Seratus Hari/Memanfaatkan Kehidupan Lain

"Reiche..," panggil sebuah suara yang terdengar agak berat akibat luka dalam yang dideritanya.

"Ya, guru Panutu," jawab seorang pemuda yang tampak duduk di dekat pembaringannya.

"Sudah engkau dapat apa yang kupeksan?" tanyanya dalam nada suara yang lemah. Walaupun demikian tampak bahwa sorot matanya dan hawa keinginannya masih tampak kuat, yang membuat Reiche merasa tidak nyaman.

"Sulit guru," ucap Reiche pelan. "Tidak mudah untuk mendapatkan seorang yang mau diambil darahnya.." Reiche tidak meneruskan kata-katanya. Permintaan gurunya untuk mendapatkan darah, tepatnya darah manusia, membuatnya kelimpungan. Ayahnya saat itu tidak ada di rumah dan baru bulan depan pulang. Mau tak mau Panutu adalah satu-satunya yang memiliki pengaruh terbesar di rumah itu sebagaimana ayahnya mempercayai dia.

"Sudah pasti tidak ada yang ingin bila engkau menanyakannya," ujar gurunya dengan tidak sabar, "engkau paling tidak harus membohonginya. Akan diberi upah tinggi bila ia mau datang menemuiku."

"Tapi guru..," ucap Reiche ngeri. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila ada orang yang bersedia menemui gurunya. Ia sendiri kadang-kadang menjadi tidak tenang berada di samping gurunya setelah ia menceritakan cara cepat untuk mengobati luka dalamnya itu.

"Engkau tidak usah kuatir akan dirimu," ucap gurunya demi melihat Reiche yang tidak tenang, "Aku sudah pasti tidak akan menggunakan darahmu, darah muridku sendiri. Itu sebabnya aku minta engkau mencari orang untuk dikorbankan. Jika aku tidak selemah ini sudah pasti aku pergi sendiri."

"Baiklah, aku akan minta paman pengasuhku untuk mencari orang-orang yang seperti guru minta," ucapnya pelan.

"Aku telah bilang, engkau harus mengusahakannya sendiri. Semakin sedikit yang tahu semakin baik..," ucap Panutu dengan sedikit tidak sabar.

"Iya, guru..," jawab Reiche dengan menunduk.

Keesokan harinya setelah pulang sekolah bergegas Reiche menuju suatu simpang jalan di mana banyak orang-orang sering berkumpul, terutama orang-orang muda yang tidak jelas pekerjaannya. Mereka hanya menghabiskan waktu berdiam di sana dan berbincang-bicang sambil kadang diselingi minum-minum dan merokok.

"Eh lihat itu, siapa!" ujar seorang dari mereka demi melihat Reiche celingak-celinguk tampak bingung. Ya, daerah itu bukan tempat mainnya, melainkan tempat yang sering ia hindari. Sebagai anak dari seorang beruang di desanya, bukan tempat kawan-kawan yang nyaman baginya untuk berdiam di sana.

"Hei, kamu Reiche bukan?" ucap seorang dari mereka. "Bisa-bisanya kamu nyasar ke sini! Nanti dicari pengasuhmu!" Ucapan terakhir ini segera disambut gelak tawa anak-anak muda yang lain. Orang-orang yang usianya tiga-empat tahun lebih tua dari Reiche.

"Aku.. aku..," ia berbicara agak tergagap, bukannya takut melainkan geram dengan penghinaan mereka. Dulu mungkin ia merasa takut, tapi setelah belajar dari guru Panutu ia merasa lebih berani dan yakin bakal dapat mengalahkan mereka jika berhadapan satu-satu. Sayangnya kelompok orang-orang seperti itu senangnya melakukan keroyokkan dan kabur bila salah seorang rekan mereka telah kalah atau sejajar dengan tanah. Ia tidak boleh sampai kehilangan kesabarannya demi tercapai tujuannya, mengajak seorang dari mereka untuk menemui gurunya.

"Aku butuh pertolongan..," ucapnya perlahan.

"Wah-wah, boleh juga nih!" ucap salah seorang dari mereka.

"Ada bayarannya nggak?" menimpali yang lain.

"Ya, benar! Ada bayarannya nggak?" sorai yang lain lagi.

"Ada, tapi aku hanya butuh satu orang...," jawab Reiche kembali.

"Wah jangan hanya satu dong, kalau bisa semuanya," ucap seseorang dari mereka.

"Iya, supaya kita bisa dapet semua, sama-sama dapet tigaan," ujar yang lain lagi.

"Sebenarnya pekerjaannya banyak, dua-tiga hari sekali, tapi setiap kali hanya butuh satu orang," jelas Reiche setelah ia menimbang-nimbang apa yang ia ucapkan. Dengan cara ini mereka-mereka ini bisa digunakan oleh gurunya.

"Boleh-boleh!" ucap seorang dari mereka. "Jadi giliran siapa hari ini?"

Masing-masing menunjuk dirinya. Semua ingin segera menerima tigaan yang segera dapat mereka gunakan untuk merokok dan minum-minum. Tak selintas pun terpikirkan oleh mereka pekerjaan apa yang harus mereka lakukan. Ya, tigaan membutakan mata mereka. Mereka akan melakukan apapun untuk memperolehnya. Tidak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi.

Begitulah seorang dari mereka ikut dengan Reiche untuk 'bekerja' dengan imbalan tigaan, setelah terlebih dahulu diundi. Teman-temannya hanya melihat dengan iri, menunggu sampai giliran mereka tiba. Keduanya pun berjalan bukan menuju pusat desa melainkan ke arah luar. Ke arah perbukitan yang berseberangan dengan arah luar desa lain, hutan.

"Eh, kita tidak menuju rumahmu?" tanya orang yang dibawa Reiche itu agak bingung.

"Tidak! Pekerjaanya di sini, bukan di rumahku," jelas Reiche.

"Sebenarnya apa sih pekerjaannya?" tanya orang itu. Suatu pertanyaan yang baru diajukannya sekarang dan bukan dari awal-awal tadi.

"Menggali harta karun!" ucap Reiche pendek.

"Menggali harta karun?" ucap orang itu hampir berteriak.

"Sssstt!! Jangan keras-keras! Engkau tentu tidak ingin orang lain tahu, bukan?" ucapnya pelan.

"Iya.. iya!!" mengangguk-angguk dengan keras orang itu kepalanya. Ya, harta karun pastilah berjumlah besar dan orang itu sudah membayangkan bagaimana ia akan memperolehnya. Sudah lupa ia tadi bahwa pekerjaan ini berlangsung tiap dua-tiga hari sekali dan satu orang. Tidak cocok dengan gagasan menggali harta karun.

"Itu di sana!"" ucap Reiche sambil menunjuk sebuah bukit di mana seorang tua bertubuh subur dan besar telah menanti.

"Hei, telah ada seseorang di sana!" ucap orang yang datang bersama Reiche.

"Itu guruku! Ia yang tahu keterangan harta karun tersebut," jelas Reiche melanjutkan bohongnya.

"Dan engkau dan aku yang akan menggalinya?" tanya orang itu.

"Tepat!!" jawab Reiche cepat, kuatir orang itu segera curiga.

Kemudian setelah memperkenalkan orang itu kepada gurunya, mereka lalu mengambil jalan sedikit lebih ke atas bukit sampai ke sebuah hutan kecil dengan banyak pohon-pohon yang tumbuh jarang.

"Di sini, kita mulai menggali!" ucap Panutu.

Segera Reiche dan orang yang dibawanya menerima alat-alat menggali dari Panutu dan mulai menggali. Tak berapa lama terkuaklah sebuah lubang besar yang cukup untuk menampung orang untuk dibaringkan.

"Sudah cukup dalam, tapi mana hartanya?" ucap orang itu tidak sabar. Peluh telah meluluh dari sekujur tubunya. Ia tidak tahu saat tadi sedang asiknya menggali bahwa Reiche hanya berpura-pura, terlihat dari kurang berkeringatnya anak itu.

"Kamu...!!" tanyanya dengan bingung.

Dan sebelum ia berbalik untuk mencari Panutu, sebuah totokan mengenai tengkuk dan bawah ketiaknya. Ia pun berdiri kaku.

"Bagu juga idemu!" ucap Panutu kepada Reiche. Orang yang tertotok kaku tersebut masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Menggali lubang untuk dirinya sendiri. Suatu penghematan."

Mendadak terbesit kecemasan dalam benak orang itu demi mendengar '..lubang untuk dirinya sendiri..'. Segera wajahnya menjadi pucat pasi dan semakin banyak keringat bercucuran. Namun kali ini adalah keringat dingin.

Seberkas rasa sakit menyerang lehernya. Ia tidak bisa melihat karena masih dalam kondisi kaku tertotok. Hanya rasa dingin dan denyut-denyut pada jalan darah di dekat leher yang semakin jelas dirasakannya. Tubuhnya terasa semakin lemas, dingin dan kesadarannya pun menghilang.

"Sudah.., sudah cukup!" ucap Panutu demi melihat sejumlah darah dari orang itu memenuhi wadah kayu yang menampung cucuran darah dari lehernya oleh sebuah pipa besi berujung runcing. "Aku akan mulai dengan latihanku mumpung darah ini masih hangat. Engkau kuburkan ia di dalam lubang tersebut!"

Reiche hanya mengangguk. Ia pun mendorong orang yang masih tertotok berdiri tersebut akan tetapi sudah tidak bernyawa itu. Berdebum jatuh bunyinya. Tepat di tengah-tengah lubang yang orang itu gali sendiri. Lalu ia pun mulai menutupi jasad orang itu dengan pasir dan tanah yang ada di sekelilingnya. Secepatnya, untuk kemudian menyusul gurunya.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!