Seratus Hari/Kitab Kuno Bersandi

Segera setelah tiba di kamarnya, Reiche pun menutup pintu kamarnya dan menghempaskan diri di tempat tidurnya. Kayu terdengar berderit. Setelah seperti menerawang dan mengatur napasnya, menenangkan hatinya yang penuh dengan debaran keingintahuan, perlahan ia mulai membuka kitab kuno pemberian pamannya itu.

"Seratus Hari"

Judul yang cukup menarik untuk disimak tapi belum mengisyaratkan apa isi buku tersebut. Sampulnya yang kusam hanya menyisakan judul itu untuk di baca. Hiasan-hiasan dan tulisan kecil-kecil yang mungkin dulunya ada tinggal sisa-sisanya saja. Tak lagi terbaca.

Beberapa halaman awal bercerita mengenai penulis kitab itu, pengalaman dia sebagai pendekar sekaligus penulis cerita. Merantau ke berbagai tempat. Bertempur dengan lawan dan bertanding dengan kawan. Menuliskan kisah-kisahnya dan kembali merantau. Tertarik juga Reiche atas kisah hidup yang terdengar bebas dan lepas seperti itu. Terbang ke mana ia mau dan berdiam di mana ia merasa nyaman. Tak terasa bagian cerita-cerita tentang sang penulis pun telah habis dilahapnya.

Segera ia membuak bagian baru yang dipisahkan dengan bagian sebelumnya oleh beberapa lembaran kosong. Di awal bagian berikutnya itu terdapa sebuah halaman mengawali yang berisikan diagram-diagaram dengan lambang-lambang aneh. Lambang-lambang yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Reiche.

Sesaat setelah pusing dan tidak mengerti apa-apa yang dituliskan di sana, ia pun membuka lembarang-lembaran berikutnya. Tapi apa yang ditemuinya kemudian malah membuatnya semakin bingung. Mulai dari halaman tersebut sampai buku yang cukup tebal itu habis, hanya tulisan-tulisan yang dibuat dari lambang-lambang aneh yang ada. Tulisan-tulisan yang tidak bisa ia baca.

Dengan jengkel ia pun menghempaskan dirinya di atas tempat tidur. Menutup matanya dan berusaha mengingat-ingat tentang pelajaran bahasa-bahasa kuno yang pernah diajarkan di sekolahnya. Tiba-tiba ia bangkit mencari-cari dalam rak buku di samping tempat tidurnya, yang berisikan jika tidak puluhan mungkin ratusan buku, suatu buku yang mungkin dapat membantunya membaca isi kitab tua yang baru diperolehnya itu.

Sesaat setelah mencari-cari, diambilnya sebuah buku dengan sampul yang masih relatif terlihat baru apabila dibandingkan dengan kitab tua di atas tempat tidurnya itu. Dibolak-baliknya buku itu dan ia pun tersenyu. "Buku ini ditulis dalam bahasa sandi, bukan bahasa asing," ucapnya gembira, "sekarang aku hanya harus memecahkan sandi yang digunakan dan kembal membacanya."

Terlarut dalam gembiranya ia pun mulai mencoba mengartikan diagram-diagram, yang menurut buku rujukannya merupak kunci untuk membaca sandi tersebut. Bolak-balik dicobanya untuk mencocokkan jenis-jenis diagram dengan contoh-contoh yang ada. Ada yang membolak-balik huruf, menerjemahkan lambang satu-satu ke lambang baru. Membuat kotak-kotak dan mengisikan huruf-huruf hidup saja. Huruf matinya ditebak belaka. Dalam bahasa tersebut tidak banyak terdapat kata yang mirip sehingga cara tersebut dapat dilakukan. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk sandi yang lain, yang sayangnya tidak ada yang cocok dengan bentuk diagram seperti dilukiskan dalam kitab tua tersebut.

"Baiknya kutanyakan saja pada Arme," tiba-tiba ia teringat pada sahabatnya yang cerdik itu. "Tapi.. kalau ini benar-benar berharga.."

Akhirnya ia pun memutuskan untuk menyalin diagram-diagram tersebut dan juga beberapa halaman contoh untuk ditunjukkan kepada Arme temannya. Tidak semua buku akan ditunjukkannya. Untuk itu ia akan mengatakan bahwa ia mendapat suatu teka-teki dari pamannya yang butuh untuk dipecahkan. Jika Arme berhasil memecahkan, akan ia serahkan bagian-bagian buku tersebut dalam urutan yang acak sehingga rekannya tidak bisa mengartikan secara utuh.

Entah mengapa Reiche yang biasanya senang berbagi dengan sahabatnya merasa bahwa kitab tua itu terlalu berharga untuk diberikan kepada Arme untuk diartikan dan dibaca secara keseluruhan. Mungkin keegoisan seorang anak belaka. Setelah menyalin beberapa bagian lagi dan merekatkannya dalam urut-urutan yang salah ia pun merasa lelah. Menyingkirkan pekerjaan yang baru dilakukannya dan tak lama kemudian pun tertidur.

Tak dirasakannya ketukan perlahan oleh pengasuhnya yang hendak membawakan makan siang. Sang pengasuh pun hanya masuk sebentar, membetulkan letak tidur anak asuhnya, membereskan kertas-kertas yang berserakan dan meletakkan makan siang di atas meja. Lalu perlahan ia meninggalkan Reiche yang telah tertidur pulas dan senyum di bibirnya.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!