Perjalanan di Kepulauan Hindia Timur/Bab 1

BAB I.

SELAT SUNDA DAN BATAVIA.

Pada 19 April 1865, aku berada di lima mil dari timur Pulau Natal, menumpangi kapal yang baik “Memnon” menuju Selat Sunda.

Aku datang ke Batavia, untuk kemudian berlayar ke Kepulauan Rempah-rempah, yang berada di timur Sulawesi, untuk keperluan mengumpulkan cangkang indah dari laut tersebut.

Aku memilihnya melebihi belahan dunia lainnya, karena pengumpulan cangkang pertama dari Timur dideskripsikan dan dihitung dengan akurasi layak untuk nilai ilmu pengetahuan manapun yang dibuat oleh Rumphius, seorang dokter yang menjalani beberapa tahun di Amboina, ibukota kepulauan tersebut. Karya besarnya, “Rariteit Kamer,” atau Ruang Penasaran, diterbitkan pada 1705, lebih dari enam puluh tahun sebelum edisi kedua belas dari “Systema Naturæ” dikeluarkan oleh Linnæus, “bapak Sejarah Alam,” yang menyebut jumlah dalam pengerjaan tersebut untuk menggambarkan bagian dari tulisannya sendiri. Kala Belanda menjadi wilayah kekuasaan Prancis, pada 1811, dan dirancang untuk membuat Paris menjadi pusat sains dan sastra di Eropa, koleksi tersebut dikatakan diambil dari Leyden ke kota tersebut, dan setelah kembali, dan pada dua pemindahan sebagian besar spesimen yang hilang; dan bahwa pada akhirnya, apa yang meninggalkan koleksi berharga tersebut ditempatkan pada museum besar di Leyden. Ini sebagian merestorasi spesimen Rumphius, dan sebagian dikirim ke wilayah mereka sendiri sebagai standar koleksi, kala aku datang untuk mencari karang-kerangnya sendiri tergambarkan pada “Rariteit Kamer,” pada penekanan dan penghimpunan, dan di berbagai teluk, tempat spesimen Rumphius ditemukan.

Kala kami mendekati pantai jawa, biji kokoa dan lembaran palem yang terbasuh laut, tergerak oleh, menandakan penyepakatan kami terhadap lahan yang sangat berbeda setidaknya dari pesisir rentan yang kami tinggalkan; dan kami dapat dalam beberapa tingkat mengalami kesenangan Columbus, kala ia mula-mula menyaksikan cabang baru dan beri tuaiannya. Sehingga, keanehan harus terjadi pada wilayah yang kami datangi, karena disini kami melihat ular-ular berenang di air, dan terkadang pecahan batu yang hanyut di laut. Unggas baru juga nampak, kini berlayar dengan merdu sepanjang langit, dan kini terkumpul dalam rombongan pada tempat tertentu, berharap untuk menuntaskan rasa lapar mereka terhadap ikan-ikan kecil yang mengikuti potongan kayu yang mengambang. Disini, harus dikatakan bahwa para pelaut Belanda tua dapat melihat pohon—yang kala itu tak diketahui—yang menghasilkan buah aneh, biji kokoa ganda. Mereka selalu mewakilinya kala meninggi dari kedalaman besar dan menggugurkan dedaunan paling atasnya pada permukaan laut. Ini dijaga oleh seekor unggas, yang bukan unggas namun separuh binatang; dan kala kapal datang mendekat, ia selalu tergambar menuju tempat tersebut, dan bukan seorang awak bernasib buruk yang pernah melarikan diri dari paruh dan cakar yang tak terpuaskan.

Namun, ketakjuban semacam itu malangnya hengkang sebelum sinar memajukan pengetahuan; dan pangeran Ceylon, yang dikatakan memberikan seluruh kapal dengan rempah-rempah untuk spesimen tunggal, dapat menyelaraskan keinginan terpenuhi dari hatinya jika ia hanya mengetahuinya tidaklah langkah di Seychelles, utara Mauritius.

Perdagangan kemudian tersorot dan mengagumkan. Hujan derah, disertai gemuruh dan petir; sering terjadi; dan tiga hari setelahnya, selaku salah satu orang yang menyadarinya, gunung tinggi di dekat Jawa nampak seperempat derajat di atas horizon, pundak hitamnya timbul dari mantel cantik berwarna putih, yakni awan yang disebut cumuli.

Walaupun kami berjarak tiga puluh lima mil dari pantai, sejumlah besar capung datang mengelilingi kapal, dan aku dengan cepat mengambil jaring dan menangkap sejumlah besar dari mereka.

Usai senja, terdapat udara ringan di lepas pantai, yang mengantarkan kami dalam beberapa mil dari daratan, dan pada tengah malam, kapten memanggilku di dek untuk menikmati “angin sejuk dari kepulauan Timur;” dan tentunya untuk diriku sendiri serta penumpang lain, anginnya nampak memiliki unsur yang kaya dari semanggi yang baru dituai, namun jauh lebih pedas. Pada waktu itu, sangat jelas, selain kala fajar, kabut tebal timbul dari samudra, dan fenomena tersebut berulang kali terjadi pada setiap pagi kala kami berniat untuk memasuki Selat Sunda. Kala kami datang pada perubahan muson, ketegangan terus berlanjut agar selama enam hari kami berupaya untuk bergerak lima puluh mil. Kala angin menghantarkan kami dekat mulut aliran, angin tersebut kemudian terhenti dan angin kencang menghantarkan kami ke timur, dan suatu waktu kami menjalani banyak ketidaksenangan dekat gelombang tinggi mengancam di Titik Palembang, dekat Pangkal Jawa. Orang-orang yang melintasi Sunda masa tahun tersebut, atau Selat Ombay pada permulaan muson yang berlawanan, akan siap menghantarkan banyak waktu yang dilalui oleh kami untuk menunggu angin yang memungkinkan untuk menghantarkan hanya beberapa mil jauhnya pada perjalanan panjang kami.

Pada enam hari tersebut, pada siang hari matahari menyorotkan sinar terpanasnya, termometer mencapai dari 88° sampai 90° Fahr. pada penunjuknya, dan bukan udara terringan yang bergerak untuk menghantarkan pemulihan mengenang. Walaupun secara tetap pada suatu waktu aku nyaris di bawah khatulistiwa, enam hari tersebut adalah waktu paling menjemukan dan menekan yang pernah aku alami.

Belakang gunung Pangkal Jawa nampak pada kursi kesukaan Raja Eolus. Awan-awan akan datang dari setiap pancaran surga dan terkumpul di sekitaran puncaknya, sementara matahari mencapai puncaknya; namun tak lama usai ia mulai melewati langit barat, halilintar akan nampak menggetarkan lidah kami di sektaran wilayah gunung: dan kemudian, kala jika angin timbul dari raja mereka, massa awan tebal akan mendadak menggulung sisi gunung, petir-petir makin bergemuruh, dan lagi-lagi petir akan menggetarkan dan menghentakkan guncangan yang paling kuat.

Kami tak sendiri. Enam atau delapan kapal juga tertahan disana—karena Selat Sunda adalah gerbang besar yang menghantarkan sebagian besar teh berharga dan sutra mahal dari Tiongkok dan Jepang, dan kapal-kapal tersebut mengangkut bahan-bahan kapas ke wilayah tersebut untuk ditukar sebagian dengan barang-barang mewah semacam itu. Pada sore hari keenam, angin yang lebih mendukung menghantarkan kami secara perlahan ke sekumpulan batu besar, tempat gelombang samudra tanpa henti terpecah, dan membuat suara mereka pada laurt malam bak dentuman dan petikan dari beberapa monster besar yang bersiap untuk menjaga jalan dan tak dapat membiarkan mangsanya yang diinginkan untuk melarikan diri.

Kala pagi mendatangkan angin baik, dan, kala kami berlayar ke selat, beberapa derasan kecil melewati sepanjang gunung, selaras dengan pantai, di sisi Jawa; dan kala awan panjang menempatkan ujungnya di dua gunung, dan tak terangkat dari bagian felapnya, tudung tipis menurunkan hujan, sehingga kami dapat melihat perbedaan seluruh garis dan lapisan hijau muda dari lembah di belakangnya. Wilayah yang kaya akan tanaman di dekat air, dan pada bagian hilir pehunungan, yang puncaknya menjadi suatu wilayah dalam dari kehijauan, membuat seluruh pemandangan sangat tersaji padaku; namun kapten kami (yang merupakan orang Tanjung Cod) menyatakan bahwa perbukitan pasir di sisi luar Tanjung Cod lebih menghiburnya. Di perairan dangkal, dekat pesisir, air laut jernih menghimpun tinta hijau zamrud pada sinar matahari terang, dan disana kami melewati garis panjang tulang ikan potong dan sebagian buah misterius tempat arus pasang datang, agar terhimpun pada arah berbeda.

Seluruh pulau di dekat selat berupa kerucut vulkanik, dengan pangkalan mereka berada di laut; lapisan hijau muda pada sisi mereka membentukpenunjangan yang selaras dengan samudra biru di kaki mereka kala ombak bergulung searah angin kuat; namun klala tenang, dan airnya merefleksikan cahaya, sebagaimana dari cermin terpoles, mereka nampak bak zamrud besar yang terhimpun di laut perak.

Kala kami mencapai Angir, tempat kapal-kapal yang bergerak ke dan dari Tiongkok giat berhenti untuk penyegaran, kami menyaksikan, pada peringatan besar kami, sebuah kapal uap! Itu adalah pembajak Shenandoah, dan kapal kami diambil dan dibakar disana, nyaris pada penghujung perjalanan panjang kami? Aku harus mengakui bahwa apa yang kami semua khawatirkan masih nampak dekat untuk melihat “Bintang dan Strip” bendera loyal dari wilayah asal kami.

Disini, banyak orang Melayu mengayuh kano-kano mereka untuk menjual buah kepada kami. Kami menyaksikan kapal pertama dengan kepentingan tak tersebutkan. Perahu tersebut ditumpangi dua pemuda, yang berbaris. Mereka berbusana celana panjang dan jaket calico, dengan kerajinan tangan kapas yang diikat di sekitaran kepala mereka. Ini adalah busana lazim di seluruh kepulauan, selain, alih-alih celana panjang atau lainnya, mengenakan sarung, yang merupakan potongan kain kapas, memiliki panjang dua yard banding satu yard, denagn dua sisi yang lebih pendek yang dikenakan bersamaan, sehingga membuat tas terbuka di bagian atas dan bawah. Pria tersebut menggambarkannya pada sekujur tubuh, dan mengumpulkannya di bagian kanan; bagian tersebut kemudian dipelintir, dan ditempatkan di bawah bagian yang ditempatkan di sekitaran badan, sehingga membentuk kancing. Terdapat pria di buritan, duduk dengan kakinya di bawahnya, mengayuh kano, dan pada saat bersamaan membantunya dengan kayuhnya. Ia berbusana baju merah yang sangat cocok! Tidak! Ia tidaklah selaras dengan busana apapun selain alam yang tersedia untuknya, memakai busana sempit di sekitaran pinggang, busana kerja lazim dari para kuil, atau kelas bawah. Ia mengirim beberapa jenis pisang, biji kokoa hijau, dan “pompelmus,” yang merupakan jeruk besar, berdiameter dari enam sampai delapan inchi. Ia nampak sangat bahagia, dan bertutur dengan sangat cepat. Dari sebuah kata jarang yang mungkin separuh Inggris, kami terkejut, seperti para pedagang di dunia Barat, ia berbicara dengan tanpa perantara dari nilai apa yang ia jual.

Gunung Karang, belakang Angir, kini nampak, memancarkan rangkaian lapisan hijaunya pada ketinggian lima ribu kaki; pancaran sinar menyorot Tanjung St. Nicholas, ujung barat laut Jawa. Ini adalah dataran tinggi, dengan rintangan tajam datang pada air, sehingga membentuk serangkaian wilayah bebatuan menonjol kecil, dipisahkan oleh teluk-teluk kecil berpasir. Kala kami berlayar, hal itu datang dan membuka pemandangan kami dengan pemandangan panorama paling mencolok. Di dekat pesisir, beberapa orang Melayu nampak berada pada perahu mereka, atau kapal besar, sementara lainnya nampak berkerumun di pantai, di sekitaran kano mereka, dan saat ini dan kemudian mereka membangun rumah mereka dengan dedaunan dari pohon biji kokoa.

Kami berada di Laut Jawa. Ini nampak sangat aneh setelah berlalu dan bertandang selama nyaris lebih dari seratus tahun, kemudian merasa kapal kami bergerak sangat cepat; dan setelah terpancar cakrawala lewat waktu, dari hari ke hari, berharap dapat menumpangi sebuah kapal, dan sehingga kami memiliki setidaknya satu pengikut pada “deburan besar perairan,” kini nampak mendarat pada setiap sisi, dan perahu-perahu kecil bertebaran ke segala arah di laut hening. Pada malam itu, kami berlabuh di dekat Pulau Babi, di bawah dataran tajam yang sangat halus, yang kebanyakan terdiri dari fragmen kerang dan karang. Perahu datang dari lepas pantai, dan, karena awaknya dapat sedikit berbicara bahasa Inggris, aku mengambil pelajaran pertamaku dalam bahasa Melayu, bahasa umum, atau lingua franca, dari seluruh kepulauan tersebut. Karena saat dibutuhkan, setidaknya akan harus dapat berbincang dengan penduduk asli jik aku tinggal bersama mereka, dan menjual cangkang dari mereka, ini adalah tugasku yang pertama dan paling menonjol, saat mencapai Timur, untuk menguasai bahasa tersebut. Melayu dituturkan di Batavia, dan di seluruh pelabuhan dan pos Belanda di kepulauan timur, sangat berbedas dari Melayu murni atau tingkat tinggi di daerah Minangkabau, di pelosok Sumatra, utara Padang, tempat warga Melayu aslinya datang: usai melintas dari pulau ke pulau, kami mencapai seluruh belahan Malaysia, yang merupakan, kepulauan besar antara Asia, Australia, dan New Guinea. Mungkin dari seluruh bahasa di dunia, Melayu umum atau tingkat rendah adalah salah satu bahasa yang dianggap paling siap. Bahasa tersebut tak berisi perkataan keras atau penuturan lain yang sulit untuk dibaca. Bahasa tersebut bersifat lembut dan musikal, dan beberapa kata mengingatkan pada bahasa Italia dalam suara cairnya; dan orang yang mempelajarinya takkan pernah gagal untuk menyelaraskan lewat perpaduan penuturan dan pengucapan kala sebuah kata diucapkan dalam pernyataannya. Satu-satunya hal yang sulit dalam bahasa ini adalah, kata-kata yang banyak pengartian berbeda yang terkadang sangat serupa sehingga, mula-mula, orang dapat keliru dengan yang lainnya. Setiap warga Eropa di seluruh Hindia Belanda bertutur bahasa Melayu. Bahasa tersebut adalah satu-satunya bahasa yang dipakai dalam bertutur kepada para pelayan; dan seluruh anak Eropa kelahiran kepulauan tersebut memahaminya dari perawat Melayu mereka lama sebelum mereka dapat bertutur bahasa orangtua mereka. Anak-anak semacam itu umumnya mendapati kesulitan untuk membuat suara keras dari bahasa Belanda, dan orang Melayu sendiri juga tak pernah dapat menuturkannya; dan, karena alasan yang sama, warga Belanda sendiri bertutur bahasa Melayu secara benar sebagaimana warga Inggris dan warga Prancis.

Kami kini datang ke kota kuno Bantam, dan kami meninjau perjalanan navigator Eropa terawal di laut, dan peristiwa utama dalam sejarah kuno pulau Jawa yang kaya.

Kata Jawa adalah nama suku bangsa yang awalnya hanya tinggal di bagian timur pulau, namun, pada masa paling modern, mereka menyebar ke sepanjang seluruh pulau, dan memberikannya nama mereka. Tiongkok mengklaim telah mengetahuinya pada zaman kuno, dan menyebutnya Chi-po atau Cha-po, yang dekat dengan pengucapan Jawa dari sebagian besar nama asing pada saat ini.

Perjalanan pertama yang diketahui dilakukan pada dunia Barat oleh penjelajah besar, Marco Polo, dalam deskripsinya tentang wilayah yang disaksikan atau dilalui olehnya kala perjalanannya dari Tiongkok ke Teluk Persia, pada paruh akhir abad ketiga belas. Ia tak menyaksikannya sendiri, namun hanya mengumpulkan catatan terkait wilayah tersebut dari pihak lain. Ia menyebutnya Giaua, dan berkata bahwa wilayah tersebut menghasilkan cengkih dan pala, walau kami kini mengetahui bahwa bahan tersebut semuanya dibawa ke Jawa dari Kepulauan Rempah-rempah, lebih jauh ke timur. Terkait emas, ia berujar bahwa wilayah tersebut menghimpun jumlah yang “melampaui seluruh perhitungan dan kepercayaan.” Ini juga mungkin dibawa dari pulau lain, utamanya dari Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pada 1493, setahun usai penemuan Amerika oleh Columbus, Bartholomew Dias, seorang Portugis, menemukan ujung selatan Afrika, yang yang ia sebut Tanjung Badai, namun yang rajanya katakan harus dinamai Tanjung Harapan, karena wilayah tersebut memberikan harapan agar, pada akhirnya, mereka menemukan jalan menuju India lewat laut. Sehingga, pada tahun berikutnya, raja mengirim Pedro da Covilham dan Alfonso de Payva langsung ke timur untuk menjalankan tugas penting tersebut. Dari Genoa, mereka datang ke Aleksandria dalam panduan para pedagang yang berjelajah, hingga ke Kairo, dan bergerak ke Laut Merah menuju Aden. Disana, mereka terpencar—Payva bergerak mencari “Prester Yohanes,” seorang pangeran Kristen, yang dikatakan berkuasa di Abyssinia atas masyarakat berpenanaman tinggi; dan Covilham mengunjungi Hindia, wilayah yang dilewati agar mereka harus temukan lagi di Kairo atau Memphis. Payva meninggal sebelum mencapai kota utama Abyssinia, namun Covilham menjalani perjalanan sukses ke India, tempat ia membuat gambar-gambar kota dan pelabuhan, khususnya Goa dan Kalikut (Kalkuta), dan menandai posisi-posisi mereka di sebuah peta yang diberikan kepadanya oleh Raja Yohanes dari Portugal. Sehingga, ia kembali ke sepanjang pantai Persia ke Tanjung Guardafui, dan bergerak ke selatan menuju Mozambik dan “Zofala,” tempat ia memutuskan agar wilayah tersebut digabung dengan Tanjung Harapan, dan sehingga menjadi orang pertama yang mengetahui bahwa memungkinkan untuk berlayar dari Eropa ke India. Dari Zofala, ia kembali ke Abyssinia, dan mengirim buku harian, catatan dan gambar buatannya ke Genoa oleh beberapa pedagang portugis yang berdagang di Memphis.

Kala menerima kabar tersebut, Raja Emanuel, yang menggantikan Raja Yohanes, mengirim empat kapal pada tahun berikutnya, 1495, di bawah arahan Vasco di Gama, yang mengunjungi Natal dan Mozambik. Pada 1498, ia berada di Kalkuta. Pada 1499, ia kembali ke Lisbon.

Pada 1509, Portugis, di bawah naungan Sequiera, mula-mula datang ke kepulauan tersebut. Pada tahun berikutnya, Alfonso Albuquerque mengunjungi Sumatra, dan pada 1511 merebut kota Melayu, Malaka, dan mendirikan pos militer tempat ia mengirim Antonio d’Abreu untuk mencari Kepulauan Rempah-rempah. Pada perjalanannya ke timur, D’Abreu mencapai Agasai (Gresik) di Jawa.

Pada 1511, Portugis mengunjungi Bantam, dan dua tahun kemudian Alvrin dikirim dari Malaka dengan empat kapal untuk mengirim kargo rempah-rempah dari kapal yang karam di pantai Jawa kala perjalanannya kembali dari Kepulauan Rempah-rempah.

Ludovico Barthema menjadi orang Eropa pertama yang mendeskripsikan Jawa dari pengamatan pribadi. Ia singgah disana selama empat belas hari, namun deskripsinya sebagian dipertanyakan, terutama kala ia menyebut soal orang tua yang menjual anak-anak mereka, untuk disantap oleh pembeli mereka, dan ia sendiri keluar dari pulau tersebut karena takut dijadikan santapan.

Pada 1596, Belanda, di bawah arahan Houtman, mula-mula datang ke lepas pantai Bantam, dan, mendapati raja penduduk asli berperang dengan Portugis, siap menyokongnya dengan bantuan melawan pesaing mereka, dengan tawaran memberikan mereka tempat yang dapat mendirikan diri mereka sendiri dan perdagangan yang menjual lada, yang pada masa itu nyaris menjadi satu-satunya barang ekspor.

Inggris, mengikuti contoh Portugis dan Belanda, mengirim armada pada 1602, kala masa kekuasaan Ratu Elizabeth. Kapal-kapal tersebut mencapai Achin, di ujung barat Sumatra, dan kemudian berlayar ke Bantam.

Pada 1610, Belanda membangun benteng di desa pribumi yang disebut Jacatra, “pengerjaan kemenangan,” namun kemudian mereka sebut Batavia. Benteng tersebut dihancurkan pada 1619, dan gubernur-jenderal Belanda pertama, Bolt, memutuskan untuk membangun ulang benteng tersebut dan memindahkan pemukimannya dari Bantam ke tempat tersebut, yang dilakukan pada 4 Maret tahun tersebut. Bangunan tersebut menjadi fondasi kota Batavia saat ini. Inggris, yang waktu itu menghimpun pembangunan di Bantam, menarik diri pada 1683.

Pada 1811, kala Belanda dikuasai Prancis, bendera Prancis dikibarkan di Batavia, namun pada tahun yang sama, wilayah tersebut direbut oleh Inggris. Pada 19 Agustus 1816, wilayah tersebut dikembalikan ke Belanda, yang menguasainya tanpa gangguan sampai saat ini.

Terkait sejarah internal Jawa, kami mendapati bahwa, sepanjang berabad-abad sebelum tahun 1250, Hindu, yang merupakan perpaduan Buddha dan Brahminisme, telah menjadi agama yang banyak dianut. Pada waktu itu, sebuah upaya dibuat untuk memasukan pangeran yang berkuasa ke Islam. Ini tidaklah sukses; namun kemudian setelah itu agama baru tersebut meraih penjejakan, dan sehingga menyebar dengan sangat cepat, pada 1475, pada keruntuhan kekaisaran besar Majapahit, yang berkuasa atas seluruh Jawa dan belahan timur Sumatra, seorang pangeran Muslim mengambil takhta. Sampai saat itu, masyarakat di belahan barat dari Jawa, sampai timur Cheribon (sekitar Long. 109°), menuturkan sebuah bahasa yang disebut Sunda, dan hanya orang-orang di bagian timur sisanya dari pulau tersebut yang bertutur dalam bahasa Jawa. Namun, pada 1811, sembilan per sepuluh seluruh penduduk Jawa bertutur bahasa Jawa, dan orang-orang Sunda tertahan di bagian pegunungan selatan dan barat, dan koloni kecil dekat Bantam.

Tak lama usai mendirikan Batavia, Belanda membuat serangan dan pertahanan aliansi dengan pangeran utama, yang berkedudukan di dekat Surakarta. Berbagai pemimpin memberontak dari waktu ke waktu melawan otoritasnya, dan Belanda, dalam membalas bantuan yang mereka berikan kepadanya, menghimpun tempat dari kota saat ini Samarang; dan dengan cara ini, mereka terus meningkatkan wilayah mereka sampai 1749, kala pangeran yang kala iotu memerintah menandatangani pernyataan resmi “untuk mengundurkan dirinya sendiri dan pewaris kedaulatan atas wilayah tersebut, menghimpun kesamaan pada Perusahaan Hindia Timur Belanda, dan membiarkan mereka melengserkan, pada masa mendatang, orang manapun yang mereka anggapn berpikir kompeten untuk memerintah mereka untuk manfaat perusahaan dan Jawa.” Tujuh tahun sebelumnya, masa kekaisaran telah secara nominal terbagi, pangeran pewaris digelari Susunan, atau “obyek penahbisan,” yang keturunannya kini bermukim di Surakarta, dekat Solo; dan pangeran kedua, yang bergelar Sultan, dan yang keturunannya bermukim di Jokyokarta. Setiap orang menerima pemberian besar dari Pemerintah Belanda, dan menghimpun sejumlah besar pelayan. Para istri mereka dipilih dari seluruh warga penduduk asli yang cantik di wilayah tersebut, dan engravir yang diberikan oleh mereka dari sebuah foto mewakili orang-orang dari salah satu perwakilan tertinggi dengan busana lengkap, namun kaki telanjang, kala mereka mengenakannya sendiri pada acara perayaan untuk menari di hadapan penguasa mereka dan para tetamunya yang hadir.

Pada keesokan harinya, kala angin laut datang, pada sekitar satu jam, kami berlayar melewati banyak pulau dari bagian pantai Jawa. Pulau-pulau tersebut semuanya sangat rendah dan datar, ditutupi dengan semak pendek, yang menumbuhkan pohon kacang kokoa tinggi dan waringin atau ara India. Lapisan hijau tersebut hanya dipisahkan dari laut lewat pantai sempit berpasir karang putih gading, yang merefleksikan sinar terang dari matahari siang sampai menjadi berkilau secara positif. Di tepiannya terdapat hutan bakau berlumpur yang nampak berada di bawah permukaan air yang tinggi, terhimpun pada tanah yang lembut dengan ratusan akar bercabang, sebagaimana jika berniat untuk mengklaim tanah yang sebenarnya merupakan bagian laut.

Vegetasi dalamnya adalah saalh satu sifat besar dari kepulauan tropis tersebut; dan menghimpun beragam kelompok palem, bakau, dan pohon lainnya, dan kontur tak biasa dan relief pesisir, menghimpun serangkaian pemandangan menonjol tiada akhir. Kala kami melewati salah satu pulau tersebut, pepohonannya sangat diselimuti dengan burung layang, camar dan burung laut lainnya.

Pada sore berikutnya, kami datang ke jalan raya Batavia. Sebuah teluk dangkal tempat kapal-kapal berlabuh di pelabuhan sebagian singgah dari laut oleh banyak pulau yang terhampar di sekitaran wilayah tersebut. Pesisir teluk tersebut membentuk rawa berlumpur rendah, selain pegunungan tinggi nampak di kejauhan. Melalui rawa tersebut, sebuah bendungan terpotong. Pinggirannya juga diberi tembok, dan meluaskan beberapa kejauhan pada perkapalan, pada keadaan perairan dangkal di sepanjang pesisir. Pada ujung salah satu tanggul tersebut, atau tembok, berdiri mercusuar putih kecil, menandakan jalan menuju kota, yang tak dapat sepenuhnya nampak dari pelabuhan.

Kala kapal datang dari pelabuhan asing, tak ada orang yang dapat meninggalkannya sebelum kapal tersebut dilabuhkan oleh seorang awak dari penjagaan, daftar penumpang dan awaknya dicantumkan, dan memastikan bahwa tak ada orang sakit yang menumpang. Melirik aturan tersebut, mereka berbaris di bendungan sampai “boom” atau pohon, dimana seorang pegawai pabean melirik setiap kapal yang melintas. Kata “boom” dipakai, sebagaimana yang seorang pegawai beritahukan padaku, kala ini menjadi kebiasaan untuk membiarkan pohon jatuh di bendungan pada malam hari, dalam rangka mencegah kapal manapun mendarat atau keluar untuk pengangkutan.

Kerumunan awak kapal Melayu melakukan perjudian dengan memakai koin. Nampak juga markas besar gerai unggas, yang menyimpan unggas, bebek dan angsa hidup, yang kakinya diikat bersama dan ditempatkan pada sebuah batangan, sehingga mereka mereka tergantung dengan bagian kepala di bawah—sebuah gagasan yang sangat kejam.

Sebelum kami dapat mendarat, kami bertanya beberapa kali dalam bahasa Belanda, Prancis dan Inggris, untuk meminta angkutan, karena kendaraan-kendaraan nampak memiliki perilaku yang sama di setiap penghujung bumi. Kala pengemudi Melayu berteriak, “Crétur tuan! crétur tuan!”, kami mengambil sebuah “crétur,” yang merupakan angkutan beroda empat yang ditutupi lapisan tipis, yang digerakkan oleh dua kuda poni kecil. Pengemudi duduk di kursi depan, mengenakan neat baju atau jaket merah atau scarlet calico, dan topi, yang menyilaukan atau berkilat kala menyorot matamu saat matahari bersinar.

Walau kuda-kuda poni tersebut berukuran kecil, mereka bergerak dengan cepat, dan kami dengan cepat bergerak di sepanjang antara barisan pepohonan teduh sampai gerbang kota, nyaris satu-satunya bagian tembok kota lama yang kini berdiri. Bagian lain diruntuhkan oleh Marsekal Daendals, untuk memperkenankan pengedaran udara yang lebih bebas. Kala kami melintasi barisan pohon teduh lainnya, dan di sepanjang jembatan, sampai kantor konsul Amerika, seorang lulusan Harvard; dan, karena Cambridge telah menjadi rumahku selama empat tahun, kami sempat menganggap diri kami sendiri sebagai teman lama.

Sebelum aku meninggalkan Amerika, Senator Sumner, selaku ketua Komite Hubungan Laur Negeri kami, dengan murah hati memberikanku catatan hangat kepada para perwakilan kekuatan asing; dan Mr. J. G. S. van Breda, jurutulis Perhimpunan Sains di Belanda, yang berbincang denganku kala di Museum Zoologi Dasar di Cambridge, memberikanku catatan kepada Baron Sloet van de Beele, gubjen Hindia Belanda. Aku langsung menyerahkan catatan kepada Yang Mulia, menutup pernyataannya, dan menjelaskan rencanaku untuk mengunjungi Kepulauan Rempah-rempah untuk keperluan mengumpulkan kerang yang disebutkan dalam “Rariteit Kamer” karya Rumphius, dan mencurahakn harapan agar aku akan melakukan apa yang ia dapat untuk membantuku untuk upaya murah hatiku untuk mengembangkan sejarah alam secara lebih penuh terhadap wilayah yang berkepentingan tersebut. Surat dari konsul kami dimajukan, menambahkan catatan yang dimajukan mereka kepada diriku.

Karena gubjen mengurusi departemen sipil dan militer dari seluruh wilayah Belanda di Timur, aku tak dapat menerima jawaban langsung. Sehingga, aku mendapati tempattenang dalam sebuah keluarga Belanda, dengan dua penumpang lainnya yang bertutur bahasa Inggris dan dapat membantuku dalam memahami bahasa yang sulit, dan, dengan ajuan Kapten Freeman dan pegawai baik lain dari perpisahan Memnon, menempatkanku di pesisir.

Batavia kini lebih dikenal dengan nama daerah atau “karesidenan,” ketimbang kota. Dulunya, tempat tersebut padat dan tertutup tembok, namun tembok tersebut dihancurkan oleh Marsekal Daendals, pada 1811. Warga asing kemudian bergerak keluar dan membangun kediaman mereka di berbagai tempat di sekitarnya, dan wilayah tersebut masih mempertahankan nama Melayu lama mereka. Di bagian kota tersebut, terdapat beberapa hotel mewah, gedung opera besar dan rtempat berkumpul. Terdapat dua perhimpunan saintifik, yang menerbitkan banyak catatan berharga tentang sejarah alam, antikuitas, geografi, dan geologi, dari seluruh belahan Hindia Belanda. Perhimpunan tersebut memiliki koleksi berbargai di Batavia. Di Buitenzorg, terdapat koleksi besar spesimen mineral dan geologi. “Lapangan Raja” merupakan lapangan terbuka yang sangat besar, dikelilingi oleh barisan pohon teduk dan kediaman pedagang yang lebih kaya. Di dekatnya, terdapat “Lapangan Waterloo.” Di salah satu sisinya adalah bangunan terbesar di Batavia, yang berisi kantor-kantor dari berbagai biru pemerintahan, dan “ruang takhta,” tempat gubjen menerima, atas nama raja, sambutan dari para perwira tingkat tinggi di sekitaran wilayah tersebut.

Gubjen memiliki istana di dekatnya, namun ia menjalani sebagian besar waktunya di Buitenzorg, empat puluh mil di pelosok, tempat lahan berada pada sekitar seribu kaki diatas permukaan laut, dan iklimnya lebih sejuk.

Sungai, yang bermata air di pegunungan ke selatan, mengalir melewati kota dan bendungan, dan bermuara di teluk. Banyak jembatan melintasi sungai tersebut beserta cabangnya, dan pepohonan teduh indah tumbuh di sepanjang tepinya.

Seluruh rumah di wilayah timur tersebut pendek, jarang yang melebihi satu lantai, karena khawatir gempa, yang, namun, terjadi di belaahn pulau tersebut selama jangka panjang. Temboknya terbuat dari bata, atau potongan batu barang yang dilapisi dengan lapisan plaster. Bagian atasnya terbuat dari genting, atau atap, sebuah jenis dedaunan palem. Bagian umumnya adalah, sebuah bagian rumah yang paralel dengan jalan, dan di belakangnya dan sudut kanannya berbentuk L atau melengkung, seluruh bangunan nyaris berbentuk palang.

Di bagian atasnya terdapat veranda, tempat orang-orang duduk pada sore yang sejuk dan berbincang dengan para teman-teman mereka. Tempat tersebut dibuka padaparlor depan, yang, dengan beberapa kamar tidur, menduduki seluruh bagian rumah. Bentuk L, kala terdapat satu, baisanya hanya memiliki tembok rendah di sekitarnya, dan atap ditempatkan pada tiang-tiang. Sehingga, tempat tersebut terbuka pada tiga sisi dengan udara, alih-alih alat pengatur cahaya yang ditempatkan di antara tiang-tiang. Ini baisanya merupakan ruang makan. Belakang rumahnya berbentuk persegi, ruang terbuka, tertutup pada tiga sisi pada deretan rendah rumah beratap teduh. Terdapat kamar tidur tambahan, ruang pegawai, ruang masak, lamar mandi dan kandang. Di dalam tempat tersebut biasanya terdapat sumur, yang dikelilingi dengan pepohonan teduh. Air daru sumur dituangkan ke wadah berbentuk guci tebal yang terbuat dari batu karang, dan perlahan disaring melalui pot tanah. Air tersebut kemudian didinginkan dengan es dari kolam Inggris Baru milik kami sendiri. Kemudian, rasa sejuk dari tempat sejuk kami dibuat untuk menghalau hawa panas tropis. Beberapa wadah es didatangkan dari Boston ke pelabuhan pada setiap tahun. Di Surabaya dan Singapura, sejumlah besar barang tersebut dibuat, namun lembut bagai es pada es krim. Kala barang tersebut ditujukan untuk meminum air es, tak ada bagaya dari dampak penyakit apapun; namun, kala kembali dari bagian timur kepulauan di tempat mereka tak memiliki es, ke Surabaya, aku terserang penyakit pada suatu waktu, dan, sebagaimana yang aku yakini, tak berasal dari sebab lainnya. Pada kasus demam yang terjadi di Timur, ini adalah kemewahan, dan sehingga pengobatan hanya dapat dilakukan oleh orang yang terdorong untuk menahan rasa terbakar yang tak tergambarkan tersebut.

Ruang masak, yang telah disebutkan, berdekatan dengan ruang makan, namun keberadaannya sedikit berpengaruh pada wilayah panas. Orang-orang Melayu hanya memasak, dan aku tak berpikir bahwa masak adalah seni yang ditujukan pada kesempurnaan tertinggi di belahan dunia ini, meskipun aku harus menambahkan, bahwa aku kemudian menjadi sangat mengenal banyak hidangan mereka, khususnya yang diadaptasi untuk iklim tersebut. Dapur tak menyediakan kompor atau alat masak, seperti di dunia barat, namun pada satu sisi ruangan terdapat tempat pengangkatan, dan di atasnya terdapat sejumlah batang kecil, yang menjawab keperluan yang sama. Api dibuat dari batang tersebut dengan potongan kayu kecil, dan sehingg amakanan seringkali digoreng atau direbus, alih-alih dipanggang. Tak ada cerobong asap, dan asap, setelah memenuhi ruangan, akhirnya menyelimuti tempat di atap yang sangat meningkat di atas bagian di sekitarnya.

Kala aku sering menanyai soal cara hidup di Timur, aku menambahkan bahwa seringkali pada suatu hari, dan utamanya untuk makan malam, nasi dan kari disajikan, dan bahan tersebut ditambahkan, untuk makan malam, dengan kentang, yang digoreng dan direbus; bistik, yang digoreng dan direbus; pisang goreng (paling terpilih dari seluruh hidangan), berbagai jenis hijau-hijauan, dan banyak jenis acar dan sambal, atau sayuran yang dicampur dengan paprika merah. Hidangan berikutnya adalah salad, dan seringkali dibawakan dengan pisang dari tiga atau empat jenis, di setiap musim; dan, pada waktu tertentu, jeruk, pompelmus, mangga, manggis, dan rambutan; dan karena ini selain berharga terjangkau pada setiap orang berpenghasilkan menengah yang menyediakannya, orang-orang barat dapat melihat bahwa teman-teman mereka di Timur, serta mereka sendiri, meyakini motto, “Carpe diem.” Sebatang rokok, atau pipa, dan segelas kecil gin, umumnya dianggap sebagai hal tak biasa yang untuk menyempurnakan kebahagiaan oleh para teman Belandaku yang baik, dan mereka semua nampak terkejut bahwa aku dapat menjadi penjelajah dan tak pernah tersentuh. Ini umum dianggap, di Eropa dan Amerika, bahwa penjaga rumah disini, di Timur, memiliki sedikit kepedulian atau kekesalan, dimana setiap keluarga mengkaryakan banyak pegawai; namun, sebaliknya, ketegangan mereka nampak berganda dalam ratio langsung pada jumlah karyawan yang dikaryakan. Tak ada pegawai disini yang akan melakukan lebih dari satu hal. Jika dipekerjakan sebagai perawat, ia hanya merawat satu anak; jika sebagai peternak, ia hanya merawat satu kuda, atau, secara garis besar, satu kawanan kuda; dan karena seluruh orang Melayu terikat pada segala hal dalam cara termudah, mereka selalu banyak ketegangan untuk menyaksikan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka.

Total populasi Keresidenan Batavia berjumlah 517.762. Dari angka tersebut, 5.576 adalah Eropa; 47.570 Tionghoa; 463.591 pribumi; 684 Arab; dan 341 bangsa Timur lainnya.

Seluruh penduduk asli memiliki ketonholan, laki-laki rata-rata memiliki tinggi tak lebih dari lima kaki tiga inchi, atau empat ichi lebih pendek ketimbang warga Eropa. Wajahnya berbentuk belah ketupat, tulang pipinya tinggi dan menonjol, mulutnya lebar, dan hidungnya pendek—tak datar seperti orang Negro, atau menonjol seperti orang Eropa. Mereka umumnya berperawakan ringan, kecuali suku-suku liar di wilayah pegunungan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Timor, Seram, dan beberapa pulau besar lainnya. Orang pantai berperawakan santun dan terpercaya. Mereka biasanya pendiam, dan sangat malas. Mereka semua memiliki kegemaran berjudi, karena tak ada hukum pembatasan atau pelarangan yang dapat dihapuskan.

Mereka umumnya menganut Islam, namun tak memiliki fanatisisme seperti halnya di Arabia. Mereka masih mempertahankan sejumlah besar kebiasaan Hindi mereka pada masa sebelumnya, dan keyakinan mereka sebenarnya dikatakan sebagai perpaduan Hindu dan Islam. Beberapa orang menganut “Kristen,” yang menghadiri pelayanan Gereja belanda, dan tak mencukur kepala mereka atau menata gigi mereka. Mereka memiliki kebiasaan bersih, dan sekelompok orang dari segala umum nampak di sungai dan bendungan setiap kota dan desa, khususnya pada pagi dan sore. Sarong, busana universal mereka, diselaraskan untuk kebiasaan tersebut. Kala mereka selesai mandi, pengeringan dilakukan pada kepala, dan yang basah diselipkan tanpa diperlihatkan pada orang tersebut. Perempuan mengenakan sarong panjang, dan umumnya memelintirkan di sekitaran tubuh, tepat di bawah tangan. Terkadang, bahan tersebut dibuat dengan lengan baju, seperti gaun. Jaket berukuran pas atau baju dikenakan bersamaan.

Laki-laki memiliki sedikit rambut pada jenggotnya, dan mereka umumnya mencabutnya dengan sepasang batang besi. Rambut kepala pada kedua jenis kelamin tersebut bersifat tipis, kasar dan lurus. Sehingga, setiap orang mengingatkan orang lain yang dekat agar nyaris setiap warga asing mula-mula akan mendapati dirinya sendiri dibingungkan dengan beberapa kasus untuk mengetahui kala mereka melihat seorang pria atau wanita. Keinginan pembedaan pada jenis kelamin memungkinkan penandaan peringkat rendah mereka pada keluarga manusia, jika hukum diterapkan disini agar menerima sebagian besar hewan lainnya.

Setiap hari, aku mengumpulkan unggas dan kupu-kupu cantik di wilayah tersebut. Tempat kesukaanku untuk kesenangan tersebut adalah di kuburan Tionghoa tua yang tepat di luar kota tersebut, tempat, kala tanah meninggi, tanah digali untuk mencegah tulang-tulang kerabat mereka dari “tempat basah tak menguntungkan,” seperti halnay di Tiongkok, kala jauh dari gunung atau bukit. Pegawai Melayu menyusul, membawa amunisiku dan mengumpulkan kotak-kotak. Mula-mula, aku menganggap bahwa ia akan memiliki banyak tujuan menonjol untuk bergerak dan memajukanku relik-relik bumi, namun, yang mengejutkan, aku mendapati orang-orangnya memasangnya di antara nisan-nisan, sebagaimana jika mereka, setidaknya, tak menganggapnya tanahnya suci; sehingga, beberapa kali, kala mereka datang ke penguburan leluhurnya sendiri, ia berhati-hati untuk menyempatkan setiap perwujudan kekaguman dan penghormatan.

Sejumlah kecil lahan, gubuk bambu, dan kerbau, berada di setiap wilayah tanah dari banyak kuli, dan sehingga dengan itu, mereka selalu nampak paling menonjol.

Mereka umumnya memakai kerbau tunggal pada alat bajak dan kendaraan mereka. Tali ikat diikatkan pada tanduknya, dan gal ini dilakukan agar menghimpun pergerakan, yang dipandu olehnya atau mendorongnya pada gerakan lambat. Hewan berguna tersebut disebarkan di sepanjang seluruh pulau besar kepulauan tersebut, termasuk Filipina, india dan Ceylon. Pada abad pertengahan, ini diperkenalkan ke Mesir, Yunani dan Italia. Ini hanya akan berguna pada iklim hangat. Dari perilaku menerjang kolam dan lumpur, dan mengubur dirinya sampai hanya hidung dan matanya yang dapat terlihat, hewan tersebut disebut “kerbau air.” Ini nampak pada cara rehatnya, serta menghindari sinar matahari, dan cara mengusir lalat; dan di dataran tinggi, penduduk asli membuat kolam buatan pada pinggir jalan, tempat hewan tersebut berhenti kala perjalanan. Mereka umumnya berwarna gelap, dan terkadang berwarna muda segar, namun jarang atau tak pernah yang berwarna putih. Mereka ditutupi dengan rembut kala nyaris telanjang. Mereka lebih besar ketimbang kerbau kami, namun kurang dapat dipekerjakan seacara berkalnjutan. Mereka biasanya ditumpangi kala anak-anak Melayu dapat menggerakkan mereka, namun mereka tak suka penampilan orang Eropa, dan memiliki cara mewujudkannya dengan bernapas besar lewat hidung. Pada waktu semacam itu, mereka menjadi bergerak dan tak terkendali, dan pemilik mereka biasanya memintaku untuk berjalan menjauh, karena khawatir aku akan diserang. Kala betina menyusui anak-anak mereka, mereka biasanya berbahaya. Jantan besar didapati lebih sebanding dengan harimau kerajaan yang dibesarkan.

Di sebagian besar kepulauan tempat kerbau jinak nampak, kerbau liar juga didapati di pegunungan; namun para naturalis umumnya menganggap rumah asli dari spesies tersebut berada pada benua, dan bahwa hewan liar tersebut sebenarnya merupakan keturunan dari hewan yang lari ke hutan. Bangsa Spantol mendapati mereka di Filipina kala mereka mengunjungi kepulauan tersebut.

Alat bajak yang umum dipakai memiliki dua sisi, dan pegangan tunggal, yang dipegang kuli dengan tangan kanannya kala ia memandu kerbau dengan tangan kiri. Bagian bawahnya terbuat dari besi, bagian lain terbuat dari kayu. Alat tersebut menggerakkan tanah sampai kedalaman enam atau delapan inchi—sebuah keanehan yang kontras dengan pembajakan lapisan tanah dalam kami. Di dalamnya, bagian sempit ditaburi dengan biji-bijian jagung India mereka sendiri dan benih-benih tebu. Terkadang, ladang ditanami dengan pohon kacang kokoa dengan luas sekitar dua puluh yard, yang lainnya untuk tempat teduh mereka, yang nampak, ketimbang untuk buah mereka, yang kini digantung di wilayah hijau dan kuning besar, dan akan matang dalam sebulan. Pemanfaatan pepohonan tersebut adalah kacang semai, dan di banyak tempat, tumpukan terlihat nampak, yang dikumpulkan oleh penduduk asli untuk diambil kulitnya, kemudian dijadikan oleh mereka untuk membuat tali kasar.

Among these trees I was surprised to hear the noise, or more properly words, “Tokay! tokay!” and my servant at once explained that that was the way a kind of lizard “talked” in his land. So snugly do these animals hide away among the green leaves that it was several days before I could satisfy myself that I had secured a specimen of this speaking quadruped.

Pada perburuanku, aku menikamati pemandangan elok di pegunungan biru tua tinggi di selatan. Sebuah pernyataan harus secara khusus disebutkan. Itu adalah istana Rahden Saleh, seorang pangeran pribumi. Istana tersebut terdiri dari bagian tengah dan dua sayap, dengan veranda-veranda besar di setiap sisi. Saat memasuki bangunan utama, kami mendapati diri kami sendiri di sebuah balai luas, dengan galeri di atasnya. Di bagian tengah lantai, terpasang sebuah rangkaian meja, dan di sekitaran sisi ruangan terdapat kursi dari susunan antik. Pintu-pintu samping dibuka dari balai tersebut terhubung pada ruang-ruang kecil, yang masing-masing diisi dengan karpen rajutan, dan di tengahnya, sebuah karpet Brussels persegi kecil ditempatkan pada meja yang dihias dengan karya ukir, dan dikelilingi dengan barisan kursi yang kaya akan corak. Di sepanjang sisinya, terdapat kursi serupa dan meja berlapis logam kecil. Di dinding, engravir baja besar digantung, diantaranya dua karya yang aku ketahui sering nampak di daerah kami sendiri: “Surga Muslim,” dan salah satu dari dua patung perempuan yang mempersonifikasikan masa lalu dan masa depan. Di depan istana, halaman terbentang dengan plakat bunga dan halaman rumput kecil, dibatasi dengan semka yang diisi dengan dedaunan merah. Gagasan akurat dari keadaan tentram dari istana indah tersebut diberikan dalam potongan yang menyertai. Ini adalah hunian terkaya yang dimiliki oleh pangeran pribumi manapun di seluruh Kepulaaun Hindia Timur.

Rahden pada waktu itu berada di halaman sekitar, yang ia kini bentuk menjadi taman zoologi besar untuk pemerintah di Batavia. Pada masa muda, ia dikirim ke Belanda, dan dididik dengan pengeluaran Pemerintah Belanda. Disana, ia berlatih bahasa Jerman dan Prancis dengan baik, ditertima sebagai tamu besar di seluruh istana, dan berasosiasi dengan kelompok sastra utama. Dengan cara tersebut, ia menjadi akrab dengan Eugene Sue, yang kala itu mengerjakan karyanya yang berjudul “Yahudi Pengembara,” dan—seperti yang umum diyakini—sempat memilih Rahden sebagai model untuk “Pangeran timur”-nya, salah satu karakter paling menonjol pada buku tersebut. Namun, Radhen utamanya dikenal sebagai pelukis pemandangan. Beberapa tahun lampau, terjadi banjir besar di Batavia, yang emnghimpun subyek selaras untuk pensilnya; dan lukisan tersebut sangat banyak dijunjung, karena ia mempersembahkannya kepada Raja Belanda. Kala ia diperkenalkan kepadanya, ia sempat, dengan seluruh seni abdi, bertanya apakah ia berasal dari Utara atau Selatan; dan kala mendengar bahwa ia tak hanya dari Utara, namun bertugas pada suatu waktu dalam Union army, ia memutuskan untuk berjabat tangan lagi, menandai bahwa ia dipercaya bahwa tak lama lagi seluruh budak di wilayah mereka akan merdeka.

Aku tak melewatkan banyak waktu yang terkumpul sebelum aku mendapati diriku menjaali satu maalm dengan luka berat di belakang leher dan luka kecil pada punggung—sebuah tanda dari gejala demam. Pada keesokan harimua, keadaanku memburuk, kemudian aku menjadi lebih baik, dan kemudian memburuk lagi. Sensasi tersebut terjadi jika beberapa kali mengalami bekas tusukan merah panas pada bagian atas kepalaku, yang, kala disentuh, bergejala sampai menyentuh pangkal otak. Kemudian terjadi meriang, dan kemudian terjadi lagi gejala yang tak diinginkan. Ini nampak jika aku tak lagi mempertahankan kendali pikiranku di bawah siksaan berat semacam itu. Pada akhirnya, setelah tujuh hari sakit, aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit militer, yang terbuka untuk warga dari segala bangsa dengan bayaran yang sama per hari seperti di hotel-hotel terbaik. Rumah sakit tersebut terdiri dari serangkaian bangunan satu lantai panjang yang ditempatkan pada sudut kanan satu sama lain, dan di kedua sisi menghadap lapangan terbuka dan tempat berjalan atau taman, yang semuanya dibatasi dengan pepohonan besar dan diisi dengan beberapa bunya yang indah. Di setiap bangunan, dua baris ruangan atau kamar ukuran layak, yang dibuka pada piazza besar, tempat orang sakit dapat menikmati seluruh hembusan udara dan terhindar dari matahari. Setiap pagi, dokter utama datang berkeliling ke setiap kamar dengan asisten dan pelaayn, yang dengan hati-hati mencatat pengarahan dan resepnya. Ia adalah orang Jerman, dan nampak berperilaku sangat murah hati; namun kala waktu datang untuk mengambil pengobatan, aku mendapati bahwa ia tak hanya membantuku menakar dosis dari hal yang paling pahit dari segala hal yang pahit—quinine—namun juga salinan dari beberapa cairan asalm. Namun, hasil akhrinya dari dosis tersebut tentunya bermanfaat; dan setelah tetap mengikutinya selama sepakat, aku dapat kembali ke asramaku, namun terlalu lemah selama beberapa waktu agar aku dapat berjalan dengan baik.

Konsul kami, yang dengan baik mendatangiku kala, kini datang dengan surat dari Yang Mulia gubjen yang layak untuk membuatku sepenuhnya melupakan inisiasiku yang tak diinginkan terhadap kehidupan tropis. Pesan tersebut dialamatkan kepada “Para Kepala Pemerintahan Provinsi di dalam dan luar Jawa,” dan tertulis: “Aku memiliki kehormatan untuk menanyai Yang Mulia untuk menghadap kepada sang penyemat, Mr. Albert S. Bickmore, yang dapat datang ke daerah di bawah komandomu dalam kepentingan sains, seluruh bantuan dalam kekuatanmu, tanpa menyebabkan perubahan untuk pendanaan publik atau beban pada penduduk asli.”

Disamping menghormatiku dengan surat baik tersebut, Yang Mulia menuliskan kepada konsul bahwa ia akan bahagia untuk menawariku“kuda-kuda pos gratis ke sepanjang seluruh belahan Jawa,” jika aku gemar menjelajahi pelosok. Namun itu dengan harapan mencapai Kepulauan Rempah-rempah yang harus kudatangi ke Timur, dan, usai berterima kasih kepada gubjen atas kesempatan dan kemurahan hati yang besar semacam itu, aku mulai membuat persiapan untuk perjalanan melewati bagian timur kepulauan tersebut. Aku membawa suplai kaleng tembaga besar yang bagus besertaku dengan alat pembuka. Kaleng-kaleng tersebut diisi dengan arak, sebuah jenis olahan minuman yang terbuat dari molase dan beras. Jaring, kail, tali dan seluruh peralatan lain semacamnya, yang telah aku siapkan sepenuhnya untuk diriku sebelum aku meninggalkan Amerika. Sehingga satu kertas, disamping sebuah tiket, dibutuhkan sebelum aku pergi ke perahu surat, dan itu merupakan “ijin untuk berjelajah di Hindia Belanda.” Surat tersebut dapat diperbaharui, menurut hukum, sekali setiap blan; namun surat gubjen menjadi semacam paspor, yang tak pernah bersitegang pada diriku terhadap persoalan itu lagi selama setahun aku menjelajahi wilayah kekuasaan Belanda.