk anak-anak perempuan bangsawan. Tuan van Kol tahu akan isteri regén-regén dan tahu pula, bahwa meréka itu hidup sunyi dan senyap.

Telah adalah waktunya sekarang akan memberi dengan sedapat-dapatnya pendidikan untuk anak-anak perempuan bangsa Jawa. Tuan itulah orang yang penghabisan sekali, tempat saya memperkatakan apa arti perempuan-perempuan dimuka bumi ini. Betapa cinta, hormat dan baktinya bila ia memperkatakan isterinya, dan besar pula ia menghargakan, bahwa isterinya itu seorang perempuan yang tinggi darajatnya, lagi budiman yang menjadi pedoman dan yang memberi petua kepadanya!

Orang besar itu sangat mengecilkan dirinya untuk isterinya...................hanyalah badannya yang kecil itu, tetapi hatinya dan pikirannya sangat besarnya. Itulah yang merawankan hatiku! Saya tatkala dihadapan tuan yang tersebut berhati lemah lembut. Betapakah baiknya bagiku kalau Tuhan yang pengasih penyayang menjelmakan saya nanti ke "Lali jiwa", sehingga saya berpekan-pekan boléh bercampur dengan manusia yang berhati suci dan berpikiran mulia itu.

Bolehkah hal itu terjadi, Stella? Saya tahu benar, bahasa sekalian itu bagus sekali kalau kejadian. Telah beberapa kali, pada waktu yang baru inipun, kusangka yang cita-citaku itu hampir-hampir akan terjadi, tetapi yang sebenainya sekahan itu ialah angan-angan saja. Dan kalau ada apa-apa yang akan merusakkan hati, barulah ia datang dengan sebenarnya.

Sudah banyaklah yang telah kami tanggungkan untuk cita-cita kami itu, Stella; sekalian itu kami ketahui, demikian juga banyak, ya, lebih banyak lagi yang akan datang, yang akan kami tanggungkan. Mudah-mudahan Allah memberi berkat dan paédah bagi sekalian penanggungan dan peperangan hati kami itu, dan timbullah hendaknya karena itu bunga-bungaan yang harum untuk sesama kami perempuan. Kamipun akan meminta syukur juga, kalau sekiranya peperangan kesedihan hati dan ratap tangis kami itu hanya menghasilkan sebuah bunga saja untuk meréka itu! Kalau kami tidak dapat pergi ketanah Belanda, biarlah kami pergi ke Mojowarno. Banyaklah cita-cita kami nanti yang akan hilang lenyap, tetapi tuan turutlah bersama-sama dengan kami mengucap syukur kepada Allah, karena kami telah pandai menjaga budi pekerti kami selalu tinggal tinggi. Pergi ke Mojowarno artinya kepada kami, bahwa telah berpulang kerahmatu'llah dari dunia cita-cita kami untuk hidup bersama-sama, tempat kami tinggal selama ini, dan sekarang kami hidup lagi untuk beberapa orang yang sungguh kasih kepada kami, dan yang pikirannya kami hargai benar-benar, ya, untuk meréka itulah saja keperluan hidup kami. Kami tidak dapat lagi berbuat barang sesuatu untuk kemanusiaan perempuan-perempuan bangsawan, yang hidup dalam sengsara (kebanyakan di antaranya bernasib yang demikian) dan itulah pula yang amat mengibakan hati kami. Kami dapat memberi pertolongan kepada meréka itu, hanyalah dengan péna dan dawat saja. Tetapi bukti sebuah contoh yang nyata, lebih baik dari pada seruan seribu kata-kata yang bernyawa. contoh itulah yang dapat menguatkan arti kata-kata itu. Bagi kami pergi ke Mojowarno suatu pekerjaan yang mudah, disana tiadalah kami akan mendapat kesusahan, dan tiadalah pula celaan akan kami tanggung. Anak negeri disana suka benar menerima kami. Peperangan yang akan ditanggungkan disana, ialah peperangan dengan diri sendiri, dengan bermacam-macam keadaan yang ganjil dalam pendidikan kami.

Adalah orang yang memberi saya pikiran menyuruh menuliskan sekalian yang telah kupikirkan dan kurasai, tentang kelaliman laki-laki dalam dunia perempuan bangsa Bumiputera, sehingga banyaklah di antaranya yang menanggung hidup celaka dan sengsara itu. Sekalian ini baik kutuliskan dalam sepucuk surat atau sebuah kitab, dan surat atau kitab itu dipersembahkan kepada Seri Baginda Maharaja Belanda. Niscaya banyaklah kebaikannya perbuatan itu untuk cita-cita kami, sebab perempuan bangsa Jawa sendiri yang menunjukkan kelaliman itu. Tetapi saya harus benar tahu, apa yang akan saya perbuat itu. Kalau saya mengeluarkan suara tentang hal itu, maka sekalian laki-laki bangsa Jawa tentulah akan marah dan benci kepadaku. Saya tahu betul hal itu, dan bagi diriku sendiri tiadalah saya takut akan kemarahan dan kebencian meréka itu, tetapi kalau saya nanti menjadi guru, boléh jadi saya berdiri dimuka kelas yang tiada bermurid. Kepada orang yang demikian halnya, tentulah meréka itu tidak kan mau menyerahkan anaknya. Kalau saya berbuat yang demikian itu, tidak ubahnyalah seperti saya memukul kelobaan hati laki-laki. jagalah hati-hati meréka yang berani mengusik dunia kesenangan laki-laki yang telah berurat berakar itu!

Jawab tentang pertanyaanku, apabilakah anak gadis Islam berhak mendapat kemerdékaan, telah kuterima. Bunyinya: "Anak gadis bangsa Islam tidak pernah mendapat kemerdékaan; kalau ia hendak bébas haruslah ia kawin dahulu, sudah itu boléhlah ia bercerai dengan suaminya itu."

Kami anak-anak gadis harus mensahkan sendiri hak kemerdékaannya, dan memaksa dunia ini menyuruh mengaku akan kebébasan itu; hal itu mesti kami lakukan! Engkau telah tahu bahwa tuan van Kol datang kemari dengan seorang juru kabar, tuan itu mengarangkan perjalanannya bersama-sama dengan tuan van Kol. Kedatangan meréka itu kekabupatén japarapun diceriterakannya pula. cobalah engkau pikir, dalam karangannya itu diceriterakaimja pula sedikit perbincangan kami dengan tuan van Kol. Sekarang tahulah orang kemana tujuan kami. Saya harap benar yang pemberi tahuan itu janganlah hendaknya merusakkan cita-cita kami, melainkan akan memberi paédahnya. Baru sekali itulah namaku disebut orang dalam hidup bersama-sama yang bertali dengan bangsaku, mémang disanalah nanti tempat namaku itu!

Keadaan itu amat membesarkan hatiku, Stella, karena namaku disebut setali dengan bangsaku, bangsa Jawa!

..............................................................................................

Simpanlah oléhmu porterét itu akan jadi suatu tanda mata dari perserikatan kami bertiga. Sayang si tiga sejoli waktunya telah lalu, telah habis dan amat bagus keadaannya; itulah sebabnya maka sekarang kami harus bercerai-berai. Porterét itu ialah porterét yang sebaik-baiknya, gambar kami bertiga, dan serupa benar masing-masing kami didalamnya. Porterét itu dibuat pada hari Maulud nabi Isa. yakni porterét kami yang kesudahan, ketika kami bertiga masih menjadi anak-anak gadis. Porterét itu menimbulkan dukacitaku melihat perkumpulan kami bertiga itu. Sungguh bagus benar keadaan kami dahulu itu, hati tiga bertangkai satu, dan sekarang yang sebuah telah gugur dari tangkainya. Boléhkah luka yang sedemikian akan menjadi sembuh? Saya tidak tahu, dan kalau ia tersinggung sedikit saja, maka darahpun keluarlah.

O, Stella, engkau tidak tahu betapa kesusahan hati kami kehilangan adikku itu. Sekaliannya menimbulkan ingatan mengenangkannya, dan sekaliannya membisikkan adik kekasih kami itu. Pada perasaan kami sekarang kami telah terlalu tua, percampuran kami seperti telah berzaman-zaman lamanya telah lalu. Tetapi yang sebenarnya belumlah cukup setengah tahun adikku itu meninggalkan kami!

26 Mei 1902 (V)

sunting

Surat nyonya yang kemudian sekali yang didalamnya menerangkan kesukaan dan kesayangan nyonya tiada berhingga kepada bangsa Jawa, kerap kali kuulang-ulang membacanya. Besar sungguh-sungguh hatiku melihat tuan berhati penyayang dan peramah untuk memikirkan bangsaku bangsa kulit hitam itu. O, kalau sekiranya saya boléh berdekatan dengan tuan sekalian disini, suka benarlah saya hendak memperlihatkan berbagai-bagai keadaan bangsa kami kepada tuan. Dimanakah dapat orang memperhatikan dan mema'lumi akan hal keadaan sesuatu bangsa dengan sebaik-baiknya, kalau tiada pada tempat meréka itu sendiri, dan disini kami betul-betul dalam kampung Jawa? nyonya telah tahu, bahasa tuan sekalian selalu boléh datang kepada kami, dan kamipun dengan suci hati menerima kedatangan tuan itu. Pada perasaanku baik sungguh hati nyonya suka menerima saya di rumah tuan, tetapi apa boléh buat, karena saya sekarang hanyalah boléh menerima sekadar kesukaan tuan itu saja. Sedangkan pergi berjalan ke Bogor waktu ini masih banyak alangannya. Tetapi siapa tahu kalau-kalau perubahan dalam hal itu akan lekas datang! Siapa tahu, sebab banyak kali apaapa yang sekarang mustahil, ésok harinya telah kejadian. Bangsa Jawa yaitu bangsa yang penuh dengan kenang-kenangan dan ceritera yang ajaib-ajaib, dalam bermimpi dan kenang-kenangan, banyaklah kejadian hal-hal yang ajaibajaib. Dan hatiku, hati Jawa itu memegang kenang-kenangan itu sangat teguh-teguh; kalau sekiranya pada zaman purbakala boléh terjadi hal yang ganjil-ganjil, tentulah sekarang boléh juga terjadi hal yang sedemikian!

O, sekiranya nyonya tahu apa yang dimimpikan anak-anak Jawa sahabat nyonya itu! Kalau saya ceriterakan, boléh jadi tuan akan tercengang mendengarnya, tentulah ganjil pada pikiran tuan. Tetapi saya berharap, janganlah tuan beriba hati dan akan mengangkat bahu mendengarkannya. nyonya tahu, bahwa saya suka sungguh hendak pergi ketanah air tuan, bukan? Tetapi tuan tidak tahu apa sebabnya dan apa perlunya kami pergi kesana. Sekalian orang tentu akan mengatakan, bahasa kami akan pergi melihat tanah dan keadaan bangsa asing dan akan tamasya dan berbesar hati saja disana. Kami sungguh merasa sayang akan bangsa kami, sekalian kesukaan dan kedukaannya, menyukakan dan menyedihkan hati kami. Hérankah nyonya mendengarkan kami telah berniat sungguh-sungguh akan memperbuat apa-apa yang baik, asal boléh memberi rahmat kepada bangsa kami? Apakah pertalian kataku itu dengan niat hendak pergi ketanah air tuan? Kami benar-benar disana hendak mengumpulkan kepandaian untuk bangsa kami. Apa-apa yang bagus pada bangsa lain, pada bangsa tuanlah yang terutama benar, hendak kami berikan kepada bangsa kami, dan dalam hal itu tiadalah pula kami akan membuang dan mengganti tabiat meréka itu, melainkan semata-mata akan menambah kehormatan tabiat yang baik-baik, yang ada padanya. Itulah maksud kami yang terutama sekali!

O, hendak bekerja bersama-sama untuk menghabiskan kerja yang bagus dan mulia yang akan meninggikan kesopanan dan kehormatan bangsaku, itulah kenang-kenangan kami, yang sama harganya dengan sekalian peperangan hidup. Sayang sekali saya tinggal berjauh-jauhan dengan tuan, betapalah besarnya hatiku kalau kita tinggal berdekatan, tentulah selalu saya boléh dapat bertanding pikiran dengan tuan. Dan dalam percakapan itu lebih mudah kita mengeluarkan pikiran dan kemauan hati.

Kita berkirim-kiriman surat, makin lama makin menyenangkan hatiku, dan pikiran kita rupanya banyaklah yang sesuai. Betapa suka hatiku hendak memperkenalkan tuan dengan bangsaku dan mema'lumkan hal keadaannya kepada tuan, betul seperti saya mengenal mema'luminya. Amat banyak hal yang bagus dan tersembunyi pada bangsaku. Patutnya se­karang telah lahirlah seorang pandai, ahli pengarang yang pandai mengatakan kepada bangsanya sekalian cita-cita dengan kata-kata yang menarik hati, seperti Fielding pandai berkata kepada bangsa Burma.

Yang seperti itu belum ada pada kami, yang ada ialah kitab yang ternama karena pedih isinya, karangan tuan Veth, yang menyebabkan banyak péna bergerak, dan kemarahan hati yang amat sangat!

Manakah tanah yang tidak ada cacatnya? Tanah Hindia dan sekalian tanah dimuka bumi ini masing-masing ada cacatnya. Kasihan, wahai engkau tanah Hindia! di tanah asing orang hampir tidak tahu kepadamu dan kitab-kitab yang seperti karangan tuan Veth, tentulah tiada akan menarik hati orang akan mengasihi engkau, tetapi tentulah orang akan menolak dan membenci engkau!

Augusta de Wit jauh berlainan pikirannya dengan pikiran pengarang-pengarang yang lain-lain. Ia menulis meriangkan hati tentang tanah Hindia, dan betapa pula bagus bahasanya! Dengan girang hati kami membaca karangannya didalam surat kabar "de Gids".

Tentang hal keadaan dan kepandaian anak negeri, Henri Borellah, yang seperti bermimpi, menceriterakan tanah Hindia dengan sebagus-bagusnya. Tetapi tentang hal yang lain-lain tidak senanglah hati membaca karangan Henri Borel itu, samalah keadaannya dengan karangan sahabatnya tuan Veth.

Sudahkah nyonya baca karangan Borel tentang "gamelan?" Pada perasaan kami karangan itu ialah permata mutu manikam dari karang-karangan! Dan sudahkah tuan membaca karangan Martine Tonnet tentang wayang orang diistana Sultan jokja, didalam surat kabar de Gids? Karangan itupun mahkota dari segala karang-karangan pula. Borel haruslah hendaknya pergi melihat orang menari serimpi. Alangkah bagusnya syair yang akan dibuatnya, setelah ia melihat tari itu! Tari puteri-puteri Solo dan jokja betui seperti tari bidadari dikayangan. Itulah tari sebenar-benar tari! Sayang kami tidak dapat pergi kesana. Acap kali orang meminta kami akan pergi kesana, tetapi kami tidak suka, karena kami mesti berpakaian seperti anak-anak raja perempuan, yakni harus berpakaian seperti anak-dara.

Tetapi sekarang pénaku telah tersesat lagi. O ya, kami suka benar membaca, tetapi sayang, sayang kami tidak tahu bahasa-bahasa asing dan tidak dapat kami mempelajarinya disini. Telah beruntung benarlah kami dapat berkata-kata dalam bahasa tuan. Ah, kami dahulu sungguh berniat benar hendak mempelajari bahasa-bahasa itu. O, betapa harapan kami hendak bersuka hati, membaca kitab-kitab ceritera bangsa asing didalam bahasa itu sendiri. Betapa juga bagusnya kitab yang diterjemahkan, tetapi kitab dalam bahasa asalnya tidak dapat tiada lebih bagus. Tahukah nyonya kitab ceritera-ceritera ajaib yang bagus, karangan Marie Marx-Koning? Kitab itu pada pendapat kami amat bagus. Pada perasaanku ia sangat menyukai karang-karangan van Eeden. Buah pikirannya dalam kitab yang bernama "'t Vioolce, dat weten wilde" menurut sepanjang pikiranku samalah bagus isinya dengan kitabnya yang bernama "De kleine Johannes". Bagaimanakah tentang isi kitab itu menurut pikiran nyonya? Pada pikiranku, isi kitab itu amat bagus, pikirannya benar dan karangannya élok.

Dengan suka hati saya membaca apa yang nyonya ceriterakan kepadaku tentang pendidikan anak tuan dan peri keadaan orang-orang miskin di tanah Belanda. ya, kesengsaraan orang miskin yang amat sangat dalam musim dingin itu telah banyak saya dengar. Kasihan, ya, kasihan sungguh kita kepada meréka yang sengsara dan celaka itu!

Saya sekarang berkirim-kiriman surat pula dengan seorang anak gadis bangsa Friesch; anak gadis itu kerap kali menceriterakan kepadaku hal keadaan dinegeri Belanda dan lebih-lebih keadaan di Friesland. Ia acap kali duduk dilantai yang dingin pada musim beku bersama-sama dengan orang miskin yang tinggal di rumah-rumah buruk dipadang pasir disana.

Dalam musim beku meréka itu tidak dapat bekerja, dan karena itu tidak pula mendapat makanan dan pakaian, demikian lagi apipun tidak ada dalam rumahnya untuk memanaskan rumah tangganya serta anak-anaknya yang dalam menangis. Bukan buatan sengsara meréka dalam hal itu.

Sengsara dan celaka yang seperti itu tidak adalah kami ketahui; tetapi nantilah dahulu, janganlah terburu-buru saya mengatakan itu. tidak jauh dari tempat kediaman kami bukan buatan pula sengsara yang ditanggungkan disana. Meréka tidaklah kedinginan, tetapi selalu dalam kelaparan, batu dan tanah sajalah yang belum dimakan oléh meréka itu. Bermacam-macamlah kesengsaraan yang didengar dan dilihat yang ditanggungkan oléh manusia dimuka bumi ini.

Ini lagi. Bagaimanakah kelak kesudahannya? nyonya tentu telah mendengar kabar, bahasa adalah 500 orang anak-anak menjadi yatim piatu, yang ayah bundanya mati karena penyakit koléra. Kasihan benar melihat budak-budak itu ditimpa oléh mara bahaya dan kesengsaraan itu; karena meréka masih kecil belum berdaya dan berakal, telah kehilangan ibu bapaknya. Tetapi karena pertolongan kiri kanan, sekarang meréka itu lebih beruntunglah dari pada kalau meréka itu tinggal pada ibu bapaknya. Sekarang meréka itu dipelihara dan dijagai orang, tetapi dahulu ketika orang tuanya masih hidup, boléh dikatakan tiadalah diindahkan dan dipeliharakan seperti sekarang.


10 Juni 1902 (VIII)

sunting

Bahasa Belanda ialah suatu kepandaian yang saya sukai benar-benar, sejak dari dahulu banyak orang berkata, yang saya pandai berbahasa Belanda. Tetapi berperasaan dalam suatu bahasa belumlah artinya ada berpengetahuan dalam bahasa itu! Beruntunglah saya karena saya sayang benar kepada bahasa Belanda!. Mengertilah saya sekarang, bagaimana halnya orang yang tidak ada perasaannya dalam bahasa itu, dan tentulah ia akan mempelajari bahasa itu seperti suatu hukumanlah baginya.

Lain dari pada 'ilmu bahasa, 'ilmu bumipun saya sukai benar dan demikian pula berhitungpun; tetapi kepada 'ilmu tambo (babad) selalu saya berhati berat. Bukannya karena saya tidak suka akan 'ilmu tambo itu, tidak suka mendengarnya, sekali-kali tidak, sayapun tahu benar bahwa banyak pengajaran didalamnya. Tetapi orang mengarangkannya untuk pengajaran disekolah rendah, tidak pandai sepanjang pikiranku. 'Ilmu itu haruslah saya pelajari hendaknya kepada guru yang pandai berceritera, yang dapat membaguskan dan menerangkannya. Pada 'ilmu babad itu, bagian yang pertamalah yang amat saya sukai yakni hal keadaan tambo yang lama-lama. Sayang sekali sedikit saja ceriteranya dalam kitab itu. Itulah bagiannya yang saya sukai, misalnya babad orang Masir, orang Gerik dan orang Rum.

Dengan besar hati selalu saya baca dalam surat-surat kabar tentang pasar malam di tempat tuan. Berdebar-debar hati kami dan mata kamipun bersinar-sinar, karena membaca kebagusan pasar malam itu! Tuan-tuan sekalian ada berhati mau dan suka hendak membuat pekerjaan yang baik itu. Kami semua dan bangsa kami sekalian, yang akan mendapat rahmatnya, mengucapkan selamat dan terima kasih atas keramaian dan kebaikan pasar malam itu. Girang benar hatiku mendengarkan ukir-ukiran Jepara banyak menarik hati penontonnya.

Ya, betapalah girang hati kami hendak melihat barang-barang tembaga yang bagus-bagus itu; belumlah banyak barang itu kami lihat, apalagi benda-benda yang ganjil-ganjil yang lain.

Besar hati kami melihatkan kegirangan hati orang Belanda hendak memajukan pertukangan dan kepandaian Bumiputra, sungguh besar hati kami mendengarnya! Kami betul-betul hendak berpongah hati akan bangsa kami, yakni bangsa yang amat sedikit diindahkan dan terlalu banyak dihinakan orang.

 
BÉNTÉNG LAMA DI JEPARA.

........................................................................................................................................

Tetapi hati dan pikiran kami ketika bercakap-cakap dengan tuan van Kol, tidak adalah ubahnya seperti kami berhadapan dengan seorang sahabat karib dan lupalah kami bahwa ia seorang asing bagi kami. Tetapi apa hendak dikata, ia terlampau sederhana, ramah dan seperti bapaklah lakunya bagi kami. Itulah pula yang menarik hati kami menerangkan sekalian kehendak kepadanya. Dimudahkannya kami berkata-kata itu dan dengan riang hatinya menerima percakapan kami. tidak usah lagi kami berkata panjang kepadanya: ia lekas mengerti akan maksud kami dan mema'lumi malcsud kami itu dengan sebaik-baiknya!

Sekaranglah pula burung nuri yang didalam hatiku itu dapat bersukacita menyanyikan bermacam-macam lagu setelah sekian lamanya tinggal diam membisukan dirinya.

Itulah suatu waktu yang berbahagia, yakni ketika'kami bersama-sama bercakap-cakap itu.

Amat sukarlah rasanya kami akan menceriterakan kegirangan hati kami itu. Besar benar hati kami menerima apa-apa yang baik pada pemandangan kami. apalagi kalau sekiranya benda yang bagus itu, biji mata dan kenang-kenangan kami sendiri

Terkenanglah pula oléhku masa yang lalu pada penghabisan tahun 1900. Burung nuri dalam hatiku masa itupun bersukacita menyanyikan lagu yang amat merdu meminta terima kasih atas segala kegirangan dan keuntungan yang telah kuterima itu.

Sungguh-sungguh adalah kiranya waktu yang amat ber­bahagia dalam hidup manusia dimuka bumi ini. Kenang-kenangan kepada waktu yang berbahagia itulah benda yang amat indah dalam hidup didunia ini; ialah yang akan menjadi suatu cahaya pada hari yang gelap-gulita dan menjadi obat yang dingin ketika hati dalam kedukaan.

Betapa baik hatinya tuan van Ko1 itu karena telah datang kemari dan pergi berpayah ketempat kami yang sunii menemui orang yang tidak pernah dikenalnya, biarlah ia tidak selalu, o, tidak selamanya sehaluan dengan pikiran kami!

........................................................................................................................................

Kami sekali-kali tidak suka akan menjadikan murid-möerid kami menjadi setengah Belanda atau menjadi Belanda jaawa. Maksud kami dengan pendidikan yang bébas itu, ialah akan membuat bangsa Jawa menjadi Jawa yang sejati, yang berhati kasih dan cinta kepada tanah dan bangsanya, lagi bermata dan berhati terang akan kebagusan dan kesengsaraan bangsanya! Kami hendak memberikan kepadanya adat tertib-sopan orang Eropa, dengan tiada hendak membuangkan adatnya sendiri, meiainkan kalau boléh, kami hendak mempertinggi kehormatan adat bangsa kami itu.

Karena percampuran beberapa tumbuh-tumbuhan atau binatang-binatang yang berlainan bangsanya, boléhlah orang mendapat bibit tumbuh-tumbuhan atau binatang yang lebih baik keadaannya. Dan tidak dapat tidak niscaya begitu pula keadaannya dengan adat istiadat bangsa-bangsa dimuka bumi ini, bukan? Apabila adat kita yang baik dicampur dengan adat orang yang baik pula, tiadakah kiranya akan bertambah kebaikan keadaan adat itu nanti?

Sekarang saya jawab pertanyaan tuan: "Apakah sebabnya maka kami mesti hendaknya pergi kenegeri Belanda?" Pertanyaan itu telah tuan tanyakan dahulu.

Untuk Rukmini karena salah satu dari kedua kepandaian yang dimaksudnya itu, hanyalah dinegeri Belanda dapat dipelajarinya.

Dan bagiku? Apakah akan jawabku? Saya dapat juga disini mempelajari sekalian maksudku itu, seperti dinegeri Belanda. Betul, tetapi bila saya mendapat pelajaran dinegeri Belanda, tiadakah lebih cakap dan lebih pandai saya mengerjakan kerja menjadi guru dan menjadi pendidik itu nanti? Disana pemandanganku akan bertambah luas, pikiranku bertambah tajam dan pand yang, dan sekalian itu tentulah akan menolong memudahkan pekerjaan yang akan saya tanggung itu. Tanah Eropa akan mengajar dan memberi saya pengetahuan, yang tidak dapat saya minta dan pelajari disini, di tanah air sendiri.

Lain dari pada kepandaian untuk mengajar disekolah rendah atau pekerjaan menjahit dan merénda, kami suka benar nanti hendak mengajarkan disekolah kami pengetahuan dalam hal badan manusia, bagian badan yang diluar dan didalam, serta kegunaan dan pekerjaan tiap-tiap bagian itu, supaya kita seboléh-boléhnya hidup dengan badan yang séhat. Banyaklah kecelakaan yang tidak akan terjadi atau akan ku­rang hébatnya, jikalau banyak orang mengetahui 'ilmu yang amat berguna itu! Mariiah saya sebutkan umpamanya: Baru-baru ini adalah seorang anak perempuan yang digiling keréta api; ia dibawa kekota supaya dapat diperiksa akan diobati oléh dokter, tetapi setiba disana ia telah seperti mayat, karena darahnya habis tertumpah sepanjang jalan. Pegawai polisi dan pegawai keréta api tidak tahu akan keadaan uraturat dalam badan dan tidak tahu pula memalut luka-luka.

Pengajaran keséhatan tubuh, membela orang sakit dan memalut orang luka, menurut perasaanku harus dimasukkan dalam pelajaran pendidikan. Adalah waktu ketikanya dalam hidup kita ini, kita terpaksa wajib menjaga orang sakit. Perempuan-perempuanlah yang acap kali akan berbuat demikian. umpamanya: ada kaum keluarga kita atau orang asing yang sakit keras dalam rumah. Berbahaya benar kalau kita salah membela orang sakit. Tentulah kita mudah salah membelanya, jikalau kita tiada berpengetahuan dalam hal itu. Bahaya yang demikian telah saya tanggung ketika seorang kesayanganku sakit keras.

'Ilmu itu hendak saya ketahui, sehingga dapatlah saya nanti mengajarkannya disekolah kami; sekalian hal itu mu­dah saya pelajari dinegeri Belanda, karena sekalian perkakas 'ilmu itu telah ada tersedia disana.

Dan apa pulakah lagi sebabnya maka kami patut tinggal beberapa lamanya dinegeri Belanda? Gunanya, yaitu akan menyucikan kami dari pada kekerasan pendidikan adat Jawa yang telah mengotorkan kami itu, sehingga kami sampai sekarang tidak dapat menyembunyikan diri disini dari pada keke­ rasan itu.

"Bertsmu dengan orang Eropa yang tidak kami kenal, meskipun sepasukan banyaknya,” kata Rukmini, "tidak ngeri kami, dan hal kami tinggallah sebagai biasa saja”; tetapi bertemu dengan seorang Jawa, takutlah kami, segeralah kami melarikan diri kami. Dan banyaklah lagi sebab-sebabnya yang lain.

Kami hendak melepaskan diri kami dari pada adat-adat yang buruk dan mengikat kami, lagi tidak dapat kami melepaskannya disini; sekalian kecelakaan yang ada tertaruh pada diri kami dan mengalangi kerja, hendak kami buangkan, supaya dapatlah pikiran kami menjadi bébas dan sempurna, sehingga dapatlah kami nanti mengembangkan sayap. jika sekiranya sekalian hal itu telah terbuang, tentulah pekerjaan yang hendak kami kerjakan itu mudah diperbuat.

Sebab itulah harus kami pergi ketempat yang lain, kenegeri asing, yang lain adat lembaganya serta keadaannya dari pada dinegeri kami. Besar pengharapan kami, tanah Eropa akan mendidik kami, supaya kami lebih cakap dan lebih pandai menyampaikan maksud, yang hendak kami ker­jakan nanti; dan boléh kami disana menguatkan badan kami sampai kebal dan tahan menanti panah-panah yang berbisa, yang akan dipanahkan oléh bangsa kami kepada kami, karena kami berani melakukan diri lain dari pada kebiasaan meréka itu.

Tanah Eropahlah yang akan mengajar kami betul-betul bébas! Adakah terang sekalian penjawabanku tentang pertanyaan "apa sebabnya” itu? Saya harap nyonya mengerti akan maksudku. Dan.... sesuaikah pikiran nyonya dengan pikiranku itu? Banyak lagi sebab-sebabnya, kami perlu tinggal untuk sementara dinegeri Belanda; tetapi saya berharap apa-apa yang telah saya ceriterakan di atas tadi, telah cukuplah itu bagi tuan.

17 Juni 1902 (V)

sunting

Baru sebentar ini saya baca dalam surat kabar, bahwa ada beberapa orang anak perempuan cina memohonkan permintaan, supaya dapat turut bersama-sama dalam ujian menjadi guru. Selamat! atas kemajuan itu! Besar hatiku mendengarkan hal itu. Orang-orang cina terlampau keras memakaikan adat-adatnya yang tua; tetapi sekarang dapat kita melihat, bahwa adat yang keras dan tua itu lambat lekasnya betul boléh dipatahkan! Itulah pula yang memberi saya keberanian dan yang menambah pengharapanku!

Alangkah besar pengharapan saya hendak berkenalan dengan anak-anak cina perempuan yang berani itu. Mau benar saya hendak mengetahui pikiran, cita-cita dan perasaan hati meréka itu. Saya hendak mengetahui benar bagaimana hati kecilnya. Sejak dahulu saya hendak bersahabat dengan seseorang gadis anak cina! Suka benar saya hendak menge­tahui apa yang terkandung dalam hati kecil anak perem­puan cina yang demikian. Tentulah didalamnya banyak tersimpan keadaannya yang baik. Adakah nyonya melihat orang cina beralat kawin?

Saya ada melihat baru sekali, cukup; peralatan itu tidak dapat saya lupakan. Orang cinapun merayakan juga kesukaan dan kedukaan yang berhubung dengan arwah-arwah kaum keluarganya yang telah meninggal dunia.

Di Semarang ada seorang cina raja uang mempunyai sebuah taman yang amat permai. Taman itu terletak diléréng sebuah bukit, o, bukan buatan bagusnya. Disana dibuatnya gua-gua batu dan bukit-bcekit yang ditanaminya dengan pohon rasam, bunga-bungaan dan pohon buah-buahan yang kecil-kecil. Tiap-tiap macam didalam kebunnya itu dihiasinya dan dibatasi oléh jalan-jalan kecil yang berkélok-kélok, simpang-siur kian kemari.

Ditengah-tengah kebun itu adalah sebuah kolam yang berjuru banyak, didalamnya penuh beiisi ikan gurami dan ikan mas yang berenang-renang disana. Dan di­tengah-tengah kolam itu pula adalah sebuah rumah peranginan kecil. Dekat kolam itu ada lagi sebuah bukit yang bergua dan berbilik mandi: dengan tangga yang berkélok-kélok melalui gua itu, boléhlah kita pergi kepuncak bukit itu. Disana adalah terdiri kelenting kecil dua buah dan pohon buah-buahan serta bunga-bungaan bermacammacam. tidak ubahlah penglihatan disana seperti suatu ceritera dongéng; yang kurang lagi hanyalah orang-orang cébol penunggu taman dan déwa-déwa yang keluar dari celah-celah batu dan lubang-lubang dibukit itu. Si cébol dan dewa-déwalah yang harus mencukupi taman itu, supaya menjadi dongéng. Buah pikiran yang menggambar taman sebagus itu dikepala, itulah syair namanya dan pekerjaan membuat taman itu, itulah suatu kepandaian yang mulia. Tetapi dimanakah kepandaian yang tiada menaruh kebagusan sebagai syair? Sekalian yang baik dan tinggi darajatnya, yang keramat atau bertuah, péndéknya sekalian apaapa yang moolia dalam hidup bersama-sama, itulah yang dinamakan dengan halusnya: syair!

Kami telah melihat cina tukang yang pandai membuat taman sebagus itu. cina itu hanyalah seorang baba yang miskin saja! Patung-patung yang dibuatnya seperti naga­-naga, harimau-harimau, dll. itu, sekaliannya didirikannya kian kemari di atas rumput, amat bagus.

Sayang sekali dipintu gerbang untuk masuk ke dalam taman surga dunia yang bagus itu, ada terdiri dua buah patung buatan Éropah, kedua patosng itu mengganggu kebagusan patung-patung yang banyak itu.

Adakah nyonya pergi dahulu ke Betawi melihat pasar malam disana? Tentulah ada! Bagaimanakah pikiran nyonya tentang bangsa kulit hitam? Apakah yang boléh tuan katakan tentang kepandaiannya? O, alangkah sukanya saya berpongah diri atas bangsaku itu! Meréka adalah juga berkepandaian, biarpun sedikit! Tetapi tuan, orang-orang Belanda, haruslah membimbingnya! nyonya tentulah mau berbuat demikian, bukan?

Kami ini boléh diumpamakan seperti anak-anak, dan orang-orang Belanda seperti pendidik kami. Bangsa tuanlah yang akan membimbing kami dan membela kami, supaya kami boleh menjadi laki-laki dan perempuan yang sebenarnya!

Saya percaya, bahwa tiadalah seorang juga di antara anak-anak didikan atau murid-mcerid itu, yang akan bersipat ku­rang terima kasih!

21 Juni 1902 (VI)

sunting

Radèn Ajeng Kartini, anak Radèn Mas Adipati Ario Sosrodiningrat, Regén Jepara, ber'umur 23 tahun, lahir di Moyong afdeeling Jepara, pada 21 April 1879, bermohon hendak belajar menjadi guru (bermaksud hendak mengambil diploma guru bantu dan guru kepala), dan menerima pengajaran dinegeri Belanda. Pergi kenegeri Belanda itu pertama-tama akan menambah pemandangan, melanjutkan pikiran dan mencuci kecelaan-kecelaan yang melekat pada dirinya lagi mengalangi usahanya, akan memasuki beberapa sekolah peng­ajaran dan pendidikan, supaya ia dapat mengetahui hal keadaan mendidik dan mengajar dalam sekolah dinegeri Be­landa; sekalian itu maksudnya supaya lebih berhasil nanti bila ia mengerjakan jabatan, yang amat disukainya dan akan ditanggungkan kepadanya.

Kedua, akan mempelajari 'ilmu keséhatan tubuh, membela orang sakit dan 'ilmu memalut orang luka, dan 'ilmu memberi pertolongan yang bermula bagi kecelakaan, supaya 'ilmu yang berpaédah dan yang amat perlu itu dapat diatjarkannya nanti kepada perempuan-perempuan Jawa.

Maksud yang terutama sekali kesopanan bangsa Belanda yang bagus itu akan diberikannya kepada bangsanya, supaya adat bangsa Jawa bertambah tinggi kehormatannya; akan membawa bangsanya kepadang pikiran dan perasaan yang lebih baik, supaya meréka itu boléh sampai kepada kerukunan yang lebih beruntung dalam hidup bersama-sama. Dan usahanya yang akan dilakukannya nanti, ialah mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa. Mula-mula akan jadi percobaan, didirikan dahulu sebuah sekolah untuk anak-anak perempuan kepala negeri, dan anak-anak itu mestilah tinggal disekolah itu juga. Maksud dengan sekolah itu akan memberi tanah Jawa ibu-ibu yang bertabiat sopan dan berpengetahuan, supaya meréka itu nanti dapat memberikan kesopanan dan pengetahuannya ke­pada anak-anak perempuan yang nanti akan menjadi ibu pula, dan laki-laki yang nanti akan menjaga kesusahan dan kesentosaan dalam negeri!

Dengan hal yang demikian boléhlah ibu-ibu itu mengembangkan kesopanan bangsa Belanda kepada bangsa Jawa. Permintaan saya ialah kalau boléh Pemerintah sudi memberi pertolongan, supaya dapat saya menyampaikan maksud seperti yang tersebut di atas: akan menanggung segala biaya pengajaran (pelayaran pulang balik, pengajaran dan tempat tinggal); dan kalau saya telah tammat belajar, saya boléh membuka sekolah untuk anak-anak perempuan kepala negeri dengan murid-murid itu tinggal disekolah itu sekali. Suka benar kami hendak mendengar dari tuan, apakah yang patut kami perbuat. Wajibkah kami mengirim surat per­mintaan? Betapakah baiknya, kalau sekiranya surat permintaan itu tidak perlu? tetapi kalau wajib juga diperbuat, siapakah yang akan membuatnya, bapak atau kamikah? Dan kepada siapa dialamatkan? Kepada Gubernur jenderal atau kepada persidangan Tweede Kamer? Tuanlah yang kami harap akan menyelesaikan hal kami itu. Kami tahu dan merasa, bahwa tuanlah yang akan memberi pertolongan yang besar bagi kami, dan yang pandai serta berani mengemukakan hal kami, dan tuanlah pula yang suka membuat sekalian yang perlu, supaya permintaan kami itu diperkenankan. Tambahan lagi tuanlah yang akan menunjukkan jalan kepada kami, yang sebaik-baiknya akan kami turut, karena tuanpun bermaksud dan menaruh cita-cita: hendak membuat bangsa Jawa menjadi beruntung dan berbahagia.

Dari pada orang-orang tua kami, kami telah mendapat izin boléh mengusahakan diri kami untuk menyampaikan cita-cita kami yang berguna bagi bangsa kami. tidak mudah ia memberi kami izin itu, susah dan pilu hatinya, karena kami ini, ialah kekayaan dan kekasihnya yang dicintainya di atas dunia ini. Betullah cita-cita kami hendak berbuat baik, tetapi jalan yang akan kami tempuh penuh dengan kesusahan, karena demikianlah sudah nasibnya sekalian meréka yang merambah jalan, sejak dahulu sampai sekarang. Tetapi ketika dilihatnya, bagaimana sungguhnya dan tulus hati kami hendak mencapai maksud kami itu, dan ketika dilihatnya pula, bahwa nasib kami telah terikat menjadi satu dengan cita-cita kami, maka tidak maulah lagi meréka itu menolak permintaan kami dan baharulah meréka mengatakan, bahwa hidup dan usaha kami itu amat tinggi untuk bang­sa kami. Orang-orang tua yang kami kasihi itu telah memberi berkat akan kami, supaya kami nanti menjadi berbahagia untuk hidup bersama-sama. Telah berkatlah untuk mak­sud kami itu!

Susahlah hati kami dan putuslah pengharapan kami, kalau sekiranya kami memperbuat pekerjaan itu, dengan tidak mendapat berkat dari pada orang tua kami yang sangat kami kasihi. tidak dapatlah kami akan hidup damai dengan hati kami sendiri, jikalau kami selalu menurutkan kasih dan sayang kami kepada orang tua kami itu; tetapi suara yang ada dalam hati kami itu, kami tutup, supaya kami boléh bekerja dan berperang untuk kebaikan kemanusiaan, dan itulah pula maksud hidup yang dinamakan orang, hidup yang sempurna!

Sebab itulah kami banyak meminta terima kasih kepada orang tua kami, karena meréka itu telah memberi izin akan kami.

12 Juli 1902 (II)

sunting

Ibu dan bapak keduanya telah memberi izin akan kami. Kami telah mengirakan bahwa tidaklah akan menerima izin, melainkan angin ribut, guruh dan petir yang akan datang. 0! saya tidak dapat memikirkan hal itoè. yang bapak akan mengabulkannya, adalah persangkaan kami, tetapi bunda akan turut mengizinkan itu pula tiadalah berani kami memimpikannya! Kami sekarang tiadalah berjauh hati lagi kepada bunda, karena sekarang telah nyata baginya apa benar maksud kami itu. ya Allah, siapakah akan dapat menyangka, bahwa kami karena hal itu menjadi bertambah-tambah dekat kepadanya!

Kesudahannya datanglah waktunya pada kami akan mem­beri kenyataan itu. Dari mana saya dapat hati yang sabar itu, dan dari mana saya peroléh kepandaian berkata-kata dengan hati yang sabar demikian, tidak dapatlah saya katakan. Ti­adalah lebih dahulu saya pikirkan, apa yang hendak saya ka­takan; saya tidak dapat berpikir karena banyak barang yang menggoda dan memeningkan kepalaku. Tetapi setelah saya mulai berkata itu, datanglah sendiri kata-kata yang benar itu dari mulutku. Siapakah yang membuatnya sedemikian, dan memberi saya kata-kata yang seperti itu pada mu­lutku? Siapa, siapakah itu?

Adalah suatu kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar dari pada segala kekuasaan yang terdapat dimuka bumi ini. Tentulah ada déwa-déwa yang baik hati yang mengelilingi ka­mi dan menunjuki kami memakai kata-kata yang sedemikian dimulut kami, ketika kami hendak menyatakan bagaimana perasaan hati, pikiran dan cita-cita kami! Lagi pula masih terdengar ditelingaku ibu dengan dukacita me'ngatakan: "O anakku, mengapa engkau tiada mempercayai saya, ibumu?” Kamipun mengaku kesalahan kami itu, dan kami ceriterakanlah sekaliannya kepada ibu? Kasihan, ibu. kekasihku itu! Belumlah berharga kami rasanya mencium kaki ibu yang pengasih, penyayang dan setia itu!

Saya tidak dapat rasanya mengatakan kepada nyonya siapa ibu bagi kami dahulu, dan apa ia sekarang, meskipun tubuhnya masih seperti dahulu jua! Sekarang baharulah kami mengetahui benar-benar, betapa banyaknya utang budi kami kepadanya, suatu dunia yang penuh dengan kasih dan cinta itu! Kamipun mengucap syukur kepada Allah, karena kami dengan damai boléh pergi dari ibu akan bekerja untuk kebaikan, yang sekarang telah dikenal dan diaku sendiri oléh bunda. Sekarang tiadalah kami bersuka raya oléh kebesaran hati seperti dahulu, melainkan kami sekarang hanyalah meminta syukur dengan hati yang tulus dan ichlas!

Sesudah itu kepada bapak kami meminta izin. Saya telah bersedia akan menerima kabar yang buruk dari bapak, ketika kami minta izin itu. O! dari mana saya mendapat hati yang dingin dan penyabar itu. tidak dapatlah saya katakan! Sayapun mendengar suara yang saya keluarkan dari hati yang pendiam dan penyabar itu. Saya yang sebagai tali api, lekas menyala, sekarang telah begitu sabar dan hatipun tidak bergerak lagi. Badankupun tidak bergerak pula; tetapi ketika saya mengeluarkan kata, apa benar perlunya saya menghadap bapak itu, maka ketika itu tampaklah oléh saya betapa duka hati bapak mendengarnya, dan hati saya yang keras seperti batu itupun menjadi lembutlah. O, betapa besar kehendak hatiku hendak memeluk bapak serta menghibur-hiburkan hatinya, tetapi ketika itu sekalian kekuatan dan suara saya­ pun hilanglah. Saya duduk dimukanya di atas tikar dan selalu melihatnya dengan air mata borlinang-linang. Terasa benar oléhku betapa remuk hati bapak dan sayapun turutlah pula berduka hati. O, sekaliannya maulah saya mem­berikan kembali kepada bapak!

Dalam hati saya timbullah permintaan: "Bapak ampunilah saya, o bapakku, ampunilah anak tuan ini, karena ia tidak dapat berbuat yang lain!”

Ketika itu tanggal 21 bulan Juni; saya sengaja mengambil hari itu, yakni hari lahir nyonya pergi dengan kaki yang berat kepada bapak, karena saya mau menyangkakan nyonya, yang seperti itu bagiku, ada disisiku pada waktu yang susah itu. Déwa-déwapun mengelilingi saya ketika itu. "Bapak saya yang dilangit”, menolong saya dalam peperangan dengan bapaku yang didunia ini. Ketika saya sudah mendapat apa yang diminta itu, duduklah saya seorang diri memikirkan hal itu dan tidaklah sedikit juga girang hati ku, karena sayapun turut penuh beriba hati merasai kedukaan hati bapak yang kukasihi itu. untuknyalah air mataku tercucur, bukanlah oléh karena kegirangan hati atau akan meminta syukur. Dari hati kecilku keluarlah permintaan: "ya Allah, mogamoga timbul apalah kiranya dari pada pemberian bapak bagiku itu bunga-bungaan dan buah-buahan untuk tanah air dan bangsa kami!”

Pada 21 Juni itu juga kami menulis surat-surat kepada tuan van Kol di Betawi, seiperti permintaannya dahulu itu.

Surat-surat itu berisi dengan keterangan nama, 'umur, kehendak dan cita-cita kami.

Yang perlu bagi kami ialah izin bapak, kalau ia tiada memberi izin, tidak dapatlah meréka itu menolong kami. Sekarang kesusahan itu telah hilang dan batu besar yang melintangi jalan kami itu telah terhindar. Sekarang ada pula hal yang kedua mengalangi: perkara uang. Orang tua kami tidak dapat membayar pelajaran kami dan kamipun tidak suka meminta belanja itu kepadanya.

Dua hari yang telah lalu saya mendapat surat yang panjang dan perlu dari nyonya van Kol. Kalau tidak perlu surat itu bagi saya dan kalau jari saya yang kaku ini dapat menyalinnya, maulah saya mengirimkan surat itu kepada nyonya, supaya dapat memperkatakan isinya. Sekarang kami hanyalah dapat menerangkan beberapa fasal dari isi surat itu. Menurut perasaan kami, patut kami mengucap syukur mendengar bunyi surat itu. Kecuali nasihat yang telah diberikannya itu lebih banyak lagi ia memberi pertolongan lain. Ialah yang telah memberi kami sebuah benda yang hidup tertaruh dalam hatinya.

Adalah suatu cahaya yang telah dimasukkannya kebadan kami, yaitulah cahaya yang tinggi darajatnya lagi bertuah. Kami seakan-akan mendapat berkat dari padanya! Kami tidak gentar dan tidak takut lagi, kami sekarang berhati dingin, percaya dan mengaku kepada kebesaran Tuhan. O, betapalah rendahnya kedudukan kami, rendahlah dari tanah layaknya. O, mudah-mudahan dapatlah juga kami sampaikan maksud itu; tetapi kami sendiri tiadalah agaknya akan hidup lagi, entahkan arwah yang ada dalam tubuh kamilah, yang akan melihatnya. Sungguh tidak adalah kegirangan dan kesukaan yang memenuhi hati ketika itu, melainkan kami berdiam dirilah saja mengucap syukur! ya Allah, kami meminta terima kasih, dan mengucap syukur kepada engkau, karena kami telah mendapat bahagia itu. Berapa banyak hal-hal yang dahulu tiada saya percayai, tidak saya akui, tetapi sekarang barulah kami percaya.

Tidak dapat saya menceriterakan kepada tuan, apa benar yang tersisip dihati kami kedua sekarang. Kami sungguh tidak dapat menceriterakannya, tetapi hanyalah dapat merasainya saja.

Sekadar yang dapat kami kabarkan kepada tuan yakni kami tidak putus mengucap syukur dengan sukacita, karena hi­dup kami ini telah bertambah bagus dan maksud kamipun telah bertambah tinggi harganya. Banyak, ya, amat banyak hal-hal yang telah lalu kami pikirkan. Senantiasa amat jauh, terlalu jauh kami cahari cahaya hati itu, kiranya tempatnya terlalu dekat pada kami, selalu ada dalam tubuh kami!

Perasaan kami, kami sekarang telah bertambah kuat dan "barang sesuatunya sekarang kami lihat dengan pertolongan cahaya itu. Rupanya telah lama ia bekerja dan hidup dalam hati kami, hal itu tiadalah kami ketahui. nyonya van Kollah yang membukakan pintu yang tertutup selama ini untuk kami.

O! oléh karena itulah maka kami banyak mengucapkan terima kasih kepadanya, lebih banyak dari pada jasa-jasanya yang lain yang telah diperbuatnya untuk kami, ataupun yang akan diperbuatnya lagi.

Sebelum saya menerima surat nyonya itu, bertanyalah ibu kepadaku: "Siapakah yang memberi engkau pikiran yang demikian itu?" Dan ketika itulah juga saya jawab: "Tuhanlah yang memberikannya kepada kami."

Tentulah saja ibu mula-mula mencoba mengubah pi­kiran kami akan membuangkan maksud kami itu, tetapi ketika dilihatnya kami tidak mau mengubah pikiran itu, maka iapun berkata dengan mengenangkan Allah subhanahuwatidakala: "ya anak-anakku, sekarang ma'lumlah dan percayalah saya, bahwa itulah rupanya nasib engkau kedua dan Tuhanlah juga yang telah menyuruh engkau hidup dengan jalan yang demikian."

Nyonya van Kol mengatakan kepada kami: "Banyaklah ini dan itu yang diperoléh orang dengan pertolongan manusia, tetapi lebih banyak lagi hal-hal lain, yang hanyalah dengan per­tolongan Allah saja baru dapat diperoléh. Tuhanlah yang menyuruh kita bekerja untuk mendapat barang sesuatu­nya, dan Ialah juga yang dapat memberi kita kekuatan batin dan ketetapan hati untuk berusaha. Percayalah kepada­ ku, bahwa sekalian yang kukatakan itu sebanar-benarnya menurut penanggunganku sendiri pada waktu yang sudah-sudah. Tuan sekarang baru berdiri dimuka pintu hidup tuan dan dipintu kerja tuan yang akan tuan tanggung dalam dunia ini. Kalau sekiranya tuan kelak telah ada didalam hidup tuan, baharulah tuan akan mengetahui, bahwa kita ini ialah manusia yang bébas dan kuat, dan barulah pula sebenar-benarnya kita jadi sahabat dan penolong bagi sesama kita manusia, yakni asal pertolongan yang akan kita berikan itu tidaklah terutama kita carikan pada orang lain, melainkan hendaklah pada diri kita sendiri dan pada Allah, Tuhan yang bersifat rahmat dan rahim itu. Dengan pertolongan lahir yakni dengan barang sesuatunya tuan mestilah ditolong, meskipun bagaimana jua hendaknya hal keadaan tuan. "Karena tidaklah tiap-tiap hari dapat orang mencahari dipasar hidup bersama-sama, kekuatan yang suci dan bagus seperti kekuatan tuan untuk kerja yang baik itu. Kekuatan yang sedemikian harus diterima dan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Kalau sekiranya Pemerintah tidak hendak menolong tuan, maka perserikatan "Oost en West" mestilah mau menolong tuan."

Dengan tiada diminta-minta, perserikatan "Oost en West" telah mengatakan: ia suka hendak membantu kami dan mau bekerja untuk menyampaikan maksud kami itu. nyonya van Kol mengirimkan surat kabar yang berisi hal itu kepada kami. Mula-mula kissah perjalanan tuan Stoil tersebut didalamnya, dan diachir karangan itu barulah penulis menceriterakan hal kami, demikianlah bunyinya dalam "Oost en West."

"Kami percaya, bahasa tuan van Kol yang menjadi anggota dalam perserikatan itu sejak dari bermula sampai sekarang tiada lupa akan mengatakan kepada kedua anak gadis itu, bahwa maksud meréka kedua, yang mulia dan suci itu selalu akan ditolong dan dibantu oléh perserikatan kita."

Karena membaca kabar itu maka nyonya van Kol pun menambah pula suatu karangan kecil dalam surat kabar itu, yang menerangkan bagaimana pikirannya tentang kami, yaitu sesudah nyonya itu membaca isi surat kami kepadanya. nyonya itulah dengan jalan itu telah membukakan hati sekalian meréka yang kasih akan bangsa Jawa, pembaca "Oost en West", untuk kami.

Nyonya van Kol meminta pula di belakang itu, supaya saya memberi izin kepadanya akan menyuruh memasukkan isi suratku, yang beralamat kepadanya, ke dalam surat kabar itu.

Hal itu tidak menyenangkan hatiku, tetapi perlu "untuk ichtiar akan menyampaikan maksud kami itu." Dengan tiada membuat barang sesuatu, kata nyonya itu kepadaku lagi, "tidak dapat sahabat-sahabat pembaca surat kabar itu mengenal hati tuan dengan baik, dan menghargai maksud tuan dengan sepatutnya; betul seperti keadaanku sekarang ini, sesudah membaca surat yang sepucuk itu bagaimana tulusnya seorang perempuan muda bangsa Jawa telah mengeluarkan perasaan hatinya kepada seorang perempuan yang lebih tua, yang disangkanya dapat akan memberi pertolongan ke­padanya dan suka akan maksudnya yang baik itu. tidak ada sepatah kata jua dalam surat itu yang tidak boléh dibaca oléh orang banyak. Dan sebenarnyalah saya tidak tahu jalan yang lebih baik lagi akan membawa tuan ke dalam perhimpunan orang yang menyayangi tanah Jawa dan bangsanya itu. Buangkanyah malu-maiu tuan dan katakanlah kepadaku: "ya, baik!"

Tentang hal itu belumlah saya memberi keputusannya lagi. Saya harus meminta izin lebih dahulu kepada bapaku. Bapak telah meminta supaya perkara itu seboléh-boléhnya dirahsiakan. Kalau Pemerintah telah mengatakan "baik", bolehlah dunia dan penduduknya mengetahui hal itu. Sebetulnyalah kami harus berhati-hati mencari jalan yang akan ditempuh itu, tetapi menurut pendapatan kami sekarang, bahwa lebih banyaklah kami beruntung, apabila hal kami diceriterakan kepada orang banyak dari pada kalau dirahsiakan; yaitu kepada orang banyak seperti yang dimaksud oléh nyonya van Kol itu, dan kalau dalam hal itu Pemerintah menolak permintaan kami, tentulah kami tiada akan rugi. Dan siapakah yang tiada tahu, bahwa bukan sedikit di atas dunia ini permintaan yang ditolak orang saja?

Bukanlah yang meragukan saya karena saya akan menga­takan "ya, baiklah," ataupun karena saya akan merasa hati jikalau kenang-kenangan hatiku itu direncanakan kepada orang banyak dimuka bumi ini, sekaii-kali tidak. Perasaan hatiku sendiri, tiadalah kuhitung, hanya yang saya pandang ialah cita-cita kami itu saja! Dalam surat itu telah saya cungkil pula suatu fasal, yang tentu tiadalah akan menyenangkan hati bangsa kami, yaitu perkara kawin! Barangkali orang boiéh menghinakan saya, tetapi hal itu sekali-kali tiadalah akan membinasakan saya; yang boléh hanyalah membinasakan maksud kami itu. Adakah orang nanti, jikalau saya telah menjadi guru, mau menyerahkan anak-anaknya untuk diberi pendidikan, kalau sekiranya telah diketahui oléh mereka itu dengan siapa meréka berlawan? Atau barangkali lebih baiklah kami akan berperang berhadap-hadapan untuk mencahari kebenaran..... dan dikatakan kepada meréka itu sekarang pada pihak mana kami berdiri?Sejak dari dahulu inilah kenang-kenanganku yakni: akan mengeluarkan pikiranku tentang hal perkawinan itu; tetapi belumlah saya lakukan, sebab saya hendak menunggu dahulu, sampai saya dapat merampas kebébasanku.

Buah pikiran kami barangkaii akan diterima orang dengan baik pada pihak bangsa Eropa; dan dalam beberapa hal tentang' pengajaran dan pendidikan tentu banyaklah juga mereka bangsa Jawa, yang suka akan menerimanya. Tetapi bagaimanakah buah pikiran yang saya terangkan pada halaman yang bersama-sama dengan itu, entah akan diterima orang, tidak tahulah saya! Kami pestilah mau menanggung segala kesusahannya. Bagaimanakah pikiran nyonya tentang hal itu? Maukah tuan memberi saya pikiran yang baik? Dengan ibuku hendak saya perkatakan juga hal itu.

15 Juli 1902 (VIII)

sunting

Adikku Rukmini tentu telah memberitakan kepada nyonya akan kabar yang baik itu, bukan? Bahasa orang tua kami telah memberi kami izin. yang tidak disangka-sangka sekalipun sekarang telah menjadi: Ibuku tiadalah saja telah berdamai dengan maksud dan kenang-kenangan kami, tetapi sekarang iapun turut pula bermimpikan cita-cita itu! Karena kami sekarang menerangkan segala hal itu ke­ pada ibu, tidak adalah kami berselisih lagi dengan dia. Bahwa sebenarnyalah setelah kami terangkan sekaliannya kepada ibu, maka serasa berdekatlah pertalian kami sekarang dengan ibu yang baik, kekasih kami itu. Belumlah berharga kami rasanya akan mencium kaki ibu yang pengasih itu. Sungguh tidak dapatlah saya mengabarkan kepada nyonya, bagaimana dan apa ibuku bagi kami pada waktu yang sudah yang berpuluh-puluh tahun lamanya, dan apa ia bagi kami pada masa ini!................................................

Tidak, kami tidak suka lagi membuat kenang-kenangan, hanya sebuah dari pada kenang-kenangan kami akan kami simpan dan cukuplah yang satu itu saja. Dan kenang-kenangan yang satu itu, sungguhpun telah banyak membawakan kami penanggungan, kesukaan dan kesusahan, dapatlah juga hendaknya dengan itu kami membuat apa-apa, meskipun tidak banyak yang berguna untuk bangsa kami, lebih-lebih untuk keperluan perempuan-perempuan bangsa kami. jika sekiranya tidak dapat kami membuat sedemikian, berharaplah kami kesengsaraan dan peperangan kami itu dapat hen­daknya menarik pemandangan dan pikiran orang banyak un­tuk bermacam-macam hal yang perlu diubah. Dan jika sekiranya tidak pula sampai maksudku itu, ya, apa boleh buat, tetapi kamipun selalulah juga berniat hendak berbuat baik, dan kami percaya sungguh, bahwa air mata kami yang seka­rang rupanya cuma-cuma saja tercucur, nanti akan menjadi bibit tanam-tanaman dan akan menghamburkan buah dan bunga kelak, menjadi obat bagi meréka yang akan datang.

Pesan tuan kedua yang dibawa Annie, menyebabkan hati kami menjadi bimbang memikirkannya! Benar sekali kata tuan kedua itu dan kamipun sebab meminta terima kasih banyak kepada tuan. Pesan tuan: kalau sekiranya sekalian maksud kami baik lakunya dan kami jadi pergi ke negeri Belanda, haruslah juga kami pikirkan bagaimanakah hal kami kalau kami pulang kembali nanti? Siapakah yang akan kami dapati di Betawi lagi? Tentulah tidak ada seorang jua lagi yang menyukai maksud kami itu! Sekaliannya tentulah akan berubah! Apa akal lagi?

Sekarang tentulah kami, dengan tiada berpikir panjang akan memilih negeri Betawi, supaya kami dapat berdekatan dengan tuan kedua, itulah yang amat kami sukai, tetapi ka­lau demikian tentulah adikku akan membuang sekalian kenang-kenangan dan maksudnya itu, biarpun hal itu dilakukannya dengan sesenang-senang hatinya.

Jika sekiranya kami tinggal disini, haruslah ia belajar untuk menjadi guru, tetapi hatinya amat berat belajar menjadi guru itu. Berapa susahnya pula akan menanggung sesuatu kerja seperti menjadi guru itu, telah kami lihat, apalagi jikalau kita tiada cinta mengerjakan kerja itu. Rukmini sendiri telah berkata kepadaku: kemana saja engkau pergi, sayapun turut bersama-sama, dan jikalau saya tidak dapat kerja lain-lain dari belajar untuk menjadi guru...., biarlah saya berusaha dengan sedapat-dapatnya, akan menang­gung kerja dengan sebaik-baiknya. Tetapi dalam hal itu sa­ya amat merasa hati sayang kepadanya dan sayang kepada cita-citanya yang selama ini! Karena menjadi suatu kerugian yang besar. Pikirlah sekolah urusan rumah tangga dan rénda-merénda, tentulah akan menarik hati perempuan-perempuan Jawa. Itulah cita-cita perempuan-perempuan Jawa; anaknya nanti boléh pandai masak-memasak, menggulai dan rénda-merénda. Niscaya amat sedikit sajalah baru orang yang tajam pikirannya tentang mengerjakan kerja yang saja ingin itu dan tidak banyaklah pula di antara meréka itu yang ada menaruh perasaan untuk pendidikan pikiran dan kehormatan hati itu.

Haruslah ada barang sesuatunya yang akan diperlihatkan dan dapat diperhatikan oléh meréka itu, yakni barang yang dapat dilihat bagus oléh pemandangan mata dan oléh pera­saan hati. Dengan jalan begitu, barulah dapat bangsa kami menerima dan memuliakan maksud kami itu.

Kami harus memperhatikan kehendak dan pikiran bangsa kami, sebelum kami mengerjakan kerja yang kami cintai itu Pekerjaan dalam 'ilmu memperlihatkan benda-benda itu dapatlah ditanggung oléh adikku dan iapun suka benar mengerjakannya. Dan kamipun suka pula akan mengajarkan 'ilmu urusan rumah tangga, karena 'ilmu itu dalam perasaan hati kami berguna benar bagi bangsa Jawa, umpamanya: 'Ilmu menghitung dan mengeluarkan belanja dan membuat poringatan, 'ilmu keséhatan tubuh, 'ilmu memalut luka dsb.

Sayang benar kami tidak dapat bercakap-cakap memperkatakan sekalian hal itu dengan tuan. Tentulah banyak lagi kehendak kami yang patut dicoréng dalam daftar cita-cita kami itu. Hal itu perlu dan harus diperbuat. Kami tidak sombong suka mengatakan, bahwa buah pikiran kami itulah pikiran yang sebaik-baiknya untuk bangsa kami. Suka benar kami hendak mendengar pertimbangan dari pada orang, yang lebih tua dari pada kami, lagi telah banyak perasaian dan penanggungan, supaya dapat kami nanti memperhatikan dan memilih pikiran mana yang baik. O, betapa baiknya kalau kami ada berdekatan dengan tuan kedua, apalagi sekarang karena kami telah diizinkan oléh orang tua kami boléh mengerjakan kerja yang kami cintai itu. Karena izin itu seperti terhindarlah bagi kami sebuah batu besar yang merintangi kami dijalan. Dan alangan yang kedua lagi ialah: perkara uang dan perkara yang lain!

Marilah saya kabarkan kepada tuan apa pula, yang membesarkan hati kami lain dari pada yang telah kami ceriterakan itu. Baru-baru ini saya mendapat surat dari pada nyonya van Kol. Surat itu isinya perlu dan panjang serta menyukakan hati kami benar. Didalam surat itu dikabarkannya betapa su­ka hatinya tentang maksud kami itu, dan diperkatakannyalah pula keperluan maksud itu. Ia sekali-kali tidak suka mengabarkan apa-apa yang menjadi kesenangan dalam hidup yang akan kami tempuh, demikianpun tinggal dinegeri Belanda: "Tiadalah dapat tuan akan melenyapkan diri dari pada kesusahan dan duri-duri yang akan menimpa tuan, tetapi pula tidak adalah seorang juga boléh sampai maksudnya, kalau tiada menanggung kesusahan dan kesakitan, Sekalian hal itu berguna bagi manusia, supaya ia menjadi kuat dan percaya kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri." Begitulah katanya dalam suratnya kepadaku.

Nyonya van Kol menolong kami lebih dari pada nasihat yang telah diberikannya itu; ia telah memberikan kepada kami barang sesuatu yang datang dari hatinya sendiri dan yang hidup bersama-sama dengan nyawanya.........

Tentu saja hingga ini keatas kami wajib berhati-hati, te­tapi menurut pendapatan kami sekarang, kerja yang dirahsiakan itu, tidak adalah memberi faédah, melainkan boléhlah hal itu membawa kami kelurah yang dalam; dan mengabarkan kepada orang banyak membawa kami lebih lekas sampai ketempat yang dimaksud. Saya mengerti pula apa sebabnya bapak menyuruh merahsiakan hal itu dahulu, ialah karena ta senang' hatinya, kalau-kalau Pemerintah menolak permintaan itu, dan kalau demikian tentulah orang banyak akan mentertawakan kami. Sebab itulah saya disuruh bapak meminta kepada tuan, supaya yang mulia tiada akan mengabarkan hal itu dahulu kepada orang, atau memasukkan ke dalam surat kabar, dan dalam hal itu sudi menolong bapak, supaya ia dalam sehari dua ini boléh datang akan memohonkan permintaan itu. jikalau sekiranya perkara uang itu telah selesai, barulah sekalian orang boléh mengetahui kemauan dan maksud kami itu.

Kami sengaja benar berlaku sedemikian, karena kami hen­dak menjauhkan diri kami dari pada meréka, yang kurang pikiran dan tiada berbudi itu. cacat yang pertama dan sindiran meréka itu, yang datangnya seperti angin topan, telahkami rasailah.

18 Juli 1902 (II)

sunting

O, bunda! kami tidak cakap menceriterakan perasaan hati kami itu dengan sempurnanya. Sekaliannya rupanya telah kabur, telah menjadi pembicaraan anak kecil, perasaan hati kami amat kaya dan amat berkuasa rasanya! ya rabbi, saya mengucap terima kasih, begitulah kata hatiku, begitulah tutur dimulutku dan begitulah pula bunyi pénaku, serasa diudara atau disurgalah saya sekarang, di tempat Tuhan yang esa berdiam diri, dan kepadanyalah saya mengucap syukur itu!

O, bunda! kasihilah kami selalu dengan kasih yang sejadijadinya. Kasihmu itu amat berguna untuk kami, karena jalan yang akan kami tempuh sangatlah sukarnya!

21 Juli 1902 (VII)

sunting

Dalam hidup didunia ini adalah kedapatan saat-saat yang amat bagus benar. Kita rasanya tidaklah berpijak dibumi ini, hanya hidup kita terasa dihati, kita seperti terbang diawang-awangan, karena kegirangan dan sukacita, apalagi kalau kita memperoléh keperluan kita yang sangat kita cintai dan kita muliakan! Saat yang demikian sudahlah kami peroléh, ya ni ketika kami membaca surat tuan dengan hati yang girang bercampur rindu. Dari surat itu berembus rasanya udara yang amat sejuk dengan bersih dan sedapnya, yang asalnya dari langit pikiran yang amat tinggi dan mulia, mencuci dan menguatkan hati kami!

Bagaimanalah dayaku mengabarkan kepada nyonya pera­saan hatiku yang girang bercampur rindu itu, ketika kami membaca kata-kata emas yang tersebut dalam surat tuan itu. Sesungguhnya itulah suatu rahmat yang datang dari langit, kata kami! Sesungguhnyalah nyonya telah menolong kami lebih berharga dari pada nasihat yang tuan berikan itu. nyonya telah memberikan kepada kami barang sesuatu yang mulia, lagi keluar dari hati tuan sendiri dan hidup bersama-sama dengan nyawa tuan.

Telah jauh dan telah lama kami mencaharinya, tetapi tiadalah kami ketahui bahwa tempatnya sedekat itu, disisi kami: ia ada ditubuh kami!

Allah atau "God" kata orang Belanda, tidaklah lagi suatu kata yang kosong kepada kami sekarang. Kata itu yang acap kali dipakai orang dengan mudahnya saja, kami seka­rang menjadi suatu bunyi yang suci dan mulia. Terima kasih dan syukur kami kepada nyonya, sebab tuan telah membukakan dimata kami benda yang amat mulia dan telah kami cari-cari sekian lamanya!

Tidak dapat saya mengatakan betapa senangnya dan damainya hati kami sekarang dan betapa riang dan syukur hati kami; hati kami tidak takut dan tidak gentar lagi. Pada perasaan kami sekarang kami telah selamat dan sejahtera. Dalam perasaan kami adalah selalu seseorang yang menjaga kami, seseorang disisi kami. Ia pula yang akan menghiburkan hati, ialah yang akan memberi kami pertolongan dan kepadanyalah tempat kami bergantung dalam hidup kami yang akan datang, sekalian itu terasalah oléh kami.

Benarlah kata nyonya itu, bahwa kepada Tuhan tidak adalah kerja seseorang yang terlampau berat. Ialah pula yang mem­beri kita kekuatan untuk kerja kita yang disuruhkannya.

Yang kami sekarang telah mendapat tuan kedua ini, itulah suatu rahmat Tuhan kepada kami. Tuhan yang mahakuasa telah mengirim tuan kedua, meréka yang telah menjadi pahlawan dari kemauan hatinya yang mulia dan dari pesuruh Tuhan bernama kasih dan cinta kepada kami, laskar yang masih muda lagi belum berpengetahuan, supaya tuan kedua akan menolong kami, akan membimbing kami, meréka yang belum kuat berjalan dijalan yang sukar ditempuh.

Syukurlah, ya gustiku atas pemberiaanmu itu! Sebab itulah maka kata-kata de Genestet, dalam syairnya "Terugblik" amat kami muliakan dan bagus pada pemandangan kami, Waktu itu perasaan kami, bahwa hati kami ada kelaparan apa-apa, kami cari tetapi kami tidak tahu apa yang' kami cari itu....

Sekarang sungguhlah kami telah mendapat berkat dari pada Tuhan, dan hidup kami sekarang dalam pemandangan kami lebih bagus, usaha kami lebih baik dan badan kami sendiripun lebih senang dan kuat rasanya........

Ta dapat kami melupakan tuan, semenjak kami telah mendengar suara tuan berkata-kata dengan kami. Selalu mendengunglah ditelingaku kata-kata nyonya seperti bunyi suara yang keramat mengatakan: "Tidaklah lagi hidup untuk dirinya sendiri, melainkan hidup dengan ruh didalam tubuhnya."

Saya sangat berharap supaya kekuasaan perkataan itu ada padaku, biarpun barang sesaat saja akan mengabarkan kepada tuan perasaan hatiku dengan selurus-lurusnya dan sesuci-sucinya, seperti yang tergambar dalam hatiku! Sayang, tidak adalah kekuasaan itu bagiku, sebab itu lebih baik saya berdiamkan diri!

Terkenanglah oléh kami akan perkataan tuan itu, ketika kami mengulang membaca surat nyonya yang meminta akan memasukkan karanganku ke dalam surat kabar, lalu bertanyalah kami kepada diri sendiri: "Bagaimanakah kesudahannya kalau hal itu jadi diperbuat demikian?" Oléh karena perka­taan yang ramah dalam surat kabar "Oost en Weest" itu, tentulah kami akan diterima oléh sahabat-sahabat kami bangsa Eropa dengan baik, tetapi bagaimanakah kalau isi suratku itu akan dibaca oléh bangsaku sendiri? Boléh jadi permintaan kami tentang pengajaran dan pendidikan itu akan dite­rima meréka itu dengan besar hati, tetapi kebesaran hati itu akan hilanglah oléh kemarahan yang timbul dalam hati meréka itu, kalau membaca buah pikiranku tentang perkara kawin, dan yang pertama-tama sekali yang akan marah kepada kami ialah orang laki-laki.

Saya tidak mau menarik buah pikiranku itu kembali, biar barang sepatah kata juapun. yang sebenarnya banyak lagi yang hendak kuceriterakan tentang hal keadaan itu, dan itulah maksudku sejak dahulu hendak mengeluarkan suara tentang hal itu dengan sekeras-kerasnya akan mengabarkan kepada orang banyak, karena itulah menurut pikiranku suatu jalan yang sebaik-baiknya, patut ditempuh, dan akan memperbaiki segala hal yang tiada dimakan benang siku-siku. Tetapi lebih dahulu saya hendak menantikan waktunya, su­paya perdirianku teguh dan lurus di atas jalan yang kupilih itu, yaitu jikalau sekiranya saya telah memperoléh kebébasan dan kemerdékaan.

Tetapi sekarang lebih baik berperang berhadap-hadapan, dan sejak dari bermula sampai sesudah-sudahnya diterangkan kepada bangsa Bumiputera sekalian buah pikiran yang tersimpan dalam hati kami.

Siapa yang melémparkan raga, kata orang Belanda, mestilah menyambut raga itu kembali. Sebab itulah saya berharap, jika nyonya hendak memasukkan juga karanganku itu ke dalam surat kabar, baiklah nyonya sabar dahulu barang beberapa lamanya. Sepatah katapun saya tidak mau menarik kem­bali apa yang telah saya katakan tentang keganasan laki-laki Jawa itu, yang telah menjerumuskan perempuan-perempuan dan anak-anak bangsa kami ke dalam lurah-lurah kesengsaraan, tetapi perlunya saya minta nyonya sabar sedikit, ialah karena saya hendak mengukuhkan diriku lagi dengan beberapa hal yang lain, kalau-kalau kelak saya diserang orang, sehingga boléh merusakkan kebenaran.

Didalam karangan itu saya katakan bahwa makin lama makin banyak ibu bapak anak-anak Bumiputera mengehendaki pendidikan yang bébas untuk anak-anaknya perempuan. Sekalian itu boléh dipersaksikan dengan mata sendiri, bila dilihat betapa banyaknya anak perempuan dalam sekolah Gubernemén dan dalam sekolah partikulir. Apa yang saya tuliskan di atas ini sudahlah kejadian dengan sebenar-benarnya; kita sekali­an telah mengetahuinya, baik dilihat sendiri atau didengar dari sahabat kenalan kita dan orang lain, tetapi kami sendiri belum mendapat keterangan yang nyata. Bilangan yang menyatakan berapa banyaknya anak perempuan yang telah bersekolah amat perlu sekarang kami ketahui.

Sesudah itu saya hendak menceriterakan dalam karangan itu tentang sekolah Belanda untuk anak-anak perempuan bangsawan di Manonjaya (Priangan). Kabar yang membesarkan hati itu saya baca dalam surat kabar "de Echo", tetapi waktu ini saya tidak dapat mencari nomor surat kabar itu lagi; nomor yang berisi kabar yang menceriterakan, bah­wa sekolah Belanda untuk anak-anak perempuan bangsawan itu mendapat wang bantuan dari Pemerintah adalah saya simpan. Maksudku mau bertanyakan hal itu lebih jauh.

Baikkah maksud itu pada pikiran nyonya? Saya telah mengizinkan sekarang, nyonya akan menyiarkan karanganku itu dalam surat kabar, tetapi bertunggulah nyonya dahulu beberapa hari lagi akan melangsungkannya, sampai nyonya mendapat kabar dari padaku.

Tetapi pada badanku sendiri tiadalah akan saya indahkan, jikalau orang menyerang saya, karena saya berani memperkatakan adat yang sebusuk itu, yang menyuruhkan laki-laki bersenang-senang menurut sekehendak hatinya dengan hidup surga, pada hal dalam itu perempuan-perempuan bersengsara dan teraniaya seperti sekarang ini. Saya telah sedia menanti serangan meréka itu, menurut pikiranku mestilah meréka itu akan membéla dirinya dan menyerang saya. Saya hanyalah wajib menjaga dengan hati-hati kebenaran yang saya pertahankan, supaya seorangpun tidak dapatlah akan membinasakannya, bukan?

Kemarahan dan sindiran meréka itu yang pertama-tama sekali telah turunlah seperti hujan lebat menggoda kami, disebabkan oléh karangan tuan Stoll dalam surat kabar "Locomotief". Tetapi kami tiada mengindahkan hal itu. Kami se­lalu berusaha sungguh-sungguh akan menjauhkan diri kami dari sekalian hal, yang terpandang hina dan rendah seperti yang telah dibiasakan oléh meréka itu yang kekurangan pikiran dan kekurangan tertib-sopan.

Sindiran dan kiasan orang itu tiadalah kami acuhkan benar, tetapi yang merusakkan hati kami betul, ialah oléh karena kami ini selalu setia kepada cita-cita kami, itulah pula yang amat merusakkan dan menggoda hati orang tua kami! Tetapi hal itu dari dahulu sampai sekarang tidak dapat kami ubah.

Hal orang tua itu mudah pula dapat dipikirkan, yakni amat susah dan sedihlah hatinya akan mengalangi anak-anaknya, kekasihnya yang terutama dalam dunia ini, akan hidup dengan maksud yang sebagus itu, meskipun banyak kesusahannya, tetapi sudahlah demikian nasib meréka, tukang menebas jalan, dalam perkara apa jugapun dari dahulu sampai sekarang.

Sukur, sukurlah sekarang meréka itu dengan réla hati telah memberi kami izin, supaya kami boléh hidup dan berusaha menyampaikan cita-cita kami itu.

Bukan buatan besarnya terima kasih kami dalam hal itu! Amat susah hati meréka itu memberi kami izin dan sekian pula susahnya kami memintanya. Dalam waktu yang telah lalu amat banyak penanggungan kami: pikiran selalu berkacau, hati susah dan pilu, kerja banyak mubazir dan harapan acap kali putus. Itulah sebabnya maka kami sangat syukur dan terima kasih atas keizinan orang tua kami itu. Apalagi meréka itu telah memberi berkat atas maksud kami dan berkat itulah yang menjadi kawan kami pula, kemana kami pergi akan bekerja untuk mencari kebaikan. Betapalah susah hati kami, bila sekiranya kami pergi itu tidak dengan berkat orang tua kami, tentulah hal yang demi­kian akan menghinakan dan menyusahkan hidup kami; kami sungguh-sungguh sayang dan kasih kepada orang tua kami itu dan dalam hal itu kamipun wajib pula menempuh jalan yang kami kehendaki itu, dan tidak dapatlah kami akan dengar suara yang keras, keluar dari hati menyuruh kami berperang dan bekerja untuk kebaikan zaman yang akan datang! Saya rasanya masih mendengar ibuku berkata: "Wahai anak-anakku, saya percaya bahwa itulah nasib tuan kedua. Tuhanlah yang menyuruh engkau kedua hidup sedemikian." Suaranya itu sebagai suara orang yang menyerahkan diri dan beriba hati, perkataannya itu akan tinggal selalu dalam hati kami, akan menolong dan menghiburkan kami ditengah jalan yang akan kami tempuh. Dan hal bapak lagi!

Iba hatiku bukan buatan melihatnya bersusah hati dan sayapun turutlah pula berdukayita.

"O, bapakku", kata hatiku, "ampunilah saya ini, ampunilah anak tuan ini, ia terpaksa berbuat demikian."

Peperangan itulah yang sehébat-hébatnya lagi telah kami tanggungkan. Betapa syukur kami sekarang, tentulah nyonya dapat memikirkannya, apalagi karena keizinan itu tiadalah memperceraikan kami dengan orang tua kami, melainkan ialah menambah kukuh dan erat pertalian antara bapak de­ngan anaknya kedua belah pihak. Itulah rahmat Tuhan!

Kami sekarang masih berdiri dimuka pintu hidup kami, tetapi menurut perasaan kami, sekalian hidup didunia ini seperti telah habislah kami jalani, yaitu yang penuh dengan perasaan sedih dan peperangan yang hébat dalam hati kami. Banyaklah kitab boléh dipenuhi bila kami mau menceriterakan sekalian itu kepada nyonya, tetapi lambat lekasnya ten­tulah tuan akan mengetahuinya juga, biarpun dengan surat ataupun dengan mulut, jikalau kita kelak dapat bertemu. Sebagai seorang sahabat, sahabat kami yang sesungguhnya lahir dan batin, tentulah tuan berhak mengetahui hal hidup kami sekalian dengan secukup-cukupnya. Seka­lian itu akan tuan ketahui nanti.

Apabila saya sekarang mengingat waktu yang telah lalu, maka tampaklah oléhku sekalian perbuatan dan pertolongan Allah atas diriku, dan sayapun mengucap syukur, lebih-lebih saya memikirkan segala kesusahan dalam saat yang telah lalu itu, sesungguhnyalah Tuhan tiada melupakan dan meninggalkan hambanya.

Siapakah yang mengirimkan sahabat-sahabat itu kepada kami waktu dalam kesusahan, sedang dilamun ombak sengsara, hampir-hampir putus asa? Siapakah yang membawakan orang-orang asing yang tinggal sejauh itu ketempat yang sunyi ini, supaya meréka boléh memberi kekuatan dan harapan kembali dalam hati yang berputus asa ini?

Pertemuan itu bukanlah pertemuan tiba-tiba, melainkan itulah suatu perintah Tuhan kita!

Tuhan Allah, Tuhan seru sekalian alamlah yang mengirim meréka itu kemari, supaya boléh memberi kami, anak-anak muda, yang sedang payah berperang dengan cita-citanya, kekuatan dan keberanian yang baru. Pertemóean itulah yang menyebabkan hati kami menjadi berubah. Dahulu hati kami masih bimbang, tetapi sekarang telah tetaplah hati kami hendak mencapai cita-cita kami itu, meskipun berapa juga susahnya.

Dahulu perasaan kami tentang hal itu diawang-awangan saja, tetapi sekarang semuanya telah terang dan mudah tampaknya.

Tuhan Allah sajalah yang tahu akan rahsia dunia ini. Sekalian yang ada dibumi ini, semuanya didalam tangannya dan dalam perintahnya.

Ialah yang mempertemukan jalan-jalan yang jauh-jauh letaknya akan menjadi jalan yang baru.

Demikian halnya Allah telah mempersatukan jalan sahabat kami itu dengan jalan kami, supaya hati dan nyawa kami boleh menjadi kuat, karena bertemu dan bersekutu dengan hati dan nyawa meréka yang kuat itu, sehingga dapatlah kami membuat jalan yang baru untuk kemanusiaan yang ada di belakang kami. Dahulu kami tidak kenal seorang dengan yang lain, dan ta tahu kami siapa meréka itu. Sekarang sekonyong-konyong berdirilah kami berhadap-hadapan dan cinta-kasih-sayang sebelah-menyebelah bekerjalah sekuat-kuatnya memperhubungkan tali persahabatan kami. Hanyalah beberapa jam saja kami duduk bersama-sama dan ketika kami bercerai, barulah tahu kami bahwa kami akan bersahabat selama hidup.

Hal yang ajaib itu telah mulailah bekerja dan teruslah bekerja memperlihatkan kebesarannya! Sebulan lamanya sesudah pertemóean kami itu terjadilah suatu hal yang tidak pernah kami pikirkan dan tidak pernah pula kami mimpikan. nyonya tahu bahwa berjalan keluar rumah tiadalah diadatkan oléh anak-anak gadis bangsa Jawa, melainkan meréka itu harus tinggal di rumah, duduk bersembunyi dibalik dinding sampai seseorang laki-laki yang tiada dikenalnya, yakni suami yang diberikan Tuhan kepadanya meminta si anak gadis itu serta membawanya pulang kerumahnya.

Belumlah lama lagi kami mengetahui dunia ini dan kebébasan, tetapi sekarang kami telah turutlah terbang dengan mereka itu pergi menempuh jalan-jalan yang berpagar besi itu.

Yang tidak pernah kami kenang-kenangkan sekarang telah terjadi. Kami telah menumpang di Betawi di rumah sahabat-sahabat baharu kami.

"tidak ubahnyalah saya ketika itu seperti mengarungi sekalian yang saya cahari, dan tuan kedualah pula harus saya temui. Dan betapalah besarnya hatiku ketika saya telah bertemu dengan tuan."

Kami lahir kedunia maksudnya, supaya kami boléh ber­temu dimuka bumi ini dan supaya meréka itu boléh menunjuki kami dengan sebaik-baiknya untuk hidup kami yang akan datang. Sebelum meréka itu datang kamipun telah melayang-layang, tetapi ketika itu sekeliling kami masih gelap gulita. Dengan tiada disangka-sangka datanglah meréka itu memberi kami haluan yang tetap dalam penerbangan kami yang melayang-layang tidak bertujuan itu. Kesanalah tujuan kami, jalan itulah yang akan membawa kami ketempat cita-cita kami! ........................

Saya berharap didalam surat yang akan datang, saya akan menceriterakan tentang agama dengan seterang-terangnya. Se­nang hati kami karena nyonya mau memperkatakan hal itu dengan kami, karena dengan nyonya boléhlah kami memperkatakannya dengan sebébas-bébasnya. Marilah saya katakan dahulu kepada nyonya akan menyenangkan hati tuan: percayalah tuan bahwa kami akan tinggal selalu menurut agama kami. Besar harapan kami moga-moga dapatlah kami membaguskan maksud rukun-rukun agama kami pada pemandangan me­réka yang beragama lain.

Selalu kami mengetahui dan ma'lum, bahwa pada "batinnya" ujud segala agama yakni: "kebaikan". Segala agama maksudnya baik dan bagus, tetapi ó, manusia! "apakah yang telah kamu perbuat dengan agama itu?"

Agama maksudnya rahmat, akan mempertalikan sekalian machluk dibumi ini, putih dan hitam, tiada memandang pangkat, kepercayaan laki-laki atau perempuan. Sekaliannya anak cucu nabi Adam dan hamba Tuhan yang esa! tidak ada Tuhan yang lain, melainkan Allah, kata kami orang Islam, dan demikian pula kata sekalian meréka yang ber Tuhan yang esa. Allah itulah Tuhan yang menjadikan bumi dan langit.

Karena sekalian machluk. asalnya dari nabi Adam, boléh dikatakan sebagai bersaudara segala laki-laki dan perempuan dan haruslah hendaknya berkasih-kasihan, tolong-menolong dan bantu-membantu seorang dengan yang lain. Bahwa sesungguhnya tolong-menolong dan bantu-membantu dan berkasih-kasihan itulah yang terutama menjadi sendi sekalian agama.

Ya, ya, jikalau sekiranya sekalian orang mengetahui dan melakukan yang demikian itu, tentulah agama itu memperoléh seperti ujudnya yang asli, yakni: rahmat bagi kemanusiaan di atas dunia!

Itulah yang memanaskan hati kepada agama, karena meréka yang mempunyai sesuatu agama mencela, menghinakan dan terkadang-kadang memerangi meréka yang beragama lain. Hingga itulah dahulu perkara agama itu.

Sayang!...... di antara bahasa-bahasa tanah Eropa, bahasa Belanda sajalah yang pandai kami membacanya. Iba hati kami memikirkan hal itu. Suka benar kami hendak mempelajari bahasa-bahasa Eropa yang lain. Kenang-kenangan kami yang besar sekali hendak bersuka raya membaca kitab-kitab yang bagus, karangan bangsa-bangsa asing itu dalam bahasanya sendiri. Tetapi tidak adalah orang tempat kami akan mempelajarinya disini. Sekarang maksud kami hendak memulai belajar bahasa Perancis, karena untunglah ada di­ sini sekarang seorang guru perempuan, sahabat kami yang suka menolong kami mengajarkannya. Ia dahulu turut pula berkenalan dengan suami nyonya.

Adakah kitab-kitab yang tuan katakan dahulu, karangan tuan Lessing dan ceritera pendéta Ramabai, diterjemahkan orang dalam bahasa Belanda? Telah acap kali kami mendengar kabar, bahwa pendéta Ramabai itu ialah seorang perempuan Hindia yang berani. Ketika saya masih dalam sekolah, disanalah saya mula-mula mendengar namanya. Masih teringat oléhku sekalian ceriteranya itu. Saya ketika itu masih kecil, ber'umur kira-kira 10 atau 11 tahun. Tiadalah terkira-kira besar hatiku ketika mendengar ceriteranya didalam surat kabar. Gementar badanku karena kegirangan. Rupanya tiadalah perempuan bangsa kulit putih saja yang dapat hidup merdeka dan membébaskan dirinya! Pun...... perempuan bangsa kulit hitam, dapat pula membébaskan diri, hidup merdéka.

Beberapa hari lamanya kenang-kenanganku kepadanya dan tidak pernahlah saya dapat melupakannya. Lihatlah contoh yang baik memberanikan hati itu, sungguh dapat menggerakkan hati yang lain; demikianlah kekuasaannya atas diriku!

Sekarang saya jawab tentang permintaan nyonya yang mulia itu, meminta kami bekerja bersama-sama untuk perbendaharaan kitab-kitab pembacaan anak-anak. Dengan segala suka hati saya mengatakan, baiklah. Adikku dan saya amat bergirang hati karena beruntung boléh bekerja bersama-sa­ma dengan nyonya, artinya dapatlah kami membesarkan hati tuan; kami berharap sungguh dapatlah hendaknya kami mengerjakan pekerjaan itu, dan jikalau tidak ada aral yang melintangi kami, kami bermaksud pada achir tahun ini akan mengirimkan kepada tuan tanda mata kami sedikit untuk kerja nyonya yang bagus itu.[3]

Alangkah bagusnya keadaan itu, karena telah ada dalam perasaan hati kami yang nyonya akan memintanya kepada kami. Sepekan sebelum kami menerima surat nyonya itu kami duduk diluar rumah didalam kebun, dan ketika itu malamnya amat bagus diterangi oléh bulan. Tuan tahu bahasa anak-anak Jawa biasanya pada bulan terang bermain-main dan bernyanyi diluar rumah. Dimuka kami adalah bermain-main sekawan anak-anak kecil. Ketika itu terkenanglah oléh kami, betapa hal kami pada waktu kami masih kecil seperti itu. Disanalah timbul pikiranku hendak mengarangkan waktu yang beruntung itu. Lalu saya ambil kertas dan pinsil dan saya tuliskanlah sedang bulan memancarkan cahayanya itu sekalian permainan dan lagu nyanyian anak-anak, yang keluar dari mulutnya itu. Alangkah sekonyong-konyong keadaan itu, bukan? Tiada berapa lamanya kemudian dapatlah saya sepucuk surat dari pada tuan dengan permintaan yang tersebut itu.

Sekarang saya dan adik-adikku meminta banyak terima kasih atas kitab-kitab yang nyonya kirimkan untuk kami itu. Tahukah tuan apa yang kami katakan setelah membaca kitab-kitab itu? Kitab-kitab itu betul kitab-kitab untuk anak-anak, tetapi orang tua-tua boléh juga dan patut sekali membacanya, karena banyaklah pengajaran yang dapat dipetik oléh meréka itu didalamnya.

Panjanglah karanganku nanti bila saya katakan pikiran­ku tentang kitab itu sebuah-sebuah, tetapi percayalah nyonya, bahwa jaranglah kami membaca kitab-kitab dengan berhati girang, seperti membaca kitab yang tuan kirimkan itu. Tiadalah saja kitab-kitab itu kami baca untuk pembesarkan hati seketika lamanya, dan sesudah itu melupakannya, tetapi sekalian yang tersebut dalamnya kami tuliskan dalam hati dan tiadalah lagi dapat kami lupakan. Betapa besar hati kami mendengar nyonya ada mempunyai buah pikiran yang sebanyak itu. Kami banyak meminta terima kasih akan kebaikan nyonya itu. Tentulah banyak didalamnya yang dapat dipetik, lagi boléh dijadikan pengajaran. "Perbincangan yang perlu tentang perkara yang penting-penting" dalam kitab itu, kami pandang sebagai jadi hubungan isi surat nyonya yang achir kepada kami. Kami keduanya sebagai mendapat ijazah rasanya!

O, banyak kami meminta terima kasih kepada nyonya atas sekalian pemberian nyonya yang kami misalkan seperti intan mestika itu. jikalau sekiranya tuan dapat melihat ketika saya menulis surat ini, tentulah tuan dapat menyaksikan sendiri, bahwa mataku lebih banyak lagi mengucapkan syukur dari pada péna dan mulutku, dan lebih nyata lagi mengatakan apa yang terasa didalam hati kecilku tentang tuan.

Karangan nyonya yang bernama "Buah tangan pulang mu­safar", bukan buatan bagusnya, dan dengan itulah dapat tuan menambatkan hati bangsa Jawa kehati tuan dengan kukuhnya. Karangan itu seperti sebuah manikamlah dimata kami. tidak dapatlah lagi saya mengatakan telah berapa kali saya sudah merasai kelazatan karangan tuan itu, selalu membesarkan hatiku. Kalau sekiranya saya menjadi bapak tua itu, tentulah saya akan berbuat demikian juga, karena sangat kasih sayangnya akan anak yang dicintanya itu, dapatlah nyonya mengambil hati si tua itu. Seperti tampak oléh mataku sekarang bahasa si bapak dengan anaknya yang bagus itu dalam pangkuannya, dan tampaklah pula oléhku seorang nyonya Eropa, yang tiada malu dan enggan mengambil si anak itu dalam ribaannya, memeluk dan menciumnya, setelah itu berjabat tangan lagi dengan seorang désa yang bodoh serta sudi minum dirumahnya dengan cangkir yang seburuk itu!

Bukan buatan senang rasa hatinya dan sukanya melihat kelakuan yang demikian! Orang Jawa mémang adalah mempunyai suatu perasaan yang amat tajam atas hati yang peramah dan penyayang, apalagi kalau sekalian itu datangnya dan pada bangsa kulit putih, bangsa yang tinggi kedudukannya dalam pemandangan meréka itu.

Ah, betapakah baiknya kalau sekiranya sekalian bangsa ku­lit putih mengetahui, betapa mudahnya meréka boléh menarik hati saudara-saudaranya bangsa kulit hitam itu. Berilah meréka itu kasih dan sayang, tentulah tuan-tuan akan dicintai dan dikasihinya pula. Mengeluarkan kata yang tidak berapa susahnya bagi tuan, lihatlah betapa hasilnya.

Karangan tuan: "Apakah yang akan dibaca anak-anak?" telah saya baca dalam surat kabar "de Gids" pada dua tahun yang telah lalu. Ketika itu saya telah menyukai juga membaca buah-buah pikiran dalam hal itu. Pasal itu belumlah sekali juga diindahkan oléh bangsa Bumiputera, belum pernah sedikitpun meréka mengerjakan apa-apa untuk pembacaan anak-anak itu.

O, berapalah beruntungnya kami, hidup pada waktu ini dimana-mana saja banyaklah kerja yang patut diperbuat! Sebentar saja diunjukkan tangan telah dapatlah kami ker­ja yang baik dan berharga! Keadaan itu amat membesarkan hati kami! Apabilakah gerangan waktunya akan datang, bangsa kami akan terbangun dari pada tidurnya dan pergi bekerja mengerjakan kerja, yang telah berunggun-unggun banyaknya disana-sini, yang sekarang sedang menantikan tangan-tangan yang ringan! Adakah hidup juga kami kalau waktu itu datang?

O, tidak, janganlah kami berkehendak sebanyak itu. Biarlah kami mengucap syukur, jikalau sekiranya dapatlah ka­mi menebas jalan akan pergi kesana.

Dan bilakah waktunya yang kita sebenar-benarnya akan berhadap-hadapan, dan akan berjabat tangan akan meminta terima kasih kepada tuan atas sekalian yang bagus dan mulia, yang telah tuan berikan kepada kami itu dan yang akan kami terima lagi?

Sabarlah!............. ! harapan dan keberanian kami masih banyak. Selalulah kami mengucap syukur, karena kami telah mendapat tuan, dan sekali-kali tiadalah kami akan melepaskan tuan lagi, o, tidak! Bukankah sekarang nyonya telah suka menjadi sahabat kami, selalu akan memberi kami nasihat, dan akan menjadi penunjuk jalan kepada kami selama-lamanya? Tuan jawablah: suka; karena itu bukanlah untuk seorang dua saja, tetapi untuk bangsa kami sekalian, terutama untuk sekalian perempuan Jawa!

Tentulah kami akan beriba hati, kalau sekiranya waktu itu telah datang, yakni waktu kami akan memberi selamat tinggal kepada sekalian meréka yang telah bercampur-gaul dengan kami dan turut bersama-sama bersuka raya dan berbahagia dalam hidup kami. Tetapi maulah kami berangkat, setelah mendapat rahmat dari pada orang tua, kekasih kami. Rahmat itulah yang akan menerangkan haluan kami yang gelap gulita, yang akan mendinginkan hari yang panas dan yang akan melemah-lembutkan angin yang keras! Suatu kehéranan besar, yang tidak pernah masuk ke dalam pikiran kami dan belumlah pula pernah kami mimpikan, tetapi sekarang betul-betul telah terjadi: Ibu kami, yang lain pendidikannya dari pada kami, dan tiada sekali-kali sesuai dengan pendidikan kami, sekarang telah menurut kemauan kami dan merasa seperti kami juga, kehendaknya dan mimpinya betul seperti kami pula. Itulah suatu rahmat dari pada yang mahatinggi dan yang mahakuasa, yang datangnya dari Tuhan rabu'lalamin!

Sebenarnyalah juga kami lebih dahulu telah berjalan dijalan yang panjang dan berduri, tetapi lihatlah sekarang, bahwa kamipun telah sampailah juga kepintu hati ibu kami itu, dan sehingga dapatlah masuk sekalian cita-cita kami ke dalamnya; apabila pintu telah terbuka sekali, tentulah akan terbuka untuk selamanya. Banyaklah sengsara yang telah ditanggung oléh ibu kami yang baik hati itu. dan banyaklah pula kedukaan hati kami, karena hal itu pada waktu yang telah lalu, sebelum kami sampai kemuka pintu itu dan bertemu disana dengan ibu kami.

28 Juli 1902 (VIII)

sunting

Awan melindungi langit tiadalah berzaman-zaman lamanya demikian pula sinar matahari meneranginya. Sesudah malam yang gelap gulita, datanglah siang yang amat cuaca. Dengan keadaan itulah saya menghiburkan hatiku. Hidup manusia ini sungguhlah sebagai keadaan alam.

Yang kami pohonkan siang dan malam kepada Tuhan, ialah: kekuatan!

Hujan yang bermulalah, yang menyebabkan sebatang pohon berdaun dan bertunas, oléh hujan yang kemudian ditumbangkanlah pohon itu kebumi dan buruklah ia disana.

8 Agustus 1902 (X)

sunting

Berkirim-kiriman surat itulah suatu keadaan yang terutama dalam hidup kami. Hampir sekalian pengetahuan kami, kami peroléh karena berkirim-kiriman surat; kalau tidak karena berkirim-kiriman surat itu, mustahillah kami akan berani merusakkan adat istiadat dan kebiasaan yang telah setua itu.

Engkau tidak tahulah, atau yang sebenarnya mestilah engkau tahu apa benar artinya kepada kami surat-surat sahabat-sahabat kami itu, karena meréka semua ahli pikiran dan budiman belaka. Dari kemanusiaan meréka itu keluarlah pi­kiran yang suci dan mulia, yang membersihkan hati dan meninggikan darajat. Meréka itulah yang mengasah pikiran dan menghaluskan budi pekerti kami. Dari kantor pos banyaklah kami terima yang bagus-bagus, yang molék-molék, yang mahal-mahal, bermacam-macam intan dan mutiara, untuk kepala dan dada kami.

Sekalian perbincangan mémanglah terlukis juga didalam hati.

Tetapi tentulah engkau akan membenarkan pula, bahwa kata-kata dalam perbincangan itu lama-lama menjadi luput, meskipun pokok perbincangan itu akan tinggal tersisip dihati. Tetapi surat-surat dapatlah mengulang sekalian katakata yang ada didalamnya dengan lurus dan tetap, pada setiap waktu, bila saja dikehendaki.

10 Augustus 1902 (VI)

sunting

Apa yang tuan katakan kepada kami itu, ibuku telah acap kali mengatakannya kepada kami: "Sekalian kepandaian ialah kurnia gusti Allah. janganlah engkau menyangka kalau sekiranya engkau telah membuat barang sesuatu yang baik, bahwa pekerjaan itu perbuatanmu sendiri. Kita manusia hanyalah menjadi perkakas dan tukang yang mengerjakan sekalian kemauan Tuhan saja. Kebijaksanaan dan kepandaian dikurniakan kepada kita; dan dalam hal itu kewajiban kita yakni menjaga sekalian itu dengan sebaik-baiknya."

Itulah kepercayaan ibuku yang amat teguh, telah diperöléhnya, setelah merasai bermacam-macam penanggungan. Karena kepercayaan itulah maka ia mau memberi kami izin. Sekali-kali tidaklah kami memaksanya memberikan izinnya itu. Sekarang tawakkallah ia dalam hal itu, dan turutlah pula memimpikan cita-cita kami bersama-sama.

Jikalau orang mengumpatnya tentang hal kami, jawabnya péndék saja: "Meréka itu anak kami, tetapi bukanlah kepunyaan kami. Meréka itu kepunyaan Tuhan yang menjadikannya dan Tuhan pula yang mengatur hidup dan nasibnya. jalan kepadang "kebajikan" lahir dan batin, amat banyak; Allah telah menyuruh meréka itu menempuh jalan yang sukar dan ajaib; kami, orang tuanya percaya dan berharap kepada Allah, bahwa jalan yang ditujui meréka itu, ialah pergi kepada "kebaikan."

Betapalah besar hati ibuku nanti kalau kami kabarkan kepadanya apa yang telah tuan katakan kepada kami itu.

Sekarang ibuku tidak ada di rumah; ia pergi melihat seseorang adik kami yang perempuan sakit. Ibuku itu sahabat kami, dan iapun banyak meminta terima kasih atas sekalian pertolongan tuan kepada kami itu. Ibuku telah berkata kepadaku: "Saya berharap sekali hendak bertemu dengan nyonya van Kol akan meminta terima kasih, sebab ia telah membukakan pintu hatimu kedua. Sungguhpun ia tiada seagama dengan kita, tidak adalah alangannya, karena Tuhannya Tuhan kita pula, Tuhan segala machluk."

Beruntung benar kami rasanya, tuan telah memberi kami nasihat, supaya kami jangan bersombong diri. Kami banyak meminta tenma kasih atas nasihat tuan itu.

Tetapi senangkanlah hati tuan. Kami ialah anak dari seorang bapak yang berpangkat mui ia dan berkuasa, tuan telah tahu apa artinya dalam dunia Bumiputera kekuasaan dan kemuliaan yang seperti itu. Dimana saja berkumpulnya kekuasaan, kemuliaan, masyhur dan ternama, disitulah puncak tuah yang setinggi-tingginya dalam pemandangan dan kepercayaan bangsa kami; kami sejak dari kecil dimanjakan dan dimuhakan orang, tetapi sekarang muntah dan bencilah kami melihat hal itu. O, bukan buatan -pilunya hati kami melihat seseorang tua, yang telah putih rambut dikepalanya wadiyib menjongkokkan dirinya kepada anak-anak. ItuLah adat naman ya!!! Sungguhpun kami tidak dapat menolak segala adat yang menghinakan itu, tetapi tidak pernahlah kami menyukai orang mencium kaki kami.

Banyaklah hal yang telah menyuruh kami berfikir dan tepekur; makin lama makin teranglah hal itu pada hati kami, bahwa: Kewajiban kami, kewajiban yang amat tinggi sekali, yaitu kami wajib bersungguh-sungguh dengan segala kekuatan menjalankan daya upaya kami, supaya hasil sekahan usaha kami itu dapatlah setimbang dan berharga sebagai gunung kehormatan dan kemuliaan yang diberikan oléh anak Bumiputera kepada kami itu.

Cita-cita bangsawan Bumiputera wajiblah hendaknya: "kebangsawanan kami harus berbanding dan sama harganya dengan kehormatan bangsa kami!"

Hanyalah dari pada beberapa orang saja kami suka mendengar kata-kata yang halus dan manis, karena kepada meréka itu percayalah kami, meréka dalam hal itu sekali-kali tidaklah bermaksud hendak memanjakan atau memuji kami. Tetapi kata-kata meréka itu isinya ialah kekuatan yang amat berkat. yang mengukuhkan dan memberanikan hati kami pergi berbuat baik.

15 Augustus 1902 (I)

sunting

Karangan Nellie van Kol, yang amat menggembirakan hati didalam surat kabar "Oost en West" itu, telah dipetik oléh beberapa surat kabar disini; dan surat kabar "De Echo" umpamanya, telah menambah pula karangan itu dibawahnya, meminta supaya sekalian perempuan di tanah Hindia, terbuka hatinya suka membantu dan menolong kami. Sekalian hal itu membesarkan hati kami. Surat kabar "De Echo" itu telah mengutip pula beberapa perkataan dari suratku dan memasukkannya seperti perbuatan Nellie juga, dalam karangannya. Surat kabar itu meminta pula kepada kami, supaya isi surat itu sekaliannya atau sebagian boléh dimasukkannya ke dalam surat kabarnya. Menurut pikiranku tidak usahlah itu; cukuplah sebuah saja suratku disiarkan didalam surat kabar, apalagi didalam suratku yang kepada Nellie, telah diterangkannya segala halku itu. Ada pula seorang lagi meminta izin kepadaku hendak menyiarkan suratku yang berisi karangan tentang alat kawin orang Jawa. Hilda de Booylah yang memintanya itu, ia anak perempuan tuan Charles Boissevain, directeur surat kabar "Al­gemeen Handelsblad". Disalinnya surat itu dan dikirimnya kenegeri; dan sekarang kakaknya yang laki-laki yang menjadi sekertaris dikantor surat kabar itu meminta menyiarkan karanganku itu didalam surat kabarnya. Karena adalah akan memberi paédah besar bagi bangsa kami. Dalam tiap-tiap hal orang Belanda lebih mengerti kalau membaca surat-surat yang demikian, bahwa bangsa Jawa dalam beberapa hal mémang lebih tinggi darajatnya dari pada meréka itu dan da­lam bermacam-macam hal sama tinggi, dan dalam pada itupun belum tentulah pula, bahwa bangsa Jawa dalam bebe­rapa hal yang lain rendah darajatnya dari pada bangsa Be­landa. Begitulah kata tuan Boissevain.

Bagaimanakah pikiranmu tentang hal itu, Stella?

Saya sekarang sedang mulai menulis sebuah karangan untuk s.k. "Belang en Recht". Saya harap karangan itu akan diterima orang! Saya mengarangkan karangan itu dengan be­sar hati. Kalau karangan itu tidak diterima orang, biarlah ia kuubah sedikit untuk surat kabar yang lain.

Untuk Nellie kukumpulkan dongéng-dongéng Jawa dan adikku Rukmini sekarang sedang membuat gambar-gambarnya.

O, Stella, betapa banyaknya hal keadaan yang bagus-bagus, yang telah kami dengar dari mulut anak Bumiputera. Kebijaksanaan dan kebenaran, dikatakannya dengan mudahnya dan dengan merdu bunyinya. Betapakah baiknya kalau bahasamu kupelajari sampai pandai, betul seperti orang Belanda benar, dan kemudian kuartikan kata-kata yang manis dan yang merdu bunyinya untuk lagu itu! Sekiranya tuan-tuan sekalian mema'lumi cita-cita. hati kami, betapalah sayangnya engkau sekalian kepada kami. Kedudukan kami ini masih dekat kepada alam, kepada asal kejadian. Kebijaksanaan bangsa kami tidaklah memecahkan benak untuk mengertikannya. Sekaliannya kata-kata yang péndék-pendek, tetapi amat bagus bunyinya dengan sederhananya.

Alangkah baiknya kalau sekiranya dapat saya mengajarkan bahasa kami kepadamu; sehingga dapatlah engkau hendaknya bersuka hati memetik sekalian yang bagus-bagus dalam bahasa itu. Semakin dalam pengetahuanku tentang cita-cita hati mereka itu, makin tinggilah darajat meréka 'itu tampaknya dalam pemandanganku. Pada bangsamu orang-orang bijaksana dan pengarang-pengarang kitab, hanyalah terdapat didalam kumpulan orang yang patut-patut saja, demikian juga tertib dan kesopanan; dan orang banyaknya, bolehkah saya katakan terus terang?.... kasar. Tentu adalah juga di antara orang banyak itu yang tinggi kesopanannya, tetapi yang banyak sekali di antara itu, Stella? Hal itu tentulah engkau lebih ma'lum dari padaku.

Tetapi cobalah engkau pergi berjalan-jalan dengan saya kekampung-kampung, dan marilah kita masuki pondok mereka yang buruk itu dan dengarkanlah disana tutur mereka dan buah pikirannya....... Meréka itu sekaliannya tiadalah bersekolah, tetapi kata-kata yang dituturkannya itu tidak ubahnya seperti kata-kata dalam syair. Lemah-lembut, ringkas-ringkas dan merendah diri!

Jikalau kita kedua bertemu nanti boléhlah saya ceriterakan kepadamu bermacam-macam hal tentang bangsa ka­mi yang beradat halus itu, demikianlah juga tentang pikirannya dan perasaan hatinya. Engkau harus mengetahui keadaan itu dan mengasihi bangsa kami seperti kami mengasihinya.

Ahli-ahli syair dan ahli-ahli yang lain-lain banyaklah kedapatan di antara mereka itu; jikalau pada suatu bangsa adalah perasaannya untuk kebagusan, keindahan dan kecantikan hidup, mustahillah kesopanan batin, yang tersembunyi dalam hati bangsa itu rendah kedudukannya.

Sekalian yang suci dan mulia dalam hidup kita dinamai syair. cinta, sayang, kasih, kesetiaan, kepercayaan dan kepandaian, pendeknya sekalian yang dimuliakan, dihormati dan yang menambah keindahan, bernama: syair. Keadaan bangsa Jawa dan syair itu boléhlah dikatakan sehati dan senyawa. Sebab itu orang banyak, yaitu orang Jawa yang serendah-rendahnya, semunya pandai bersyair. Bagaimanakah pikiranmu tentang kehormatan yang amat memilukan hati yang dibeirikan anak-anak muda kepada orang tua-tua? Dan tentang memuliakan dan menghormati arwah-arwah meréka yang telah meninggalkan dunia itu?

Apabila mereka itu bersuka raya, selalu meréka mengenangkan arwah-arwah kaumnya yang telah meninggal dan meminta doa kepada Allah, supaya dilapangkan Tuhan juga hendaknya meréka itu dalam kubur. Dalam kesukaan dan kedukaan selalulah kami mengenangkan arwah-arwah kaum keluarga kami yang telah meninggal itu.

Dan perkataan ibu itu amatlah sucinya pada kami! Dalam waktu keputusan asa dan kesakitan, selalulah bibir yang pucat, yang tidak berdarah itu menyebut-nyebut kata "ibu" itu. "O, ibu, berilah kami pertolongan, berilah anak tuan bantuan."

Menyebut perkataan "ibu" itu dalam waktu kesakitan dan kesusahan, disanalah tampaknya bangsa Jawa amat memuliakan ibunya. Apakah sebabnya maka kami tidak memanggil bapak dan mengapakah maka "ibu" benar, yang kami panggil-panggil? Itu tidak lain sebabnya, karena manusia itu sejak dari kecilnya tahu dan merasa, bahwa "ibu" artinya dunia penjagaan dan kasih sayang!

Tiap-tiap barang yang terjatuh dari tangan, dipungutlah lekas kembali sambil mengatakan: "ya Allah, anakku!" Apakah arti kalimat itu dan apakah tandanya itu? Perlukah lagi saya akan menerangkannya?

Stella, saya bermaksud hendak meanpelajari bahasamu sungguh-sungguh, sehingga pandailah saya hendaknya mengertikan kepadamu, sekalian hal keadaan yang halus, terdapat pada bangsa kami. Sayapun mesti pula mempelajari benar-benar bahasaku sendiri, supaya dapatlah lagi saya mengertikan bahasa Belanda kepada bangsa kami, seperti yang telah kuketahui, betapa halusnya budi pekerti dan mulianya hati bangsamu itu. Maréka itu harus mengetahui, nienghormati dan mengasihi orang-orang budiman dan orang-orang besar bangsa Belanda, sekalian itu patut dilakukannya.

Kadang-kadang saya hendak bertangan sepasang lagi, supaya saya cakap mengerjakan sekalian yang kusukai. Kemauanku amat besar, tetapi kekuatanku terlalu kecil. Saya tentulah tidak boléh bekerja, sampai saya menjadi sakit, karena bekerja yang demikian, ialah suatu pekerjaan yang sangat bodoh. Tetapi mémang kerap kalilah saya menjadi bodoh, ya, karena kerap kali saya bekerja sampai larut malam; hal itu tidak baik untuk diriku. Dengan hal yang demikian barulah boléh maksudku sampai. Saya selalu hendak beker­ ja, tetapi akhirya nanti niscayalah saya tidak dapat bekerja lagi, karena badanku menjadi lemah. Alangkah malangnya saya kalau demikian. Sebab itulah sekarang saya berusaha, supaya saya tidak terlampau keras bekerja dan boléh hidup sempurna.

 
PENGGILINGAN TEBU DIDÉSA BATE, JEPARA.

15 Augustus 1902 (X)

sunting

Selamat! selamat! majulah kepandaian dan kerajinan Bumiputera; tentulah kepandaian dan kerajinan itu amat besar paedahnya pada waktu yang akan datang!

Tidak saya katakan kepadamu betapa besar hatiku melihat kemajuan itu. Saya mengucapkan banyak syukur kepada Allah atas hal itu. Kami suka sekali memuji bangsa kami dan mengangkat diri kami karenanya! Bangsa kami tiada terpandang, kerap kali dihinakan dan dianiaya orang!

Usaha tukang-tukang Jepara telah memberi berkat.

Tuan Zimmerman tercengang melihat perbuatan tukang-tukang bangsa kulit hitam, yang tiada diindahkan orang itu. Kepandaian bertukang kayu, bertukang emas, batik-membatik dan bertenun disini telah berarti. Tukang-tukang itu telah banyak menerima pesanan dari perserikatan "Oost en West" untuk keramaian St. Nicolaas. Kamipun turut berbesar hati. Sekarang dapatlah tukang-tukang itu memperbuat kenang-kenangannya yang bagus-bagus, buah pikiran yang indah-indah, yang terlukis dan tersembunyi dalam hatinya, mengaturkan ragi yang berombak-ombak dan warna yang berkilat-kilat, kilau-kilauan.

O, itulah yang amat membesarkan dan menyukakan hati, jikalau kita selalu boléh mencahari apa-apa yang bagus dan baik. cahaya yang asalnya dari Tuhan itu ada terkandung dalam tiap-tiap badan, biarpun badan itu amat buruk rupanya pada pemandangan orang. Kebenaran itu wajib hendaknya diketahui oléh sekalian orang pada waktu hidupnya, karena itulah kewajiban manusia yang membaguskan hidup, baik untuk hidup orang lain, baik untuk hidup diri sendiri.

Adalah seorang anak miskin datang kepada seorang perempuan tua. Orang tua itu bertanya, apakah kehendak si anak itu. Makan-makanan tidak ada padanya, apalagi perhiasan dan pakaian. Anak itu menjawab: "Saya tidaklah hendak meminta makan-makanan, perhiasan dan pakaian. ya ibuku, berilah saya bunga yang kembang dalam hati."

Bagaimanakah pikiranmu itu? O, cobalah engkau dengar permintaan anak itu dalam bahasa Jawa, betapa manis dan merdunya: "nyuwun sekar melati, hingkang mekar hingpun jering hati."

Perkataan yang demikian senantiasa boléh didengar. Kami sekarang sedang asyik menuliskan apa-apa yang bagus, yang kami dengar keluar dari mulut anak negeri itu. Perkataan "syair" tidak ada dalam bahasa kami; "syair" kata orang Jawa "bahasa-bunga", tidak benarkah perkataan itu? Kami sekarang mempelajari lagu-lagu bangsa Jawa. Tetapi bukanlah lagu yang meriangkan hati. Sudahkah engkau mendengar lagu-lagu itu dari bangsa kami sendiri? Gamelan tidak pernah berlagu riang, sedangkan dalam keramaian yang bergila-gilapun, lagu gamelan itu, selalulah yang merindukan hati, barangkali itulah sebabnya maka hidup itu selalu merindu dan tidaklah bergirang hati!

Surat ini sejak dari bermula sampai kehalaman ini saya tulis sedang mendengar nyanyi yang merdu, yang lagunya amat merindukan hati. Ketika itu hari telah malam, pintu dan jendéla masih terbuka, pohon cempaka yang tumbuh dimuka bilik kami itu sedang berbunga; sementara itu datanglah angin yang lemah lembut mendayu-dayu kemuka kami, membawa bau bunga yang semerbak itu, memberi selamat. Saya ketika itu duduk di atas tikar seperti sekarang, menghadapi méja rendah, disebelah kiriku duduklah adikku Rukmini yang sedang menulis juga, dan disebelah kananku duduklah Annie Glaser, pun di atas tikar sedang menjahit, dan dimuka kami duduk seorang perempuan membaca kitab hikayat dengan berlagu-lagu. O, berapalah énaknya! Seakan-akan dalam bermimpilah kami rasanya. Suaranya yang bagus dengan nyanyinya yang amat merdu seperti buluh perindu itu serasa menerbangkan hati dan nyawa kami tinggi keatas kayangan, tempat bidadari bersukacita. Betapa cita-citaku ketika itu supaya engkaupun turut bersama-sama duduk dengan kami dan bersama-samalah kita merasai, berbesar hati dan bermimpi. O, Stella, bermimpi bersama-sama!

Hidup ini bukanlah mimpi, tetapi ialah suatu kejadian yang sebenamja lagi mengecutkan hati, dan apa-apa yang benar itu tidak perlulah buruk jika kita tidak suka. Kebenaran itu tidaklah buruk, melainkan bagus, ia bagus selalu, kalau yang ada didalam hati kita itu bagus pula.

O, sebab itulah saya beharap agar pendidikan itu akan diperhatikan orang benar, terutama tentang budi pekerti yang berguna untuk kemajuan penguatkan kemauan hati. Kemauan itu haruslah selalu subur tumbuhnya dalam pendidikan anak-anak, ya, selalu....................

Tetapi sekarang telah sesat pula ketempat lain. Saya hendak membicarakan kepadamu tentang bangsa kami; bukanlah tentang pendidikan; hal itu nantilah kuceriterakan, bukan?

Disini adalah seorang perempuan tua tempat saya meminta sedekah bunga, yakni bunga-bungaan yang kembang dalam hatinya, yang harum baunya. Telah banyak saya diberinya, tetapi masih banyak lagi ada padanya, sangat banyaknya; dan saya inipun hendak meminta lebih banyak pula. Ia mau menambahnya, tetapi saya harus berusaha akan memperoléhnya; bunganya itu harus saya beli............Dibeli dengan apa! Dengan apa mesti saya beli?

Dan keluarlah suara yang penting dari mulutnya: "Puasalah engkau sehari semalam, dan berjaga-jagalah engkau seorang diri, terpisah dari yang lain."

"Habis malam datanglah siang"
Habis topan datanglah reda,
Habis perang datanglah menang,
Habis duka datanglah suka,"

Terdengar dengan merdunya sebagai doa ditelingaku. Itulah buah pikiran yang dikatakan oléh orang tua perempuan itu. Puasa dan berjaga-jaga itu hakikinya: "Menanggung kekurangan, kesengsaraan, insaf akan diri sampai cahaya datang. Mustahil cahaya akan datang saja kalau tidak didahului oléh gelap gulita; bagus, bukan?

Pandai menahan lapar, itulah suatu kemenangan pikiran yang suci dari pada kelobaan lidah; dan tempat yang sunyi itulah sekolah tempat berpikir.

Ketika saya masih kecil sekalian hal itu telah kuperbuat, karena biasa saja, tiadalah saya bertanya-tanya, karena orang-orang yang lebih tua dari pada saya dan meréka yang sama dengan saya berbuat demikian, saya buatlah pula. Setelah itu datanglah waktunya hatiku mulai bertanya pada diriku sendiri: "Apakah sebabnya maka saya buat hal yang demikian, dan apakah sebabnya ini begini dan itu begitu? Apakah sebabnya................ apakah sebabnya?.........." Itulah pertanyaan yang tidak berkeputusan lagi dalam hatiku!

Sejak itu tidak maulah saya lagi membuat barang sesuatu yang tidak saya ketahui hal keadaannya. tidak sukalah saya membuat menurut seperti yang biasa saja, kalau saya tiada mengetahui betul apa sebabnya. Apa gunanya dan apa maksudnya. Saya tidak mau lagi belajar membaca kuran, mengapalkan pepatah dalam bahasa asing, pepatah yang tiada saya ketahui apa artinya, barangkali juga guruku yang laki-laki atau yang perempuan tiadalah juga mengerti pepatah itu. "Katakan kepadaku dahulu apa artinya, baharulah saya mau mempelajarinya." Saya telah berdosa, karena kuran kitab yang suci amat tinggi dan mulia akan diartikan kepada kami.

Sejak itu kami tidak suka puasa dan membuat apa-apa yang lain dengan tiada memikirkan panjang, dan sekarangpun setelah memikirkannya, tiadalah pula dapat kami membuat itu. Putuslah pikiran orang................ kamipun putus asa pula, karena tidak mau orang menerangkan kepada kami, apa-apa yang tidak dapat kami artikan itu. Tuhan kami ketika itu ialah angan-angan hati kami saja, kalau kami berbuat salah angan-angan kami menghukum kami, dan jika kami berbuat baik, maka kamipun mendapat berkat kami. Surga dan naraka kami ketika itu ialah angan-angan hati kami juga. Dari tahun ketahun kami bernama orang Islam, karena bapak kami orang Islam. Kami waktu itu orang Islam hanyalah namanya saja, lain tiada. Allah bagi kami ketika itu hanyalah suatu panggilan, sepatah kata, sebuah bunyi yang tiada berarti................Begitulah hidup kami sampai kepada suatu masa yang pikiran kami jadi berubah.

Pada hari Tuhan yang telah lama, telah bertahun-tahun, yang kami cintai dihati kami, sekaranglah baru kami dapat. Demikianlah lamanya dan sekianlah jauhnya kami telah mencahari. Dahulu kami tidak tahu, yang Ia didekat kami, selalu Ia ada dikeliling dan disisi kami. Ia ada didalam tubuh kami.

Siapakah orang yang menunjukkannya kepada kami? Betul telah lama terasa-rasa dihati kami, tetapi orang yang menunjukkan Tuhan kepada kami, yang telah sekian lama kami mencahari itu ialah Nellie van Kol. Dan siapakah orang yang membimbing kami dan menunjukkan jalan kepadanya, ialah ibu kami sendiri.

Betapalah dungu dan bebalnya kami ini, tiada mengetahui hal itu telah sekian lamanya, bahwa dekat kami adalah gunung mestika yang tiada kami lihat dan kami ketahui.

Bodoh, keras kepala dan mémang tinggi hatilah kami ini.

O, tidak dapatlah engkau pikirkan betapa besar hati ibuku melihat kami dengan perubahan ini, dan sekalian orang tua disinipun turutlah pula bersukacita. tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut meréka itu lagi, yang memarahi kami, dan jikalau kami menyesal dan menyalahi diri sendiri, karena budi pekerti kami yang sombong dan bodoh itu, maka merékapun berkatalah dengan lemah lembut serta membujuk dan memaafkan kami: "Barulah sekarang Tuhan berkehendak membuka hatimu, dan haruslah engkau mengucap syukur atas pemberiannya yang mulia itu!"

O, tidak dapatlah saya mengatakan kepadamu betapa tawakkal dan senang hati kami sekarang, betapa syukur dan terima kasihnya, dan bagaimana pula aman dan sentosa perasaan kami, karena kami telah mendapatnya, dan sebab kami telah mengetahuinya. Kami merasa sekarang, bahwa selalu adalah rasanya orang dekat kami dan yang menjaga kami. Tuhanlah jua yang akan membantu dan membujuk kami, dan ialah pula tempat kami berlindung didalam hidup kami pada waktu yang akan datang, itulah perasaan kami.

 
BILIK KERJA RADèN AJENG KARTINI.

17 Augustus 1902 (X)

sunting

Selamat pagi, lihatlah saudaramu ini datang lagi kepadamu akan berbincang. Hari masih pagi, sejuk dengan segarnya; saya duduk sekarang disudut dekat jendéla, mudah boleh memandang ke dalam kebun. Sekali lagi saya ceriterakan kepadamu keadaan kampung halaman kami rumah tangga kami dunia kami dan....... kurungan kami!

Sekarang saya hubung lagi perbincangan kita yang kemarin. O, jatuhlah air mataku melihatkan kegirangan hati orang tua-tua karena kami yang telah sesat dijalan ini, sekarang telah balik kembali kepada jalan yang benar. Adalah seorang tua disini telah memberikan kepada kami, karena kebesaran hatinya, satu susunan kitab-kitab dan hikayat-hikayat tanah Jawa, yang ditulis dengan huruf Arab. Tulisan itu akan kami pelajari sekali lagi membaca dan menulisnya. Engkau tahu bahwa kitab-kitab Jawa amat sukar mendapatnya, karena kitab-kitab itu ditulis dengan tangan; amat sedikit sekali yang dicécak. Kami sekarang sedang membaca suatu syair yang bagus dan berisi pengajaran yang baik-baik, terkarang dalam "bahasa bunga". Betapalah besar pengharapanku, yang engkau pandai hendaknya berbahasa kami. O, betapa suka hatiku hendak meriangkan hatimu bila engkau pandai membaca surat ceritera yang bagus-bagus itu dalam bahasa' Jawa sendiri. Kalau diterjemahkan tiadalah sebagus asalnya lagi.

Adakah ingin hatimu hendak belajar bahasa Jawa? Betul mempelajari bahasa itu susah, tetapi bagus! Itulah suatu bahasa perasaan, yang penuh dengan syair....... dan tajam. Kerap kali kami anak Jawa sendiri, tercengang melihat betapa tajamnya kadang-kadang perkataan bangsa kami. Apa saja yang engkau kehendaki dengan bahasanya bolehlah dapat diperbuatnya.

Cobalah katakan oléhmu apa-apa saja atau tunjukkan olehmu sesuatu barang, maka orang Jawa yang arif bijaksana, banyaklah kedapatan di antara orang Jawa yang sejati, yang dapat dengan lekas mensyairkan barang-barang itu, sehingga tercengang engkau mendengar betapa tajam dan geli perkataannya. Sepanjang pikiranku hal itu ialah sifat bangsa Timur. Sayang benar, ketika anugerah Allah itu turun kepada bangsa kami, saudara-saudaramu ini tertinggal di belakang saja. janganlah engkau menyangka bahwa saya hendak meminta pujianmu, karena sebenarnya demikianlah timbanganku. Lihatlah kenyataannya: Oléh karena déwa-déwa itu memandang kami seperti beranak tiri, hanya sedikitlah memberi kami kebijaksanaan dan kecerdikan itu, tetapi untunglah datang déwa yang lain memberi kami dengan sepenuh-penuhnya, hadiahnya yang bernama perasaan. Pada pikiranku terbanyak benar ia memberikan perasaan itu. Kami harus memakai sunggóeh-sungguh dan menjaga hati-hati kebajikan itu, supaya jangan menjadi kejahatan. Perasaan tajam mémanglah baik, tetapi terlampau tajam tidak baik lagi. Engkau lama lambatnya, barangkali sekarang engkau telah mengetahui, bahwa bagi saudara-saudaramu ini amat banyak sekali susah padanya menempuh jalan pertengahan. Apalagi bagi orang yang jauh sekali dipinggir, pertengahan itu sangatlah sukarnya akan dihampirinya. Saya mengatakan kesalahanku ini dengan terus terang, karena adalah permintaanku dalamnya. Mengertikah engkau apa maksudku itu? yakni: Tolonglah saya memerangi dan mengalahkan kesalahanku, maukah engkau? maukah engkau menunjukkan kepada sau­dara-saudaramu mana-mana,hal yang tidak baik itu? maukah engkau? maukah engkau melakukan seperti yang telah kami sangka, benar-benar seperti perbuatan seorang saudara, atau perbuatan seorang sahabat kami yang tulus dan ichlas?

Masih teringatkah oléhmu bunyi suratmu pada bulan Januari, yang memperkatakan tentang bunyi-bunyian, ahli-ahli kepandaian dan meréka yang berperasaan halus? Dalam hal itulah sahabat kami, seorang ahli pikiran yang pandai syair, telah mengajar kami dengan halusnya. Engkau tentulah segera akan mengetahui, jikalau sekiranya engkau bercampur-campur tiap-tiap hari dengan kami, bahwa pengajaran itu sungguh-sungguh kami pegang teguh, kami genggam erat. Dan ketahuilah oléhmu, bahwa dukacita tidaklah memerintah kami, melainkan ialah dibawah perintah kami. Menccengkil-cungkil kesakitan dalam hati itu artinya: mencari dukacita sendiri. Kewajiban kita ialah ,dengan sekuasa-kuasa badan, wajib mencoba supa­ya kita selalu lebih kuat dan perkasa dari pada kedukaan hati itu, supaya kedukaan itu boléh bekerja dibawah pe­rintah kita, akan meninggikan darajat kita!.....

Setelah beberapa hari lamanya hujan turun disini, kami pergi melihat kebun bunga-bungaan kami, yang telah binasa oléh hujan lebat. Disana kami lihatlah pohon bunga-bungaan yang binasa itu, penuh dengan tunas-tunas yang hijau. Habis hari berganti hari..... pohon-pohon bunga ros kami penuh pula dengan daun dan kuntumnya yang sangat harum baunya. Hujan, ya, hujanlah yang perlu baginya, supaya bunha-bungaan itu boleh menjadi sebagus itu. Hujan, ya, hujanlah pula yang berguna untuk cita-cita hati kami, supaya boleh tumbuh dan berbunga.

Sekarang tahulah kami. Air mata kami yang tercucur sekarang ialah berguna untuk menghidupkan biji sukacita, yang tumbuh dengan subur pada waktu yang akan datang.

Janganlan teraba-raba, janganlah menyesal-nyesal, janganlah menyumpah-nyumpah, jikalau sekiranya engkau didatangi oleh kedukaan, karena kedukaan itu perlu pula hidup di atas dunia, akan melakukan kewajibannya. Izinkanlah kedukaan itu dengan ichlas hatimu meninggikan darajatmu, sekalian itu boléhlah dikerjakannya, kalau eng­kau berhati baik. Benarlah kata budiman: "Api yang membersihkan emas, api itu lah pula yang menghancurkan kayu sehingga menjadi abu."

Sekarang harus saya menceriterakan kepadamu bagaimana jalannya kami berkenalan dengan Nellie van Kol. Barangali engkau sudah membaca dalam surat kabar tentang hal itu Apa yang akan saya ceriterakan kepadamu ini, ialah akan menjadi tambahan saja kepadamu: Pada pertengahan bulan April tuan van Kol menumpang semalam diróemah kami. Seorang perempuan Belanda, yang menyukai benar akan cita-cita saudaramu ini, menyuruh tuan itu pergi kemari, akan memperbincangkan cita-cita itu. Itulah asalnya pertemuan kami dengan tuan van Kol, dan pertemuan itu membesarkan hati kami, tidak dapat kami katakan.

Yang sebenarnya ia telah lebih dahulu menarik hati kami karena mengingatkan budinya untuk tanah Jawa dan bangsa Jawa: tetapi karena perjumpaan itu lebih kukuhah ia dalam kehormatan kami, bertempat dihati kami. Betul besarlah hati ketika bertemu dengan orang yang tinggi martabat itu. O, senang, senang sekali hatiku. Sesungguhnyalah suatu kejadian yang tidak akan hilang dari kenang-kenangan kami, ketika kami bertemu dengan orang-orang tuamu yang penyayang itu. Tahukah engkau bahwa sejak itulah mulai perubahan dalam hidup kami? Pertemuan itu membangunkan kami, menyuruh hidup dengan sebenarnya; dahulu dari pada itu hidup kami tinggal dimana saja, yang sebenarnya kami masih tidur, tidur nyenyak dan bermimpi. Sekarang hiduplah kami berperang dan berkelahi, berharap dan berputus asa, menanggung dan bersukacita, menangis dan bersorak sorai; itulah artinya hidup yang sebenar hidup! Kami telah merasai betapa enaknya menaiki puncak gunung kesukaan dan mencoba betapa pahitnya setelah menuruni lembah kedukaan. Sekalian itu tentulah telah engkau dengar dari pada ibumu. Saya sekarang berbesar hati, karena saya masih hidup.

Dari ibumu saya tahu, bahwa engkau suka benar akan maksud cita-cita kami. Engkaupun sendiri (telah mengatakan juga hal itu kepada kami. Tentulah engkau akan ber­besar hati pula mendengar, bahwa adalah lagi meréka, tiadalah sebarang orang saja, tetapi meréka yang tinggi martabatnya, pun suka benar akan kemauan kami itu. Meréka itu, ialah tuan van Kol dan isterinya.

Kepada tuan van Kol kami ceriterakanlah sekaliannya, dan kami minta supaya ia suka menguruskan hal kami itu, sebab itulah maka ia datang kemari dan iapun telah berjanji, bahwa ia dengan segala kekuatannya akan memban­tu maksud kami, betul seperti ayahmu hendak membantu kami pula.

Tidakkah besar hatimu mendengarnya bahwa hal-hal saudara-saudaramu ini akan diuruskan nanti oléh seorang yang bijaksana dinegeri Belanda dalam persidangan negeri? Se­kalian yang dapat diperbuatnya akan dikerjakannya hendak menolong saudara-saudaramu ini, supaya cita-citanya dapat disampaikannya. Ketika kami bercakap-cakap dengan dia tentang cita-cita hati kami itu selalu ia meminta, agar saya hendaklah lekas berkirim surat kepada isterinya. Isterinyalah yang dapat memberi kami nasihat. Mendengar hal itu hatikupun bercabullah dengan kegirangan. Betapa kasih serta hormatnya ia memperkatakan dan memuliakan is­terinya itu, yang menunjukinya dan memberinya nasihat bukan buatan. Tetapi lekaslah saya ma'lum, bahwa ialah bangsa laki-laki yang sebenarnya..... dan bukanlah sebarang laki-laki...... yang berkata sedemikian terhadap kepada perempuan. Bagi kami saat-saat yang demikian itulah waktu kami bersuka raya namanya. Laki-laki yang seperti itu tentulah banyak lagi, yakni laki-laki yang mau memandang perempuan tinggi dan menghormatinya karena ia perempuan.

Tiadalah saya tunggu lagi membuat itu. Sesudah tuan van Kol berangkat, maka saya tulislah surat itu. tidak tahu saya entah apa, entah bagaimana perasaanku waktu menulis surat itu, tetapi yang saya tahu hanyalah saya tidak ada berperasaan seperti kepada orang asing, pada hal belum pernah saya berkenalan ketika berhadapan dengan dia dan ketika berkata-kata menulis surat itu; dan begitulah pula perasaanku ketika bercakap-cakap dengan suaminya. Ketika menulis surat itu, maka nyonya itu kusangkakan sebagai ibuku; dengan tiada berpikir panjang, kucurahkanlah sekalian yang terasa dalam hatiku. Kepada suaminya tidak heranlah yang saya tidak usah malu-malu mengabarkan sekalian halku itu, karena ia sangat peramah dan baik hati, sebagian juga menerina bicara kami selalu dengan girang hati. Sungguh seperti bapaklah lakunya bagi kami. Besar hatiku sebab saya telah menurutkan hatiku dengan lekas berkirim surat kepada nyonya van Kol. Kamipun dengan lekas pula mendapat surat dari padanya dan betapa bagus bunyi surat itu! Kami merasa bukan buatan kayanya kami dengan sekian banyaknya kesukaan hati yang ditumpahkannya bagi kami itu. Tuhan telah memberi kami lagi seorang sahabat-hati, dan sahabat itulah pula yang mengajar kami pergi mencahari Tuhan yang esa sampai bertemu. tidak dapat saya terangkan kepadamu betapa besarnya untung kami ini! Kami tidak mau bersuka raya atas untung kami, yang kami telah berubah menjadi baik ini, tetapi kami, sengaja diam-diam dengan hati yang tawakkal mengucap syukur kepada Allah tentang sekalian yang telah kami peroleh itu. Dalam beberapa hari ini kami telah menerima lagi sepucuk surat dari Nellie, berisi bermacam-macam buah pikiran yang bagus dan mulia. Seperti suatu sungai mengalirlah kesucian hati dari tubuhnya. Itulah anugerah Tuhan kepada kami bertemu de­ngan seorang perempuan yang suci hati, lagi tinggi martabatnya. Ia berkata: "Baharulah kita boléh bernama sahabat manusia yang berhati tulus, jika kita menolong mereka itu dengan tiada lebih dahulu mencahari bantuan orang lain, hanya bantuan itu kita cahari terutama pada badan kita sendiri dan pada Tuhan kita." Kami banyak meminta terima kasih akan perkataannya itu. Kata itu lebih harganya kepada kami dari pada sekalian nasihat, yang telah dilimpahkannya untuk kami, ataupun yang akan datang. Apa yang dikeluarkannya dari hatinya dan yang diberikannya kepada kami, itulah "kasih" yang keluar dari hatinya, dari hati kecilnya. Sekarang ia berkata lagi: Orang yang sebaik-baiknya dan yang berhati pengasih dan penyayang, meréka itulah pula manusia yang lemah dan mudah bersalah. Serahkanlah dirimu kepada Tuhan. Ialah yang akan menyembuhkan luka hatimu dan yang akan menghapuskan air matamu."

Pada suatu hari, ketika saya sedang menulis surat ini adalah saya mendapat kedukaan yang boléh meremukkan hati dan memutuskan harap, jika sekiranya kami belum berkenalan dengan Nellie. Tetapi sekarang tiadalah lagi kami mencari penghiburan hati pada manusia, melainkan kami bergantunglah dengan sekuat-kuatnya pada tangan Allah. Oléh sebab itulah gelap gulita menjadi terang dan topan halilintar menjadi reda.

Kami tidak takut, sesungguhnya kami tidak takut, kemana saja kami pergi, selalulah ada Tuhan yang menjagai kami, melihatkan kami dan membimbing kami dengan kasih sayang.

Apakah gunanya kami mengindahkan manusia, kalau kami telah mengetahui akan Tuhan kami? Sekalian itu pekerjaannya dan telah ditakdirkannya lebih dahulu apa yang kami perbuat. Ialah yang akan memberi kekuatan untuk mengerjakan kerja itu.

Kami sudi memberikan sekalian apa yang ada pada kami, dan suka memberikan diri kami sendiri, demikianpun menerima: kesedihan yang melukakan hati. Air mata dan darah pastilah akan bercucuran dengan banyaknya, tetapi tidak mengapa; sekalian itu ialah akan membawa kami ketempat kemenangan. tidak ada terang cuaca yang tiada didahului oléh gelap gulta. Habis malam baharulah fajar menyingsing.

Sekarang tahulah kami akan Tuhan, dan hidup kami pun serasa bertambah bagus, hajat kami bertambah bagus dan bertambah baik. Allah telah memberi berkat sekalian itu!

Bagaimana pikiranmu tentang sekalian hal itu, Edie? Hanya sebuah yang kuketahui benar, ialah: engkau berhati besar mendengar hal keadaan saudara-saudaramu demikian itu.

Sekarang saya hendak bercakap-cakap dengan engkau sebentar, sudah itu haruslah surat ini berjalan. Kalau tidak, lama benar ia tertahan dan lagi ia telah terlalu panjang. Barangkali juga surat ini nanti menjemukan engkau. Katakanlah terus terang kepadaku! Berhati lurus itulah hendaknya sendi persahabatan kita. janganlah engkau malu mengatakan apa-apa yang terasa dihatimu, asal ada berguna bagiku, meskipun hal itu menyedihkan hatiku. Maukah engkau sedemikian, saudaraku? Makin bertambahlah hormatku kepadamu, jikalau engkau mengabulkan itu.

Kepadamu tidalah kami akan bersyak hati, bahwa engkau suka dan akan membiarkan saja, orang-orang kuli yang dibawah perintahmu dipukul dan diterajangi. Sayapun tidak suka melihat orang dipukul itu. Pilu hatiku bukan buatan melihat sipat binatang yang ada dalam hati manusia, sipat yang telah menarik hati manusia itu berubah menjadi binatang yang buas dan ganas menghinakan kehormatan ma­nusia itu.

Kami tidak mengerti adalah manusia, ya, ada pula perempuan-perempuan yang suka sekali pergi melihat orang dihukum siksa. Heran benar, tidak ada berhati manusia yang sedemikian dalam pemandangan kami. Engkaupun tahu pula, bahwa orang-orang rantai yang lari, biasanya dihukum pukul dengan rotan. Sesungguhnya orang yang tiada berhati manusialah yang suka melakukan pekerjaan memukul itu. Rendah dan hinalah, kalau orang Jawa yang melakukan kerja itu, dan bertambahlah, rendah dan hinanya, kalau orang Eropa yang suka berbuat demikian.

Saya telah melihat betapa seorang Eropa, bukannya orang bodoh, tetapi terpelajar, telah memukul móela-mula seorang anak kecil kemudian seorang perempuan dan seorang anak gadis kecil pada suatu peralatan, karena mereka itu tidak lekas melapangkan jalan untuk "tuan besar" itu. Saya menggertakkan gigiku melihat hal itu, supaya jangan keluar suaraku; tiap-tiap ia memalu itu diirisnyalah rasanya hatiku dengan sembilu. O, sangatlah pedihnya!

Tiadalah karena ngeri badanku melihat orang direjam demikian, tetapi amat pitu hatiku melihat kehinaan perbuatan itu, baik untuk orang yang dipukul, baik untuk yang memukul. Hukuman siksa itu tiadalah membaiki, hanya membusuki; demikian keyakinan kami.

Oleh karena itu anak-anak pegawai di tanah ini, radèn mas atau raden ajeng dan sebagainya yang mengatakan dirinya ialah machluk berpangkat tinggi dan berhak supaya dihormati seperti déwa-déwa oléh anak negeri, telah kerap kalilah kami melihat sampai mejemukan kami. Perbuatan yang demikian selalu meremukkan hati dan memanaskan darah kami. Melihat orang berbuat demikian kamipun diam. tidak bergerak dan tidak pandai berkata atau tertawa. Kemarahan dan iba hatilah yang menutup mulut kami itu. Seorang kenalan kami tahulah akan perasaan kami itu, lalu berkatalah ia: "Kami harus berbuat demikian, kalau tidak bagaimanakah kami yang hanya berpuluh-puluh orang ini dapat menjaga keamanan dan kesentosaan meréka yang beribu-ribu banyaknya itu? Telah lamalah kami lari diusir oleh mereka itu dan dilemparkannya kelaut, kalau sekiranya mereka itu tidak takut kepada kami."

Menurut perintah karena takut! Apabilakah pula waktunya akan datang, supaya orang akan menurut perintah karena Tuhan, yakni supaya kasih sayang sesama manusia, dapat masuk ke dalam hati manusia yang berjuta-juta banyaknya itu? Telah seribu sembilan ratus dua tahun pelajaran kasih sayang itu telah diajarkan, dan berapa ribu tahun lagikah maka kasih sayang itu boléh tersimpan dalam hati orang banyak menjadi haknya?

Ibumu sama sekali tahu akan hal hidup kami; sudahkah diceriterakannya kepadamu hal keadaan kami, ketika kami masih kecil, selalu dalam sengsara, karena diperintahi oléh saudara-saudara kami laki-laki dan perempuan, yang berkelakuan seperti raja-raja yang lalim?

Bagi kami telah diadatkan bahwa orang muda harus menurut sekalian perintah orang yang tua. Saudara Kartini yang sejak kecil telah mengehendaki kebébasannya dan merdéka, tidak suka diperbuat sedemikian. Kesudahannya tentulah saya selalu berbantah dengan kakak-kakakku laki-laki dan perempuan, karena saya tidak mau menurut perintah meréka yang sekehendak hatinya saja itu. Saya mau mengerjakan perintah itu, bila menurut pertimbanganku perintah itu adil dan baik. Demikianlah halku tatkala saya seorang anak kecil yang masih ber'umur 12 tahun, senantiasa berdiri dimuka satu pasukan musuh. Ketika itupun Tuhan tiadalah melepaskan saya. Ialah yang menolong mempertahankan saya waktu yang sukar itu. Banyaklah air mata yang memilukan hati, yang telah kami cucurkan ke­tika kecil. Tahukah engkau siapa sahabat kami waktu itu yang selalu membantu dan menolong kami? Kartono, tetapi ia biasanya tidak adalah di rumah, ia tinggal di Semarang. Persahabatan kami itu telah lama. sejak kami masih kecil. Semenjak saudaraku perempuan yang sulung telah dikawinkan, dan saudaraku laki-laki yang tertua pergi dari sini, berubahlah hal keadaan hidup kami. cita-cita kami masing-masing: "Kemerdékaan, sama rata, sama rasa dan persaudaraan!" Kami suka dikasihi dan disayangi, tetapi tidak ditakuti oléh saudara-saudara kami yang lebih muda.

Tiadalah saya hendak meninggikan diri apabila saya berkata, bahwa saudara-saudara kami yang kecil lebih suka bercampur gaul dengan kami dari pada dengan orang lain. Dalam percampuran kami selalu ada aturan dan perbandingan, tidak ada ketakutan. Kasih dan sayang menjadi tali yang kuat memperhubungkan kami sekalian. Berapalah banyaknya kami mendapat kesukaan dan keriangan dari saudara-saudara kami yang kecil itu! Banyak kami diajarnya. Demikian juga meréka yang telah bertahun-tahun menyiksa kami itu, ketika masih kecilpun jadi guru kami. Meréka itulah yang mengajar kami, bagaimana kami wajib bekerja, yakni tidak seperti meréka itu. Itulah lagi suatu keterangan yang menyatakan, bahwa kesengsaraan dan kesedihan hati perlu ada di atas dunia.

Meréka yang dahulu keras membantahi dan memerangi kami, sekarang datanglah kepada kami dengan kasih dan persahabatan yang baik. Sekalian hal itu tiadalah ditunjukkan meréka itu dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatannya. Tiap-tiap surat iparku yang perempuan datang, selalu ia meminta supaya kami datang kepadanya, dan selalu berkata, bahwa kalau kami datang, memberi kebajikan kepada rumah dan ahlinya. Allah kaya, Allah mahakuasa!

Bolehkah kiranya ceritera hidup kami yang pendek itu dijadikan pula menjadi ceritera hidup dua bangsa, yakni bangsa Jawa dan bangsa Belanda? Adakah akan termakan oléh hati kita, bahwa Jawa dan Belanda akan hormat-menghormati dan kasih-mengasihi kelak?

Bagaimana memperbuatnya supaya kami sampai kepada kesengangan itu dan apa yang telah kami perbuat untuk keadaan itu tidak tahulah kami. Telah acap kali orang bertanyakan hal itu kepada kami. Hanyalah yang kami tahu bahwa kami mempunyai kasih dalam hati kami amat banyak. Itulah rahsia sekalian hal itu pada perasaanku.

Dengan girang hati kami berharap supaya banyaklah lagi hendaknya surat-surat dari Sawah Lunto yang akan pergi ke Jepara. Kabarkanlah sekalian hal kepada kami, ceriterakanlah sekaliannya, baikpun tentang kerja, hidupmu dan dunia disana.

Sayang! perkakas porterét itu kesukaan yang mahal harganya. Kalau tidak, sukabenar kami membuat porterét-porterét Jawa yang bagus-bagus dan ganjil-ganjil. Kami anak negeri sendiri boleh pergi kemana-mana melihat keadaan bangsa kami: ketempat itu, kemana bangsamu tidak boleh pergi, kami boléhlah pergi kesana.

20 Augustus 1902 (VII)

sunting

Kami kedatangan jamu dari Betawi, meréka sungguh-sungguh mencintai kepandaian bangsa kami dan meréka itu mau dan sanggup memajukan kepandaian itu. Sekaliannya ialah anggota-anggota pegurus "Oost en West” di Hindia, yang hendak membuka sebuah kedai barang-barang hasil kepandaian dan pertukangan bangsa Bumiputrera untuk keramaian Sint Nicolaas yang akan datang ini. Meréka itu suka benar, supaya hasil kepandaian dan pertukangan dari Jepara banyak tersedia disana.

Akan menguruskan pekerjaan itu telah terserah kepada kami dan kamipun amat suka mengerjakannya, itulah sebabnya maka saya tidak dapat lebih dahulu dari ini akan bercakap-cakap sekali lagi dengan sahabat kami di Princenhage. Suami tuan tentulah akan berceritera nanti betapa tingginya pertukangan ukir-mengukir dan kepandaian bertenun disini. Besarlah kesukaan hati kami, kalau kami dapat memberi tahukan kepada orang banyak akan kepandaian bangsa kami.

Menjadi penolong seperti itu ialah suatu kebajikan ke­pada kami, sebab dengan hal yang demikian dapatlah kami menunjukkan jalan kedunia yang baru untuk melakukan kepandaian yang keluar dari hati anak Bumiputera, yakni kepandaian yang menyuruh orang tidakajub dan menghormati tukangnya yang hina, orang Jawa, yang hampir tidak dihargai oléh sesama manusia.

Kalau kita melihat barang yang indah-indah itu, dan kemudian dilihat pula tukang yang membuatnya yang amat hina itu, demikianpun perkakasnya yang amat sedikit itu. tentulah kita akan tidakajub dan menghormati akan kepandaiannya itu, dan datanglah pula perasaan bagi kita, bahwa tukang itu ialah tukang yang sebenar-benarnya pandai. Pada suatu kali ketika kami tercengang melihat kepandaiannya itu, maka bertanyalah kami: "Hai tukang, dari manakah engkau ambil sekalian yang bagus-bagus itu?" Matanya yang tadinya melihat kebawah itu dipandangkannya sebentar kepada kami dan mulutnyapun tersenyum, lalu menjawab dengan mudahnya: "Dari hatiku, bendoro!"

Betapa besar hati kami mendengar jawabnya itu, dan be­tapa pula benci kami akan diri kami, sebab kami waktu itu duduk diserambi, tetapi ia duduk di tanah berjongkok dimuka kami, menghinakan dirinya, sedang martabatnya seratus kali lebih tinggi dari pada kami.

Mengapa? Apakah sebabnya? Karena kami dengan tiada disengajanya lahir kedunia menjadi anak seorang bapak yang berkuasa dan berpangkat tinggi. O, betapakah buruknya hal itu! .........................................................................................................

Syukurlah! usaha tuan serta kawan-kawan tuan yang lain, tentang keperluan yang penting itu telah membukakan mata negeri Belanda, yakni tentang pendidikan: pembacaan untuk anak-anak.

Beruntunglah tanah Belanda sebab mempunyai kekuasaan yang mulia sebagai tuan-tuan yang bekerja dengan hati-hati itu memperbaiki hati dan pikiran anak-anak Belanda. Dalam hal yang demikian beruntung benar anak Belanda kalau dibandingkan dengan anak Jawa yang tiada mempu­nyai sebuah juapun kitab pembacaan, lain dari pada kitab-kitab pengajaran disekolah. Seorang tuan yang ada bermaksud dan ada pula berkuasa untuk membaiki pendidikan anak-anak Bumiputera, telah merundingkan pada suatu kali tentang hal itu, yaitu telah beberapa tahun yang sudah, tetapi sekarang tidak adalah kami mendengar sedikit juapun lagi tentang hal itu.

Kami masih kecil ketika seorang inspekteur sekolah anak Bumiputera meminta, supaya kami karangkan ceritera-ceritera kecil tentang hidup anak-anak untuk anak-anak Bumiputera, dan karang-karangan itu akan diberi bergambar-gambar, dan akan dicetaklah dengan gambar itu sekali. Ketika kami tengah menulis karang-karangan itu, tiadalah kami menyangka-nyangka sedikit juapun, bahwa adalah nanti seorang juara perempuan, penebas jalan dinegeri Belanda, yang memberi anak-anak disana kitab pembacaan untuk pendidikan, akan meminta kepada kami, supaya kami sudi menolong bekerja membuat mahligai pendidikan yang bermenara indah-indah dan tinggi, mencapai udara yang suci, serta diberi berjendela yang bercerminkan kaca sejati banyak-banyak, tempat memandang kepada segala penjuru alam............... yang diperbuatnya untuk kekasihnya: budak-budak kecil yang nanti akan menjadi orang-orang besar pada waktu yang akan datang! Kami meminta kepada Tuhan, moga-moga biarpun sedikit dapatlah kami menolong kerja yang mulia itu.

Kami sekarang masih mengumpulkan dongeng-dongeng, ceritera-ceritera, permainan, dan pantun-pantun yang dimaksudi itu. Pada pikiranku, tidak mudah bagi kami akan menulis lagu dongeng-dongeng itu dengan tulisan musik. Pertama: karena kami, sungguhpun suka benar akan musik, tiadalah pernah mempelajarinya. Tetapi hal itu tidak mengapa, karena dapatlah juga diakali. Kesusahan yang terbesar ialah karena turun naik lagu pada bangsa kami tidak sama dengan turun naik lagu pada bangsa tuan, dan dalam hal itu adalah pula beberapa bunyi yang tidak ada dalam musik Eropa.

Pada pekan yang lalu kami bercakap-cakap dengan seorang Eropa, yang telah 20 tahun mengumpulkan bermacam-macam hasil kepandaian anak Bumiputera, pantun-pantun dan lagu-lagu, semuanya disimpan oleh tuan itu. Pun maksudnya hendak mengambil beberapa lagu Jawa, lagu gamelan akan penambah kumpualannya itu, tetapi sekarang belumlah dapat ia menuliskan lagu itu barang sebuah juapun, dengan tulisan musik, oleh karena kesusahan yang tersebut itu. Lagu-lgu gamelan itu memanglah amat susah, tetapi lagu-lagu nyanyian anak-anak amat mudah. Adalah berapa buah nyanyian anak-anak, yang telah kami coba melagukannya dipiano, hal itu dapat dilakukan; sekaliannya berbunyi tinggi dan rendah.

Rupanya adalah talipon yang tidak kelihatan, terentang dan "Lali jiwa" kemari, yang selalu dipergunakan oléh tubuhku yang tiada kelihatan pula. Karena kalau sekiranya tidak begitu halnya, tidak mengertilah kami, apa sebabnya ada beberapa pasal isi surat nyonya telah kami pikirkan, telah kami perbincangkan, ya, telah kami tuliskan pula sewaktu tuan menulis surat-surat itu. Dalam suratku yang bersabung dengan surat tuan, dapatlah nyonya membaca jawaban dalam beberapa hal yang telah nyonya tanyakan itu. Demikiainpun pikiran tuan tentang lagu-lagu, permainan dan dongéng-dongéng yang nyonya minta kirimkan itu telah pula kami perbincangkan sebelum kami menerimia surat tuan. Sungguh sayang sekali, kalau tidak dapat dituliskan dengan tulisan musik, karena nyanyian itulah yang membaguskan permainan dan dongéng-dongéng itu. Ketika kami masih anak-anak, kami tidak suka kalau tukang kabar yang berceritera itu tidak bernyanyi sedang berkabar, sebab demikianlah galibnya.

Beberapa hari yang lalu, kami telah berbantah tentang keperluan kitab-kitab. Lawan kami mengatakan, bahwa sekalian itu tidak berharga: cita-cita dan syair semuanya pekerjaan orang gila, kitab-kitab itu tidak ada seduit harganya, sama sekali tidak ada paédahnya.

Berapa besar hati kami ketika ésok harinya kami membaca didalam surat kabar "Amsterdammer" sebuah karangan nyonya tentang keperluan kitab-kitab itu.

Kami orang yang bodoh, masih dungu, dalam timbang-menimbang belum pandai; tetapi sekarang seorang ahli dalam hal itulah yang mengatakan.

Orang lawan kami itu betul ganjil, sebab itulah maka suka benar kami memperhatikannya dan mendengar pertimbangannya tentang hal itu. Ia seorang yang banyak bersipat baik, tetapi hatinya terlampau lemah. Padanya makin teranglah bagi kami, apa yang perlu sekali dimajukan untuk pendidikan anak-anak: "kemauan hati". Kalau tidak ada kemauan hati itu, sekalian sipat-sipat yang baik itu tidak berapa atau tidak ada harganya.

O, tidak dapat saya katakan kepada tuan, betapa terima kasih kami kepada tuan, yang telah menunjukkan kepada kami jalan kepadang kesenangan yang sebenar-benarnya, kepadang kemerdékaan yang mulia kepada Tuhan yang mahakuasa.

Siapa yang sebenar-benarnya mengerjakan suruh Allah, ialah yang bebas, tidak dapat ditawan orang. Meminta bantu kepada manusia, artinya menawankan diri kepada manusia.

Berapalah bagusnya dan berapalah tingginya pengajaran yang nyonya tunjukkan kepada kami itu. Kesenangan yang sebenar-benarnya, dimanakah tempatnya?

Ia tidak jauh, tetapi terlampau susah mencapainya; tidak dapat orang pergi kesana dengan tram, dengan keréta api, atau dengan kapal, dan uang emaspun tidak dapat membawa kita kesana. Bayaran perjalanan kesana amat mahal, yakni: air mata, darah dihati dan insaf mengenal diri. Dimana dia dicari?

Dibadan sendiri. Banyak benda boléh didapat didunia ini, yang membesarkan hati dan menyukakan kita, yang telah sekian lamanya kita cahari, yang bernama: kesenangan. Tetapi tiap-tiap kali mendapat yang bernama kesenangan itu, sekian kalilah pula kita merasai kesedihan, sebab yang kita peroléh itu tidaklah yang sebenar-benarnya.

Kesenangan yang sebenarnya, kesenangan yang selalu tinggal kekal, bertempat dalam tubuh dan bernama "kesenangan hati." Itu telah lama saya rasai dan nyonyalah pula yang mengajar saya menyebut nama itu.

Allah itu tidak mau kelintasan, kata orang. Ia tidak suka kalau orang menyembah allah-allah yang lain dari padanya, dan dihukumnyalah meréka yang membuat-buat dan menghormati allah-allah itu seperti Allah yang mahatinggi, dengan kekesalan dan kesedihan yang amat sangat.

Pun adalah kami bertemu dengan suatu kalimat yang isinya doa kasih sayang, bunyinya: "Tiadalah engkau boléh ber(mempunyai) allah-allah, yang lain dari padaku." Tidalah buh lagi dima'lumi dalam kalimat itu, bahwa manusia itu tinggal manusia juga,................. yakni machluk yang mudah bersalah.............

Sesungguhnya jika sekiranya dapat orang mema'lumi maksud kalimat itu dengan sebaik-baiknya, berapalah bagusnya. Tentulah banyak kedukaan yang akan terjauh dari pada meréka itu!

Benar jugalah bahwa banyak pula hal yang menyuruh kami senantiasa berinsaf diri, tetapi tiadalah kami hendak melupakan, bahwa nyonyalah yang telah memasang pelita dihati kami.

Bundaku amat berbesar hati dan meminta syukur akan perubahan, yang telah terjadi dihati kami. Ia amat ingin hendak bertemu dengan nyonya akan mengucapkan sendiri terima kasih atas kebajikan yang telah tuan perbuat untuk anak-anaknya ini: "membukakan hati kami akan Tuhan yang pengasih dan penyayang itu!"

Apakah sebabnya maka kami dahulu masuk bagian meréka yang tidak percaya akan Tuhan?

Karena amat banyak kami melihat hal yang hina, yang dibungkus bagus-bagus dengan syarat-syarat agama. O, tambahnya lagi dengki chianat dalam hati meréka itu satu dengan yang lain, sama-sama orang yang alim!

Kami ketika itu masih anak-anak dan berapalah panjangnya pikiran anak kecil?

Tidak dapat kami mengetahui dan mema'lumi, bahwa manusialah kiranya, yang berbuat jahat sambil menyebut-nyebut nama Tuhan, akan peliputi kejahatan yang telah diperbuatnya. tidak dapat kami mengetahui, bahwa sekalian yang ada didunia ini mula-mulanya bagus, tetapi kemudian oléh manusia diburukkannyalah sekalian yang bagus itu.

Sejak dahulu kami bertanya dan sekarangpun kami bertanya juga kepada siapa-siapapun bagaimanakah peijalanan hidupmu? Kami tidak mau menanyakan, apakah agamamu?

Kebaikan, itulah dahulu yang menjadi Tuhan kami, dan selalulah kami mau memperhambakan diri kepadanya; sekarang kamipun tahulah pula: Kebaikan dan Tahun esa adanya!

...............................................................................................

Sekarang kami sedang membaca sebuah syair yang berisi nasihat yang bagus-bagus dalam bahasa bunga. Kata syair tidak ada dalam bahasa kami, kami mengatakannya ba­hasa bunga, benarkah atau tidak? Adakah terkenang juga oléh nyonya malam-malam Hindia yang sejuk dengan terangnya, jikalau sekaliannya telah hening belaka, kecuali yang terdengar hanyalah lesir-lesir dipuncak kelapa, karena diembus oléh angin yang mendayu-dayu, bersih dengan harumnya, membawa bau kemuning, bau cempaka dan melati yang amat semerbak? Tiadakah sekali-sekali nyanyi-nyanyi yang merindukan hati datang menjelang tuan? Misalnya seperti nyanyi seorang Jawa yang berlagu-lagu dirumahnya untuk isi rumahnya dan orang sebelah-menyebelah rumahnya, menceriterakan hal ihwal kasih sayang pahlawan yang gagah berani, bermacam-macam alat keramaian dan tentang perempuan dan laki-laki yang molék-molék, ber'ilmu dan barkuasa; perihal putera-pcefera atau puteri-puteri pada masa purbakala?

Sekalian kitab bangsa kami terkarang dalam syair, dan membacanya mestilah dilagukan.

Waktu yang menyenangkan hati, ialah jikalau orang Jawa telah payah sesudah bekerja siang hari, pergilah ia meiepaskan lelalnya dengan bernyanyi-nyanyi menghilangkan sekalian kesusahan hidup, bernyanyi mengenangkan waktu purbakala, waktu yang amat permai itu; sekalian itulah yang dmjanyikannya seakan-akan ia membawa nyawanya dan dirinya ketempat itu. "Bangsa Jawa bangsa yang penuh kenang-kenangan," kata seorang sahabatku yang masih muda dengan sebenarnya. "Mémanglah sangat senangnya bermimpikan kayangan dalam tidur yang berzaman-zaman lamanya."

Keadaan itu benar; tetapi kami masih hidup dan kami perlu hidup, artinya kami wajib bergerak, maju kemuka!

Sahabat kami itu berkata pula: "Supaya sekaliannya sungguh-sungguh rajin bekerja dan dengan sebenarnya mengeluarkan kekuatannya, wajiblah kami membangunkan bangsamu!"

Karena hal itu banyaklah nanti kenang-kenangan yang bagus-bagus yang akan menjadi hilang lenyap; dan boléhkah kami, karena menakuti kehilangan itu, menahan diri supaia kami jadi bangun?

Bermimpi énak, mimpi itu bagus, tetapi apakah gunanya kalau mimpi tinggal mimpi saja? Kita harus menambah kesenangan dan keindahan mimpi itu, yakni mencoba supaya mimpi itu menjadi hal yang sebenarnya.

Amat banyak yang bagus-bagus pada bangsa Jawa! Karena tuanlah, maka dalam beberapa hari yang lalu ini, banyak kami mendengar bermacam-macam kebagusan dari mulut anak Bumiputera. yaitu sebab kami sekarang mengumpulkan dongéng-dongéng itu, jadi banyaklah kami bertemu dengan berupa-rupa orang bangsa kami, dan amatlah senang hati kami mendengarkan buah pikiran meréka itu.

Keterangan-keterangan meréka itu selalu ringkas, tetapi bahasanya amat bagus, dan sangat memilukan hati, karena kebenarannya dan kebijaksanaannya.

Betapalah ingin hatiku hendak mengirimkan kepada tuan sekalian buah pikiran yang bagus-bagus itu dalam bahasa yang amat merdu bunyinya itu: karena kalau diterjemahkan hilanglah kemerduannya itu.

Boléhkah banyak-banyak kami menerangkan kepada nyonya tentang hal keadaan bangsa kami? Pertanyaan itu tidak gunalah ditanyakan; karena tentulah tuan suka mendengar sekalian hal keadaan bangsa kami, sebab tuan kedua mémang sayang dan kasih kepada bangsa kami. Oléh karena cinta tuan kedualah maka kami mendapat kebagusan itu dalam hidup kami.

Bersama-sama dengan tuan percayalah kami, bahwa yang sebenar-benarnya itu tempatnya ialah dihati, dan tiadalah didunia.

Kami rasanya amat kaya dan senang karena telah mendapat sahabat-sahabat yang ada dihati kami itu. Amat lobakah kami ini karena dari siapa juapun maulah kami belajar?

...apalagi hendak belajar kepada meréka yang menambah pikiran dan meluaskan pengetahuan kami itu dengan jalan berkirim-kiriman surat?

Benci benar kami menerima surat yang tidak ada isinya, apalagi hendak membalas surat itu; sebab surat-surat yang sedemikian menyuruh kami bertanya: "Apakah gunanya ia ditulis?"

Kami betul-betul orang yang beruntung, karena kami dapat bercampur dengan meréka yang tinggi martabatnya itu.

Jauh ditengah-tengah pulau Selébés adalah seorang sahabat kami, manusia yang berhati bangsawan dan berpikiran mulia. O, alangkah hérannya kami melihat pekerjaannya yang mulja itu. Bagi kami seperti suatu keramaianlah, jika kami menerima surat dari Dr. Adriani, yang senantiasa amat bagus dan penuh berisi pengajaran. Betapa besar hati kami ketika kami bertemu dengan dia di rumah tuan Abendanon. nyonya Abendanon mempertemukan kami dengan dia, karena ia tahu, berapa banyaknya pengajaran yang akan kami terima dalam perjumpaan itu. Mengenangkannya dan memikirkan pekerjaannya saja, kepada kami sudah menjadi suatu bujukan, jikalau sekiranya kami disini melihat atau mendengar orang yang loba dan tidak ada menaruh kasih sayang. yang menyakitkan hati kami benar, ialah melihat kelobaan manusia, yang terkadang-kadang sungguh tidak ada batasnya.

O, berapalah senangnya hati kami yang selalu tinggal dalam dunia meréka, yang kaku dan dingin tidak mau mengacuhkan apa juapun, dan kebanyakan di antaranya tiadalah berhati dan berotak, jikalau sekiranya sekali-sekali kami dapat bertemu dengan seorang, yang hatinya penuh dengan kasih sayang, kegembiraan dan kebijaksanaan.

Syukur, ya. syukur kepada Allah, karena adalah kami berkenalan dengan manusia yang demikian, baik dékat ataupun jauh.

.................................................................................................................

Sayang sekali, tuan tidak kami kenal pada waktu perserikatan kami sedang maju. Sekiranya ada, tidak dapat tidak tuan akan berbesar hati. Tiga buah nyawa bersipat satu didalam tiga buah tubuh yang berdekat-dekatan lahir kedunia menjadi saudara! Banyaklah ribut yang telah menggoda kepala anak muda-muda itu dan banyaklah pula topan yang menyêrang hati meréka itu.

Saya ingat akan kata-kata tuan, "akan menyampaikan cita-cita wajiblah dibunuh beberapa kenang-kenangan."

Dari putik-putik bunga yang mati timbullah buah-buahan yang sampai masak; demikianlah pula halnya hidup manusia, bukan? Karena dari kenang-kenanganyang masih muda, dan lalu mati, bolehlah terkadang-kadang timbul kenang-kenangan lain, yang sampai masak menjadi buah...........

Sebuah kenang-kenangan yang besar telah matilah. Tatkala kami menguburkannya dengan air mata dan kedukaan yang amat sangat, terasalah oléh kami seperti sebuah sungai mengalir dalam badan kami dan waktu itu juga timbullah dihati kami suatu kenang-kenangan yang baru, yang lebih bagus dan lebih kuat! Kami ma'lumi dan rasai akan hal itu. Banyak lagi, ya, amat banyak lagi air mata dan kesedihan hati yang wajib tertucur, supaya dapat melepasKan dahaganya buah yang masih muda itu, hingga sampai menjadi buah yang masak.

Sabar, perbanyaklah sabar! Sekarang barulah kami ma'lumi apa yang dimaksudi tuan Abendanon, ketika ia menyuruh istirenya mengatakan kesabaran itu kepada kami. Banyaklah kiranya yang dahulu hanya bunyi saja kedengaran oléh kami, sekarang sekalian itu teIah ada berarti. ya, kami hanya boléh dan wajib berjalan lambat-lambat; "perjalanan itu amat jauh dan amat panjang; dan jalan itu amat curam dan sukar! Bersusah hati sendiri tiadalah mengapa; tetapi menggaduh sesuatu hal dalam perjalanan sangatlah mengecutkan hati kami.

Terkenanglah saya pada suatu malam, belumlah lagi berapa lama antaranya. Adalah seorang kenalan kami membawa berdua pergi mendengar musik di rumah komidi di Semarang. Itulah pertama kali selama hidup kami yang kami berdua saja, tidak bersama-sama dengan adikku de­ngan bapak atau dengan ibuku, duduk didalam manusia yang sebanyak itu. Kami hanyalah berdua saja, di antara orang-orang asing yang banyak itu. Dan sebentar terpikirlah oleh kami: Beginilah hidup kami nanti pada waktu yang akan datang kami hanyalah berdua saja dilautan hidup yang besar itu! Tetapi tawakkallah kami, karena adalah Tuhan yang menjaga kami!

Pada 20 hari bulan ini pikiran kami adalah di Tanjung Periuk. Disanalah tampak oléh kami kapal Willem II sedang berlayar meninggalkan pantai pulau Jawa, membawa suatu muatan yang amat mahal harganya, yaitu seorang sahabat yang tinggi martabatnya dan suci hatinya, yang amat kasih dan sayang akan tanah Jawa, pergi ketanah Belanda akan berbincang dalam persidangan Tweede Kamer, lebih keras dan perkasa dari pada yang sudah-sudah untuk keperluan berjuta-juta anak negeri tanah Hindia ini.

Willem II! Bawalah ia dengan selamat, untuk Hindia dan untuk anak isterinya!

Dalam hatiku adalah mengucap syukur, berasa pilu dan berharap, tetapi yang lebih terasa benar ialah penghiburan; kasih akan manusia, cinta akan kebenaran.................. sekalian itu benar belaka, tidak kosong dan bukanlah kata-kata yang sia-sia...................Kami percaya kepada kasih sayang!

Sekarang, o, guru kami, yang dicinta dan setia dan sahabat kami yang mulia dan pengasih, terimalah salam kami dan ucapan terima kasih banyak atas surat tuan, yang sangat membesarkan hati kami itu. Ialah yang menyuruh kami berinsaf diri dan menambah kekuatan serta membukakan pikiran kami yang baru.

2 September 1902 (VIII)

sunting

Sombonglah rasanya kami ini, karena kami mau melakukan diri kami menjadi seperti ibu bagi anak-anak yang lebih tua 'umurnya dari kami. Tetapi apalah gunanya dipikirkan 'umur itu? Sekalian manusia ingin kepada kasih sayang, baik orang tua-tua ataupun anak-anak kecil.

Sesungguhnyakah bahwa perempuan itu hanya kalau telah kawin baru boléh cukup kemuliaan yang diberikan Allah yang tersimpan dalam hatinya itu? Karena kemuliaan dan kehormatan yang terbesar bagi perempuan-perempuan, ialah menjadi ibu? Tetapi haruskah selamanya perempuan itu "beranak kandung" maka boléh menjadi ibu, menurut sebagai artinya kata itu: satu machluk yang penuh dengan cinta kasih sayang? Kalau sekiranya benar arti kata itu, ibu mesti beranak kandung, berapalah rendahnya pikiran manusia didunia ini, karena yang akan dikasihi oléh manusia hanyalah darah dagingnya dan sibiran tulangnya[4], yang dilahirkannya kedunia saja! Tetapi kalau demikian be­rapalah banyaknya ibu yang dikatakan orang ibu dimulut sahaja, karena ia telah melahirkan anak kedunia ini, dan pada halnya tidak layaklah ia mendapat nama ibu yang mulia itu.

Seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada seseorang yang lain dengan segala kasih sayang yang ada dihatinya, dan dengan segala usaha yang ada pada dirinya, maka perempuan itulah yang boléh dikatakan ibu, yang sebenarbenarnya ibu, yakni ibu dihati.

Ibu dihati jauh lebih tinggi kemuliaannya dari pada ibu dimulut dalam pemandangan kami.

Kami berharap dan minta doa sungguh-sungguh, mudah-mudahan jikalau kami nanti dapat mencapai cita-cita kami, yakni menjadi guru sekolah, yang murid-murid kami itu nanti tiadalah akan menamai kami ibu dimulut saja, melainkan meréka itu akan memandang dan merasa sendiri, bahwa kami sebenarnya "ibu" bagi meréka itu, baik dimulut, baik dihati.

.................................................................................................

Kami berharap benar-benar Anneke di Bogor akan mendapati orang baik-baik dan peramah, karena ia di Hindia tinggal seorang diri akan menghiburkan hatinya dan pengganti ibu bapa dan rumah tangganya yang ada dinegeri Belanda.

Anneke disini telah merasai bagaimana hidup seperti orang Jawa. jika sekiranya boléh, berapalah bagusnya kalau nyonya dapat melihat Anneke dari sudut pintu, bagaimana ia disini seperti saudara kami lakunya, duduk bersama-sama dengan kami di atas tikar. Pada suatu malam ia duduk bersama-sama dengan kami dibilik kami, dekat méja rendah, betul seperti saya sekarang duduk dekat méja itu pula; ia menjahit dan kami menulis; lain dari pada itu adalah lagi yang nomor empat, seorang sahabat kami, duduk bersama-sama membacakan kepada kami hikayat dengan bernyanyi.

Nyonya barangkali tahu juga, bahasa sekalian kitab centera bangsa kami tertulis dalam syair, atau "bahasa bunga kata kami, dan membacanya selalu dengan bernyanyi.

Pintu dan jendélapun terbuka belaka; dimuka bilik kami adalah sepohon batang cempaka sedang berbunga, yang mengirimkan baunya yang harum dan wangi itu kepada kami dengan angin yang lemah-lembut. Berapalah senang hati kami mendengarkan suara yang halus dan merdu itu, senang telinga mendengar lagunya, yang membawa hati kami kepada zaman purbakala, yang penuh dengan upacara yang keemasan, dengan jauhari dan bijaksana. dengan pahlawan dan raja-raja yang gagah berani, sakti dan keramat...................... Sangatlah senangnya hati mendengarkan mimpi cita-cita yang bagus itu! Dalam menulis dan mendengarkan mimpi itu lebih banyak kami menggigit péna dari pada melayangkannya di atas kertas. Dan dalam lingkungan orang Jawa yang sebenarnya itulah duduk ditengah-tengah anak-anak yang berkulit hitam, Bumiputera negeri yang panas, seorang anak perempuan yang berkulit putih, yang datang dari benua sebelah barat. O! berapalah sukanya hati kami jikalau sekiranya tuan dapat pula tinggal seperti itu bersama-sama dengan kami.

Sekarang kamipun telah mempelajari lagu-lagu itu, dan jikalau kami tiada kemalu-maluan, maulah kami bermimpi menyanyikan lagu itu untuk tuan.

Kemarin Annie telah membuat sesuatu kerja meniru seperti orang Jawa benar. Ia ingin sekali hendak pergi dari Jepara, jadi kami katakanlah kepadanya: "Mintalah kepada Sunan Mantingan; janjikan kepadanya bahasa engkau akan menaburkan bunga dimakamnya itu, jikalau maksudmu sampai."

Ia telah membuat hal itu. Dua hari yang telah lalu, dipikirkannyalah baik-baik hal itu. dan bésoknya pergilah ia bernazar. Dengan beberapa orang 'ulama pergilah kami kemarin kekubur keramat itu, kamipun mêmbawa bunga dan kemenyan.

Anneke bersama-sama dengan kami, setelah sampai ketempat keramat itu, duduklah dikaki kubur Sunan itu. Maka kemenyanpun dibakarlah, dan suara 'ulama-'ulama yang mendengung-dengung itu kedengananlah seakan-akan pergi kelangit, mula-mula lambat, tetapi makin lama makin keras dan makin asyik bunyi suara yang keluar dari mulut orang alim-alim itu. Waktu itu perasaan amat suci rasanya, dan berarti mulia. Kami duduk semuanya dengan menundukkan kepala, dan di atas kepala kami terdengarlah doa 'ulama-'ulama itu dan asap kemenyanpun naiklah keudara.

Seorang dari pada 'ulama-'ulama itu. berbangkitlah lalu berjalan lutut membawa bunga-bungaan Anneke, dan ditaburkannyalah dengan tidakzimnya di atas kubur Sunan itu dan di atas kubur yang lain-lain. Didekatku kedengaran oléhku orang tersedu-sedu menangis. Kiranya yang menangis itu, ialah Annie! Dengan kaki telanjang tanda kehormatan, masuklah ia ke dalam gobah itu, dan kamipun memberi hormat dan salamlah pula seperti adat kami kepada sekalian arwah meréka yang berkubur disana.

Dari tempat itu pergilah kami kesungai yang mengalir di belakang kubur itu, pergi membasuh kaki kami.

Kami minta kepada 'ulama-'ulama itu, supaya meréka itu akan memintakan dan mendoakan kepada Allah, moga-moga sampailah hendaknya maksud Annie itu.

Kekasihku, kami ingin benar bersama-sama dengan tuan membuat keadaan yang seperti itu.

Adalah banyak lagi dalam hidup bangsa Jawa yang meluluhkan hati, umnamanya kehormatan untuk arwah-arwah sekalian kaum keluarga kami yang telah mati, dan un­tuk orang tua-tua kami. Apa-apa saja yang kami perbuat, baik karena sukacita atau karena dukacita, senantiasa kami tidak melupakan kaum keluarga kami yang telah meninggalkan dunia.

Anneke tentulah sekali-sekali akan mengenangkan juga negeri Jepara, jikalau ia telah senang tinggal di Bogor, walaupun hidupnya disana boléh jadi seribu kali lebih'baik dari pada di Jepara. Siapa yang telah mengetahui Jepara, nyawa dan semangatnya negeri itu, tiada mudah dapat melupakan negeri itu, baikpun karena kasih atau karena bencinya.

Kemarin petang pergilah kami ketempat tukang ukir. alangkah indah-indahnya perbuatan meréka itu. Adalah 15 orang laki-laki dan tukang yang bekerja disana. Semuanya bekerja dengan berdikit-dikit, tetapi hasil kerjanya sekaIiannya halus dan rapih!

Adikku Rukmini segeralah pula turut bekerja, dan duduk bersama-sarna di atas bangku, mengukir dengan segala kesukaannya, seperti orang yang telah biasa duduk be­kerja disana.

15 September 1902 (VIII)

sunting

Bagaimanakah kataku hendak mengatakan kepada nyonya, betapa perasaan hati kami tatkala melihat kapal Willem II membawa kekasih kami berlayar! Kami melihat meréka itu dengan tersenyum simpul, tetapi air mata kami jatuh dihati. Lihatlah meréka itu sebagian dari hati dan semangat kami telah berangkat. Ibu kesayangan kami telah berangkat, dan sahabat kamipun telah pergi pula; tidak adalah lain bagi kami, lain dari pada tuan. Maukah nyonya menjadi ibu kami sekarang? dan menambah sayang dan kasih kepada kami? O, kekasihku, kekasihku, suka benar rasanya saya sekarang hendak terbang kepangkuan nyonya, meniarap dan bernaung dihati tuan, akan mendengarkan betapa kasihnya hati tuan kepada kami. Tinggallah tuan selalu mengasihi kami dan mempercayai kami! O, kekasihku, sesungguhnyakah tidak ada lagi nasib kita akan bertemu kembali dalam dunia ini? Kami tidak dapat dan tidak mau mempercayai itu.

Tuan Royaards yang menumpang di rumah tuan residén, pergi pula mengantar-antar sahabat kami berangkat dari sini; dan kamipun lekaslah tahu kepadanya, sebab kami telah acap kali melihat porterét-porterétnya. Saya suka benar melihat tingkah lakunya, dan ia amat ramah kepada kami. Ia tidak dapat pergi ke Jepara, katanya dengan tiba-tiba kepada ka­mi; ia akan bersukacita kalau sekiranya kami dapat melihatnya main komidi dan sebab itu dimintanyalah kami datang pergi melihatnya bermain, seperti Julius Cesar, pada hari Sabtu yang akan datang ini, tentulah ceritera itu akan menarik hati kami. Karcis panggilannya akan dikirimkannya kepada saudara kami yang laki-laki dan kalau sekiranya tidak dapat kami mengabulkan permintaannya itu, tiada pula mengapa. Baik benar ia, bukan? Ia berharap akan bertemu dengan kami nanti dinegeri Belanda; kamipun berharap pula demikian. Kami mengucap syukur kepada Allah, karena ka­mi telah bertemu dengan dia, meskipun kami barangkali tidak dapat mendengarnya bermiain; kami berbesar hati telah dapat bercakap-cakfip dengan dia. Tiadalah kami menyangkanyangka akan memperoléh hal yang sedemikian itu.

Tidak pernah kami selama ini mendapat pekan yang sedemi­kian penuhnya dengan kejadian-kejadian yang menggundahkan pikiran dan beberapa banyak lagi hal yang berlainlainan keadaannya, seperti yang telah terjadi pada pekan yang lalu. Dipekan itu telah timbul suatu kejadian pada sahabat kami yaitu kejadian yang kemudian hari boléh memberi paédah besar bagi hidupnya. Kamipun campur dalam per­kara itu. Dan sebab kami telah membuat apa-apa untuk menolong sahabat kami itu. karena itulah bapak tidak dapat mengampuni dosa kami. Masih terkenanglah oléhku ketika saya duduk dimuka bapak, dan berani menentang matanya, sebab tidak adalah dalam perasaanku, yang saya tidak berbuat salah. Dengan muka muram dan suara sedih berkatalah ia: "Ni, inikah balasan jasaku? Saya telah percaya kepadamu. Engkau tidak pernah menyakiti hatiku, tetapi sekarang engkau perbuatlah itu. Saya belum pernah marah benar kepadamu. Apa saja yang telah engkau perbuat tiadalah yang memarahkan hatiku; tetapi sekarang sebenarnyalah engkau telah menyakiti hatiku."

Sayapun tiada berkata sepatah juapun, tetapi saya tidak mau menundukkan kepalaku, karena saya percaya yang saya tiada bersalah. Duka hatiku yang bapak menyakiti hatinya dalam perkara itu; tetapi betapa besar hatiku mendengai pengakuannya, bahwa saya yang sudah-sudah belum sekali jua pernah menyakiti hatinya, dan iapun tidak pernah marah benar kepadaku. Dan dalam hal itu percayalah saya, bahwa adalah waktunya nanti, yang bapak akan berubah pikirannya tentang kesalahanku itu. tidak adalah kami berbuat barang sesuatunya, yang tidak boléh kami kabarkan. Tetapi hal itu benarlah tiada kami ceriterakan kepada bapak, bukannya ka­rena kami takut, melainkan karena ia rahsia onang lain. Dan kami tentulah tidak boléh senantiasa mengenal diri sendiri, te­tapi itu benarlah kemauan bapak. Kami boléh menolong orang lain, asal kami tiada sedikit juga akan dapat bahaya.

Barangkali pikiran itu amat sempurna, tetapi tidaklah sesuai dengan pendapatan kami, yang bermusuh sampai mati yang mendukakan hati kami, karena tidak dapat kami menerangkan pendapatan yang mulia itu kepada kaum kami. Kata loba untuk diri sendiri saja, tidak ada dalam bahasa kami......................bahasa yang sebagus itu. jikalau sekiranya kelobaan, itupun tidak adalah pula didalam hidup kami bersama-sama; betapalah baiknya! Sayang! Sekaliannya didalam dunia itu berputar, pada sumbunya yang bernama: "saya mau berbuat baik," jikalau telah berlebih-lebihan untuk diri sendiri, dan baru mau menolong orang, kalau diri sendiri tiada akan mendapat keberatan dan susah payah!

Kami tidak dapat menurut haluan yang demikian. Kami tidak dapat lagi membantu orang hanyalah dengan kata-kata saja; tetapi kami mesti berbuat baik, ialah dengan bukti dan contoh!

Sekarang bapak telah berubah bikirannya lebih lekas dari pada sangka-sangkaku. Pada malam hari yang pertama waktu saya dalam bersusah hati itu, sayapun telah mendapat ilham, dan tiadalah sekali-kali saya memikirkan bahwa nasihat yang telah saya berikan itu, adalah pula akan memberi bahagia kepadaku. Ketika itu banyaklah saya memikirkan hal orang, yang saya beri nasihat itu saja: tetapi lihatlah sekarang betapa paédahnya nasihat itu kepada diriku sendiri. Bapak tiba-tiba telah bermuka manis lagi kepadaku dan bercakap-cakap dengan saya seperti tiada kejadian suatu apapun. Kalau sekiranya saya sampai sekarang ini belum berkenalan dengan Nellie van Kol, betapalah susah hati dan sengsaraku melihat bapak marah dan tidak mau mengampuni dosa kami itu; tetapi sekarang adalah Tuhan tempat kami meminta bantu dan tempat kami percaya, sebab itulah maka kami sekarang menjadi tawakkal memikirkan keadaan yang seperti itu.

Setelah hal itu kejadian barulah kami mengucapkan selamat jalan kepada Annie. Betapa susahnya hati kami ketika itu ta” dapatlah kami sebutkan: tetapi dimuka kami kesedihan hati kami itu tidak dapat dilihat orang. Barangkali Anniepun merasa, yang kami tiada mengindahkan perceraian itu; tetapi tahulah kami sekarang: bahwa mendiamkan diri, itulah suatu tanda kemuskilan yang amat dalam.

Sesudah kami mengucapkan selamat jalan kepada Annie...........tidak dapatlah tuan menerka, apa yang telah kejdian pada kami; kami menyadi ibu dari seorang yang 'umurnya telah dua kali lipat ganda dari kami, yakni tempatnya mengadukan sekalian hal ihwalnya buruk dan baik.

Hal yang ganjil itu melembutkan hati kami. Banyak lah hal yang ganjil-ganjil yang telah terjadi pada kami, tetapi hal itulah yang seganjil-ganjilnya. Kami mendengarkan hal ihwalnya itu ialah dengan seizin orang tua kami. Oléh karena hal itu, dapatlah kami seorang sahabat, yang akan berbuat baik kepada orang Jawa dlan ialah pula yang akan menjadi seorang sahabat kami yang mencintai juga citacita kami. "Engkau kedua betullah jenaka, berani mengajar dan memarahi orang yang telah tua." Demikianlah kata tuan seakan-akan terdengar oléh kami, tetapi mendengar itu kamipun gelak tertawa-tawa.

Betul ajaib, karena dalam usaha kami hendak menolong orang, menunjukkan jalan yang baik dan kesenangan yang sebenar-benarnya, dan mencahari perdamaian hati, maka selalulah kami bertemu dengan orang orang yang kadangkadang lebih tua dari pada kami, yang gemar memegang tangan kami.

Senang sekali perasaan kami jika kami mengetahui bahwa kami sanggup menolong orang. Kami tiada sekali-kali menyangka, bahwa kami ini sebagai "pelita," dan sebab itu­lah maka orang yang berhati susah datang kepada kami meminta bantu dan bujukan, tetapi hanyalah kami sangka, ialah karena orang-orang itu mengetahui dan merasa pada dirinya, bahwa meréka itu adalah akan mendapat kasihan jika meréka pergi kepada kami. Besar hati kami mengetahui yang kami dapat mengasihi orang dan menyerahkan diri kami képadanya. Amat miskinlah hati meréka yang tidak dapat me­ngasihi orang lain!

Kami tanyakan képadanya macam-macam pertanyaan yang gila-gila, tetapi kami boléh berbuat sekalian itu, karena ia telah berjanji kepada kami.

Kami tanya umpamanya: "Apabila seorang laki-laki kasih dan cinta kepada seorang perempuan, apakah yang dipikirkannya lebih dahulu tentang perempuan itu; adakah kira-kiranya laki-laki itu berpikir: "Dapatlah saya menyenangkan hati perempuan itu?" atau "boléhkah saya bersenang hati karena perempuan itu?"

Orang tua yang kuganggu itu menggaruk kepalanya: "pertanyaan itu amat sukar menjawabnya, tetapi saya telah berjanji akan menjawab sekaliannya dengan tulus dan ichlas. Pada pikiranku pertanyaan yang kedualah yang mulay-mula diturut orang, dan apa perasaanku lagi sekalian laki-laki, kecuali beberapa orang, sekaliannya memanglan berpikir demikian, karena kebanyakan laki-laki itu amat loba akan kesenangan dirinya sendiri; engkau perempuan-perempuan lebih tinggi martabatmu dari pada laki-laki tentang- kebaikan hati."

Kami tahu, bahwa sebenarnyalah pendapatannya itu. Ia telah mengajar kami berhati sabar dlan mengemudikan ha­ti; dan acap kali pula ia menguji hati kami dengan berbagai-bagai hal keadaan yang penting-penting. cita-citanya dan usahanya yang terutama ialah harta-benda; sebab itulah ia acap kali menyalahi apa^apa yang kami kasihi dan kami cmtai. Kalau ia sungguh-sungguh mempermain-mainkan dan membatal-batalkan cita-cita kami, susahlah kami menahan hati kami supaya tinggal tawar dan dingin. Sekarang ia telah mengaku bahwa ia telah sengaja hendlak memper­main-mainkan kami, karena ia tiada mau membenarkan de­ngan mulutnya, bahwa apa yang kami katakan itu adalah terasa dihatinya, dan acap kali ia tengah malam tidak dapat tidur karena memikirkan hal itu. Dahulu tidak pernah ia memi­kirkan hal-hal yang sedemikian dan hidupnya seada-adanya saja. Sekarang tahulah ia betapa benar kosong kepalanya. Kami katakan kepadanya, bahwa hidup menanti gerak Allah saja amat mudah; tetapi cita-cita yang ada didalam hati itu, mustahillah dapat dibunuh, lambat-launnya ia akan tim­bul juga. Kalau cita-cita itu tidak penuh isinya atau ko­song, disitulah nanti ia akan berteriak meminta makan! "Sebenarnyalali hidupku ini tidak ada isinya; tetapi apakah sebabnya maka cinta-cinta hatiku ini dahulu tiada mau menjerit!"

"Ada, tetapi tuan tidak mau mendengarnya dahulu."

Ia tercengang mendengarkan bagaimana kami memikirkan beberapa hal yang bersamaan dengan pikirannya. "Kalau begitu benar juga kata orang tentang persaudaraan hati dll; takutlah saya memikirkannya," katanya sambil matanya bercahaya-cahaya, hendak berolok-olok. Sekarang kamipun dapatlah menanggungkan olok-oloknya itu, karena kami telah tahu, bahwa olok-olok itu ialah akan jadi perisai kepadanya, menandakan perasaan yang gembira mulai timbul dalam hatinya.

22 September 1902 (VIII)

sunting

Terimalah ucapan terima kasih kami, yang tuan telah turut berdukacita atas berangkatnya sahabat-sahabat karib kami itu. Kami dahulu berharap benar-benar yang nyonya akan bertemu dengan meréka itu. Menurut bunyi surat nyonya nyatalah, bahwa meréka itu tidak dapat bertemu dengan nyonya. Sebab masa meréka itu ada disana, nyonya sedang ada di Bogor. Pesiar betul rupanya nyonya waktu itu! Kekasihku, ibuku yang dicinta, lepaskan benarlah hati tuan, tentulah tuan akan berbalik muda, karena kegirangan hati!

Saya baca didalam surat kabar, bahwa musik orang ltalia pada waktu pacuan itu bukan buatan bagusnya. Dan Tuan Besar Gubernur jenderal beserta jamunya sekalian acap kali menunjukkan kegirangan hati meréka itu. Saya tidak tahu ketika itu bahwa di antara jamu itu, kekasihkou pun ada pula disana! Barangkali juga perasaan kami tiada halus benar, karena hati kami tiadalah tertarik hendak melihat pacuan kuda, sungguhpun kami terlalu suka melihat kuda-kuda yang bagus, yang terkadang-kadang boléh menawan kami!

Tetapi melihat kuda-kuda digertak dan dipukul dalam berlari itu, tidak dapatlah kami akan bertempik dan bersorak melihatnya; itu harus kami pelajari dahulu. Tetapi berharaplah kami supaya janganlah hal itu kami pelajari. Pa­cuan béndi nyonya-nyonya, itulah dugaan kami, yang sebagus-bagusnya dalam pacuan itu. Berapalah sedapnya mata memandang anak-anak gadis, yang masih muda remaja, dengan moléknya berpakaian putih dan berbunga-bunga, berkeréta berkeliling-keliling ditarik oléh kuda yang tangkas dan bersikap bagus.

Ketahuilah oléh nyonya, bahwa kami disini adalah pula dahulu mempunyai pacuan kuda. Tetapi beberapa tahun yang lalu, pacuan kudia Jepara dengan musik, bungabungaan dan dengan anggur sempanye, telah kami kuburkan diibu negeri yang lama, yaitu di kota Pati.

Perlukah juga saya katakan betapa besar hati kami mengatakan sekeram itu bagus sekali? Baik benarlah itu! Bertambah senang hati kami karena tuan sama-sama mengatakan sekeram itu bagus sekali! Baik benarlah ingatan nyonya, telah menyampaikan dengan segera kepadaku. Maukah nyonya mengatakan kepada paduka tuan, bahwa saya banyak meminta terima kasih atas kepercayaan paduka itu kepa­daku ?

Saya akan mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh, sehingga tiada akan memberi malu, artinya: anak-gadis nyo­nya ini mau mencobakan kekuatannya menulis karangan itu, dan lihatlah nanti bagaimana jadinya. Tetapi adalah permintaanku sebuah: janganlah nyonya lekas menyangka, bahwa karangan itu tentulah bagus, dan sabarlah sedikit! Pekan yang lalu saya telah menolak suatu permintaan dan pada seorang nyonya, yang meminta saya mengarang tentang Kepandaian ukir-mengukir di Jepara, untuk surat kabar "de Echo". Yang sebenarnya maulah saya, tetapi sekarang saya banyak mempunyai kerja tulis-menulis, sebab itulah maka saya balas surat itu dengan mengatakan, bahwa saya tidak berani membuatnya. Itu sebenarnya bukanlah olok-olok saja nyonya itu akan mengarangkan hal itu didalam surat-surat kabar Betawi dan Surabaya.

24 September 1902 (IV)

sunting

Saya tidak dapat mengabarkan bagaimana kegirangan hati ka­mi ketika menerima kartu pos yang terbit dari hati yang suci dan sebuah kitab kecil dari tuan. Kami sungguh mengucap sukur karena tuan telah mengirimi kami surat itu. Sekarang beranilah pula kami membalas surat itu. Keji benar perbuatan kami yang kami telah mengalpakan tuan, malu benar kami mengenangkan hal itu! Kesalahan itu tidak dapat dimaafkan, dan lagi kamipun tidak mau memohonkan maaf kepada tuan, biarlah segala kesalahan kami kepada tuan itu kami tanggungkan dengan sabar dan tulus ichlas.

Kelemahan hati kamilah jua, yang menyebabkan maka seama mi kami berdiayn diri saja. Betapalah sedihnya hati kami mengaku kesalahan ini, kami yang hendak memikul pekerjaan sebesar itu. Tuan, yang semata-mata berhati pengasih, niscayalah menimbang hal itu tidak terlalu berat, kalau tuan mengingat 'umur kami yang masih muda dan kepandaianpun belum seberapa. Besar kesalahanku kepada tuan, tetapi lebih besar lagi kejahatan yang tertimpa pada badanku sendiri, karena telah berbuat yang sedemikian. Arnpunilah kami dahulu! Kami yang sudah-sudah terlalu lemah benar. Alaukah tuan menolong kami supaya boléh menjadi kuat? kami perlu kuat, supaya dapat'kami mengerjakan dengan patut akan pekerjaan besar, yang sungguh-sungguh kami hendak tanggung itu.

Kami masih muda, masih baru berdiri pada permulaan, baru berdiri dimuka pekerjaan kami, dimuka dunia penghidupan, kami anak-anak muda lagi bodoh, belum pandiai hidup, hanya berdiri berdua saja.

Telah banyaklah pikiran yang menggoda kepala kami yang masih muda ini dan telah banyaklah pula perasaan, yang menggoda hati remaja kami. Selalulah pula.besar harapan kami akan bekerja untuk sahabat-sahabat kami; tetapi kami anak-anak yang masih bodoh, belumlah pandai merengkuh meiepaskan diri dari pada pikiran dan perasaan yang telah menawan kami. Adikku telah menceriterakan kepada tuan, apa-apa yang telah menjadi kenang-kenangan dihati dan dikepala kami, apa-apa yang terjadi dalam hidup kami pada beberapa bulan yang baru lalu ini, tentang maksudmaksud dan mimpi-mimpi kami untuk waktu yang akan datang. Kami berharap benar, yang tuan akan menunjukkan kesukaan hati tuan akan maksud kami itu.

Dalam waktu yang gundah gulana, dan hari yang penuh dengan kesusahan, selalulah kenangan kami kepada tuan kedua, sahabat kami yang berhati mulia, akan membujuk hati kami, dan akan membantu dan menetapkannya. yang senantiasa menyedihkan hati kami didunia ini, ialah kelobaan manusia untuk keuntungan diri sendiri, yang acap kali tidak ada hingganya. Dan jikalau kami berhati gusar, karena melihat dan mengetahui kelobaan untuk diri sendiri "dajal yang buas itu" mengangakan mulutnya kian kemari pada sekalian penjuru alam ini; maka teringatlah oléh kami tuan kedua, dan hati kami yang sedih tadipun menjadi lembutlah. Kasih sayang itulah juga rupanya, meskipun bagaimana juga kelobaan manusia itu untuk diri sendiri, yang memerintah dunia ini.

Ketika kepalaku rasanya seperti terbakar karena berpikir dan hatiku luluh karena kesedihan melihat hal keadaan alam, maka kami kenanglah dengan segera tuan kedua, dan karena pengenangan itu, lepaslah dahaga kami dan timbul pula kekuatan kami.

Kerap kali kami memperkatakan tuan, mengingat tuan kedua, dan sangatlah senang hati kami berbuat demikian. Dengan tiada setahu tuan, tuanpun telah memberi kami ban tuan dan bujukan dalam waktu-waktu yang sukar. Kami mengucap syukur kepada Tuhan, karena kami telah bertemu dengan tuan dalam perjalanan kami ini, dan kami berharap serta mendoakan sungguh-sungguh, supaya persahabatan kita ini akan tinggal selama-lamanya. Tuan te­lah tahu sekarang sekalian kenang-kenangan kami, sekalian maksud dan cita-cita kami; tidak usahlah kami meminta pertolongan lagi kepada tuan, karena hati kamipun sudahlah mengatakan kepada kami, bahwa tuan telah lama berbuat demikian dan selalu akan berbuat juga yakni: memintakan doa untuk sahabat-sahabat tuan perempuan Jawa ini, kepada Tuhan yang mahatinggi, Tuhan yang nuahakuasa, Tuhan seru sekalian alam!

Bagaimana jugapun lainnya jalan-jalan yang kita tempuh. tetapi sekalian itu tujuannya ialah pergi kepada ujud yang satu: "kebaikan". Kamipun bekerja untuk kebaikan yang ,God" namanya kepada tuan, dan Allah kepada kami.

Apakah sebabnya sekalian itu tidak akan kami kabarkan kepada tuan? Kami selalu hendak berhati tulus dan ichlas kepada tuan.............sebab persahabatan, atau pertambatan apa juapun hendaknya yang tiada bersendi dengan hati yang tulus dan ichlas itu, tentu pertambatan itu tiada akan hidup selama-lamanya; tetapi kami ini berharap benar yang persahabatan kita, yang amat kami kasihi itu, akan tinggal hendaknya selama hidup kami......yang sudah-sudah kata Allah itu, hanyalah kata seruan saja bagi kami. syukur alhamduli'llah nama yang bagus itu, sekarang telah menjadi suatu bunyi yang amat suci dan berarti besar bagi kami.

O! bagaimanalah hendaknya saya ceriterakan kepada tuan, betapa tawakkal dan senangnya hati kami sekarang, karena mendapat Allah yang mahakuasa itu, dan dapatlah sekarang kami menyerahkan diri kepadanya, meminta bantu dan mempercayainya.

Hati kami sekarang tiadalah gusar sedikit juapun, selalu kami merasa aman dan sentosa dibawah penjagaannya. Karena Tuhan yang mengenal kita, yang melindungi kita dan yang menimbang kita dengan kasih-sayang!

Siapakah yang menunjukkan kami kepada Tuhan yang mulia itu, dan yang membangunkan kepercayaan kami akan Tuhan yang mahakuasa itu? yaitu nyonya Nellie van Kol.

Benarlah juga barangkali, bahwa telah lama sebelum hal itu kejadian, hati kami telah bergerak dan bekerja memikirkannya dan dengan tiada setahu kami, kamipun telah bekerja memperbaiki diri sendiri, tetapi yang tidak dapat dibantahi lagi, bahwa nyonya van Kollah yang menghapuskan awan yang terbentang dimuka kami, sehingga dapatlah sekarang ..cahaya" yang terang itu masuk ke dalam hati kami.

Ialah yang menunjukkan kami jalan kepada Tuhan yang amat pengasih dan penyayang yang tuan namai, ,God", dan kami Allah.

Kami merasa amat beruntung telah mendapat mutiara didalam hati kami sendiri, yakni kepercayaan yang sesungguhnya atas adanya Allah, Tuhan yang mahakuasa itu.

Kepercayaan itulah yang membawa kami melihat sekalian hal kejadian yang ada dibumi ini dengan cahaya yang lain dari pada cahaya yang biasa, yang lebih berbahagia; yakni cahaya yang menyenangkan dan menghiburkan hati kami serta memberi kami lebih bébas dan lebih beruntung ........................................................................

O! tidak puas rasanya kami mengucap syukur atas pemberian Tuhan kepada hambanya, yang ber-iama "berkirimkiriman surat". Telah banyak ia memberi kebajikan dan kasih sayang kepada hidup kami.

Bagaimanakah kejadian hidup kami gerangan didunia ini, kalau sekiranya pemberian yang mahabesar, kepandaian berkirim-kiiim surat itu tidak ada dibumi ini!

Pikiran yang bagus-bagus dari pada meréka yang budiman dan bijaksana yang tertulis dtidalam kitab-kitab, atau cétakcétakan lain, yang da tang kepada kami, sekaliannya bekerja sekarang untuk pendidikan, penambah pikiran, memuliakan dan meninggikan darajat kami........................makin besarlah kekuasaannya buah pikiran itu memajukan kami, jikalau asalnya dari budiman yang empunya sendiri; keluar dari hati dan otaknya yang suci itu.

Tidak putus-putusnya kami mengucap sukur akan keuntungan kami ini, yang telah menghubungkan tali persahabatan kami dengan budiman-budiman pikiran itu. Itulah yang menyenangkan hati dan memuliakan hidup kami. Bagi kami sebagai menghadiri keramaianlah kegirangan kami, ji­kalau menerima surat yang datang dari tuan-tuan, sebab tahulah kami bahwa surat-surat itu, seperti kata Nellie, berisi: "kesenangan hidup dan pikiran-pikiran yang menaburkan kasih sayang."

Tuan tentulah dapat menerka. siapakah meréka yang selalu meriangkan hati kami dengan keramaian, yang dikirimkannya dengan pos itu. Dengan segala kemauan dan kesukaan hati, senantiasa kami bacalah sekalian karang-karangan yang telah tuan berikan kepada kami itu.

Betapalah besar bahagia kami, karena kami telah berkenalan sendiri dengan pengarang karang-karangan yang amat berharga itu, dan telah menerima karang-karangan itu dari si pengarangnya sendin. nyonya Abendanon telah banyak menceriterakan kepada kami tentang pidato tuan di Betawi, dua tahun yang telah lalu. Dengan girang hatinya menceriterakan hal itu kepada kami. Amatlah besar harapan kami hendak membaca isi pidato tuan pada 3 September 1900 itu.

Betapalah besar hati kami mendengar, yang tuan dengan tiada setahu kami, telah memperlakukan permintaan kami itu. Senantiasa senanglah hati kami membaca barang sesuatunya, dalam surat-surat kabar yang kami terima, tentang hal tuan sendiri!

Apabilakah wakunya akan datang, supaya maksud dan cita-cita kami dapat berlaku? Kami berharap, yang waktu itu tentulah akan datang jua, dan tidak lama lagi kami akan menunggunya.

Sekarang kami banyak meminta terima kasih. atas kebaikan tuan, telah mengirimi kami kitab yang penuh berisi dengan pelajaran yang indali dan bagus; kami suka benar mem ba­can ya, karena banyaklah pengajaran didalamnya yang boléh kami petik. Dengan segala suka hati kami telah memperhatikan pula ceritera hidupnya "nyai Magdalenah." yang sudah-sudah telah banyak kami membaca ceritera-ceritera tentang perempuan yang saléh dan ber'ibadat itu; yang penghabisan sekali, didalam surat kabar "Hollandsche Revue". Sayang benar yang negeri Mapane amat jauh dan susah jalannya. Kalau tidak, berapalah besar hati kami hendak mengdenjungi tuan! Banyaklah hal yang hendak kami rundingkan dengan tuan, yang susah diperkatakan dalam surat. Panjang-panjang dan sepenuh-penuh isinya sepucuk surat, ta dapatlah dibandingkan kebaikannya dengan berbincang dan bercakap barang sejam lamanya. Didalam percakapan lebih mudah kita memperkatakan apa-apa yang terPikir dihati dan diotak kita.

Berita tentang ujian penghabisan dari murid-murid sekolah guru di Tomohon menarik hati kami benar. Makin panjang kami baca berita itu, makin bertambah girang' dan sukacita hati kami.

Bagi kami ituilah kegirangan hati yang terbesar sekali, yakni jikalau kami melihat tanda-tanda kemajuan anak Bumiputera. Kami selalos hendak memuji meréka itu dan meninggikan diri kami karenanya!

Betapalah suka hati kami hendak pergi ke Minahasa, hendak berkenalan dengan Bumiputera disana. Apa-apa saja yang datang dari sana, senantiasa menarik hati kami hendak memperhatikannya. Bukan buatan besarnya cita-cita kami hendak mengetahui hal ihwal tanah air dan bangsa meréka itu. Deimkian juga hendak mendengar keadaan sekolah usaha rumah tangga untuk gadis-gadis Bumiputera di Tomohon. Sekahan itu perlunya, ialah untuk menambah pelajaran kami.

Hendak mema'lumi hal ihwal tanah Minahasa dan Bumiputeianya, selalulah menjadi kesukaan kami. Apalagi kare­na sekarang adalah dekat negeri itu tinggal seorang sahabat kami, yang sedang mulai bekerja memajukan orang-orang. yang biadab disana, jadi makin bertambah tertariklah hati kami hendak mengetahui bangsa dan tanah itu.

Moga-moga beruntungiah tuan hendaknya dengan pekerjaan tuan yang mulia itu, itulah suatu doa yang terbit dihatiku tiap-tiap kali, apabila saya terkenangkan tuan atau memikirkan pekerjaan tuan.

Betapalah suka hati kami, kalau sekiranya kami dapat ting­gal barang beberapa lamanya di tempat tuan, bersama-sama dengan pendéta-pendéta yang lain. Tentulah senang hati dan pikiran tinggal bersama-sama dengan meréka yang suci hati itu, yang hidupnya hanyalah hendak memberi kasih dan sayang saja.

Jikalau hati sedang gusar dan masgul karena ditimpa oléh nasib yang malang, berapalah senangnya hati nanti disana dalam udara yang suci penuh dengan kasih dan sayang itu, masuk ke dalam hati mendamaikannya!

Pergaulan dengan manusia yang suci lagi berhati kasih, yang tiada mengindahkan dirinya untuk kesenangan sendiri, tentulah keadaan itu menyucikan hati sekalian meréka dalam pergaulan itu.

Siapa tahu entah maksud kami akan diperlakukan. Maksud yang baik itoë acap kali kejadian, setelah banyak mengeluarkan air mata terbit dari hati yang sedih.

Kalau kami boléh pergi ke Mojowamo, tentulah sekalian cita-cita dan mimpi-mimpi kami yang lain akan kami buang dan sekalian itu akan kami bunuh dan kami kuburkan dalam-dalam.

Adikku telah menceriterakan kepada tuan apa maksud kami nanti, jikalau kenang-kenangan kami tiada sampai; ji­ kalau kami tidak dapat belajar sehingga mendapat jabatan yang akan kami tanggung itu, maka kami akan membuangkan cita-cita kami hendak membuat sekolah untuk anak-anak ga­dis bangsawan bangsa Bumiputera itu. Sekali-kali tiadalah sebab kami takut di Mojowarno; dahulu telah saya kabarkan kepada tuan, bagaimana hal kami nanti disana: pada lahirnya rajin selalu bekerja. dibatin bersenang hati. Tetapi tuanpun ma'lum juga, berapalah sedihnya kami nanti, jikalau kami wajib membuangkan sekalian cita-cita, yang telah kami kandung dihati dan yang amat kami kasihi itu sudah sekian lamanya.

4 October 1902 (III)

sunting

Sebenarnyalah, telah acap kali saya mengambil péna hendak menulis surat kepada tuan, tetapi selalu ada aral ini dan itu yang mengganggu, sehingga terpaksalah saya mengundurkan menulis surat itu. Saya dahulu menantikan waktu yang baik............... tetapi sekarang saya lihat, bahwa waktu itu tiada akan tiba; melainkan waktu itu wajiblah dibuat sendiri.

Surat-surat yang terhadap kepada meréka yang tiada kita acuhkan, amat mudah menulisnya, artinya lebih lekas kita mengerjakannya dari pada surat-surat untuk meréka yang kita sayangi dan hormati. untuk meréka yang pertama tidak banyaklah atau hampir tiadalah apa-apa, yang akan kita kabarkan kepadanya, sepatah dua saja cukuplah; tetapi untuk sahabat-sahabat kita sukalah kita menulis sepanjang-panjangnya.

Pada tahun yang telah lalu kami senantiasa bersusah hati dikabupatén Jepara. Karena isinya berganti-ganti saja dilanggar oléh penyakit keras, yang menimbulkan ketakutan, kalau-kalau adalah di antara kekasih kami itu yang akan sampai ajalnya. Tetapi syukur sekalian meréka itu telah sembuh kembali!

Tahun baharu yang lalu membawakan kami sukacita membesarkan hati kami, tetapi ia beserta pula dukacita. Pada 24 Januari kami disini baralat kawin, mengawinkan adikku Kardinah, yang kecil sekali di antara kami bertiga, dan itulah kejadian yang membesarkan hati. Kegirangan itu sayang tercampur pula dengan kedukaan; kami yang dahulu hidup bersama-sama dengan berkasih-kasihan, sekarang telah bercerai-berai. Setelah adikku berangkat, bukan buatan sunyinya kami disini. Bersama-sama dengan Kardinah, banyaklah kasih sayang yang keluar meninggalkan rumah.

Kami telah pergi sekali mengunjunginya, pada bulan April. Ketika itu ia amat séhat dan rupanyapun gemuk; dahulu di rumah tiadalah demikian, pipinya telah mérah seperti jambu. Ibuku telah pergi pula melihatnya sekali lagi dalam bulan Augustus yang lalu. Ibuku pergi kesana dengan hati tidak senang, karena waktu itu adikku itu sakit keras. Pipinya yang mérah itu sekarang telah menjadi pucat, karena ia diserang oléh penyakit malaria. Sekarang syukurlah, adikku telah sembuh kembali, dan tinggal digunung untuk sementara supaya hawa yang dingin disana dapat memberinya kekuatan kembali.

Amatlah gembira hati kami membaca karangan tuan yang berarti dalam itu yang bernama: "Perserikatan bahasa dengan tanah Belanda". Kami mengucapkan banyak terima kasih akan kebaikan hati tuan telah mengirimi kami karangan itu. Tinggi harganya keramahan hati tuan bagi kami. Kami banyak pula membaca karang-karangan yang lain, yang ditulis orang, sebab membaca karangan tuan itu.

Menurut karangan tuan Mr. P. Brooshooft kepala pengarang surat kabar "de Locomotief", kami baca bahwa isterinya yang sangat dicintanyalah yang menerjemahkan karangan Professor Anton itu.

Berapalah senangnya hati seseorang laki-laki, yang isterinya bukanlah menjadi gusti dalam rumah tangganya dan menjadi ibu dari anak-anaknya saja, tetapi pula menjadi sahabatnya, yang suka memperhatikan kerjanya, dan hidup bersama-sama dengan dia dalam pekerjaannya itu. Itulah suatu hal yang tiada ternilai harganya oléh laki-laki, asal saja lakilaki itu tiada pandak pikirannya dan tiada sombong. Karena banyaklah laki-laki yang bersipat sedemikian, yang mengatakan isterinya suka memperhatikan pekerjaamiya, sebab hanyalah hendak mengetahui rahsianya saja. Dengan memperkatakan hal itu, telah mulai saya berangsur-angsur menjejak médan peperangan kemerdékaan perempuan yang tentulah telah acap kali dan telah puas tuan mendengarnya diEropah. Kemerdékaan itu tentulah amat menarik hati tuan, dan pada tahun yang akan datang, tentulah tuan akan lebih lanjut memikirkan hal itu, karena tuanpun sekarang perlu pula mendidik seorang anak tuan yang perempuan.

Jikalau kami disini meminta pengajaran dan pendidikan untuk anak-anak gadis, ya, bermohon sungguh-sungguh sampai makbul, maka keadaan itu bukanlah karena kami hen­dak menyuruh anak-anak gadis berlawan dengan anak lakilaki dalam peperangan hidup, sekali-kali tidak, melainkan ialah karena kami percaya benar akan kekuasaan besar, yang dikandung oléh perempuan, yakni: memajukan dirinya, sehingga cakaplah ia menanggung kewajiban yang amat besar, yang dikurniakan Allah kepadanya: menjadi ibu, pendidik yang pertama-tama untuk kemanusiaan dibumi ini! Bukankah dari perempuanlah manusia itu menerima pendidikannya yang bermula sekali, yang bekasnya acap kali tiadalah kurang artinya untuk si anak dalam hidupnya?

Perempuanlah, ya, ibu itulah yang mula-mula sekali menanamkan biji kebaikan atau biji kejahatan dihati manu­sia, yang nanti akan tumbuh dan tinggal selama hidup dihati manusia itu.

Tidaklah sia-sia orang berkata: "Ta disusukan dengan air susu bundanya."

Telah beberapa lamanya yang lalu, senantiasa kami menyangka, bahwa sekalian orang pandai yang banyak pengetahuannya, mulialah pula budi pekertinya. Sayang! tetapi untunglah lekas kami tersadar dari pada mimpi itu...untunglah lekas kami mengetahui, bahwa kepandaian yang banyak itu se­kali-kali bukanlah ia menjadi keterangan dari budi pekerti yang mulia. Betapa gusar dan sedihnya hati kami ketika mema'lumi keadaan itu. Dan ketika kami telah sadar dari kegusaran yang amat sangat itu, maka kamipun memikirkanlah hal itu dalam-dalam, dan lalu mencari sebab-sebabnya maka jadi sedemikian. Dalam hal itu. bertemulah pula kami dengan kebenaran yang kedua. "Sekolah itu saja tidak dapatlah menyempurnakan pengajaran anak-anak, terutama ahli rumahpun wajiblah serta mendidiknya! Sekolah untuk memajukan pikiran, isi rumah untuk pendidikan budi pekerti!"

Ibu menjadi tiang dalam rumah dan memikoal suatu pekerjaan yang besar dalam pendidik anak-anaknya tentang budi pekerti. Oléh sebab itu berilah anak-anak gadis pendidik­an yang sempurna, dan usahakanlah supaya ia cakap kelak memikul pekerjaannya yang seberat itu.

O, jika sekiranya diketahui oléh sekalian ibu yang telah diterimanya dalam pangkuannya itu, tatkala mendapat bahagia yang sebesar-besarnya bagi peremipuan: buah hati, biji matanya! Dengan anak itulah ia mulai menempuh waktu yang akan datang. O! tahu benar hendaknya meréka itu, terang dan jelaslah hendaknya dalam pemandangannya, apa pekerjaannya, karena ia telah menjadi ibu itu. Tiadalah untuk dirinya sendiri ia melahirkan anak itu kedunia. Ia wajib mendidik anaknya untuk ahli rumah yang amat besar di atas dunia ini, yang bernama: Perkumpulan hidup bersama-sama!

Karena keperluan yang amat besar, yang tersebut di atas itulah maka kami. minta pengajaran dan pendidikan untuk anak-anak gadis.

Kami sungguh-sungguh amat percaya, bahwa kesopanan bangsa Jawa mustahil akan maju dengan sekuat-kuatnya, selama perempuan-perempuan tidak diajar dan dididik dalam 'ilmu kesopanan itu.

Kepada perempuan-perempuan itu, wajiblah dibelikan dalam genggamannya kerja untuk memajukan kesopanan, kalau demikian barulah kesopanan itu akan berkembangan de­ngan sekuat-kuatnya kepada Bumiputera bangsa Jawa.

Adakanlah ibu-ibu yang ringan tangan dan tajam pikiran, supaya tanah Jawa boléh mendapat perempuan-perempuan yang pantas dan cakap bekerja untuk kemajuan. Meréka itulah nanti yang akan menanamkan lagi biji kesopanan dan 'ihnu kepandaian itu kepada anak-anaknya. Anak-anaknyayang perempuan itulah yang akan menjadi ibu pula dan anak-anaknya yang laki-lakilah yang akan menjaga kelak segala keperluan bangsanya.

O, apabilakah waktun ya akan tiba, yang bangsaku akan membenarkan buah pikiranku ini? Saya menyangka, bahwa waktu itu masih jauh, jauh benar lagi! Tetapi jikalau sekarang tiada juga datang permulaannya, tentulah waktu itu masih bertambah jauh juga tempatnya dan masih bertambah lama lagi akan didapat.

Sekalian permulaan itu amat susah mengerjakannya, dan" bagi kebanyakan meréka tukang penebas jalan hidup didunia ini penuh dengan racun penanggungan. Sebab itulah mudah kita memahamkan, bahwa orang-orang tua lebih suka menyuruh anaknya memilih salah suatu nasib yang dapat menjamin, bahwa si anak akan beruntung dengan hidup se­nang.............. dari pada nasib yang diketahuinya sejak dari bermula akan hidup dengan racun penanggungan.

Jikalau seseorang menyimpan dalam hatinya sesuatu citacita yang mulia, dan cita-cita itu tiadalah maksudnya untuk kesenangan diri sendiri, melainkan untuk kesenangan diri orang lain, berdosakah ia, jikalau ia hendak mencoba mencapai cita-cita itu, tambahan pula karena ia berbuat demikian, ialah akan merusakkan hati beberapa orang kekasihnya? Atau itukah kewajibannya yang terutama, yakni mencabut cita-cita itu dari hatinya, supaya kekasihnya jangan berhati susah ?

Bagaimanakah seseorang patut bekerja yang berfaédah untuk hidup bersama-sama, dengan mengurbankan dirikah? Atau dengan memajukan dirikah? Manakah kiranya yang baik, mengurbankan diri, supaya jangan merusakkan hati kekasih atau memajukan diri untuk kebajikan ahli rumah besar yang bernama perkumpulan hidup bersama-sama itu?

O, berapalah bagusnya, kalau kita mau, dapat dan boléh mengerjakan barang sesuatunya. Perkumpulan yang bagus demikian, sayang, hanyalah sedikit saja orang yang dapat memperoléhnya.

........................................................................

Dengan besar dan suka hati kami telah berkenalan dengan kitab ceritera Frits Reuter. Wah, itulah sebuah ceritera yang dapat menggelikan hati dan menyegarkan badan. Besar kegirangan kami mendapat anugarah yang bagus itu dari tuan! Lagi pula orang-orang lainpun disini telah merasai juga lazatnya ceritera kitab itu. Meréka itu. telah membuat pula sebagai kami: ketika meréka itu telah mulai membacanya, tidak dapat lagi meréka itu menceraikannya! Bagaimanakah pikiran tuan, sejak dari pukul tujuh malam sampai pukul tiga pagi terus sa ya membaca kitab itu. Itu bukanlah pekerjaan yang élok, hanya hal yang seperti itu. mudahlah kejadian, jikalau orang bercengkerma dengan jamu yang segirang itu. Lagi jikalau sekiranya maksud tuan memberikan bukui itu, supaya kami boléh kasih dan sayang kepada pengarang syair yang pandai itu, boléhlah tuan laerbesar hati, karena maksud tuan itu telah berlakulah. Frits Reuter sekarang telah kami kasihi dihati kami dan kami muliakan dalam ingatan kami.

Kitab Couperus yang amat bagus itu telah menyukakan hati kami. Biasanya kami suka membaca kitab-kitabnya karena bahasanya yang amat bagus itu. Orang-orang yang didalam kitabnya itu selalu tidak tangkas, tidak segar, sepanjang pendapatan kami. Tetapi bahasa dan isi kitabnya telah masuk ke dalam hati kami. Tutur katanya amat merdu! Tanah Belanda boléhlah berpongah diri karena ahli pengarang yang seperti itu!

Dan juga kitab tuan Vosmaer yang amat bagus itupun menyukakan hati kami. Dengan hati yang pilu kami membaca kitabnya yang bagus yang bernama "Inwiyding" itu. Baru sekali itulah, kami berkenalan dengan pengarang bangsa Belanda itu, kamipun banyak mengucap terima kasih akan pertemuan kami yang amat menggirangkan hati sebagai itu. Sesudah membaca kitab "Inwiyding" itu, kami mendapat kitab tentang dongéng orang Gerika dengan bergambar déwa-déwa dan déwi-déwi. Sedap hati melihat gambar-gambar itu dan memba­ca ceritera ceriteranya sesudah membaca kitab "Inwiyding"! O, melihat sekalian keindahan dengan mata kepala sendiri dan merasai kesenangan hati seperti kegirangan hati Sietske dan Frank itu, melihat rupa yang mahabesar, melihat sekalian mahabagus itu! Tidak, tidak, tidak boléhlah kami berharapan sebanyak itu! ......... Biarlah kami mengucap syukur, bahwa adalah orang dikaruniakan Tuhan yang pandai dan berkuasa tentang bahasanya, telah menggambarkan sekalian yang maha bagus itu dimata kami, dan kamipun adalah mengerti akan bahasanya yang bagus itu!

Telah dua bulan adalah seorang di antara ahli komidi bangsa Belanda datang ketanah Jawa, ke tanah airku yang bagus ini. Willem Royaards, ahli komidi dan ahli bicara, telah sekian lamanya menjalani tanah matahari kami dengan kemuliaannya; dan pada setiap tempat, dimana saja ia bermain, senantiasa ia menggirangkan hati penonton dengan kepandaiannya yang amat berkuasa itu.

Betapa suka hatinya tatkala kami hendak mendengar ia bermain. Pada bulan yang lalu kami telah berniat hendak meli­hat kepandaiannya itu, tetapi sayang, ketika itu ceritera yang akan dimainkan tidak jadi dilakukannya. Sungguhpun kami tidak dapat mendengar orang pandai itu main komidi, tetapi ada kegirangan hati kami yang lain, yang telah kami peiroléh. Kami telah bercakap-cakap dengan tuan itu sendiri. Tiadalah sekali-kali kami dahulu menyangka keadaan itu, karena dengan tiada disengaja kami bertemu dengan dia. Itulah suatu keuntungan yang menyenangkan hati kami, ialah yang menjadi obat jerih perarai[5] demam kepada kami pada waktu itu.

Adalah suatu hal perceraian yang menyedihkan hati, yang membawa kami kepada pertemuan yang tiada disangka-sangka itu. Kami ketika itu psrgi mengantar-antarkan sahabat-sahabat kami, yaitu tuan dan nyonya Ovink kekapal, yang akan membawa meréka itu balik ketanah airnya. Kapal kecil yang membawa kami kekapal besar itulah yang mempertemukan kami dengan tuan Royaards, yang waktu itupun turut juga mengantar-antarkan tuan dan nyonya Ovink itu.

Waktu itulah yang memasgulkan hati kami. Tuhan sajalah yang lebih mema'lumi, bahwa kami dengan sahabat-sahabat itu barangkali selama-lamanya tiadalah akan bertemu lagi, karena tiadalah meréka bermaksud akan balik ketanah Hindia lagi. tidak adalah harapan kami akan bertemu lagi dengan meré­ka itu, kalau sekiranya tiada Tuhan menggerakkan kami dapat pergi ketanah airnya itu!

Boléhkah kami berharap demikian?.................. waktu, yang akan memberi jawaban sekalian pertanyaan didunia, hidup ini, tentulah lama lambatnya akan memberi pula penjawaban pertanyaanku itu!

Meréka itu kami sayangi! Kami merasa seakan-akan sebagian dari badan kami lepas teranggut, ketika kedua kapal itu berlayar bertolak belakang! Meréka itu dengan kami sebagai senyawalah rasanya!

"tidak adalah persahabatan yang teguh, dan tidak adalah per­saudaraan hati yang tetap kedapatan di antara dua orang yang berlainan bangsanya, dan yang lahir dinegerinya masing-masing", kata orang acap kali. Hal kami itu menerangkan kata orang itu tidak benar, justa adanya!

Tidak adalah persahabatan antara meréka itu yang sebangsa boléh lebih teguh dan setia lagi dari pada persahabatan kami, antara anak-anak orang putih tanah Barat dan anak-anak orang hitam tanah Timur!

Nyawa yang gaib dibadan, yang hidup selama-lamanya dari dunia sampai keachirat, tidak samalah halnya dengan yang lahir;dan tiadalah ada padanya ba tas bangsa dan agama, dan dialah juga yang akan menghormati dengan gembiranya nyawa lain, yang diam didalam badan lain pula yang berkulit asing, karena dirasanya bahwa ia bersaudara dengan nyawa yang lain itu. Persaudaraan nyawa itu lebih teguh dan lebih dalam dari pada persaudaraan seibu-sebapa.

Beruntung benarlah meréka yang hidup didunia ini, yang tidak saja sesuai, karena persaudaraan seibu dan sebapa, tetapi juga meréka itu beradik dan berkakak, laki-laki dan perempuanpun bersaudara senyawa pula!

Tuan kemendur yang bartemu dengan tuan disini dahulupun sahabat kami, ialah yang menggantikan tuan Ovink menjadi assistent-resident di jombang, itulah pula kehertdak Allah yang tiada disangka-sangka!

 
KALI Jepara DILIHAT DARI KANTOR BOM (PEBIAN) JEPARA.

Perjalanan hidup didunia ini banyak yang ajaib! Bahagia itu kadang-kadang mencahari jalan-jalan yang sesukar-sukarnya akan menemui kita, dan kita manusia yang berpikiran pandak acap kali lekas benar berkesal hati, kalau kita tidak dapat mengetahui tentang sesuatu hal yang kadim itu! Tetapi yang sebenarnya sekalian hal itu amat mudah, asal saja kita mau mema'luminya. tidak adalah cahaya yang timbul, yang tiada didahului dengan gelap gulita; hal itu boléh diperhatikan dari sehari kesehari, dari semalam kesemalam, habis malam berganti siang!

Berapalah girangnya hati kami, jikalau tuan di den Haag nanti bertemu dengan sahabat-sahabat kami, tuan dan nyonya Ovink! Masih sedih hatiku mengingat yang tuan dahulu tidak sempat pergi ke jombang. Disana sedianya tuan mudah boléh pergi melihat pendéta^pendéta di Mojowarno; tentu adalah paédahnya untuk tuan pergi kesana. Kamipun suka benar hendak pergi kesana, tetapi sayang, sampai sekarang belumlah dapat kami menyampaikan maksud itu. Kamipun telah bermaksud juga hendak tinggal beberapa lamanya disana, karena dalam perasaan kami, hidup didalam udara yang suci, yang penuh dengan kasih sayang, boléhlah membersihkan hati dan menguatkan badan!

Tidak adalah manusia, walau bagaimana juapun jahatnya, yang tidak dapat dikuasai oléh kasih dan sayang, yang ichlas dan mulia itu!

11 October 1902 (1)

sunting

O! tidak tahulah engkau, betapa senangnya hatiku, yang barang-barang hasil kepandaian anak negeri kami sekarang diketahui dan dihargai orang. Susah hatiku. mengenangkan, siapakah yang akan menghubung pekerjaan kami ini, jikalau kami tiada ada lagi disini? Kepada adik-adik kami perempuan belum dapat kami menyerahkannya. Meréka itu masih kecil benar, apalagi kalau pengakuan tentang perkara orang wajib ditanggungnya. Sekiranya adalah seorang Eropa yang datang mengerjakan pekerjaan itu disini, tentulah tukang-tukang bangsa kami itu akan disuruhnya bekerja untuk mengisi kantungnya sahaja. untuk kekuasaan hatinya atau akan menolong orang Jawa dengan cuma-cuma sahaja, menjadi orang ditengah dan jurutulis, antara tukang-tukang Jepara dan pasar penjualan hasil kepandaian meréka itu, tentulah orang putih itu tidak mau. Wajib adalah kasih dihatinya, pertama bagi kepandaian itu, dan kedua bagi orang Jawa, maka barulah orang itu dapat mengerjakan pekerjaan itu dengan tiada mengharapkan uang, dan dengan segala sukacita. untunglah perserikatan "Oost en West" telah mengasihani meréka yang kami lindungi itu, tetapi perserikatan itu patut pula mengangkat seseorang menjadi wakilnya disini, karena perserikatan itu tidak dapat berhubung sendiri dengan tukang-tukang itu, sebab meréka itu hanyalah pandai membaca dan menulis dalam bahasanya sendiri saja ....................................................................................................................................................

Yang pekerjaan orang penebas jalan itu, bukannya pekerjaan anak-anak dan bukan pula pekerjaan yang meriangkan hati, telah lama dan selalu kami ketahui; bahwa nasib itu penuh dengan racun penanggungan, telah kami ketahui juga; tetapi bahasa naraka yang ditaruh dihati, tidak Stella,tidaklah kami ketahui; o, tetapi biarlah seribu kali adanya naraka dihati kami, itupun jauh lebih baik dari pada tiada berperasaan! Sekalian barang yang terjulur dikerat orang; sekalian yang bercahaya-cahaya dicemarkan dan dikotorkannya. Sejak dari dahulu meréka itu selalu besar penanggungannya. Dunia ini senantiasa mau menerima manusia yang bersipat-sipat lain, ya berlainan dengan sipat-sipat yang telah lazim. Dan kalau seorang tiada berlaku seperti orang banyak, tentulah selama hidupnya akan diganggu orang, supaya terpaksa ia membuangkan pakaian yang dipakainya itu dan ditukarinya dengan pakaian yang biasa dipakai oléh orang banyak pula.

.....................................................................................................................................................

Saya tidak dapat menjanjikan apa-apa juapun, tidak suka saya berjanji itu kepadamu, Stella, karena saya ta tahu, dapatkah atau tidak perjanjian itu saya sampaikan. Amat burukkah Mojowarno itu pada pemandanganmu? Tetapi manakah yang baik kepadamu, kami menjadi gila di rumah, atau pergi mengobati kesedihan dan kedukaan kami ketempat yang mengandung udara kasih sayang itu? Kesanalah kami akan pergi, jikalau kenang-kenangan kami tiada sampai, karena tidak mau lebih lama lagi tertawan disini, dikurung oleh pikiran yang pandak dan budi pekerti yang hina, seperti biasanya disini. Kami terlalu pemanas hati, tidak dapat kami membiarkan saja meréka itu membuat sesukanya, seperti yang telah biasa, yang sangat kami hinakan dan benci.

Bukanlah musuh kami bangsa asing yang mematahkan sayap kami atau yang kami takuti benar, melainkan musuh kami bangsa kami sendiri, itulah yang memakan hati dan yang menelan otak kami. Tiadalah siapa jua yang dapat membujuk kami dan menolong kami, kecuali Allah dan kami sendiri!

O, Stella, katakanlah kepadaku, bahwa engkau tiada akan bersedih hati dan berputusasa, jikalau mendapat surat dari padaku memberi tahukan, yang surat-suratmu kepadaku hendaklah hingga ini keatas beralamat ke Mojowarno. Berilah kami bujukan, Stella. Dan lepaslah kami, meskipun dengan hati yang pilu, tetapi janganlah hendaknya dengan hati yang luka ke Mojowarno. Tempat itu tiadalah menakuti kami. Kami percaya sungguh², bahwa tempat itu dan alam sekelilingnya yang tinggi suci, berhati kasih-sayang, dapatlah akan menyembuhkan hati kami yang luka, yang selalu gemar mengurbankan diri sampai séhat dan bersih kembali. Tentu sajalah kedatangan kami disana dengan hati yang luka dan luluh, tetapi dalam hal itu Mojowarno tidak ada bersalah sedikit jua. Kalau demikian boléhlah sekaliannya akan hilang lenyap, Stella! Engkau sendiri telah kerap kali menunjukkan hal keadaan pénaku. Iapun di Mojowarno masih kutaruh nanti; karena disana tidak adalah suatupun yang akan mengalahkan dan memberanikanku dari pada badanku sendiri! Disini banyak benar yang melancarkan mulutku, asal saja dapat kusebut sekalian yang terasa dihatiku. Kalau saya menjadi guru pendidik, maka baru senang hatiku melihat yang maksud saya sampai, ialah jikalau orang percaya kepadaku dan menghargai saya. Kalau tidak demikian, tentu tidak maulah meréka itu menyerahkan anaknya kepadaku untuk diberi pendidikan. Tiadalah orang yang akan menyerahkan anaknya kepadaku jikalau saya katakan sekalian, yang telah kupikirkan dan sekalian yang terasa dihatiku; keadaan itulah yang akan memarahkan hati orang kepadaku. Tetapi seperti yang telah saya katakan kepadamu, kalau kami pergi ke Mojowarno hanyalah saja kepergian kami itu dengan hati yang luka dan ingatan yang kelam kabut.

Tahukah engkau apa artinya sekalian itu pada pénaku?

Tidak adalah yang lebih pandai berkata-kata dengan hati, lain dari pada darah yang ada dihati itu. Kejadian yang baru-baru ini telah menjadi suatu tanda pula dan mengingatkan kepadaku, bahwa saya dapat menghélakan diriku dengan pénakoé, sehingga sampailah pénaku..........itu tercecah ke dalam darah dihati. Banyaklah hati yang telah kusuruh menjadi iba dan pilu, dan air matapun jatuh bercucuran. Engkau tentulah telah tahu kepada harapanku, sehingga engkau tiadalah akan menyangka, bahwa sekalian itu kuceriterakan tidaklah karena saya hendak meninggikan diriku. Ia berguna kepadaku akan menerangkan betapa tingginya harga péna itu, kalau berdawat dengan darah dihati. Beberapa bulan yang sudah, telah tersedu-sedu pula seseorang perempuan yang tiada kukenal sedikit jua, ketika ia membaca beberapa patah kataku; karena ia merasa betapa hatiku sedih dan luka seperti disayat-sayat dengan sembilu, ketika kata² itu mengalir dari pénaku. Begitulah keras tertarik hatinya, sehingga dengan sebentar itu juga, bekerjalah ia pergi menolong kesusahan itu. Bésok harinya dapatlah ia memberi ichtiar kepada kami, tetapi sayanglah ichtiar itu terbuang saja sebab dibunuh oléh pikiran.

Orang tentu akan menyangka, yang saya senantiasa berbesar hati, jika orang mengatakan kepadaku, bahwa saya sungguh "pandai" mengarang.

Apakah gunanya pujian itu kepadaku? Saya suka tiap-tiap karanganku itu selalu melekat dihati meréka itu, Stella, dan berapa dalamnya maksud karangan itu, boléhlah diketahui, apabila digali. Didalam hatiku dan didalam ingatanku selalu digocoh dan digali, dan jika telah tersembur darah dari hatiku, maka barulah karanganku itu tetap harganya.

Pilu hati mengingatkan ke dalam itu, tetapi kataku itu benar sekali!

12 October 1902 (VIII)

sunting

Telah setahun saya mendengar dari diri sendiri suatu sipatku yang menyedihkan hati. Saya gila bercantik diri. jangan tuan bersembunyi hati kepadaku, jawablah benar-benar: Saya gila bercantik diri? Kaliau benar, dalam hal manakah? Sedih hatiku mendengarkannya, karena saya suka pada diri sendiri, atau pada orang lain, berkelakuan demikian.

Seseorang, bukanlah tukang fitnah mengatakan, bahwa saya berkata dengan bermain mata. Benarkah itu? Telah saya minta kepada adik-adikku akan memperhatikan sekalian pergerakan dan perbuatanku, dan mengatakan kepadaku apa-apa yang ganjil dilihatnya dan adakah saya biasa bermain mata? Adikku yang selalu berkata benar, mengabarkan, bahwa sejak dahulu ia tahu, yang mataku senantiasa bercahaya-cahaya, kalau saya asyik bercakap meski dengan siapa juapun.

Percayalah tuan yang keadaan itu, tiadalah dengan sengaja kuperbuat, dan tidak pernahlah saya berpikir, mau bercantik diri hendak menyenangkan hati orang, jikalau ada sesuatu yang kuperbuat; bilamana adalah meréka yang berkata demikian, maka keadaan itu sesungguhnya tiadalah dengan sengaja saya perbuat.

Itulah perasaan yang amat menyedihkan hati, karena sementara kita berusaha selalu menjadi seorang gadis yang bersipat yakin, tetapi sekonyong-konyong kedengaran orang berkata, bahwa kita seorang machluk bercantik diri dan biasa bermain mata. Tercenganglah saya mendengar hal itu, dan sedihlah hatiku bukan buatan. Percayalah kepadaku bahwa saya tiada sekali-kali akan berniat dan berbuat seperti itu.

Orang suka yang saya selalu hendaknya betertib, atau kemalu-maluan menundukkan kepala. Saya tidak suka berbuat demikian; saya suka melihat orang pada matanya, dan sekali-kali tidak sudi saya menundukkan kepala menurutkan saja apa yang dikatakan orang itu.

Saya tahu juga apa yang akan disuruh janjikan orang kepada kami, barangkali juga kemauannya dengan sumpah, bahwa jikalau kami pergi dari sini tiadalah akan berbuat malu bagi meréka itu, yakni yang kami sama-sama menanggung sakit dan senang dengan bangsa Eropa. Tentang hal itu janganlah meréka itu gusar.

Dari hati sendiri tiadalah kami hendak berpikir berbuat yang sedemikian; kalau begitu bukankah kami akan merusakkan sekaliannya? Kami sendiripun tidak boléh memperbuat itu; karena kami orang yang suka memberi contoh-contoh dalam hal kebaikan.

Nyonyapun tahu, yang kami tidak sedikit juga mau mengacuhkan apa kata "orang." Tetapi dalam hal itu sekali-kali tidak patut orang berkata: "Lihatlah keadaan itu, jikalau anak-anak gadis diberi pendidikan cara Eropa, maka kawinlah ia dengan orang Eropa." Itulah perbuatan yang amat merusakkan cita-cita kami, itu tidak boléh dirusakkan.

Tetapi yang sebenarnya kita semua dalam hidup bersama-sama dengan orang Eropa sama menanggung sakit dan senang. Apakah yang saya perbuat pada waktu ini? Tiadakah orang Eropa hidup dengan mengindahkan perasaan hati kita? Dan tiadakah kita hidup dengan menghormati perasaan hati orang Eropa?

Amat banyak boléh orang merampas, ya, sekalian yang ada padaku boléh dirampasnya; tetapi pénaku mustahil. Dia mestilah tinggal menjadi hakku, dan senantiasa dengan rajin memakainya menjadi senjata. janganlah hendaknya orang banyak benar menggoda kami, karena hati yang terlalu sabarpun boléh pula hilang, dan terpaksalah kami memakai nanti senjata itu, meskipun badan kami sendiri yang akan luka oléhnya. Percayalah tuan jikalau kami sampai pergi ke Mojowarno, kami akan memakainya benar-benar. Lain dari pada badan sendiri, suatupun tidak ada yang kami rugikan dan beranikan.

Tidak usahlah kami katakan kepada tuan, betapa kami, lebinlebih pada waktu ini, mencintakan sahabat-sahabat kami yang berhati setia! Kami sekarang telah berhati beku, sebab itulah kami hendak memanaskannya dengan kasih sayang dan dengan hati tuan. Kami acap kali menyalahkan hati kelobaan orang lain, tetapi bagaimanakah hati kami sekarang ini? Sangat lobanya! Tidakkah naman ya kelobaan yang sebenar-benarnya, jikalau menyuruh orang lain bersama-sama menanggung kesedihan dan kepiluan hati kami sendiri? Dan meminta kasih sayang, pada hal kami tahu bahwa kasih sayang untuk kami itu tidak dapat bercerai dengan kepiluan hati?

Tiadakah terasa oléh tuan, bahwa sipat kami sekarang telah mundur? Sesungguhnya kami sekarang keras, tiada menaruh kasih sayang lagi, dan tajam. O! acap kali kami terkejut melihat diri kami sekarang.

Ya Allah, berilah kami kekuatan, bantu dan tolonglah kami ini! Dan oléhmu, o kekasihku, berilah saya maaf di atas hati tuan yang telah pilu itu, karena membaca suratku ini. Berdiam diri saja tidak baik pula, tidak tulus. Ampunilah saya, kasihanilah anak-anak tuan yang berkulit hitam ini.

27 October 1902 (VIII)

sunting

O! alangkah baiknya jikalau sekiranya kami dapat mengatakan kepada tuan, betapa senang dan lembut hati kami, tiap-tiap kali, setelah tuan menunjukkan cinta dan kasih sayang tuan kepada kami. Dalam kesengsaraan yang sebagai ini, kamipun machluk yang berbahagia juga, menurut pertimbangan kami. Banyaklah orang miskin yang lebih bersengsara dari pada kami, yang hidup sebatang kara, tiada tersanak-saudara, berperang sendiri dalam hidup bersama-sama ini, tidak pernah mendengar kata yang lemah lembut, yang menyukakan hati, tidak pernah menerima pemandangan orang kasih kepadanya, ataupun berjabat salam melepaskan rindu hatinya seperti kami. Kami merasa, bahwa besarlah kurnia dan kekayaan yang jatuh kediri kami karena persahabatan dan kasih sayang tuan kepada kami.

Kasihanilah kami dan percayalah kepada kami selamanya, o ibuku yang dicinta, karena dengan hal yang demikian dapatlah kami bersenang hati. Kami banyak minta terima kasih akan cinta dan kasih tuan.

Téngoklah kami sekarang, telah mulai maju pula, sebab itulah kami dahulu menantikan jawab surat tuan, yang telah kami pahamkan itu. Kami simpan dia sebagai jimat.

Wahai tuan yang; dicinta, kami memohon bersungguh-sungguh, jangan tuan memikirkan juga akan kesenangan kami. Telah acap kali kami katakan kepada tuan, bahwa tiadalah kami mencari kesenangan untuk diri sendiri, melainkan untuk orang lain.

Percayalah, bahwa tidak adalah kami harapkan lagi dari tanah Eropa, dan demikian juga nasib kami pada waktu yang akan datang, bukanlah bunga ros untuk diri sendiri. Hanyalah satu saja mimpi kami lagi, satu saja kenang-kenangan kami kepada tanah Eropa, yakni melengkapkan kami untuk peperangan, yang telah kami kehendaki, yang berguna akan mencari keselamatan bangsa kami, saudara-saudara kami yang perempuan.

Sebenarnyalah, tiadalah kami berharap lagi apa juapun dari tanah Eropa seperti mimpi anak-anak gadis Eropa: "bersuka raya." Tiadalah pula kami hendak mencahari lagi persahabatan dan kecintaan orang disana bagi kami; dan demikian pun tiadalah kami akan berbesar hati, sebab pergaulan dengan bangsa Eropa; hanyalah saja yang kami harapkan dari sana, dan yang hendak kami cari pergi kesana, yakni apa yang perlu bagi maksud kami itu: kepandaian dan pengetahuan. Itulah saja yang kami pikirkan. tidak adalah alangannya bagi kami, jikalau kami di tanah Eropa nanti, tiada senang dan tidak dapat bercampur gaul dengan orang Eropa itu, asal saja kami dapat mencari apa yang berguna untuk maksud kami? Itulah gunanya kami pergi kesana dan tiadalah akan bersuka raya.

Yang mencahayakan hati kami pergi kesana, ialah hendak hidup bersama-sama dengan kakanda kami yang baik hati, yang ada disana, dan tiadalah kami bersaudara dengan dia karena seibu dan sebapak saja, tetapi kamipun bersaudara sehati dan sepikiran dengan dia!

Sebenarnya, tiadalah kami berharap yang benua Eropa akan memberi kami lebih berbahagia. Waktu itu telah lama luput dari kami. Kami menyangka dahulu sungguh-sungguh, bahwa "benua Eropa itulah dunia yang sebenar-benarnya, yang sebaik-baiknya dan yang sebagus-bagusnya."

Ampuni kami karena berkata sedemikian. Tetapi menurut pikiran tuan sendiri telah sempurnakah benua Eropa itu? Kamilah orang yang kesudahan sekali nanti yang tiada akan mengaku dengan syukur, bahwa banyak sungguh kebaikan datangnya dari dunia itu; tetapi maukah tuan menidakkan, bahwa di antara sipat-sipat yang amat bagus, yang amat tinggi dan mulia didunia tuan itu, acap kali kedapatan disana, yang kesopanan menjadi permainan olok-olok saja?

Kami selalu berkecil hati melihat pekerti yang keji-keji dan yang hina-hina dalam dunia hidup kami, tetapi janganlah tuan menyangka, bahwa sifat-sifat yang rendah itu dalam dunia hidup yang akan kami arungi, untuk mencapai maksud kami itu, tidak akan bertemu.

Barangkali juga lebih susah kami menanggungkan keadaan itu; karena pada meréka itu yang namanya telah ada mempunyai "kesopanan" sepatutnya sipat-sipat itu tidak mungkin ada.

Tuan sendiri tentulah lebih mengetahui hal itu dan pada kami; bahwa di antara beribu-ribu meréka itu yang dikatakan oléh dunia berbudi pekerti, tetapi yang sebenarnya hanyalah sedikit saja di antara meréka itu yang bersipat demikian. Luas pemandangan dan panjang pikiran itu, belumlah menjadi kepunyaan masing-masing orang Eropa, yang menurut patutnya dan wajibnya telah mestilah hendaknya meréka itu bersipat demikian; tetapi sedangkan pada kebanyakan salon, yaitu bilik yang sebagus-bagusnya dalam rumah-rumah orang Eropa yang dihiasi dengan perkakas yang mahal-mahal harganya, tempat menerima jamu yang pilihan duduk bercakap-cakap, masih ada juga didapat orang yang dungu dan bebal, yang tidak luas pemandangannya.

Sesungguhnya tiadalah kami mengira lagi, bahwa negeri Belanda seperti suatu negeri dikayangan; bahkan menurut penglihatan dan perasaan kami tentang orang-orang Belanda disini, dapatlah kami mengirakan, bahwa dinegeri yang kecil dan dingin itu, banyaklah kami akan melihat dan merasai keadaan yang menyedihkan dan menyakitkan hati.

Adalah orang yang menuduh kami, mengatakan, bahwa kami orang Jawa pembohong yang sejati, tidak boléh dipercaya, lagi kurang terima kasih.

Hal itu tiadalah saja kami baca dalam surat-surat, tetapi telah acap kali kami mendengarnya keluar dari mulut orang Belanda sendiri ..................... disinilah kami dapat mencoba akan kehalusan hati orang berkata itu.

Kamipun tersenyum jikalau mendengar atau membaca kata-kata yang terlalu manis itut, dan dalam hal itu terpikirlah oléh kami peri hidup pergaulan bangsa Eropa, yakni bagaimana meréka itu telah acap kali benar menunjukkan tanda cinta, tanda benar dan tanda berhati tulus kepada bangsa Bumiputera, dan sebab itulah maka ia melihat kebawah, dan mencaci orang Jawa yang pendusta dan yang sungguh tidak boléh dipercaya itu, dengan sekalian isi empedu yang ada didalam perutnya!

Sampai pada beberapa tahun yang telah lalu belumlah banyak benar kami bertemu dengan orang Eropa. Waktu yang pertama kali kami hadir didalam perkumpulan orang Belanda, ialah pada waktu Seri Baginda Maharaja Wilhelmina naik nobat. O! betapalah kami hendak menceriterakan berapa besar hati kami ketika mula-mula mengetahui tinggi, bagus dan mulianya orang bermain komidi dalam dunia bangsa Eropa! Waktu meramaikan raja naik nobat dan karena melihat keramaian itulah, maka kehormatanku bagi bangsa Eropa menjadi hilang lenyap. Kami melihat dua orang nyonya tengah berbincang-bincang, berkepit tangan dengan ramahnya, yang seorang bersandar kepada yang lain. Kami mendengar kata-kata kasih sayang dari seorang kepada yang lain. Dan dalam pikiran kami tentulah keduanya bersahabat baik. Tiba-tiba datanglah seorang tuan menceraikan kedua meréka itu, dan kedengaranlah kepada kami, apa kata nyonya yang dicari oléh tuan tadi kepadanya "kucing betina!"[6] Dan nyonya yang tinggal sendiri itu berkata kepada kawannya tadi: "Lihatlah perempuan pasik itu, memakai dirinya seperti orang gila." Baharu sebentar tadi ia telah mengatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa kekasihnya itu amat cantik rupanya karena pakaian itu."

Sebentar-sebentar kami menyaksikan sendiri pada malam itu berbagai-bagai permainan komidi yang memuliakan perasaan liati seperti itu. Adalah kami melihat muka laki-laki yang rupanya mérah padani, yaitu "tuan-tuan" namanya yang menafaskan bau minuman keras dari mulutnya, jikalau meréka itu berkata-kata o, tempik sorak meréka itu sehingga pecah anak telinga mendengarnya............Kamipun menjadi kuyu karena itu, dan beringinlah kami hendak mélarikan diri kami kepada pergaulan yang ada kesopanannya.

O, jikalau sekiranya kami tukang fitnah dan suka menceriterakan kembali apa-apa yang telah dikabarkan oléh sahabat-sahabat itu dari seorang kepada yang lain, tentulah disini akan timbul suatu peperangan di antara meréka itu. Baru-baru ini seorang anak gadis sahabat kami menulis surat kepada kami, atas kegirangan hatinya telah dijamu oléh seorang perempuan. Kamipun minta terima kasih kepadanya, sebab telah menerima sahabat kami itu dengan hati yang baik. Tetapi apakah jawab perempuan itu kepada kami? "Menurut pendapatanku ia seorang gadis yang tiada berkelakuan, ia selalu bermuka masam, tidak pernah ia melihat dengan berhati senang, mulutnya selalu tajam."

Acap kali benar kami dapat menyaksikan dengan mata sendiri, betapa meréka itu berpeluk cium, tetapi pada hal yang sebenarnya meréka itu seorang dengan yang lain sangat berbenci-bencian.

Tiadalah nona-nona peranakan yang telah biasa dihinakan orang yang berbuat demikian, melainkan orang-orang putih yang berdarah Eropa sejati, yang telah diberi pendidikan, berbudi-pekerti dan berpengetahuan. Kami juga telah melihat betapa nona-nona Hindia yang bodoh dipermain-mainkan oléh orang-orang Belanda yang pandai dan berbudi pekerti.

Orang Jawa itu ialah pendusta yang asli, dan sekali-kali tidakboléh dipercaya!

Tentang tuduhan itu tidak usahlah dipanjangkan lagi, hanyalah kami bertanya: jikalau ada seorang anak berbuat salah karena kebodohannya, dan adalah seorang lagi telah balig dan telah berpikiran, berbuat salah dengan sengajanya dan dengan tipu muslihatnya, siapakah di antara kedua meréka itu, yang berdosa besar? Kadang-kadang kami bertanya kepada diri kami sendiri, apakah maksudnya kesopanan? Iakah...............iakah kepandaian yang amat halus tentang pandai berminyak air, dan mengulas tidak mengesan? O, apakah yang telah kami perbuat ini? Apakah pula yang telah kami katakan itu? Ampunilah kami, o, ibuku! Tuan tentulah tahu juga, yang kami bukanlah bermaksud hendak menyedihkan hati tuan, dan menista tuan, melainkan semata-mata ialah hendak berhati tulus kepada tuan. Hati tulus itulah yang terutama sendi persahabatan kita, itulah yang amat kita kasihi, bukan?

Jikalau kita berhati tulus acap kali dikatakan orang, kita tidak tahu berbudi bahasa. jikalau sekiranya tidak mesti, maka tidak sukalah kami tidak memakai budi bahasa itu; karena kepada kami bangsa Jawa budi bahasa itu boléh dikatakan sudah menjadi darah daging.

Cahaya yang asalnya dari tuan, menyuruh kami melihat dan bertanya: "Apakah gunanya kotak yang tiada berisi?". Pada pendapatan kami tuan wajib ma'lum, bagaimanakah pikiran kami tentang beberapa hal didunia bangsa Eropa; karena tuan rupanya menyangka, bahwa dunia bangsa tuan itu dalam perasaan kami ialah suatu cita-cita yang amat tinggi. Apa yang kami katakan "budi pekerti atau kesopanan yang sebenarnya" sudahlah tuan ketahui dan kamipun tahu pula, bahwa pikiran tuan tentang hal itu sesuai benar dengan pendapatan kami, yaitu: "kesopanan yang sebenar-benamja, sekali-kali tiadalah menjadi hak milik dari tanah-tanah yang mempunyai kesopanan saja." Kesopanan yang sebenar-benarnya itu adalah juga terdapat pada bangsa-bangsa, yang dihinakan oléh kebanyakan bangsa kulit putih, yang hanyalah percaya akan kemuliaannya sendiri.

Pada bangsa kami mémang adalah sipat-sipat yang hina, tetapi bersipat-sipat yang baikpun adalah pula, yakni yang boléh ditiru diteladan oléh bangsa-bangsa asing. Tuan telah melihat bahwa tabiat kami telah berubah; kalau tiada demikian, tentulah tiada perlu kami akan mengatakan sendiri sesuatu sipat kami yang amat baik dan telah 'umum bagi bangsa Jawa yakni sipat "pemalu".

Bapak telah mengatakan sekali kepadaku: "Ni, janganlah engkau menyangka, bahwa banyaklah orang Eropa yang sayang benar-benar kepadamu. Hanyalah sedikit sahaja di antara meréka itu yang betul-betul berhati demikian."

Hal itu tidak guna bapak mengatakan kepadaku; kami sendiripun telah mengetahuinya dengan sebaik-baiknya; kami boléh menghitung dengan jari tangan sebelah dan tidak gunalah dengan jari kedua belah tangan kami, siapa-siapalah yang berhati tulus kepada kami. Kebanyakan di antara meréka itu suka kepada kami hanyalah untuk meninggikan darajatnya atau karena keperluan lain-lain saja.

Sungguh keji benar! yang sebaik-baiknya, baiklah kami tertawa saja melihat keadaan itu, supaya janganlah hati kami menjadi panas dan marah. O, manusia itu kerap kali amat keji pekertinya dan bertabiat seperti orang gila. Tiadakah tuan ma'lum, bahwa banyak benarlah di antara meréka yang berteriak-teriak akan kemajuan kepandaian pertukangan Bumiputera, dan yang tidak putus memuji-muji pertukangan itu; berbuat sedemikian hanyalah karena turut-turutan saja, dan sekali-kali tiadalah oléh karena disebabkan hati yang ada merasa sayang akan kepandaian itu? Beberapa orang yang ternama asyik mengindahkan kepandaian Bumiputera itu, dan tiap-tiap orang boléh dikatakan amat sangat menyukainya! Adakah orang-orang itu berbuat demikian, karena kepercayaannya benar-benar? Hal itu apakah gunanya dipedulikan, sebab yang perlu bukankah maksud sahabat-sahabat yang berkata sayang kepada orang-orang Jawa dan kepandaian orang Jawa itu mudah boléh sampai?

Ta tahukah kami, pada pikiran tuan, apa sebabnya surat kabar "de Echo" suka sekali menerima karang-karangan kami, meskipun kami bodoh dan dungu? Itulah suatu daya upaya akan melariskan surat kabar itu. Surat kabar "de Hollandsche Lelie" memberikan beberapa ruang untuk karangan kami, dan kepala pengarangnya yang dahulu senantiasa meminta izin kepada kami akan memasukkan karangan kami* ke dalam surat kabarnya; apakah sebabnya? untuk pelariskan surat kabar itu! Surat-surat dari anak perempuan Timur yang sejati "anak gadis Jawa sejati", buah pikiran manusia yang setengah biadab, dan dikarangkannya sendiri dalam bahasa Èropah, o, betapakah bagusnya untuk menarik hati! Dan jikalau dengan putus asa kami meratapkan kesusahan kami dalam bahasa Belanda, maka itupun lebih lagi menarik hati. Dan...................o, Allah jualah yang akan menjauhkan!.......................... jikalau sekiranya kami meninggalkan dunia dengan hati yang hancur luluh, karena cita-cita kami mati kena tikam, ya, ya, hal itulah pula yang lebih bagus menarik hati pembaca surat-surat kabar itu.

O! adalah banyak orang yang amat menyukai benar, bermacam-macam daya upaya penarik hati.

.........................................................................

Bahwasanya amat banyak keadaan yang bagus-bagus dalam pengajaran tertib sopan bangsa Jawa. Tetapi sayang benar, karena tiap-tiap orang tiadalah mengerti akan hakikinya.

Orang hanyalah membaca apa yang tertulis saja, apa yang diajarkan oiéh orang pandai-pandai. umpama menahan lelah dan lapar; hakikinya itu maka orang wajib puasa dan tidur sekurang-kurangnya, supaya hidup kita didunia ini dan diachirat nanti boléh baik. Buah pikiran yang mulia itu tiadalah diketahuinya! "Bukanlah makan dan tidur maksud hidup didunia."

Saya anak Budha, tahukah tuan? Itulah sebabnya maka saya tidak makan daging. Dahulu ketika saya masih kecil, saya sakit keras, dokter-dokter tidak dapat menolong saya; meréka, itupun putus akal. Sesudah itu datanglah seorang cina (orang hukuman) sahabat kami, minta hendak menolong saya. Orang tua saya menerima permintaannya itu, dan saya pun sembuhlah. Apa yang tidak dapat ditolong obat-obat dokter-dokter itu dapatlah ditolong obat "dukun-dukun" yang tiada terpelajar. Ia menyembuhkan penyakitku hanyalah dengan menyuruh saya meminum air abu, yang telah dimanterakannya pada tepékong cina. Oléh sebab saya telah meminum obat itu, maka sayapun menjadi anaklah dari keramat cina Santikkong Welahan. Beberapa tahun yang sudah kami telah mengunjungi keramat itu. Keramat itu ialah sebuah patung emas yang diasapi dengan asap dupa siang dan malam. Pada waktu penyakit sampar berjangkit, dibawa oranglah patung itu kesana-sini, berkeliling dengan segala upacara akan menyumpahi jin dan sétan penyakit itu. Dengan segala keramaian tiap-tiap tahun dimuliakan oranglah hari lahif keramat itu. Orang cina dari sana-sini datanglah pada hari itu mengunjunginya. Dari orang-orang tua bangsa cina boléhlah didengar ceritera patung emas itu. Menurut kepercayaan orang cina patung itu hidup sebenar-benarnya.

Tanah air kami tanah yang gaib, penuh dengan wayang, ceritera yang ajaib, dongéng dan 'riwayat. Tuan tentu telah mendengar, betapa sabarnya hati orang Jawa meskipun ia dipukul oléh nasib yang malang dengan sedahsyat-dahsyatnya. cemburu kita melihat hatinya yang sesabar itu. "Inilah takdir" katanya, dan dalam takdir itulah diambilnya penghiburkan hatinya dan tawakkal. Nasib manusia itu telah tentu, sebelum ia melihat cahaya alam. Sebelum ia lahir untung dan malangnya telah ditakdirkan oléh Tuhan. tidak ada seorang manusia yang dapat menolak, apa yang sudah tertentu itu. Tetapi sebelumnya kemalangan itu terjadi, wajiblah kita mencari akal akan menolaknya. Kalau kemalangan itu datang juga, maka itulah tandanya takdir dari Tuhan. tidak ada yang lebih berkuasa didunia ini dari pada' takdir itu.

Tahukah tuan apa artinya keadaan itu bagi kami? Kami wajib tetap berusaha, maju menyampaikan maksud kami, biarpun sekalian hal yang datang itu mesti menjadi. Meréka itupun nanti akan sabar dan berkata: "Inilah takdir".

Sebelum sekalian itu terjadi, tentulah meréka itu akan mengganggu kami; dan jikalau meréka melihat apaapa perbuatan yang telah kejadian, maka dikatakannyalah: "ini takdir' dan sabarlah meréka. ya Allah, berilah kami akan kodratmu!

Susah amat memikirkan hal itu; kami sekarang sedang menyisihkan diri kami dari pada kekasih-kekasih kami itu, mengungkai tali persahabatan, yang dahulu telah menjadi keuntungan bagi kami.

Tetapi lebih baik berpondok kecil yang sempurna dari pada beristana yang telah runtuh; lebih baik bersampan yang sempurna dari pada terapung-apung dikapal yang bagus dan telah pecah.

Telah lama antaranya saya pergi tidur, dengan tiada mendapat ucapan selamat tidur dari bapa sendiri.

Beberapa bulan yang telah lalu tidak pernah bapak pergi tidur sebelum pergi kebilik kami, dan berhenti dimuka bilik kami sebentar, akan melihat anak yang dikasihinya ini, dan menyebut nama si anak, sebelum ia pergi tidur. jikalau pintu bilikku tertutup, maka diketuknyalah pintu itu; si anak gadisnya itu wajib mendengar, bahwa bapak kekasihnya itu tiadalah melupakannya.

Waktu yang manis dan berbahagia itu sekarang telah lenyap! Dahulu saya banyak mendapat kasih sayang, ya, lebih dari pada sepatutnya. Dan jikalau seseorang mendapat lebih tentulah orang lain mendapat kurang.

Allah itu amat adil. Sekarang giliranku lagi akan hidup dengan kurang, karena saya telah lama benar hidup berlebih-lebihan. Sedih hatiku mengenangkannya, tetapi baginya, bapak yang kukasihi itu, saya berharap dan bermohon sungguh-sungguh kepada Tuhan, dapat apalah kiranya ia membuangkan saya dalam hatinya. Bapak, kekasihku yang dicinta itu, tidaklah akan berhati susah benar jikalau dapat membuat yang sedemikian.

Saya masih kasih dan cinta kepadanya dengan sepenuh-penuh hatiku, meskipun apa juga yang akan kejadian kelak, ia kusayangi juga seperti dahulu;................. hanya................. saya wajib membinasakan diriku sekarang, berhati kasih dan cinta tiada dengan cahaya seperti cita-citaku.

Alangkah bagusnya waktu yang lalu, ya, amat bagus! Saya banyak mengucapkan syukur atas kenang-kenangan yang kukasihi itu dan atas tahun-tahun yang amat berbahagia itu!

Aduhai bapakku yang malang, baginya lebih baik saya dahulu tidak menjadi anak Budha, dan kalau begitu dapatlah ia menaruhku dengan hati yang tidak rusak, walaupun saya ditaruhnya hanyalah dalam kenang-kenangan saja.

Benar kata Nellie: Hidup itu kadang-kadang lebih ganas menceraikan kita dari pada maut; kasih dan sayang yang tiada ternilai harganya dan salatu'rrahim yang amat suci, yang dirampas oléh malaku'lmaut, lebih teguh tinggalnya terpateri dalam hati dari pada jikalau ia dirampas oléh hidup.

Aduhai malangnya bapakku yang tua itu, sudahlah takdir kepadanya pada hari tuanya menanggungkan hal sedemikian oléh karena anak yang dikasihinya ini.

Alangkah pilu hatinya menanggungkan itu. ya Allah, ampunilah dosaku itu. Tiadalah ia saja yang banyak berpenanggungan dan berduka hati pada waktu sekarang dan pada waktu yang akan datang, tetapi kamipun telah berperang dan menanggungkan kesengsaraan yang berat itu. Kami memohonkan sungguh-sungguh kepada Tuhan yang mahakuasa, moga-moga janganlah banyak ia terlalu berdukacita karena kami, dan berharaplah kami mudah-mudahan dapatlah ia nanti meninggikan dirinya atas keadaan kedua anak-anaknya yang perempuan ini. Hal itulah kelak yang akan memperdamaikannya dengan hatinya yang sekarang amat kecéwa oléh karena kami itu.

21 November 1902 (VIII)

sunting

Jikalau kami menaruh kasih dan cinta, maka wajiblah kami berbesar hati dan mengucap syukur, jikalau sekiranya kekasih kami itupun berbesar hati pula menerima dan memberi kasih sayang, bukan? jikalau kami menaruh kasih sayang, maka harapan kami yang sebesar-besarnya, ialah yang kekasih kami itu akan beruntung dan berbahagia. Dan berbahagialah meréka yang banyak memberi orang kasih sayang, dan banyak pula orang yang mengasihinya. Maksudku disini bukanlah kasih sayang antara laki-isteri, karena hal itu amat halus, tidak dapatlah saya mema'luminya. Saya berkata disini ialah tentang kasih sayang yang boléh dirasai oléh orang banyak, sungguhpun perasaan itu bagi seorang tidak sama dengan bagi seseorang yang lain.

Kelobaan dirikah itu, jikalau saya berharap, supaya meréka tempatku kasih itu, kasih pula kepadaku, demikianpun meréka akan berbesar hati kali pula atas bahagiaku, meskipun bahagiaku itu datangnya karena saya telah memberikan hatiku kepada orang lain?

21 November 1902 (X)

sunting

Ketahui oléhmu, bahwa lemariku yang bertingkat empat itu, tiga tingkat telah penuh dengan kitab-kitab. Pada tingkat yang keempat kami lapangkan untuk porterét-porterét sahabat-sahabat kami dan tanda mata yang lain-lain; dengan secara demikianlah sahabat kami, adalah kami kumpulkan. Porterétmu terletak antara porterét ibuku dan porterét kakanda Kartono; terjauh sedikit dari porterét Dr. Adriani seorang pandai yang budiman dan seorang sahabat orang banyak yang mulia. Sudah itu tei'letak porterét seorang anak yang manis lagi suci dan segar rupanya, sebagai sekuntum bunga yang baru kembang, yang amat kami kasihi. Porterét bapakpun adalah pula dengan pakaian angkatan. Porterétmu terletak betul dalam suatu perkumpulan orang yang baik-baik, sungguh! Itulah tempat yang setiap hari wajib kami kunjungi; tiap-tiap hari sebelum kami melihat wajah sahabat-sahabat yang kami kasihi dan yang setia itu, belumlah ada permulaannya hari itu bagi kami.

.................................................................................

Kalau kami pikirkan betul-betul, baik benarlah tiada sekalian maksud kami Allah sampaikan. jikalau sekiranya sekalian maksud kami berkenan, berapakah hinanya kami ini; karena dengan hal yang demikian tiadalah kami akan menaruh cita-cita lagi, dan orang yang tiada bercita-cita itu amat buruk keadaannya. Acap kali pula terjadi jikalau kami bermaksud apa-apa tiadalah berpikir; dan jikalau maksud itu sampai, maka barulah kami menyesal. Menurut pendapatan kami sendiri tahulah kami, bahwa cita-cita hati yang sampai itu acap kali bercampur dengan air mata.

Adalah perasaan kami, yang kita nanti akan bertemu juga, tetapi tidak lama, hanyalah beberapa ketika saja. Setelah kita bertemu berjabat salam, lalu bercerai pula, sekalian itu terjadi dalam beberapa saat sahaja. Kita sebelah-menyebelah hanyalah sebentar saja memperlihatkan diri, kemudian bercerailah untuk selama-lamanya. Sungguh gila, bukan, perasaan kami itu, dan tidak dapatlah pula kami membuangkan perasaan itu dari kepala kami.

Apakah sebabnya maka kami berharap hendak bertemu lagi, apabila pertemuan pikiran kita telah sebaik itu; lebih dari itu agaknya tidak berguna lagi; bukankah pikiran itulah yang sebaik-baiknya ada pada kita? Dan jikalau kita kedua belah pihaknya telah mempunyai benda yang sebaik-baiknya itu, apakah lagi yang kita kehendaki?

.........................................................................................................

Bagaimanakah pendapatanmu tentang sekeram api buatan Jepara yang berukir-ukir itu? Tiada baguskah? O! tidak dapat saya katakan kepadamu, berapa besarnya bahagia kami, yang kepandaian tanah air kami makin diketahui dan makin dihargai orang. Selamatlah sekalian sahabat-sahabat orang Jawa yang mulia itu, yang telah memasyhurkan kepandaian itu keluar Hindia, dan bersama-sama dengan hasil kepandaian itu ialah lagi cita-cita bangsa Bumiputera yang bagus; yang tersembunyi dalam hati meréka itupun diketahui orang asinglah pula.

Kami berharap sungguh-sungguh, bahwa kegemaran meréka itu tentang kepandaian Hindia itu janganlah hendaknya seperti yang acap kali kejadian, menjadi suatu kesukaan yang lekas akan hilang lenyap.

Tidak, kesukaan itu tidaklah akan hilang lenyap; kami berharap janganlah hendaknya begitu, meskipun kami wajib mengaku, bahwa kebanyakan orang sekarang ini yang menunjukkan kesukaannya tentang kepandaian kami, berbuat demikian ialah karena turutan saja,........... orang-orang yang pertama kali membangunkan pekerjaan itu, meréka itulah yang bekerja dengan hati dan kepercayaannya sendiri, dan meréka itulah pula lama-lambatnya yang akan mengalahkan kesukaan orang yang hendak meniru-niru itu saja.

Tetapi tiadakah hal yang seperti itu telah biasa kejadian

Berkas:Cikar gerobak kerbau desa bawu jepara.jpg
GEROBAK (CIKAR) DIDÉSA BAWU, JEPARA.

bagi sekalian hal yang baru-baru, dan kemudianpun akan berusia panjang?

Tidak usahlah lagi saya uraikan hal itu dengan panjang lebar.

....................................................................................................................................................

Tengoklah, saya suka benar hendak me i hidup bersama-sama dengan berbagai-bagai kumpulan manusia di atas dunia ini. Misalnya hidup bersama dengan kuli-kuli tambang di tempat menambang, atau hidup dikampung Bumiputera Serani bersama-sama dengan anak negeri yang beragama Serani itu, tinggal dikampung Tionghoa, dikampung Melayu, ya, dimana juapun. Apalagi yang kusukai benar ialah hendak tinggal hidup dikampung dan desa bersama-sama dengan bangsa sendiri. Itulah yang amat meriangkan hatiku benar, karena saya ketahui bahwa dengan cara demikian, makinlah hatiku akan tertawan kepada hangsaku nanti, cita-cita hati bangsa apa juapun, baru boleh dikenal dengan sebaik-baiknya ialah jikalau kita tinggal beberapa lamanya bersama-sama dan hidup bersama-sama dengan mereka itu.

Banyaklah “adat-adat yang bagus telah kulihat pada bangsaku: sekalian itu menjadi permulaan yang menarik kesenangan hatiku, sekiranya saya boleh menyampaikan maksud hidup bersama-sama dengan mereka itu. Seboleh-bolehnya kami cahari pergaulan dengan orang-orang kampung kebanyakan, dan kalau sekiranya kami berjalan sendiri saja, selalu kami mengunjungi sehuah dua rumah. dikampung. Mula-mulanya amat ganjil dan heranlah mereka itu melihat kami, tetapi sekarang telah menjadi bia j

Tangan anak kecil lekas penuh kalau di : begitu tangan suatu bangsa yang masih seperti anak-anak. Mereka itu amat halus perasaannya akan hati yang ramah, dan amat besar kesukaannya untuk bersenda gurau. Senda gurau yang kecil mudahlah membawa mereka itu tertawa-tawa, dan kerja yang berat dikerjakannya dengan bersuka-suka hati. Telah beberapa bulan lamanya, tiap-tiap beberapa banyak orang kuli negeri bekerja dipekarangan kami. Mereka itu sedang mem perbaiki rumah di belakang, dan dekat itu kami akan mendapat sebuah pendopo yang bagus.

Pada waktu tempoh ketika orang melepaskan lelah, acap kali kami pergi ketempat bekerja itu akan bercakap-cakap dengan orang-orang kuli itu. cobalah engkau pikirkan, saudara-saudaramu itu duduk diunggunan pasir, dan berkelilingnya duduklah orang-orang kuli yang telah payah bekerja itu. Mer€ka itu hampir tiada berpakaian pada badannya sambil merokok dan makan sirih. Akan bercakap-cakap dengan mereka itu, wajiblah kami dahuk yang mengeluarkan kata: kalau ta? perlu maulah orang yang dibawah kita sehari-harian berdiam diri saja, dari pada, memulai berkata dengan orang yang di atasnya.

Betul bagus benar kebiasaan itu dalam percakapan itu banyaklah kami dengar hal mereka itu, yang kalau sekiranya tiada kami berbuat sedemikian, tiadalah. kami akan mendengarnya. Orang? kuli itu bekerja dibawah perintah seorang Belanda peranakan (senyur). Ia mula² amat pendiam, selalu memisahkan dirinya dan tiadalah pula ia mau memberi tabik kepada kami kalau ia pulang atau pergi. Sekarang kami telah berkenalan dengan dia kamilah yang mula-mula memberi tabik kepadanya dan menyapa dia. Ia mula-mula amat malu, tetapi sekarang telah pandailah ia berbincang dengan riangnya!

Ia orang baik hati, dan pandai bercampur gaul dengan kuli-kulinya: sungguhpun mereka itu bekerja bebas, tetapi selalu hormat kepadanya. Acap kali kami dengar orang-orang kuli itu berkelakar dengan "tuan” itu, itulah suatu tanda, bahwa kepala kerja itu baik hati kepada mereka itu. jikalan mereka itu kena marah atau wajib mengubah pekerjaannya sekali lagi, tiadalah kami dengar mereka merajuk. Bagus itu, bukan? kepada senyur itu banyaklah kepala-kepala boleh mengambil contoh.

12 December 1902 (VIII)

sunting

Maksud tentang ukiran itu telah sampailah bagus, pada pendapatan kami meja nyonyalah yang sebagus-bagusnya di antara perbuatan si Singo, dan selalulah kami tercengang melihat pekerjaannya itu.

Senang hati melihat betapa si tukang itu selalu bertambah maju. syukurlah baru-baru ini ia dapat terlepas dari pada suatu kesengsaraan yang amat besar. Adalah sebelas rumah yang berkeliling rumahnya habis terbakar. Pohon-pohon kelapa yang dipeka: an rumahnya semuanya telah menyala, tetapi tidakajublah kita melihat karena rumahnya itu ta? binasa. Seisi kampungnya itu pergilah melihat keajaiban itu, bertanyalah kepada si punya rumah yang beruntung itu, “ilmu atau jimat dan sihir apakah yang dipakainya, maka tidak binasa sedikit jua, sedang rumah-rumah yang berkelilingnya habis musnah dimakan api. "Tidak” ia tidak ber'ilmu, tidak berjimat, tidak ada sihir yang dipakainya, hanyalah yang ada padanya "Gusti Allah” yang memeliharakannya dan anak isterinya.” Bagus benar jawabnya itu, bukan'? Tetapi ketahuilah lagi oleh nyonya, bahwa pada besok harinya sesudah kebakaran itu, datanglah tukang itu kepada kami, dan pikirlah oleh tuan, kedatangannya itu ialah meminta syukur kepada kami, sebab rumahnya tinggal selamat tiada binasa. tidak dapat kami menolak kepercayaannya, bahwa rahmat dari kamilah maka api itu tidak datang memusnahkan rumahnya. Itulah kekocatan doa kami kepadanya, maka rumahnya terpelihara tiada mendapat kecelakaan! Apa pikiran tuan tentang hal itu? Betul-lah sedih hati melihat kepercayaan yang semudah dan setulus itu, betul kepercayaan anak kecil!

Sayapun bertanya kepada diriku sendiri, baikkah saya buang akan kepercayaan hati mere yang tulus sebagai anak kecil itu, dan yang memberi bahagia kepadanya itu? Dan kepercayaan apakah yang lain yang akan saya berikan kepada mereka itu penukar kepercayaannya itu? Sebodoh-bodoh orang dapatlah merusakkan barang sesuatu, tetapi memperbaikinya? Kepercayaan kami belumlah dapat kami berikan kepadanya. Mustahilkah orang boleh memberikan kepercayaannya kepada orang lain? Kepercayaan yang sebenar-benarnya, yang sebetul-betulnya, yakni kepercayaan ya tiada dipungut atau tiada dipusakai, terbitnya semata-mata dari hati. tidak senanglah hati kami mendengar yang kami dikatakan oleh mereka itu berkekuasaan sedemikian. Kami dan orang lainpun tidak adalah yang berkuasa sebagai itu.

Banyaklah kami menerima kebaikan hati dari sahabat-sahabat kami, orang kebanyakan itu. Sebab itu adalah beberapa lamanya kami membenci sekalian agama, karena banyak benar kami lihat mereka itu yang tidak menaruh kasih ang sedikitpun, dan agama itu dijadikannya selimut penutup hatinya yang bersipat keji itu. Tetapi lama-lama baharulah kami tahu, bahwa bukanlah agama yang salah dalam hal itu, melainkan manusialah jua yang memperburuk sekalian pemberian Tuhan yang baik-baik di atas dunia ini. Agama yang sebai k-baiknya dan setinggi-tingginya yaitu menurut pendapatan kami, ialah "kasih sayang”. Oleh sebab. itu perlu benarkah mesti orang masuk menjadi orang Serani, maka baru boleh hidup dengan perintah Tuhan yang sebagus itu? Orang yang beragama Budha, Berahma, Yahudi, Islam dan orang biadabpun, bolehlah hidup suci dalam dunia kasih sayang itu.

....................................................................................................................

Adalah barang sesuatu yang sangat menyusahkan hatiku, sehingga lenyaplah badanku rasanya didalam hal itu: mendengar musik yang merdu. Orang boleh melakukan sekehendak hatinya di atas kami, jikalau kami sedang dimabuk lagu musik. jikalau kami hendak membuat barang uatu yang perlu dilakukan dengan hati yang berani, baru dapat oleh kami mengerjakan itu, apabila kami telah melenyapkan diri kami dahulu dengan musik yang merdu. Begitulah keras kekuasaan musik bagi kami. Tetapi adalah pula sekali-sekali kekuasaan musik tiada kami indahkan.

Kalau tiada demikian tentulah acap kali kami wajib menahan diri kami, supaya jari-jari kami ini jangan bergerak dibuaikan oleh bunyi gamelan, yang menuangkan api gembira pada urat-urat badan kami. Dan adik-adik kami yang perempuan \merasai pula sedemikian jikalau mendengar bunyi gamelan itu. Ketika kami masih -anak-anak, telah pandai kami menari, kami belajar sendiri saja; dan ketika kami sedang pandai berjalan sedikit-sedikit telah mulailah tangan dan ba­dan kami bergerak-gerak, mendengar bunyi gamelan. Dan ke­tika masih budak-budak, kami berniat hendak menjadi pan­dai tari, lalu bersahabatlah kami ketika itu dengan pandai tari. Acap kali ibuku memakaii kami seperti pakaian pandai tari, dan sayapun menarilah sampai jatuh terguling-guling. O! dosa yang suci; dengan segala senang hati berpangkulah kami di atas ribaan pandai-pandai tari itu; kami heran melihatkan kebagusan kepandaiannya itu, dan mereka itupun amat sayang kepada kami.

Kemudian, amat lama sekali kemudian dari pada itu, baharulah kami ma'lumi, siapakah mereka yang amat kami muliakan itu, dan kami hinakanlah kepandaian mereka itu karena pekerti mereka itu, dan malulah kami akan diri kami sebab kami telah penuh berniat hendak menjadi pandai tari dahulu.

Dan kemudian itu lagi, belajarlah kami menyisihkan ke­pandaian dari orang yang melakukannya.......... dan sampai sekarangpun kami masih mempelajarinya jua, kami tiadalah mau mengindahkan bagaimana hidup si pengarang, tetapi hanyalah kami wajib menghormati kepandaiannya saja, seperti Multatuli, kebijaksanaannyalah yang dihormati.

Seperti yang telah saya terangkan dahulu, kami berniat benar hendak bercampur gaul dengan orang-orang yang lain bangsa, lain kepercayaan dan lain tujuannya. Baru-baru ini di Semarang kami telah berkenalan dengan beberapa orang kaum Said. Kakandaku banyak berkenalan dengan orang-orang yang baik dan saleh. Ia telah membawa kami kepada seorang kapitan Arab, dan disanalah kami ketahui bahwa kami bersaudara dengan dia. Karena kami seorang dengan seorang bertanya-tanyakan hal itu, maka kami ketahuilah bahwa keluarganya, yakni neneknya yang laki-laki bersahabat dengan nenek kami, bapaknya dan pamannya dahulu kawan-kawan sama-sama bermain dengan bapak, paman dan anak angkat nenek kami.

Oleh karena beberapa hal maka sahabat-sahabat itu telah bercerai-berailah dan sekarang dengan sekonyong-konyong cucu-cucunya telah bertemulah dan berkumpullah pula kembali.

Senanglah hati melihat rumah orang asing didalamnya, dan seisi rumahnya menerima kami sangat ramah. Keadaan yang seperti itu acap kali kami dapati, kalau kami bertemu dengan orang-orang bangsa asing, yang tidak kami kenal, tetapi mereka itu atau orang tuan ya adalah berkenalan dahulu dengan nenek kami.

Begitulah juga adalah kami bersahabat lagi dengan orang-orang kampung Habsi, dan orang tua mereka itu dahulu bersahabat dengan nenek-nenek kami. Kami selalu diterimanya dengan ramah dirumahnya. Baru-baru ini seorang anaknya laki-laki kawin dengan seorang gadis Habsi disini.

Kami adalah datang pada peralatan itu. Banyak di antara adat-adat mereka itu yang tua-tua telah dibuangnya, sehingga karanganku tentang peralatan yang demikian tidak benar lagi. Karangan itu telah lama saya karangkan ketika saya masih kecil, dan pada beberapa tahun yang telah sudah tersiarlah karangan itu didalam "Tiydschrift voor taal- land en vol­ kenkunde van Nederlandsch Indie". Saya tidak tahu, patutkah saya berbesar hati melihat beberapa adat-adat tua meréka itu telah terbuang, apalagi melihatkan apa-apa telah dipakai oleh meréka itu akan pengganti adat-adat yang tua itu. Amat buruklah rupanya meniru-niru adat² Eropa dan dicampurkan ke dalam adat sendiri. Sebenamjalah mereka itu menyuruh orang-orang Eropa tertawa melihatnya. Choja yang ternama itu hina baginya, jikalau pada alat kawinnya itu ia akan mengunjukkan cerana emas yang bagus, yang berisi sirih kepada isterinya, ketika mereka itu bertemu. Mempelai yang baru-baru ini kami lihat memberi isterinya suatu karangan bunga buatan, dari pada pelbagai kertas berwarna, dan diikat dengan bermacam-macam pita-pita yang berkibaran kain kemari. Bunga kenanga, cempaka dan melati tiadalah dipakai lagi oleh mereka itu untuk menghiasi pakaian anak dara itu, melainkan sekaliannya bunga buatan dari pelbagai warna. Bukantah mereka itu menurut adat Eropa?

Adalah suatu adat yang dibuangnya, yang amat menggirangkan hati kami. Sudah menjadi adatlah bagi mereka itu, bahwa pengantin dalam tiga hari yang bermula kawin tidak boleh pergi keluar rumah. Orang-orang tua pengantin itu, yang tidak lama boleh tinggal disini, ingin sekali hendak membawa pengantin itu kerumah kami, tetapi tiadalah dapat, karena hari yang tiga itu belumlah habis. Betapa tercengangnya dan besarnya hati kami mendengar ketika ia berkata kepada isterinya: "Besok petang-petang pengantin saya bawa kekabupaten."

"Dimana boleh itu, hari belum habis? masakan boleh?" jawab isterinya.

Dan choja itupun menjawab lagi: "Kangjeng regen mengatakan, bukanluh aturan yang demikian, hanyalah adat sahaja. Adat itu tidak ada yang diikutinya; untung dan celaka itu pembawaan orang sendiri. Kalau hati kita ichlas membuang adat, selamatlah kita dan tiadalah suatu apa juapun yang akan menggoda kita. Hati saya menurut seperti kata kangjeng. Pekerjaan ini sudahlah selamat, dan tiadalah lagi apa-apa yang datang menggoda kita."

Mata kamipun bercahaya-cahayalah melihatnya, maulah rasanya kami menjabat tangannya ketika itu. lapun sebagai seorang Timur yang teguh dan setia memakai adat-adatnya, sekarang iapun mengaku, bahwa adat-adiat itu tidak lain dari pada aturan yang kebiasaan saja, yang boleh dibuang seperti membuang pakaian yang telah tua, jikalau ia tiada memadai lagi, dan adat itu sekali-kali tiadalah bersangkutan dengan untung dan malang nasib hidup kita.

Kami seribu kali lebih beruntung. Kami bermaksud yang mulia dan kami menaruh kasih sayang! Alangkah baiknya kalau kiranya kami boléh memberikan sedikit dari kekayaan kami ini. Tetapi kesenangan hati tidak dapatlah seorang juga memberikannya kepada kita, jikalau kita sendiri tidak mau mengehendakin ya.

Kami tidak berani memikirkan hal itu, apalagi mengharapkannya, tetapi tetapi berapalah senangnya hati kami, ji­ kalau hati yang telah beku itu dapat dihidupkan kembali oléh cahaya Allah, sehingga teranglah ia bersinar-sinar! Oléh karena mengingatkan hal itu sekalian, maka datanglah perasaan yang mendamaikan hati kami yang amat ajaib itu, dan kamipun mengucap syukurlah. Kayalah hidup kami didunia ini, sungguhpun banyak berisi racun didalamnya, tetapi banyaklah pula manisan-manisan yang amat lazat sertanya.

Amat senanglah rasanya hati kami serta banyaklah rahmat bagi kami, sekiranya kami dapat menolong sesama manusia. Harta benda tidak ada pada kami. Dan apa yang ada dapat kami berikan, kami berikanlah.......... yaitu kasih sayang kami. Kadang-kadang ajaib benar kami melihat, orang-orang yang tua dari pada kami, yang telah kawin dan ibu dari pada beberapa orang anak-anak, telah menangis mengatakan kesusahannya diribaan kami. Betapalah kami akan mengucap syukur kalau sekiranya dapat kami menghapuskan air mata mereka, biarpun barang setitik.

Barang siapa yang telah mengenal akan perasaan yang demikian, tidak dapat dan tidak maulah ia melupakannya.

Janganlah tuan bersusah hati memikirkan hal kami, wahai kekasihku, jikalau sekiranya nasib kami pada waktu yang akan datang ada berbahaya. jika sekiranya masih ada didunia ini air mata yang akan dihapus, dan ada juga lagi hati yang mengehendaki kasih sayang, maka sahabat-sahabatmu yang berkulit hitam ini masih ada kerjanya dan tentulah mereka masih........... bersenang hati. Sesungguhnya janganlah tuan bersusah hati memikirkan hal kami, baikpun sekarang atau nanti, janganlah tuan berbuat demikian. Serahkanlah kami kepada Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang amat pengasih dan penyayang.

Ialah yang akan menolong dan membujuk serta memban­ tu dan menerangkan kami jalan. Tawakkallah tuan, jangan­ lah bersusah hati, kami tahu akan Tuhan kami. Dan Tuhanpun tahu pula akan kami, ialah akan menunjukkan kami dengan segala kecintaan jalan yang terang. jikalau kami hendak berbuat yang baik, ialah akan meno­ long kami, dan jikalau kami hendak berbuat yang jahat, tentulah saja kami tiada akan terlepas dari pada hukuman. Kepercayaan itulah yang memikul kami, dan yang memberi hati kami menjadi tawakkal dan senang.

Kami bemiat sungguh-sungguh hendak menjadi kuat benar-benar......... sehingga dapatlah kami hendaknya meno­ long diri sendiri. Menolong diri sendiri acap kali lebih susah dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri tentulah lebih mudah menolong orang lain.

 
Desa cikeumeuh dekat Cultuurtuin (kebun tanam-tanaman) di Bogor.
  1. Doktor-pendéta N. Adriani didanau Poso (Selébés).
  2. layah telekung (olnier)
  3. Sayang sekali maksud Kartini itu tidak sampai.
  4. sibiran tulang - keratan tulang.
  5. Bahasa Minang artinya penghilangkan (penceraikan).
  6. Maksudnya: perempuan yang auka berbantah.