Electric-Man/9
Electric-Man Lahirnya The Crime Buster Oleh: B. Marada Hutagalung |
Daftar isi:
|
|
Sunting daftar isi |
Suara keras dari Ricky membuat para rombongan tergugah dan segera berlari ke tempatnya.
“Ricky...Mario..., ada apa ini...? Kalian bertengkar ya...”, tanya Roy dengan keras.
“Aku sendiri juga heran..., tiba-tiba Ricky menyerangku...”, jawab Mario merasa memang tidak tahu kenapa Ricky menyerangnya.
“Hei...kalian semua...! Ini urusanku dengan dia, jadi jangan ikut campur...”, dengan keras ia meminta mereka untuk tidak ikut campur.
“Ricky...! Apa-apaan ini...! Kamu kenapa...”, hati Roselina berubah jadi panas melihat sifat Ricky yang semakin menjadi-jadi.
“Frend..., sebenarnya aku tidak suka berkelahi, tapi kalau kamu memaksa aku ladeni dengan baik...”¸ ujarnya pada Ricky.
“Aku cinta atau tidak sama Rose...sama sekali aku tidak menyatakannya. Tapi kamu terlalu cepat berprasangka buruk bahwa hubungan kami sudah dekat...”, Mario menjelaskan kembali dengan perasaan gundah.
“O...jadi kamu cemburu ya karena kami berduaan...”, Roselina sadar akan apa yang disembunyikan Ricky.
“Eh..., maaf. Memang aku cemburu...tapi Mario telah menghalang-halangi niatku”, jawab Ricky dengan mengkambinghitamkan Mario.
“Hei...! Sejak kapan aku menghalang-halangi kamu”, Hati Mario menjadi mendidih 100 derajat celcius panasnya. “Kau ingin kuberi pelajaran, ya...”, Mario telah mengepalkan tangannya untuk mendaratkan pukulannya ke wajah Ricky.
Ricky sudah tahu apa yang akan direncanakan Mario sebab Ricky sudah paham betul dengan serangan diam-diam. Maklum saja dia itu atlet bela diri Kempo.
“Silakan aja menyerang...”, Ricky memanas-manasi Mario
“Tahan...pukulanku...”, Mario menyerang secapat kilat.
“Wushhh..! Bugh...! Degh...! Sregh...”
“Aaaakh...”.
Tak pelak lagi pukulan tangan kanan Mario mendarat di pipi Ricky, dan tendangannya mengenai perutnya. Ricky memang tahu apa yang akan menyerang dirinya, tetapi dia tidak bisa dengan cepat menahan serangan secepat kilat itu, sehingga dirinya terpaksa terlontar jauh dan mengena ke sebuah pohon. Ricky meringis kesakitan.
Setelah melihat kejadian itu semua rombongan terkejut, termasuk Roselina. Roy bertanya-tanya dalam hati : “Sejak kapan Mario jago dalam beladiri...?”
Roselina memang terkejut tetapi bukan takjub, sebab hatinya terkonsentrasi pada sifat Mario yang tiba-tiba menyerang Ricky.
“Mario....”, serunya penuh dengan amarah.
“Ya...”, jawab Mario mendekat.
“Plak...”.
“Bah...”, Roy dan kawan-kawan terperanjat melihat kejadian itu.
Roselina menampar pipinya meski merasa berat dilakukan, tetapi itu dilakukan karena perubahan sifat Mario. Sebenarnya Mario bisa melihat gerakan tangan Roselina, tetapi ia membiarkan tangan Roselina mendarat di pipinya.
“Aku pikir kamu tetap baik seperti dulu, tetapi kamu jauh beda dengan yang kukenal dulu...”, Roselina berkata-kata dengan nada marah sambil memandang Mario dengan mata menyipit dan sinis, tetapi matanya berkaca-kaca.
Roselina segera menjauh darinya dan berjalan ke arah Ricky yang masih terkapar di atas tanah. Dia mencoba membantu Ricky untuk berdiri.
“Uh..., kenapa jadi begini”, Mario bertanya dalam hati, sadar apa yang telah dilakukannya.
Dengan penuh penyesalan, Mario mendekat ke arah Roselina dan Ricky.
“Rose..., Rick...! Maafkan aku...”, ucapnya merasa bersalah.
Roselina dan Ricky mendengar permohonan maaf Mario namun tak sempat membalas ucapannya karena Mario langsung pergi jauh.
“Eh..., Mario...! Tunggu dulu...”, Rio mengejar Mario tetapi terhenti karena Mario sudah jauh dari pandangannya.
Memang tidak diduga dan tanpa terlihat, setelah jauh berjalan, Mario langsung lari secepat kilat dan tiba di rumah Roselina. Ia segera masuk ke dalam rumah, membenahi segala perlengkapannya.
Dia pun menemui orang tua Roselina di beranda belakang rumah yang sedang duduk-duduk santai.
“Bu..., pak...! Saya permisi dulu...”, Mario mohon pamit.
“Lho, mau ke mana kau, nak...”, tanya ayah Roselina penasaran.
“Tiba-tiba saya ada kerjaan pak, baru aja dihubungi”, dia berbohong.
“Apa kamu sudah permisi kepada teman-temanmu...”, tanya ayah Roselina kembali.
“Nggak sempat pak, nanti saya hubungi mereka...”, jawab Mario dengan tenang. “Okelah kalau begitu, hati-hati ya...”, balas Ibu Roselina.
“Salam sama rekan-rekan sekerja dan pimpinanmu di sana, ya...”, sambung ayah Roselina.
“Oke, pak...bu...! Terima kasih atas penyambutan bapak dan ibu. Selamat tinggal, bu...pak....”, kembali berkata-kata pamit.
“Ya..., nak! Selamat jalan...”, balas ayah dan Ibu Roselina serentak.
Setelah mohon pamit ia ke luar dari rumah melalui pintu depan dan segera mencari tempat yang tidak dapat dilihat orang lain kecuali dia. Beberapa detik kemudian dia sudah berubah menjadi E-Man dan terbang secepatnya seolah-olah diburu waktu.
“Akh.....”, E-Man beteriak sekeras-keras dengan hati panas dan kesal.
“Duar....duar....!!!”
Teriakan E-Man menghasilkan suara petir yang membahana dan menggelegar membuat orang-orang di bumi terkejut setengah mati.
“Bos....! Perasaanku tidak enak hari ini..., gimana kalau kita gagalkan saja rencana ini”, kata Janus kepada Jarot dengan merinding.
“Ha..., kamu takut ya...”, bentak Jarot.
Suara itu pun juga kedengaran sewaktu Roy dan teman-temannya sedang kembali ke rumah.
“Perasaanku ga’ enak hari ini...”, tukas Roselina kepada Ricky.
“Ah..., itu perasaanmu saja...”, jawab Ricky berusaha menghibur Roselina yang sedang memperhatikan angkasa biru.
Tidak hanya Roselina, semua rombongan juga melihat ke atas dengan penuh keheranan. Roy sendiri keheranan dan bergumam.
“Wah..., suara aneh...! Apa yang akan terjadi nanti...”.
Seantero bumi Tapanuli Utara juga lengang, dan sempat berhenti beraktivitas setelah mendengar suara gelegar tersebut karena jauh berbeda dari suara halilintar yang biasa didengar oleh manusia.