Kepindahan rombongan Raden Sulaiman ke Kota Bangun diketahui ketiga petinggi Nagur, Bantilan, dan Segerunding. Raden Sulaiman diminta kembali ke Kota Lama.

Melihat gelagat tersebut, timbul prasangka yang kurang baik di pihak Raden Sulaiman dan menganggap ketiga petinggi ini merupakan suruhan Ratu Anom Kusuma Yuda yang akan menangkap dan membunuh keluarga Raden Sulaiman.

Putri Mas Ayu Bungsu kepada ketiga petinggi ini mengatakan, dia dan bapaknya hendak ditipu dan diperdaya atau barangkali hendak dibunuh.

Ketiga petinggi ini cepat memohon ampun dan sembah, dan menjelaskan maksud dan tujuannya tidak sama sekali akan mendurhakai, melainkan untuk menjaga keutuhan kerajaan.

Untuk memperkuat ucapan mereka, ketiga petinggi ini bersedia bersumpah di hadapan Raden Sulaiman dan Putri Mas Ayu Bungsu sesuai adat istiadat. Putri mengambil keris pusaka lalu direndamnya. Air rendaman tersebut diminumkan kepada ketiga petinggi, kemudian keris tersebut ditorehkan ke leher masing-masing petinggi, sesudah itu baru mengucapkan sumpah setia kepada Raden Sulaiman.

Setelah melakukan upacara sumpah setia, ketiga petinggi tersebut pergi menghadap Ratu Anom Kusuma Yuda untuk menyampaikan keadaan Raden Sulaiman dan mohon Ratu agar menyelesaikan permasalahannya. Mendengar maksud tujuan ini, Ratu memerintahkan agar ketiga petinggi ini menghadap Pangeran Mangkurat. Tetapi sesampainya di sana, pangeran murka kepada ketiga petinggi karena dianggap mengutik-utik peristiwa masa lalu dan telah membela orang yang telah mendurhakai.

Mendapat perlakuan demikian, ketiga petinggi ini pulang menuju Kota Bangun. Begitu sampai, semua perahu Raden Sulaiman telah dibawanya berlayar menuju Sungai Subah kemudian berhenti di Kota Bandir dan membangun permukiman yang berkembang cepat menjadi sebuah negeri.

Melihat kemajuan Kota Bandir, sebagian besar rakyat Kota Lama pindah ke Kota Bandir di bawah kepemimpinan Raden Sulaiman. Rakyat hidup tenteram dan aman, melihat keadaan yang demikian, Kota Lama semakin lengang. Melihat hal ini, Ratu Anom Kusuma Yuda malah ingin pindah dari Kota Lama menuju ke Balai Pinang anak Sungai Selakau menggunakan 70 perahu yang diikuti Menteri, Hulubalang dan rakyat yang masih setia.

Dalam perjalanan menuju Sungai Selakau, Ratu singgah di Kota Bangun. Mendengar berita ini, Petinggi Nagur, Bantilan dan Segerunding segera datang ke Kota Bangun menawarkan bertemu dengan keluarga Raden Sulaiman. Ratu sangat setuju dan saling bermaafan untuk menyerahkan kekuasaan Sambas sebagai pengganti Kota Lama kepada Raden Sulaiman. Mendengar kabar tersebut, ketiga petinggi ini segera pulang ke Kota Bandir untuk menemui Raden Sulaiman agar menghadap Ratu yang sudah berada di Kota Bangun.

Ratu Anom Kusuma Yuda dengan para pengikutnya maupun keluarga Raden Sulaiman saling melepas haru, mereka berpelukan dan bertangisan. Setelah pertemuan tersebut,

Ratu mengakui dan merestui berdirinya Kota Bandir dan merelakan rakyatnya yang telah pindah ke Kota tersebut. Ratu Anom Kusuma Yuda menyerahkan negeri dan pemerintahan negeri Sambas kepada Raden Sulaiman dan istri. Setelah memberikan nasihat, Ratu mengaruniakan dua pasang meriam dan dua pasang lela dengan amunisinya.

Selesai upacara serah terima, Raden Sulaiman dan Putri Mas Ayu Bungsu berpamitan pulang ke Kota Bandir, sedangkan Ratu Anom Kusuma Yuda dan isterinya Mas Ayu Anom melanjutkan perjalanan menuju arah Sungai Selakau hingga ke perhuluan dan berhenti di Muara Sungai Berangan. Di tempat inilah Ratu Anom Kusuma Yuda membangun istana, rumah, benteng dan parit-parit. Kemudian tempat ini diberi nama Negeri Balai Pinang.

Setelah cukup lama Ratu tinggal di Balai Pinang, Ia mengawinkan anaknya Raden Bakut dengan Mas Ayu Karantika (Putri dari Pangeran Aria Mangkurat). Dari perkawinan ini, Raden Bakut mendapat seorang anak laki-laki bernama Raden Dungun. Menurut sejarah, di Balai Pinang inilah makam Ratu Anom Kusuma Yuda dan istrinya serta makam Pangeran Arya Mangkurat dan petinggi Istana Balai Pinang

mandek belambak

sunting

adalah istilah dalam bahasa sambas mandi hang lama