Electric-Man/4
Electric-Man Lahirnya The Crime Buster Oleh: B. Marada Hutagalung |
Daftar isi:
|
|
Sunting daftar isi |
Malam mulai menunjukkan pukul 10.30 WIB, dari kejauhan terdengar suara wanita minta tolong. Mario bisa mendengarkannya dan mencoba mengikuti arah suara tersebut, dan akhirnya Mario menemukannya.
“Wah..., ini pekerjaan pertamaku, sekalian latihan beladiri. Tapi aku belum punya kostum...”, ia masih di udara tepat di atas para pria bejat yang sedang mengejar dan akan memperkosa wanita itu. Untung saja tidak ada orang melihat Mario melayang-layang di udara, apalagi didukung malam yang gelap.
Akhirnya ia menemukan pendaratan yang cocok yang tidak diketahui orang. Ia tidak mau menunjukkan kehebatannya dengan terang-terangan tanpa kostum.
“Dapat juga kamu nona manis...”, seorang pria berhasil menangkap wanita cantik itu dan memeluk wanita dengan erat.
Dia mencoba untuk melawan tapi tak bisa, pelukan si Bos sangat kuat. Ia hanya bisa berteriak minta tolong.
“Eh..., kalian dua! Pegang tangannya...”, perintahnya kepada anak buahnya sambil menindih tubuh yang indah tersebut.
Kedua temannya pun membantu dia untuk memegang kedua tangan si gadis. Dan satu lagi merebahkan tubuh wanita itu ke tanah secara paksa.
Sebelum dia menikmati kegadisan wanita, dengan penuh nafsu ia menyentuh daerah-daerah yang sensitif pada tubuh gadis tersebut.
Gadis tersebut pasrah, yang bisa dilakukannya hanya merintih akibat sentuhan kasar tersebut dan memohon dengan suara lemah : “Jangan...! Jangan lakukan itu...!”
Si Bos malah bertambah nafsu mendengar suaranya, ia mulai melucuti semua pakaian wanita tersebut dan siap menikmati kegadisannya.
“Bukhh..! Gedebugggg...! Pak..! Bughhh....”.
“Akhh......”, Si Bos terlempar menghempas pohon dan meringis Kesakitan, sama halnya dengan kedua anak buahnya.
“Mario...”.
“Christine...”.
Ternyata keduanya sudah saling mengenal, dan perkenalan itu terjadi pada waktu keduanya berada di bus tadi siang.
“Bah..., bocah ingusan rupanya yang sudah saling kenal”, ia marah dan bangkit berdiri. “Kamu sudah menggangu kegiatan kami. Akan kuberi kau pelajaran keras, ya...”, ancam si brewok pun sambil memberi kode untuk menyerang kepada anak buahnya.
“Kegiatan apaan..., itu namanya tindakan jahat yang merusak hak orang lain...”, balas Mario dengan geram.
“Aku tidak perduli...! Hiaat...rasakan pukulanku ini...”, si Bos dan anak buahnya pun menyerang dengan membabi buta.
Mario tetap pada tempatnya, tidak mundur atau pun maju. Seketika pukulan tangan kanan si Bos ditangkisnya dengan tangan kiri dan juga tendangan kaki anak buahnya ditepis dengan tangan kanan. Dan satu lagi dari belakang mencoba untuk memukul pundak Mario. Tapi dapat dielakkannya. Mario masih tetap di tempat, malahan secara tiba-tiba dia memberikan masing-masing tendangan pelak dengan cara berputar.
“Bug...”.
“Aduh...”.
“Gedebugh...! Bugghhh...”.
“Akhhh...”.
Mereka tidak hanya mendapatkan tendangan saja, tetapi hasil tendangan itu membuat mereka terlempar ke belakang
Sambil memperbaiki pakaiannya, Christine terkagum-kagum melihat kelihaian Mario dalam beladiri.
Tak hanya sampai di situ saja, si Brewok dan anak buahnya kembali menyerang. Kali ini si Bos mengeluarkan pisau cutter dari saku depan celana jeans-nya. Dan anak buahnya mengambil kayu balok dari tanah.
Christine merasa khawatir melihat serangan balik si Brewok dan anak buahnya karena menggunakan alat untuk menyerang.
Ia tetap berdiri di tempat, tetapi tetap siaga dan tidak menganggap lawan enteng. Mereka pun menyerang Mario. Namun Mario lebih dulu menahan serangan yang lebih dekat dengannya. Dengan cekatan ia menangkap kayu yang anak buah satu dari serangan kanan dan juga menangkap kayu dari kiri yang mencoba menghantamnya kendati kayu masih dipegang erat. Kemudian Mario menyilangkan kedua kayu itu di depannya untuk menahan serangan pisau ke arah perutnya. Pisau pun tertahan, dan kaki kiri Mario menyiku perut si Bos. Lalu kayu itu ditarik berlawanan arah dan memukulkannya ke kepala anak buah tersebut.
Tak ayal lagi, keduanya terlempar ke belakang dan meringis kesakitan. Melihat pertarungan yang tidak seimbang si Bos memberi kode.
“Ayo..., lari...”, si Bos dan kedua anak buahnya melarikan diri dengan kucar-kacir, dan masuk ke mobil Jeep tua berwarna hitam. Dan berangkat...
Christine merasa lega karena Mario dapat mengatasinya. Kemudian Mario mendekatinya.
“Dik...! Kamu koq bisa ada di sini”, tanya Mario penasaran sembari memperhatikan seluruh tubuh yang ditutupi pakaian yang sudah lusuh. “Hampir saja kau diperkosa oleh mereka”, sambungnya.
Christine merasa malu, dan menutup baju bagian atas yang sudah tidak memiliki kancing lagi. Mario sempat melihat bagian atasnya tanpa pembalut pada saat Mario menyerang para penjahat tersebut. Hal itulah yang membuat Christine lebih malu lagi. Mario pun memalingkan perhatiannya.
“Sekitar pukul 20.26 WIB Aku dan papaku berangkat dengan mobil pribadi dari Balige...”, jawab Christine tertunduk.
“Lalu...”, lanjut Mario.
“Lalu, setiba kami di jalan raya sana kami di cegat oleh mereka dengan mobil jeep...”, sambung Christine dengan tangan menunjuk mobil kijang kapsul warna hitam di jalan raya.
“Bagaimana dengan papamu...”, kembali bertanya.
“Aku tidak tahu..., kita liat aja keadaannya di mobil”, ia tiba-tiba teringat dengan keadaan ayahnya.
Christine pun berlari ke arah mobil kijang, dan Mario mengikutinya. Pintu depan mobil bagian kiri dibuka. Tampak pria setengah baya tergeletak di jok mobil.
“Papa.., bangun pa...”, dia membangunkan ayahnya dengan terisak.
“Ukh...apa yang terjadi”, ayahnya siuman dan bertanya.
“Panjang ceritanya pa...”, jawab Christine sambil membantu ayahnya untuk duduk dan membalut tangan kanan ayahnya dengan kain kasa dari kotak P3K. Tangan kanan ayah Christine tergores akibat pisau si brewok.
“Lha.., ini siapa...”, tanya ayah dengan penuh curiga.
“Oh, iya...! Ini Mario, pa...”. “Mario, pak...”, Mario memperkenalkan diri sambil menyalam Ayah Christine.
“Lalu..., di mana orang-orang jahat itu”, sambung Ayah Christine bertanya.
“Babak belur dihajar bang Mario, habis itu mereka kabur...”, jelas Christine dengan senyum dan melirik Mario.
“Oh...ya...”, kagum. “Terima kasih, nak. Kalau tidak ada kamu nak, hidup kami akan sengsara”.
“Ah..., bapak tidak perlu berkata-kata seperti itu! Itu karena Tuhan masih memperhatikan Bapak dan puteri Bapak...”, potong Mario sambil melirik jam tangannya.
“Bang..., terima kasih ya...”, Christine berterima kasih pada Mario.
“Sama-sama, dik...”, balas Mario. “Aku berangkat dulu, ya...”, mohon pamit. “Lho, mau ke mana...”, tanya Ayah Christine.
“Iya, abang mau ke mana...”, sambung Christine.
“Aku mau ke sana, mau ke rumah nenek saya...”, Jawab Mario dengan menunjukkan jalan lain di samping kanan mobil kijang.
“Baiklah..., nak. Hati-hati ya...”, balas Ayah Christine.
“Ya...pak...”. “Bang..., thanks...ya”, sambung Christine sambil menutup pintu mobil.
“Ya..., sama-sama...”, balas Mario dengan melangkahkan kakinya.
Kijang pun dihidupkan, dan siap-siap untuk berangkat.
“Pa..., sebentar pa...”, Christine meminta Ayahnya untuk tidak menjalankan mobil.
“Ada apa...”.
Christine tidak berbicara, malah pintu mobil langsung dibuka lalu mengejar Mario yang sudah agak jauh berjalan.
“Bang...., bang Mario”, panggilnya ke Mario dengan ngos-ngosan. “Tunggu sebentar bang...”.
Mario menoleh ke belakang dan menghentikan langkahnya, yang dari tadi melangkah lurus ke depan.
“Ada apa...”, sambutnya dengan membalikan badannya ke arah Christine. Sedikit Merasa heran.
Christine baru menghentikan langkahnya dan memandang Mario.