Seratus Hari/Orang-orang yang Hilang

"Bagus Arme! Engkau sudah lebih menguasainya sekarang," ucap Pambuka demi melihat Arme telah dapat dengan luwes mengendalikan air sesuka hatinya, baik dalam posisi berdiri, duduk ataupun jongkok. "Sedikit lagi, engkau akan segera dapat melakukannya sambil bergerak," tambah gurunya itu lagi.

Perkembangan Arme sesuai dengan yang diperkirakan Pambuka. Perlu satu minggu Arme untuk membiasakan dan merasakan perubahan titik terendahnya yang harus dijaga selalu berada dua jari di bawah pusarnya. Dan hari ini mungkin bisa dimulai latihan kelanjutannya.

"Terima kasih, guru! Ini juga tas bimbinganmu," ucap Arme dengan bangga. Senang ia bahwa kemajuannya memuaskan hati gurunya.

"Sekarang coba engkau lakukan seperti tadi, tapi posisi antara jongkok dan berdiri tidak memutuskan pengendalian airmu. Jadi engkau melakukan jongkok berdiri sambil terus mengendalikan air tersebut," usul gurunya.

Arme pun mengangguk mengiyakan dan mulai mencoba-coba.

Rupanya bagian berikut dari latihan lebih sulit dari yang dibayangkan oleh Arme. Ia tidak dapat dengan mudah memecah pikirannya untuk mengendalikan air dan berjongkok beridir. Berkali-kali ia mencoba, akan tetapi masih saja gagal. Terlihat air yang dikendalikannya kadang hilang bentuknya dan jatuh memecah di atas tanah. Perlu waktu untuk mengembalikan bentuknya dalam posisi berdiri yang baru.

"Sudah.. sudah.., jangan terlalu dipaksakan! Besok kita ulangi lagi," ucap gurunya.

Arme yang sudah kelelahan mengangguk setuju. Ia kemudian menghirup napas panjang, menggerakkan tangannya membentuk lingkaran dan menurunkannya menutup ke arah pusar sambil menghembuskan napas. Gerakan menutup dan mengembalikan hawa yang berkeliaran kembali ke bawah pusar. Pusat hawa dalam tubuh.

"Ada kabar baru?" tanya Pambuka setelah mereka duduk berdua di tepi api unggun yang mereka baru nyalakan.

"Kebetulan ada guru. Ada kabar aneh dari orang-orang pasar," jawab Arme.

"Tengan apa?" tanya Pambuka kembali dengan wajah agak was-was. Ia tidak ingin dugaan jeleknya terwujud. Firasat yang sudah menyerang kepalanya beberapa hari belakangan ini.

"Para pemuda yang sering nongkrong di pasar katanya bertambah sedikit," jelas Arme.

"Pemuda-pemuda yang mana?" tanya gurunya kemudian.

"Pemuda-pemuda yang sering nongkrong, kerja serabutan, minum-minum dan sebagainya. Sering buat onar," jelas muridnya.

"Sudah berapa lama dan berapa yg hilang?" tanya Pambuka. Ia menekankan kata 'hilang' dalam pertanyaannya itu.

"Tidak jelas, karena kadang-kadang memang mereka pindah-pindah dan kabur, kembali lagi atau datang orang baru dan sebagainya. Awalnya para pedagang dan pembeli di pasar tidak menyadari, tapi kok lama-lama pasar terasa lebih nyaman tanpa kehadiran mereka. Dan saat diperhatikan, memang jumlah mereka berkurang banyak," cerita Arme.

"Kira-kira berapa yang hilang?" tanya Pambuka lagi, mendesak karena ia ingat akan sesuatu. Sepuluah seharusnya sudah cukup. Tapi baru seminggu saat semua aman-aman saja.

"Entah, guru. Ada yang bilang lima ada tujuh. Ada pula yang bilang sudah sepuluh. Jumlahnya semua simpang-siur," jawab Arme.

"Tidak mungkin sebanyak itu dalam seminggu," ucap Pambuka. "Lima mungkin jumlah yang wajar."

"Apa maksdunya 'jumlah yang wajar', guru?" tanya Arme balik. Ia tidak dapat mengikuti pemikiran gurunya.

"Maksudnya adalah jumlah yang seharusnya 'boleh' hilang dalam kurun waktu seminggu," ucap gurunya sambil agak menerawang. Mencoba-coba memikirkan hal lain, jikalau jumlah tersebut, yang diberitakan orang-orang, benar adanya.

Dengan perlahan kemudian Pambuka menceritakan pada muridnya mengenai ilmu sesat yang memanfaatkan Air Kehidupan untuk menyembuhkan luka akibat pukulannya itu. Suatu cara dengan mengorbankan kehidupan lain.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!