Seratus Hari/Pertarungan di Malam Hari
"Degg!! Plak-plak-plak!!" bunyi beradunya pukulan dan tangkisan dari dua orang yang sedang berlaga di bawah sinar bulan yang temaram. Akibat benturan barusan keduanya terlempar dua tiga langkah mundur. Sama-sama dengan napas yang terengah-engah. Boleh dikata keduanya memilki ilmu yang setingkat.
"Boleh juga engkau sekarang, Pambuka!" seru seorang yang tampak bertubuh besar dan subur. Walaupun besar tapi langkah-langkahnya tidaklah berat melainkan ringan, menandakan ilmu ringan tubuhnya yang telah cukup tinggi.
"Sedari dulu, aku begitu-begitu saja Panutu. Malau engkau yang telah banyak berkembang pesat," ucap lawannya yang bertubuh lebih kurus akan tetapi dengan tinggi tubuh yang sama. Rambutnya yang putih tidak cocok dengan raut mukanya yang belum terlalu tua. Belum cukup tua untuk dinaungi rambut-rambut yang hampir seluruhnya telah memutih tersebut.
Tiba-tiba orang berambut putih tersebut tidak lagi terlihat oleh lawannya. Akan tetapi alih-alih merasa terkejut, orang yang dipanggil Panutu tetap terlihat tenang. Malah ia menutup mata. Bukan karena ia meremehkan melainkan untuk lebih menajamkan indra pendengarannya ketimbang indra penglihatannya yang sulit untuk mengatasi gerakan-gerakan lawan.
Dan "degggg!!" tendangan lawan pada kepalanya dapat dengan mudah ia tangkis dan segera memberikan serangan balasan lurus ke arah dada. Pukulan bertenaga penuh dan keras. Lawannya yang kaget karena serangan dengan tipuan 'menghilang' tadi dapat dengan mudah ditangkis segera melemaskan tubuhnya, mengikuti kesiuran angin serangan ke arah dadanya dan terbang melayang menjauh. Meringankan efek pukulan tersebut, yang tetap dirasanya sedikit menyesakkan dada,
"Hmmm, Bulu Angsa Dihembus Angin...!" ucap orang yang dipanggil Panutu, "sudah bisa engkau rapalkan itu rupanya..."
"Bila tidak sudah remuk dadaku terkena Pukulan Meriam-mu itu...," jawab lawannya perlahan menanggapai, ".. dan Menanti Mata Berkedip milikku sudah tidak berguna lagi kelihatannya di hadapanmu..."
Hening sejenak menyelak pertarungan itu. Baik Pambuka maupun Panutu sedang menimbang-nimbang jurus-jurus apa yang sebaiknya segera dikeluarkan. Dalam beberapa gebrakan barusan telah terlihat bahwa masing-masing telah berhasil memecahkan serangan lawan. Jadi tidak ada lagi gunanya menggunakan gerakan yang telah dapat ditebak dan telah dapat diatasi dengan mudah oleh lawan. Mungkin unsur kejutan lebih berguna di saat ini. Lebih-lebih karena ilmu mereka memang setingkat.
Seakan-akan saling mengerti keduanya tiba-tiba meloncat kembali ke tengah dan bertemu di udara dalam suatu benturan keras, "desss!!!" yang mengakibatkan Pambuka terlempar beberapa langkah lebih jauh dari Pambuka yang hanya perlu mengeser selangkah. Dalam benturan depan bobot tubuh memilki pengaruh besar. Dalam hal berat tubuh Pambuka jelas kalah dari Panutu. Ia tidak seharusnya mengadu keras lawan keras.
Pambuka tampak mengusap sudut bibirnya yang telah mengeluarkan darah. Telah tumbuh luka dalamnya akibat gempuran terakhir tadi. Tenaga panas dan bergelombang dari Panutu dirasakannya mengalir menggetarkan kedua tangannya dan terus melaju ke dada. Dengan sedikit membuang ke arah samping, ia masih bisa menyelamatkan isi dada dan perutnya. Tapi untuk itu ia harus mengorbankan terlempar tiga empat langkah lebih jauh.
Senyum tampak mengembang di wajah Panutu. Dari benturan tadi ia merasakan bahwa tenaga Pambuka tidaklah terlalu sulit untuk dibendung. Ia dapat dengan mudah mengatasinya. Hanya keluwesan dan kecepatan gerak Pambuka yang masih menjadi ganjelan baginya. Makanya tadi ia agak terkejut saat Pambuka menggempur keras lawan keras. Kuatir pula bila lawannya itu memiliki ilmu simpanan. Tapi ternyata tidak. Mungkin bermodalkan nekat Pambuka berencana mencoba menjajal tenaganya keras lawan keras. Pilihan yang salah. Akibat benturan itu telah dapat dilihatnya.
Tapi belum Panutu berpikir lebih jauh, kembali Pambuka menyerangnya dengan serangan yang mirip. Keras, sederhana dan lurus. Bagai mengharapkan benturan depan dan kembali keras lawan keras. Tanpa jauh lebih berpikir Panutu segera menanggapi dengan kuda-kuda berat maju setengah langkah sambil menghentakkan kakinya. "Dharrr!!" lantai batu di bawahnya bergetar retak seiring dengan serangkum tenaga yang dihampurkannya lurus ke arah Pambuka. Kembali Pambuka mencoba melawannya dengan tenaga dan kecepatannya. "Degg!!" dan ia pun kembali terlempar tapi kali ini dengan posisi yang telah sigap berdiri. Lebih jauh ia terlempar dari benturan sebelumnya.
"Apakah engkau berpikir dengan mengambil jarak lebih jauh, bisa menambah kekuatan seranganmu, Pambuka?" ucap Panutu yang masih belum merasakan hawa serangan Pambuka menyentuh dadanya. Lain dengan Pambuka yang telah dua kali sesak napasnya.
"Siapa tahu..," ucap Pambuka pendek. Menarik napas dan kembali menyerang dengan cara yang sama.
"Tak ada gunanya," jengek Panutu, "akan muncul hasil yang sama.."
"Dherr!!" kembali kakinya menjejak sebelum ia memuntahkan Pukulan Meriam-nya yang disambut dengan pesatnya gerakan Pambuka yang seolah-olah menghadapinya dari depan. Dan... tak dirasakan benturan tenaga oleh Panutu...
"Tidak..., ini..," ucapnya setelah baru menyadari bahwa serangan ini hanyalah tipuan. Pambuka telah 'menghilang' sebelum serangannya dimuntahkan. Dan yang ditumbuk oleh Pukulan Meriam-nya hanyalah sisa bayangnya yang segera buyar dan tidak memberikan tekanan balasan.
Dan sebelum Panutu sempat mengolah tenaga lebih jauh, suatu kelemahan Pukulan Meriam yang habis tenaganya di satu serangan dan butuh waktu untuk mengisinya kembali, Pambuka telah tiba di depannya. Tiba dalam jarak yang benar-benar lekat. Kurang dari selengan panjang.
Panik segera mengisi perasaan Panutu, bahwa Pambuka akan segera menjatuhkan tangan mautnya. Beberapa pukulan sempat ia tangkis dengan tenaga seadanya, karena belum pulih. Tapi totokan-totokan selanjutnya tak bisa ia singkirkan. Dalam suatu gempuran terakhir Panutu terdorong dua tiga langkah dan ujung bibirnya terlihat mulai memerah. Nafasnya pun sesak. Udara terasa miskin untuk dihirup dan pandangannya mulai terlihat gelap.
Luka dalam. Ia telah terluka akibat totokan-totokan terakhir itu.
Lawan yang baru saja memperoleh kemenangan itu juga tidak berada dalam kondisi baik. Ia tampak pucat dan lebih putih dari sebelumnya. Mungkin mengalahi putih rambutnya. Kembali pula ia mengusap ujung bibirnya yang kembali berwarna merah. Warna dari darah yang menyembur dari dadanya yang sesak. Walaupun oleh Pukulan Meriam ketiga ia tidak berbentur langsung, tapi luka dari pukulan sebelumnya telah merusak kemampuan ia bernafas dan mengalirkan tenaga. Pemaksaan untuk gerak terakhir, menghilang dan menyerang dengan totokan-totokan telah membuat tubuhnya melewati batas lelahnya.
Keduanya tampak terdiam. Menarik napas masing-masing dan berpikir apa pertarungan harus dilanjutkan sampai seorang dari mereka tidak lagi bernyawa. Atau...
Tiba-tiba terdengar panggilan seseorang, "Paman Panutu...., Paman Panutu..., di mana engkau?"
Segera berobah wajah Pambuka. Satu lawan baru sudah terlalu banyak baginya. Segera ia mengempos tenaganya yang masih tersisa untuk berlalu dari situ. Pergi melayang keluar dari halaman rumah paling besar dan indah di daerah itu.
Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!