Seratus Hari/Menghormati Rahasia Orang Lain
"Ini bagian terakhir, tolong ya!" ucap Reiche sambil menyodorkan beberapa helai kertas yang dituliskan dengan lambang-lambang tertentu yang bukan berasal dari lambang-lambang umum yang dikenal orang.
"Baik. Dan ini yang kemarin," ucap Arme sambil mengangsurkan kertas dengan isi lambang-lambang yang mirip akan tetapi telah disisipkan tulisan-tulisan tangannya, menjelaskan apa terjemahan dari kata-kata tersebut.
Keduanya terdiam. Jika Reiche terdiam karena membaca hasil terjemahan Arme, maka Arme terdiam karena membaca lembaran-lembaran baru dari Reiche yang harus ia terjemahkan. Keduanya sudah melakukan ini hampir dua bulan lamanya.
Arme sendiri masih menyimpan banyak pertanyaan, antara lain apa sebenarnya yang diberikan oleh Reiche ini. Apakah sebuah kitab atau hanya kumpulan-kumpulan lembaran-lembaran tulisan. Akan tetapi Reiche tidak mau menceritakannya dengan jelas dan terbuka. Dan karena Arme bukan jenis orang yang senang memaksa, ia membiarkan saja pertanyaan itu mengisi kepalanya tanpa jawaban.
Di lain pihak Reiche sendiri pun kadang bertanya-tanya, misalnya dari mana Arme tahu dan terlihat yakin bahwa terjemahannya itu benar. Arme hanya berkata bahwa ia pernah diajari mengenai hal itu oleh seorang yang ditemuinya di pinggir hutan. Tapi sekarang orang itu lagi ditemuinya. Dan untuk yang terakhir ini, Arme memang tidak berbohong seluruhnya. Sedangkan Reiche tidak berani banyak-banyak bertanya dan mencari tahu lebih jauh karena takut sahabatnya itu tidak mau membantunya menerjemahkan lambang-lambang tersebut. Ketepatan terjemahan diperiksanya dengan mencocokkan keselarasan bacaan antar halaman yang telah dipisah-pisahnya. Sampai saat ini semuanya cocok.
Lalu mengapa Reiche masih meminta Arme untuk menerjemahkan dan tidak meminta cara membaca lambang-lambang aneh tersebut. Ternyata terdapat aturan pengalihan lambang yang rumit yang bergantung pada nomor halaman dari kitab tersebut. Untuk halaman yang berbeda berlaku aturan yang berbeda. Dan entah mengapa Arme dapat dengan mudah menjelaskannya kepada Reiche akan tetapi tidak dengan mudah dapat dicerna oleh Reiche. Untuk ia yang sanggup 'membayar' jasa Arme, lebih baik bila ia tinggal menerima saja bersihnya, terjemahan tiap halaman tersebut. Jadi dalam bulan-bulan tersebut Arme dapat dengan bebasnya 'membeli' buku-buku baru yang ia sukai dari toko Paman Bücher atas dukungan Reiche sebagai pembayaran 'tugas' yang ia lakukan.
Arme sendiri pada awalnya terkejut demi melihat lembarang yang berisi lambang-lambang yang sama dengan lambang-lambang dalam kitab kuno yang diberikan oleh orang tua di tepi hutan sana. Hanya dalam lembaran-lembaran yang diberikan Reiche terjadi pergeseran tempat padanan huruf-huruf yang digunakan. Pergeseran yang dijelasan pada akhir tiap halaman dan bukan di awal. Jadi tiap halaman punya aturan sendiri walaupun dengan kumpulan lambang-lambang yang sama.
Dan cerdiknya Reiche, ia tidak membiarkan Arme sempat menyalin lembaran-lembaran yang ia berikan. Ia berikan cukup banyak tugas dan minta diisikan di sela-sela tulisannya. Dengan demikian Arme mau tak mau harus mengembalikan lembaran-lembaran tersebut ditambah terjemahannya. Saat ditanya tentang apa kitab tersebut, Reiche hanya tersenyum dan tidak menjelaskan.
Akan tetapi mau tidak mau ada juga yang mengendap di dalam kepala Arme. Daya ingatnya yang kuat membuatnya dapat memanggil kembali ingatannya mengenai lambang-lambang yang tertulis pada lembaran-lembaran yang diberikan oleh Reiche. Tidak urutnya halaman yang diberikan, yang pada awalnya sudah dirasakan aneh, sedikit menghambatnya untuk mengingat-ingat dan menyambung-nyambungkan tulisan-tulisan tersebut. Walaupun bukan termasuk orang-orang yang Sekali-Baca-Tak-Pernah-Lupa, tapi Arme memiliki ingatan yang cukup baik dibandingkan dengan teman-temannya. Mungkin hal ini dikarenakan 'kekurangannya' dalam hal tigaan sehingga ia harus sering meminjam buku baik pada temannya atau di perpustakaan sekolahnya, perguruan tulis-menulis, sehingga sebagian besar yang ia baca harus ia 'tulis' dalam otaknya tersebut.
Keduanya tiba-tiba tertawa setelah satu sama lain saling melihat keseriusan yang lain. Tawa yang memecahkan kesunyian setelah adanya kerahasiaan antar mereka berdua dalam dua bulan belakangan ini. Rahasia yang sama-sama mereka saling hormati antar dua orang sahabat dan tidak lagi saling menanyakan.
"Mari kita pulang! Sudah tinggal kita berdua di sini," ucap Arme kemudian setelah mengedarkan padangannya dan melihat bahwa pekarangan perguruan tulis-menulis telahlah sepi.
Reiche pun mengangguk sambil memberesi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Arme sendiri hanya menyisipkan lembaran-lembaran tersebut ke dalam bajunya. Ia tidak punya tas, hanya berbekal buku tipis dan alat tulis, yang semuanya disimpannya dalam jubahnya yang terbuat dari kain kasar sederhana.
Keduanya pun berjalan beriringan bersama sampai di persimpangan jalan untuk kemudian mengambil arah ke rumah masing-masing.
Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!