Seratus Hari/Buku-buku Baru

"Ayo kita ke tokonya Paman Bücher!" ucap seorang anak kepada teman-temannya yang sebagian sedang duduk berdiskusi dan yang lain tampak asik membaca di meja besar yang berdiri di selasar sebuah gedung tua.

"Wah, ada buku baru ya?" ucap teman sang anak yang langsung antusia begitu kata 'buku' menyentuh gendang telinganya.

"Pastilah!" ucap rekan yang lain. "Ini 'kan hari Selasa pertama awal bulan, hari di mana buku-buku baru di antara ke toko Paman Bücher," tambahnya cepat sebelum teman-temannya berkesempatan menyahuti.

"Ayo, ayo!" seru yang lain. Dan bergegas mereka beranjak dari sana menuju ke sebuah toko buku yang umumnya dikenal orang sebagai Toko Buku Paman Bücher.

Di antara banyak anak tersebut tampak seorang yang terlihat agak sedih walaupun sama-sama bersemangat hendak melihat buku-buku baru apa saja yang baru turun di toko tersebut. Ia bernama Arme. Arme dan kawan-kawannya adalah murid-murid sebuah perguruan tulis-menulis, yang lulusannya secara umum berkarya di bidang kesusastraan. Tepatnya sebagai penulis.

"Hei Arme, kenapa engkau tidak terlihat agak sedih?" tanya seorang kawannya. Saat mereka berjalan bergegas ke tujuan mereka, tak luput dari pemantauannya bahwa temannya ini terlihat agak sedih.

"Ehhh, tidak..," ucap Arme cepat. Ia tidak ingin orang tahu permasalahannya dan dikasihani. Dengan cepat ia memaksa untuk merubah suasana hatinya dan tersenyum sambil berkata, "Ayo kita bergegas, nanti telat kita mendapat kabar buku-buku yang baru datang."

Kawannya mengangguk cepat. Keduanya pun segera memacu langkah mereka mengejar teman-teman mereka yang telah setombak dua berjalan di depan mereka. Berlari kecil mungkin lebih tepat bila dilihat dari langkah-langkah lebar dan juga cepatnya langkah mereka, serta jarangnya kedua kaki menapak secara bersamaan di atas jalan beralas batu yang sedikit berdebu.

Arme hanya punya satu kekuatiran: tigaan. Ia tidak punya cukup banyak tigaan untuk membeli buku-buku. Dari satu angkatannya, ia adalah yang paling miskin. Walaupun demikian karena orang-orang yang ingin menjadi sastrawan umumnya telah membaca banyak ujar-ujar kuno dan juga buku-buku perihal budi pekerti, mereka tidak membedakan orang berdasarkan kekayaannya. Tapi meskipun demikian kadang Arme merasa minder bukan karena ia berpakaian lebih sederhana dari yang lain, akan tetapi ketidakmampuannya untuk membeli buku-buku yang menarik perhatiannya.

Ia kadang sampai mengilar demi melihat teman-temannya dapat dengan mudah membeli buku dan melahapnya dari kulit muka sampai kulit belakang. Ia pun mendapat kesempatan dengan dipinjamkan, tapi tentu saja sudah beda rasanya, tidak lagi terkini dalam merasakan wacana dalam buku baru tersebut. Tapi Arme tidak mengeluh. Sudah beruntung dapat bersekolah di sini dan akan tetap mengejar cita-citanya menjadi sastrawan dan menulis cerita yang dapat membuat kehidupan ini berubah, terutama kehidupan orang-orang kecil seperti dirinya. Dan sudah tentu kisah-kisah yang dapat terjangkau oleh siapapun yang ingin membacanya.

Seorang rekannya, yang barusan mendapatinya terlihat sedih, bernama Reiche. Reiche inilah yang sering meminjamkan buku-buku barunya kepada Arme. Ia menyukai rekannya yang miskin ini karena pandangannya yang luas dan cara melihat isi suatu buku yang kadang lain dari yang lain. Tidak membeo dari hasil pendapat orang. Padahal buku yang mereka baca adalah buku yang sama. Perbedaan tingkat penghidupan dan pemahamanlah yang menyatukan kedua anak tersebut.

"Paman Bücher!!" sorak mereka saat tiba di depan tokok buku yang dimaksud.

Segera seorang tua keluar dengan senyum merekah. Sudah diduganya para langganan ciliknya yang setia akan tiba hari ini. Hari di mana buku-buku baru dari Kota Kern dikirim. Segera ia mempersilakan mereka semua masuk dan menjelajahi kulit muka dan judul-judul buku baru yang sengaja dipajangnya di atas sebuah meja besar dekat kaca depan tokonya.

Suasana pun segera sunyi. Hanya suara kertas-kertas halaman buku dibalik-balik. Berpasang-pasang mata tampak liar dan cepat menjelajahi berbaris-baris kata-kata dalam kalimat. Tampak wajah-wajah berseri atau berkernyit dahi setelah membaca ringkasan buku-buku baru tersebut.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!