Electric-Man/1
Electric-Man Lahirnya The Crime Buster Oleh: B. Marada Hutagalung |
Daftar isi:
|
|
Sunting daftar isi |
Pagi begitu cerah membuat para rekan Mario bersemangat menaiki sebuah bus, sebab mereka akan mengadakan reuni di kampung halaman Roselina yang telah mereka sepakat sebelumnya.
“Ukh..., ke mana sih si Mario”, gerutu Roy yang dari tadi melirik jam tangannya seraya melihat jalan raya.
“Udahlah bang. ini sudah jam delapan! Kita berangkat aja ya, mungkin dia berangkat duluan”, hibur Jenny.
“Come on friend! Ngapaian kita tunggu-tunggu Mario, „kan kita udah sepakat berkumpul di sini sekitar jam tengah delapan dan go on jam delapan lewat”, sambung Andi merasa kesal dengan Mario.
“Ayolah..., ngapain ditunggu-tunggu, dari dulu dia sudah begitu”, Ucap Boby dari kaca bus sambil membelai ramput Ani pacarnya yang sudah lama duduk di jok tengah bus.
“Ukh....”, makin gusar, lalu menaiki bus. “Oke, kita berangkat”, Akhirnya Roy mengalah dengan hati berat dan kecewa. Maklum saja dia gusar karena Mario adalah sahabatnya sejak SMU dulu.
Mobil akhirnya dipanasin oleh sang supir dan beberapa detik kemudian bus pun berangkat menembus jalan raya. Namun dari kejauhan Mario turun dari mini bus dan berteriak.
“Oi..., tunggu aku...! Sialan...”, gerutu Mario
Dengan penuh kesal ia berdiri di pinggir jalan raya sambil melihat-lihat bus lain yang mungkin saja berangkat ke jurusan yang sama. Alhasil, bus yang diharapkan didapatinya setelah dia melambaikan tangannya.
“Stop pak! Apa bus bapak ke Tapanuli Utara”, tanya Mario
“Bukan Cuma itu pak, tapi kebetulan lewat situ karena bus ini akan ke arah Tapanuli Selatan”, Jawab Kernek sambil mengisap rokoknya.
Tanpa basa-basi Mario pun masuk ke bus, dan bus pun berangkat ke tujuannya dengan laju yang tidak terlalu kencang atau lambat.
Mario duduk di jok belakang yang di sampingnya duduk seorang gadis yang lebih muda darinya, begitu cantik dan berambut panjang yang anggun.
“Hai, mau ke mana de”, tanya Mario membuka pembicaraan, kagum atas kecantikannya.
“Oh..., saya mau pulang ke Balige, bang”, jawab gadis tersebut dengan setengah terkejut dari lamunannya.
Tampaknya Mario bisa akrab dengan Christine yang sudah diketahui identitasnya melalui pembicaraan mereka. Sampai-sampai mereka tukar nomor seluler. Namun pembicaraan mereka terhenti karena jurusan yang dituju Christine telah sampai. Bus sudah berhenti tepat pada pukul 10.30 WIB.
“Oke, para penumpang sekalian, siapa yang turun di sini”, tanya kernek yang berdiri di pintu kedua bus.
“Bang, aku duluan ya..”, Christine mohon pamit.
“Ya.., hati di jalan ya”. “Ya..., bang”.
Christine dan penumpang lainnya turun dari bus, dan bus pun berangkat. Para penumpang yang masih di dalam dan juga kernek keheranan melihat keakraban Mario dengan Christine yang seolah-olah sudah lama kenal, padahal baru saja kenal.
Lain dengan Mario, dia cuek saja tapi sedikit agak kesal karena Christine sudah tidak ada di sampingnya.
“Ah..., cepat banget dia turun! Oh..., „kan ada nomor HP-nya samaku”, akhirnya Mario lega karena masih ada nomor seluler Christine disimpannya. Entah bagaimana caranya dia mendapatkan nomor itu.
Di perjalanan Mario melamun dan malah lamunannya mengarah ke Christine. Soalnya Christine itu ramah, baik, dan cantik lagi. Namun ia teringat kembali dengan Roselina yang tak kunjung berhasil didapatinya.
“Duar...! Ciit...”, Bus berhenti tiba-tiba membuat para penumpang berteriak histeris tak terkecuali Mario. Namun mereka lega kembali karena mereka tidak mengalami kecelakaan, tapi bus tidak dapat berangkat karena ban depan bagian kirinya pecah akibat menggilas batu-batu yang sangat keras dan runcing.
Para penumpang pun turun dari bus, termasuk Mario untuk melihat apa yang terjadi terhadap bus tersebut.
“Wah..., kempes”, seru salah seorang penumpang.
“Bukan kempes lagi, tapi pecah”, jelas kernek. “Pake ban serap aja, mas”, kata penumpang yang berlogat jawa.
“Ban serap! Ban serap sudah tidak ada”, jawab sang supir kesal.
“Lho, kenapa”, tanya Mario penasaran.
“Memang sudah kami persiapkan dua, tapi kami kecolongan waktu di Medan”, sang supir menjelaskan dengan penuh rasa khawatir.
Para penumpang semakin lama semakin gusar dan menggerutu.
“Bang, gimana ni..., di sekitar sini nggak ada tambal ban, mana lagi kita jauh dari perkotaan”, tanya kernek pada supir.
“Gini aja deh, bus kan banyak lewat dari sini”, jawabnya “Gimana, apa kalian mau menumpang dari bus lain? Ya...tolonglah mengerti dengan situasi seperti ini”, sang supir memelas pada penumpang.
“Kami sih mau, tapi gimana dengan ongkos yang sudah kami bayar? „Kan tanggung”, tanya penumpang wanita yang sudah separoh baya.
“Baik, kami ganti”.
Akhirnya sang supir mengambil tas dari bus dan membagikan ongkos yang tanggung kepada para penumpang.
Para penumpang kembali lega sebab ada bus lain berhenti sendiri setelah melihat banyak para penumpang melambaikan tangan. Para penumpang pun masuk ke bus, namun sangat disayangkan bagi Mario karena sudah padat diisi oleh penumpang baru yang sebelumnya sudah diisi penumpang lain.
Dengan kesal Mario berjalan menelusuri jalan raya sambil menengok ke belakang kemungkinan ada bus lain. Matahari pun mulai tenggelam.