Kehidupan Muhammad sunting

Menjelang Kelahiran sunting

Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail - nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. Para nenek moyang Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah, tempat yang menjadi tujuan dibangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali. Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah HAJI. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi.

Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis Caussin de Perceval dalam 'Essai sur L'Histoire des Arabes' yang dikutip Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di rumah kakeknya - tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram.

Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka'bah dan diberi nama Muhammad yang berarti "terpuji". Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama bayi itu Qustam - serupa nama anaknya yang telah meninggal - Namun Aminah - berdasarkan ilham - mengusulkan nama Muhammad itu.

Dari Gembala ke Manajer sunting

Dalam tradisi keluarga terhormat Arab masa itu, bayi tidak disusui sendiri oleh Sang Ibu. Ia diserahkan pada orang lain yang menjadi Ibu susu. Demikian pula Muhammad. Beberapa hari, ia disusui oleh Tsuaiba -budak paman Muhammad, Abu Lahab, yang juga tengah menyusui Hamzah -paman lainnya yang seusia Muhammad. Kemudian ia diserahkan pada Halimah, perempuan miskin dari Bani Saad yang mencari pekerjaan sebagai Ibu susu.

Pada usia lima tahun, Muhammad dikembalikan ke Mekah. Konon Halimah khawatir atas keselamatan Muhammad. Dalam perjalanan ke Mekah, Muhammad sempat terpisah dari Halimah dan tersesat sebelum ditemukan secara tak sengaja oleh orang yang kemudian mengantarkan ke rumah Abdul Muthalib. Saat Muhammad berusia enam tahun, Aminah sang ibu membawanya ke Madinah menengok keluarga dan makam Abdullah, sang ayah. Mereka ditemani budak Abdullah, Ummu Aiman, menempuh jarak sekitar 600 km bersama kafilah dagang yang menuju Syam.

Saat pulang, setiba di Abwa -37 km dari Madinah-Aminah jatuh sakit dan meninggal. Muhammad pun yatim piatu. Ia dipelihara Abdul Muthalib. Namun, sang kakek juga meninggal saat Muhammad berusia 8 tahun. Muhammad lalu tinggal di rumah Abu Thalib -anak bungsu Abdul Muthalib yang hidup miskin. Kehidupan sehari-hari Muhammad adalah menggembala kambing. Pada usia 12 tahun, Muhammad diajak pamannya berdagang ke Syam.

Berkat ketulusan dan kelurusan hatinya, Muhammad remaja mendapat sebutan Al-Amien, "yang dapat dipercaya", dari orang-orang Mekah. Ia juga disebut-sebut terhindar dari berbagai bentuk kemaksiatan yang acap timbul dari pesta. Setiap kali hendak menyaksikan pesta bersama kawan-kawannya, Muhammad selalu tertidur. Sedangkan ketajaman intelektual serta nuraninya terasah melalui hobinya mendengarkan para penyair.

Kematangan Muhammad semakin tumbuh seiring dengan meningkatnya usia. Saat Muhammad berusia 25 tahun, Abu Thalib melihat peluang usaha bagi keponakannya. Ia tahu pengusaha terkaya di Mekah saat itu, Khadijah, tengah mencari manajer bagi tim ekspedisi bisnisnya ke Syam. Khadijah menawarkan gaji berupa dua ekor unta muda bagi manajer itu. Atas sepersetujuan Muhammad, Abu Thalib menemui Khadijah meminta pekerjaan tersebut buat keponakannya itu serta minta gaji dinaikkan menjadi empat ekor unta. Khadijah setuju.

Untuk pertama kalinya Muhammad memimpin kafilah, atau misi dagang, menyusuri jalur perdagangan utama Yaman - Syam melalui Madyan, Wadil Qura dan banyak tempat lain yang pernah ditempuhnya saat kecil. Di kafilah itu Muhammad dibantu oleh perempuan budak Khadijah, Maisarah. Bisnis tersebut sukses besar. Dikabarkan tim dagang Muhammad meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi dagang sebelumnya. Dalam perjalanannya tersebut, ia juga banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Termasuk para pendeta Yahudi maupun Nasrani yang terus mengajarkan keesaan Allah. Muhammad juga semakin memahami konstalasi politik global, termasuk menyangkut dominasi Romawi serta perlawanan Persia.

Khadijah terkesan atas keberhasilan Muhammad. Laporan Maisarah memperkuat kesan tersebut. Maka, benih cinta pun perlahan bersemi di hati pengusaha terkaya di Mekah yang hidup menjanda itu.

Bersama Khadijah sunting

Muhammad digambarkan sebagai seorang berperawakan sedang. Tidak kecil dan tidak besar. Rambutnya hitam berombak dengan cambang lebar. Matanya hitam, roman mukanya seperti selalu merenung. Ia gemar pula berhumor, namun tak pernah sampai tertawa terbahak yang membuat gerahamnya tampak. Ia juga tak pernah meledak marah. Kemarahannya hanya terlihat pada raut muka yang serius serta keringat kecilnya di dahi. Muhammad inilah yang dipertimbangkan Khadijah sebagai suaminya. Khadijah lalu menyampaikan keinginan menikah tersebut pada Muhammad, melalui Nufaisa -sahabatnya. Muhammad sempat gamang. Ia tidak punya apa-apa untuk menikah. Namun kedua belah pihak keluarga mendukung mereka. Dengan mas kawin 20 unta, Muhammad menikahi Khadijah. Paman Khadijah, Umar bin Asad menjadi wali lantaran Khuwailid telah meninggal sebelum Perang Fijar. Muhammad kemudian tinggal di rumah Khadijah.

Keluarga mereka tenteram dan damai. Pada usianya yang terbilang tua, Khadijah masih melahirkan enam anak. Dua anak pertama, Qasim dan Abdullah meninggal selagi kecil. Empat putri mereka tumbuh hingga dewasa. Zainab yang sulung dinikahkan dengan keponakan Khadijah, Abul'Ash bin Rabi'. Ruqaya dan Ummi Khulthum dinikahkan dengan kakak-adik putra Abu Lahab, paman Muhammad, yakni Uthba' dan Uthaiba. Setelah ajaran Islam turun, Abu Lahab meminta anak-anaknya menceraikan anak-anak Muhammad. Kelak mereka menikah dengan Khalifah Usman bin Affan, mula-mula Ruqaya yang kemudian wafat, lalu Ummi Khulthum. Si bungsu Fatimah masih kecil. Setelah masa Islam, Fatimah dinikahkan dengan Ali.