Seratus Hari/Pertemuan Kedua

Hari ini tepat dua minggu sejak Arme mendapat 'tugas' dari Reiche temannya untuk meringkas buku baru yang dibeli di toko Paman Bücher. Dengan berlari-lari kecil ia menuju sekolahnya, perguruan tulis-menulis untuk ikut pelajaran hari ini. Bukan pelajaran hari ini yang menarik hatinya, melainkan selesainya tugas membuat ringkasan yang diberikan Reichelah yang menjad penyebabnya. Ia telah membuat rangkuman atas buku itu dan sekarang akan menyerahkannya kepada kawannya itu. Sebagai upahnya ia boleh memiliki buku tersebut.

Bagi Arme itu adalah tugas yang menyenangkan, membaca buku dan membuat ulasan mengenai hal itu. Ringkasan, sehingga orang tidak perlu membaca menyeluruh buku tersebut bila hanya ingin tahu isinya. Dan itu pun telah diketahui oleh Reiche bahwa Arme pandai membuat ringkasan. Pandangannya mengenai isi suatu buku yang juga lain dari anak yang lain membuatnya semakin mengagumi temannya itu. Walau kadang sering bentrok dengan gurunya dalam hal perpendapat, tetapi Arme tetap dikagumi oleh Reiche.

Tiba-tiba "Bugggg!!!" sesosok beban terasa dilanggar oleh Arme. Saat ia berbalik tampak olehnya seorang tua tersungkur di jalan batu yang berdebu itu.

"Aduh paman, maaf-maaf!" katanya cepat sambil membantu orang itu berdiri.

"Tidak apa-apa..., tidak apa-apa!" ucap orang itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mungkin aku yang sudah tua ini yang tidak melihat jalan.."

"Err.. aku juga.. tidak melihat jalan, paman," ucap Arme malu. Ya tadi saking ia bersemangat ia sempat tidak memperhatikan jalan. Walaupun ia sedikit merasa aneh, bagaimana paman yang tersungkur itu bisa tiba-tiba muncul dari jalan yang sepi itu dan langsung terlanggar olehnya.

"Hahahahaha!!" tiba-tiba meledak tawa orang tua itu, "Engkau jujur sekali, nak. Aku suka sikapmu itu, terus terang!"

Keanehan kemunculan orang tua itu yang tiba-tiba, yang tadi masih menjadi pemikirannya lenyap ditelah oleh kegembiraannya yang segera menular kepada Arme.

"Itu 'kan wajar, paman. Masak hal seperti ini saja pake berhohong?" tanyanya balik.

"Benar-benar, engkau benar, nak!" ucap orang tua itu mengangguk-angguk.

"Eh, sepertinya saya sudah pernah melihat atau bertemu dengan paman?" tanyanya tiba-tiba saat ia teringat hari di mana ia baru memperoleh buku yang ada dalam tangannya itu.

"Di mana?" tanya orang itu balik, "salah kali engkau?"

"Tidak, aku yakin bahwa itu dirimu, paman. Jika tidak salah, persis seperti keadaan hari ini. Tapi waktu itu aku hanya hampir menabrakmu. Belum melanggarmu seperti sekarang ini," demikian jelas Arme kepada orang tua itu.

"Mungkin juga.. mungkin juga..," ucap orang tua itu sambil terlihat berpikir-pikir dengan megerutkan dahi di mukanya yang sudah penuh kerut-kerut ketuaan. "Aku sering lupa akhir-akhir ini," katanya kemudian.

"Wajah, paman. Orang tua katanya memang begitu. Itu sudah alami," ucap bocah itu seakan-akan menggurui orang yang malah lebih tepat menjadi gurunya dari sisi umur.

Mengangguk-angguk kembali orang tua itu, seakan-akan ia sedang mendapat petuah dari gurunya. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Aku lihat engkau suka membaca. Benar, tidak?"

Arme yang tidak menduga pertanyaan itu, tanpa sadar mengangguk.

"Bagus kalau begitu. Aku punya sebuah buku yang menarik, tapi tidak untuk dipinjamkan. Kalau mau nanti aku kasih pinjam untuk dibaca di tempat, bagaimana?" ucapnya kemudian setelah berpikir-pikir sesaat dengan terdiam.

"Buku apa, paman? Kok sulit sekali! Jika tidak ingin dipinjamkan, ya sudah..!" kata bocah itu dengan cueknya.

"Ehhh.., ini buku menarik. Pasti engkau akan tertarik karena sulit mengartikannya, lebih tepat membacanya," ucapnya kemudian.

"Sulit mengartikannya?" ucap Arme. Minatnya pun tumbuh mendengar hal itu. Jarang ada buku yang sulit untuk dibaca walaupun ia tidak selalu dapat mengerti.

"Baik kalau begitu, nanti sore kita ketemu di tepi hutan sana, dekat sungai kecil yang ada pohon besar yang tumbang dan menjadi jembatan," ucap orang tua itu.

"Saya tahu tempatnya, paman!" ucap Arme kemudian. "Baiklah, saya akan datang."

"Tapi sendiri, jangan bawa siapa-siapa!" ucap orang itu kemudian.

"Mengapa?" tanya Arme balik. Walaupun demikian ia tidak mencurigai orang tua itu. Terasa bahwa orang itu tidaklah bermaksud jelek terhadap dirinya. Intuisi seorang anak kecil.

"Nanti aku ceritakan," ucap orang itu kemudian, "sekarang lebih baik engkau sekolah dan serahkan rangkuman itu kepada temanmu..."

Arme yang saat itu sedang menunduk karena bukunya tiba-tiba meleset jatuh dari tangannya, seketiga melengak begitu mendengar 'rankuman'. Tapi saat ia menegadahkan kepalanya orang tua itu telah lenyap dari pandangan matanya. Ke empat penjuru angin ia melihat tak tampak pun sisa-sisa kehadiran orang itu.

Dengan mengangkat bahunya tanda tak mengerti, Arme pun melanjutkan perjalanannya ke sekolahnya. Perguruan tulis-menulis sudah tampak di kejauhan, di ujung jalan di mana ia saat itu berada.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!