Seratus Hari/Kebaikan Sahabat dan Seorang Tua

"Sudahlah, ambil saja..!" ucap Reiche sambil menyodorkan sebuah buku ke dalam tangan Arme kawannya.

"Tapi...," ucap temannya yang merasa tidak enak dengan pemberian tersebut, walaupun ia tahu pemberian itu dilakukan dengan tulus oleh sahabatnya itu.

Melihat ketidaknyamanan temannya itu segera Reiche berpikir keras, lalu ucapnya, "Baiklah.., ini bukan pemberian tapi upah. Jika engkau bisa melaksanakan tugas yang aku minta, buku ini untukmu. Bila tidak, akan aku ambil kembali. Setuju!"

"Eh.., tentu! Tapi sejauh tugas itu bisa aku laksanakan..," jawab Arme yang masih agak bingung dengan perkataan sahabatnya yang tiba-tiba memiliki 'tugas' untuknya.

"Engkau harus membaca buku itu dan menuliskan rangkumannya kepadaku. Terserah jangka waktunya, tapi harus kurang dari sebulan. Jika dapat, berikan rangkuman itu dan bukunya untukmu. Bila gagal..., ya jangan gagal ya!" ucap temannya itu dengan mimik yang serius.

"Te..rima kasih!!" ucap Arme yang menyadari bahwa 'tugas' itu hanya diada-adakan untuk membantunya menjaga harga dirinya. Tugas untuk membaca suatu buku yang ingin ia baca dan membuat rangkumannya, itu bukan tugas sebenarnya. Ia semakin berterima kasih dan kagum atas siasat sahabatnya yang terlihat cerdik itu. Untuk soal kecerdikan meman Reiche tidak ada lawannya di kelas mereka.

"Dua minggu..., aku akan selesaikan tugas itu dua minggu!!" ucap Arme yakin. Keduanya pun tertawa gembira. Lepas sudah beban masing-masing, yang satu ingin memberi dan yang satu tidak ingin diberi dengan cuma-cuma. Begitulah kedekatan dan persahabatan kedua anak yang berguru di perguruan tulis-menulis tersebut.

Merekapun berpisah dalam suatu simpang jalan. Armee menuju ke satu arah sedangkan Reiche menuju ke arah lain yang berlawanan.

Menari-nari dalam jalan dan hatinya Arme bergegas pulang. Saking gembiranya sampai ia tidak melihat bahwa ia hampir saja melanggar seorang tua yang sedang berjalan dalam arah yang berpotongan dengan dirinya.

"Hee.., hati-hati, nak!" ucap orang tua itu perlahan.

"Aduh.., maaf.. maaf!" ucap Arme sambil menyesali jalannya yang tidak berhati-hati.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Tidak ada yang terluka 'kan?" berkata orang tua itu lagi dengan kali ini sambil tersenyum. Rupanya ia memaklumi keriangan anak yang hampir menabraknya itu.

"Maaf paman, saya mohon diri dulu.., hendak pulang," kata Arme kemudian. Entah bagaimana ia merasa bahwa orang tua itu memperhatikannya dengan sangat. Ia merasa lebih baik bila ia cepat-cepat berlalu dari sana.

"Silakan.. silakan!!" ucap orang tua itu sambil terus menatap Arme yang sekarang berjalan bergegas-gegas dan hilang di pengkolan sana. Gumamnya kemudian, "Masak sih anak itu yang dimaksud? Tapi.. boleh jadi.."

Lalu ia pun meneruskan perjalanannya. Perlahan-lahan ia menyerat tubuhnya yang telah tua dan renta itu. Sambil sekali-kali ia berbicara pada dirinya sendiri, mengangguk-angguk dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti sedang mengiyakan suatu pemikiran dan menentangnya sendiri.

Tak sadar bahwa di pengkolan sana Arme mengintipnya dari pojokan, tersembunyi tidak terlihat. Sang anak entah mengapa, merasa bahwa orang tua yang hampir ditabraknya itu ada apa-apanya. Suatu saat mungkin mereka akan bersilang jalan kembali.

Setelah orang tua itu berada cukup jauh, Arme pun berbalik melangkah ke rumahnya sambil tak lupa membayangkan malam yang akan diisinya dengan membaca buku yang menjadi 'tugas' baginya untuk diselesaikan.

Sekelebat bayangan dengan ringan melayang rendah di balik rerimbunan di belakang sang anak. Langkah-langkah yang tadi terseret-seret renta beralih jadi gerak terlatih sigap. Dalam dirinya si bayangan bergumam, "Anak yang cerdik, mungkin benar adalah ia yang dimaksud..." Sesaat ditunggunya sampai Arme lenyap dalam di balik pagar rumahnya yang sederhana, pohon-pohon singkong diayam dan tumbuh. Lalu sang bayangan segera berlalu dari sana, memikirkan apa hal yang harus selanjutnya ia lakukan.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!