Seratus Hari/Air Kehidupan

Panutu dengan tubuhnya yang besar dan subur akan tetapi dengan wajah yang pucat tanpak bersila di tengah tanah lapang yang berumput pendek itu. Wajahnya kian bertambah mengerikan demi adanya percikan-percikan darah di sana-sini. Di hadapannya sebuah wadah kayu, semacam baskom, tampak penuh terisi cairan merah. Darah. Darah dari orang yang barusan dikuburkan oleh muridnya, Reiche.

Orang tua itu pun tampak berkonsentrasi sebentar kemudian dari ubun-ubunya tampak uap mengepul ke atas. Semakin lama semakin putih dan tebal. Butir-butir keringat pun tampak mulai bermunculan dan berjatuhan dari wajah dan lehernya.

"Hehhhh!!!" dengan diiringi hembusan napas yang penuh pemusatan pikiran ia mulai menggerak-gerakkan tangannya. Perlahan dan kemudian semakin cepat. Keras lalu lemah. Mengalir lalu patah. Sampai suatu saat ia terdiam dan mulai memandang ke dalam basok berisi darah manusia itu. Perlahan cairan merah yang ada di dalam wadah tersebut tampak seperti hidup, berbuih-buih dan mulai meloncat-locat tapi tidak terpercik ke mana-mana. Lengket.

Dengan suatu hentakan cairan tersebut naik ke udara dan bergerak bagaikan api yang menyala. Cairan berwarna merah kehitaman. Menyebar membentuk uap dan mengelilingi diri sang empunya. Perlahan uap merah yang menyebar itu perlahan mengental dan melingkupi orang tua tersebut. Membalutnya dalam warna merah indah dan dingin. Darah.

Reiche yang baru saja tiba sehabis menguburkan orang yang dibohonginya itu tampak tertegun melihat apa yang dilakukan oleh gurunya. Ia belum pernah menyaksikan atau membaca mengenai hal tersebut. Ia pun diam untuk tidak mengganggu pemusatan pikiran gurunya.

"Syesss!!!" cairan kental berwarna merah yang tadinya membungkus rapat tubuh Panutu tampak seperti air yang dimasukkan ke dalam tungku panas, menguap dan langsung hilang. Perlahan seluruh cairan yang tadi tampak hidup itu menguap dan hilang sama sekali. Hanya warna-warna kemerahan tampak tertinggal pada sekujur tubuh Panutu.

"Segar rasanya!!" ucap Panutu saat ia selesai dari rapalan ilmunya dan mulai bangkit. Ia melihat bahwa semua darah telah digunakan dan diserap olehnya tadi.

"Terima kasih, Reich!" ujarnya demi melihat muridnya duduk tak jauh dari sana. "Tapi aku masih butuh beberapa kali lagi. Sepuluh orang mungkin sudah cukup,"

Reiche hanya mengangguk lemah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Mencari sembilan orang lagi untuk dibawa ke sini, bukan perkara mudah. Tapi gurunya pasti tidak mau tahu, permintaan itu harus dituruti demi pengobatannya.

"Kepalang tanggung," tiba-tiba sebuah suara berbicara di kepalanya, "Lebih baik tanya-tanya mengenai hal ini. Siapa tahu suatu saat ia bisa memanfaatkannya." Setelah membulatkan tekadnya, ia pun mulai berbicara, "Guru, itu ilmu apa tadi?"

"Itu disebut Menyerap Air Kehidupan, bagian dari Memanfaatkan Kehidupan Lain," jelasnya.

"Air Kehidupan? Darah maksudnya?" tanya Reiche yang pikirannya tiba-tiba saling mengait setelah menyaksikan apa yang barusan itu.

"Benar! Darah adalah Air Kehidupan. Orang dapat memanfaatkan air kehidupan dari makhluk lain untuk apa saja. Tapi yang paling bagus adalah dari jenis makhluk yang sama. Dan untuk kita, ya.. darah manusia," ujar gurunya. Tak tampak adanya rasa risih dalam menjelaskan itu. Tampak baginya memanfaatkan nyawa dan tubuh manusia lain adalah biasa-biasa saja.

Lalu diceritakannya sedikit bahwa ilmunya itu berdasar dari ujaran empat elemen penyusun alam ini, yaitu air, api, udara dan tanah. Kedua elemen yang dilatihnya adalah api dan berdasar dari gerakan udara.

"Tapi darah itu..?" tanya Reiche tanpa sadar.

"Hahahaha!! Engkau pintar, Reiche! Baru sedikit diceritakan sudah bisa mengira-ngira. Ya, betul.. darah itu bukan air murni. Melainkan air mengandung api -- sumber perubahan, kehidupan," jelasnya. "Karena kau dilukai oleh pukulan dengan elemen yang berlawanan, yaitu air, aku harus mengobatinya dengan air lagi tapi yang mengandung api. Air mengandung api, yaitu darah itu."

"Lalu, lawan guru harus mengobati dirinya dengan api mengandung air?" tebak Reiche demi mendengar penjelasan itu. "Dan itu..."

"Benar.., benar demikian!" jawab Pambuka terbahak-bahak, "Api mengandung air. Api yang sifatnya mengalir dan dingin. Tidak mudah memperolehnya. Dan aku sangsikan ia akan dapat memilikinya."

"Adakah bendanya guru?" tanya Reiche lanjut.

"Mengapa engkau ingin tahu?" tanya Pambuka balik. Ia melihat dengan selidik wajah muridnya.

"Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu suatu saat aku terluka dalam keadaan itu," jawab Reiche serius.

"Baik.. baik itu untuk tahu. Tapi sejujurnya aku tidak tahu. Guruku pernah bilang dulu ada kitab yang namanya Seratus Hari, di sana orang menuliskan hal-hal yang berlawanan tersebut dan bagaimana mengobatinya," terang Panutu.

Teringat Reiche pada kitab kuno yang diberikan oleh gurunya itu dulu kepadanya. Apa kitab itu?

"Bukan.., bukan kitab itu!" ujar gurunya yang seakan-akan dapat menebak pikiran Reiche, "Kitab yang aku berikan itu lebih berisi cerita-cerita mengenai kitab sebenarnya. Dan lagi di tengahnya ada tulisan-tulisan aneh. Sudah pasti bukan kitab yang dimaksud itu."

Reiche hanya mengangguk namun dalam pikirannya berkecamuk hal lain. Hanya ia yang tahu bagian kitab yang sudah diuraiakn sandinya itu. Mungkin dengan membacanya sekali lagi ia dapa melihat apa itu kitab yang asli atau bukan. Dan ia belum dapat memutuskan apa akan memberitahu Panutu, gurunya, atau tidak.

"Mari kita pulang!" ajak Panutu. "Curiga nanti orang-orang, bila kita terlalu lama menghilang."

Reiche mengangguk mengiyakan. Mereka pun kemudian kembali ke tempat tinggal mereka tidak lewat jalan mereka tadi datang ke tempat itu.

Di sana di tempat dari mana mereka pergi telah muncul sebuah gundukan baru. Sebuah makam orang yang baru saja 'air kehidupan'-nya diambil dan dibiarkan mati kekeringan karenanya.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!