Seratus Hari/Berangkat Bermalam di Hutan
Ajakan pulang Reiche yang biasanya diterima Arme ditolaknya dengan halus dengan alasan ia ingin berbicara dengan gurunya soal pelajaran tadi. Dan saat Reiche hendak menunggunya ia mengatakan bahwa hal tersebut akan lama, sebaiknya Reiche pulang saja. Ia juga menitip pesan kepada paman Panutu bahwa dalam beberapa hari ini tidak ikut belajar beladiri di rumah Reiche. Alasan tapi tidak diberikannya.
Reiche yang mendengar itu hanya mengangkat bahu. Ia dan Arme sama-sama saling tahu bahwa antara mereka banyak terdapat rahasia dan satu tidak akan mendesak yang lain. Setelah mengangguk mengiyakan ia pun pulang. Dalam hatinya Reiche masih bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Arme dan bolos tidak latihan kok bertepatan dengan terlukanya paman Panutu. Saking aneh dan kebetulannya Reiche sampai lupa memberitahu Arme bahwa sampai dua minggu ke depan tidak ada dulu latihan beladiri di rumahnya.
"Ada apa, Arme?" ucap orang yang sedari tadi ditunggu oleh Reiche demi melihat muridnya itu masih berdiri di luar kelas saat ia hendak menuju ruangannya.
"Ada sesuatu yang hendak saya bicarakan..," ucap Arme perlahan. Ia tidak ingin teman-teman sekolahnya yang masih banyak berseliweran mendengar percakapan mereka.
Melihat sikap yang agak 'rahasia' ini sang guru pun mengajaknya untuk membicarakannya di dalam ruangnya. Guru-guru di perguruan tulis menulis memiliki ruang kerja sendiri-sendiri yang berupa rumah-rumah kecil dengan satu dan lain rumah dipisahkan oleh taman kecil atau kolam kecil. Mereka rata-rata adalah penulis dan penulis memerlukan ketenangan. Oleh karena itu tempat kerja mereka ditata sedemikian rupa sehingga mendatangkan ketenangan dan ditempatkan di atas bukit di belakang bangsal tempat pengajaran berlangsung.
"Baik, katakanlah sekarang!" ucap sang guru setelah mereka berada di dalam ruang kerjanya.
"Saya ingin meminta surat dari guru Panengah ditujukan kepada ayah saya, bahwa saya selama beberapa hari ini akan bermalam di hutan. Paginya saya akan tetap bersekolah seperti biasa. Hanya malamnya saja di hutan. Dan ini dikaitkan dengan sebuah tugas dari guru Panengah," ucapnya. Terasa kata-katanya agak aneh dan kering. Ia sendiri juga merasa aneh atas permintaan gurunya Pambuka soal ini. Tapi mau tak mau ia pun melakukannya.
"Permintaan yang aneh," ucap gurunya. Suatu reaksi yang sudah diduga oleh Arme.
Dan sebelumnya gurunya itu menanyakan perihal mengapa ia hendak bermalam di hutan, Arme mengangsurkan batu pipih putih berukir yang diteriman dari Pambuka. Segera terlihat perubahan raut muka Panengah, gurunya itu.
"Baik akan aku buatkan surat itu, atau engkau sudah memilikinya tinggal aku salin dan tanda-tangan?" ucapnya setelah terdiam sesaat.
Arme pun mengangsurkan selembar kertas berisi tulisan. Panengah membacanya sekilas, mencoret beberapa kalimat dan menggantinya dengan kalimatnya sendiri. Lalu ia mengambil selembar kertas kosong, menyalin dengan cepat kalimat-kalimat yang telah diubahnya itu dan menandatangani surat ijin dan juga menyertakan cap di atasnya. Lalu diberikan surat itu kepada Arme setelah dilipatnya.
"Hati-hati engkau di hutan nanti!" ucapnya sambil mengembalikan batu putih pipih yang tadi sempat ditimang-timangnya.
Arme mengangguk walau semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.
"Pergilah!" ucap guru Panengah, "Persiapkan dirimu untuk 'diskusi malam' di hutan nanti."
"Baik, guru. Terima kasih!" ucapnya lalu mohon diri.
Di rumah tak banyak pertanyaan dari ayahnya. Orang tua itu selalu memperbolehkan Arme melakukan apa yang diminta oleh sekolahnya. Ia berharap banyak bahwa Arme akan mendapatkan pengetahuan dan pendidikan yang baik, sehingga tidak perlu hidup susah seperti dirinya. Ia pun hanya membaca sekilas surat dari guru Panengah dan mengangsurkan kembali kepada anaknya, "Simpan saja olehmu! Bersama ayah, bisa hilang nanti" Mereka pun kemudian makan bersama.
Tak lama setelah itu Arme pun bergegas keluar untuk pergi ke hutan. Ayahnya berpesan agar ia hati-hati dan banyak-banyak mengambil manfaat dari kegiatannya itu. "Apa yang ditugaskan kepadamu, pasti ada nilai baiknya," begitu pesannya.
Arme mengangguk mengiyakan. Dan ia pun berlalu menuju hutan di mana gurunya Pambuka menunggunya.
Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!