Di tempat lain, di kampung halaman Roselina yang dihiasi langit merah tampak Roy dan teman-temannya sedang melakukan kegiatan masing-masing yang sebelumnya mereka sudah tiba pada pukul 14.07 WIB.

“Mario, di mana kau? Ada apa, koq kamu tidak ikut? Padahal kamu sudah berjanji untuk ikut”, Gumam Roy dalam hati yang duduk dekat api unggun.

Demikian juga dengan Roselina, hatinya merasa tidak tenang karena salah satu temannya tidak ikut ke kampung halamannya.

“Mario, kenapa dia tidak ikut, ya...”, tanya dalam hati sambil memperhatikan teman-temannya yang sedang kejar-kejaran.

“Hei...! Melamun, ya...”, tiba-tiba Ricky mengejutkannya.

“Ah..., aku tidak melamun. Cuma aku merasa tidak enak, soalnya kawan-kawan kita tidak lengkap”, jelas Roselina nyaris terkejut.

“Maksudmu, Mario...”.

“Iya..., kenapa”.

“Eh..., jangan-jangan kamu naksir sama dia”, kata Ricky dengan agak cemburu.

“Ah..., kamu ini! Aku hanya kepikiran kenapa dia nggak ikut. Itu aja. Jadi aku nggak ada hubungan perasaan dengan dia”, sanggah Roselina dengan penjelasannya.

Acara demi acara yang mereka lakukan berjalan dengan lancar dengan penuh suka cita meski tanpa Mario. Semua teman-teman Roy bersenandung ria kecuali Roy dan Roselina yang masih memikirkan ketidakhadiran Mario.

Malam pun tiba dengan cuaca yang sangat mendukung kegiatan tersebut. Lain di tempat di mana Mario menunggu kedatangan bus. Cuaca sangat menjengkelkan bagi Mario sampai-sampai dia kedinginan.

“Wah...! Hujan mau turun. Mau balik ke bus tadi tak mungkin. Aku sudah terlalu jauh berjalan”, merasa bingung dan gusar.

Beberapa detik kemudian hujan mengguyur bumi tempat berpijak Mario yang sedang kesulitan mencari tempat teduh. Dengan basah kuyub akhirnya dia menemukan sebatang pohon yang rindang untuk berteduh, dekat dengan tiang listrik yang. Suara petir pun menggelegar bersahut-sahutan dan tak ayal petir pun menghantam-hantam tanah dan pohon lain di sekitar Mario.

Mario tercengang dan menganga atas kejadian tersebut membuat bulu kuduknya berdiri.

“Oh my God, belum pernah kulihat kejadian seperti ini”, gumam Mario ketakutan. “Tuhan, jangan biarkan aku dalam marabahaya! Tuhan, aku mohon dengan sangat...”, dengan penuh ketakutan ia memohon kepada Yang Maha Kuasa.

Aneh dan sangat mengherankan, Mario tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dia hanya bisa melihat dengan kasat mata. Namun di balik semua itu ada dua makhluk yang sedang bertarung, dan tak satu pun manusia biasa yang bisa melihat. Pertarungan tersebut sangat mempengaruhi cuaca dan menghasilkan aliran listrik serta menghantam sekitarnya.

“Natan...! Sekali pun kau malaikat Halilintar aku tidak takut dan menyerah! Karena bukan hanya kau sendiri yang memiliki kekuatan petir..! Ya, aku si Daro, setan petir. Kamulah yang harus tunduk kepada saya”, serunya kepada Natan dengan mata yang berwarna merah menyala-nyala dan kepala bertanduk dua layaknya seperti banteng.

“Tidak, aku tidak mau tunduk kepadamu, karena aku ditugaskan oleh pimpinan Malaikat untuk mencegah perbuatanmu dan sekaligus menangkapmu...”, balas Natan, sang Malaikat Halilintar pada Daro yang berwajah sama dengan manusia biasa.

“Baiklah, kalau kamu tidak mau, akan kuberi pelajaran lagi bagimu, rasakanlah ini...” kembali Daro membalas ucapan Natan dengan disertai serangan jarak jauh.

Sinar api halilintar keluar dari tangannya dan menggulung-gulung mengarah kepada Natan. Namun Natan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan sinar tersebut mengarah kepadanya.

“Wess..., zerrr...! Busssshhh...!”

Sinar tersbut menghantam Natan, dan tidak terjadi apa-apa pada tubuh Natan. Hal ini membuat Daro, Setan Petir spontan terkejut. Masalahnya, pada awal pertarungan Natan hanya mengelak dan menghindar dari sinar api halilintar Daro, akan tetapi kali ini berbeda.

“Kenapa, kamu terkejut ya...”, kata Natan dengan seyum.

“Bagaimana mungkin kamu tahan dengan benturan sinar api halilintar saya...”, Daro penasaran.

“O...itu, aku kan Malaikat yang dipercayakan untuk mengendalikan halilintar. Tidak seperti kamu. Kamu menjadi Setan Petir itu karena keinginan hati kamu yang ingin menguasai dunia dan mengganggu hidup manusia”, jelasnya kepada Daro.

Mario terkejut setengah mati. Dia penasaran melihat sinar halilintar tersebut yang menghantam apa saja yang ada di sekitarnya.

“Busyeet...! Dari mana datangnya halilintar tadi? Koq bukan dari langit”, Mario semakin heran dan penasaran.

Daro mulai mundur perlahan-lahan dan mencoba untuk megeluarkan sinar api halilintarnya. Hal itu diketahui Natan.

“Mau coba lagi...? Silakan”.

“Wess..., zerrr...! Busssshhh...!”

Sama seperti sebelumnya, Natan tidak merasakan apa-apa setelah bertubrukan dengan sinar tersebut.

“Ukh...! Sial”, kecewa atas kegagalannya “Eh.., ada manusia di sana”, Daro melihat Mario yang berada di bawah pohon rindang yang sedang ketakutan.

Daro pun mengangkat tangannya dan siap mengeluarkan seberkas sinar dari tangannya yang seolah-olah menyerang Natan, namun Daro mengarahkan tangannya ke Mario.

“Wess..., zerrr...! Busssshhh...!”

“Akhh....”, Mario tak dapat mengelak karena tidak tahu dari mana datangnya sinar tersebut.

Tiang listrik yang berada dekat pohon tersebut ikut tumbang akibat percikan dan getaran sinar tersebut. Kabel-kabel pun berputusan dan terpental mengarah Mario.

“Aaaakhhh......,” Mario menjerit keras karena kesakitan akibat hantaman sinar dari Daro dan juga kabel-kabel yang menghantamnya, Mario sekarat dan terkapar ke tanah.

Melihat kejadian itu, dengan segera Natan mengangkat tangannya dan mengeluarkan seberkas sinar biru ke arah Mario. Sinar itu dikerahkan untuk menetralisir tubrukan sinar api halilintar Daro pada tubuh Mario yang mengandung aliran listrik yang bisa membunuh Mario.

“Serrr.....! Beshhh...!”

Sinar tersebut menyelimuti tubuh Mario yang sudah terkapar di atas tanah dan menyelimuti seluruh tubuh Mario.

Di saat Natan sedang menetralisir Mario, Daro si Setan Petir langsung kabur ke langit. Ternyata tindakan Daro hanya sebagai umpan saja agar bisa kabur dari Natan.

Setelah selesai menetralisir, Natan langsung mengejar Daro ke langit.