Seratus Hari/Malam Bulan Penuh
"Cepat Arme!" ucap Pambuka yang masih tampak agak pucat. Ya, ia belum sembuh benar. Tapi firasatnya mengatakan bahwa malam ini akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sesuatu sulit untuk dibayangkan masih ada di masa ini.
"Mau ke mana kita guru?" tanya Arme yang bergegas mematikan api dan membereskan perlengkapannya. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba gurunya mengajak ia berlalu dari sana. Padahal hari ini masih dalam hari di mana ia harus menginap di hutan dan melanjutkan latihannya.
"Ke bukit di luar desa sana, di balik desa!" ucap gurunya. "Cepat, mungkin nanti kita tidak akan keburu mencegahnya bila terlambat."
"Mecegah apa guru?" tanya Arme kembali. Saat itu mereka telah berjalan perlahan menelusuri jalan setapak dalam hutan dan hampir sampai di tepinya.
"Mencegah seseorang yang akan melakukan hal yang tidak baik. 'Dipsa sanguini'." ucap gurunya. "Haus akan air kehidupan. Darah."
Arme kemudian teringat akan cerita gurunya di mana orang dapat menggunakan darah untuk menyembuhkan luka yang disebabkan oleh pukulan unsur yang berlawanan, seperti dituliskan dalam kitab Seratus Hari.
"Guru maksud lawan guru akan menggunakan cara sesat itu untuk kesembuhannya?" tanya Arme yang dalam hatinya telah dapat membaca kegundahan gurunya, bahwa tebakannya itu benar.
Gurunya mengangguk. Lalu tambahnya, "Dan yang tidak diketahui oleh orang itu, adalah akibat lainnya. Dipsa sanguini. Kecanduan darah. Kecanduan hawa air kehidupan. Selalu haus."
"Ia akan terus mencari korban-korban untuk memuaskan dahaganya, juga setelah lukanya sembuh nanti. Kelezatan dari air kehidupan dan kemudahan pemulihan luka darinya akan menyebabkan orang ketagihan," jelas gurunya setelah terdiam beberapa saat. Tampak bahwa lukanya masih jauh dari sembuh yang cukup.
"Jadi kita akan melanggarnya di sana? Bertempur?" tanya Arme memastikan. Ia masih kuatir dengan kondisi gurunya yang masih jauh dari sehat untuk dapat kembali bertarung. "Tapi engkau belum sembuh benar, guru!"
"Untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk muncul, mungkin aku harus mengorbankan tubuh tua ini," ujar gurunya perlahan.
Saat itu mereka telah berada di luar hutan dan mencapai jalan memutar desa. Mereka tidak berjalan menembus desa, walaupun itu jalan yang singkat. Malam saat bulan penuh ini, akan jelas terlihat orang dalam ketergesa-gesaan berjalan dan bisa menimbulkan banyak pertanyaan. Lebih baik memutar. Lebih aman.
"Engkau nanti hanya melihat, ya!" pesan gurunya. "Biarkan guru yang bertempur dengan orang itu. Engkau hanya memperhatikan bagaimana gerakan-gerakan yang aku ajari dapat digunakan dalam pertempuran sebenarnya."
"Tapi guru..!!" bantah Arme yang segera terdiam setelah melihat tatap serius wajah gurunya itu. Wajah yang terlihat semakin pucat dan lemah. Hanya semangatnya yang memacunya untuk tetap memaksa dirinya untuk terus bergerak.
Sesaat keduanya terdiam hanya langkah-langkah mereka terdengar bergesekan dengan rumput-rumput dan batu-batu kecil.
"Aneh..!!" ucap Pambuka kemudian seraya memperlambat langkahnya. "Terlihat seperti ada kegiatan di dalam desa sana. Di malam seperti ini?"
Arme yang segera memalingkan wajahnya melihat ke arah desa di mana tampak orang-orang berkumpul dengan membawa obor dan peralatan bertani. Tampak mereka bersuara satu sama lain. Jarak yang jauh menghalangi Pambuka dan Arme untuk menangkap pembicaraan mereka.
"Kita sebaiknya menunggu dulu mereka berlalu," usul gurunya. "Masih lama waktu sebelum tengah malam."
Arme hanya mengangguk.
Dan mereka pun duduk di salah satu dahan pohon, di balik rerimbunan sehingga orang-orang desa yang berkumpul dari kejauhan, apabila kebetulan melihat ke arah mereka, tak akan dapat tahu ada orang di situ.
"Guru, boleh tahu siapa lawan guru itu?" tanya Arme memecah keheningan,
Pambuka tidak langsung menjawab. Ia tampak termenung dan wajahnya semakin memucat. "Ia adalah adik seperguruanku sendiri. Panutu namanya."
"Adik seperguruan guru? Paman guruku?" ucap Arme terkejut. Tak disangka bahwa lawan gurunya, yang malam ini juga akan disambangi, adalah masih saudara seperguruan dengan gurunya.
Gurunya mengangguk. "Ya, Panutu adalah adik seperguruanku. Kami sama-sama berguru kepada keturunan Rancana, si Bayangan Menangis Tertawa. Tapi jika aku mewarisi ilmu berlatar elemen angin dari guru dan juga air, Panutu hanya air dan entah dari mana ia memperoleh yang lain, api."
"Dan kitab Seratus Hari itu? Hasil karya kakek guru Rancana?" tanya Arme yang ingin tahu sejarah nenek-moyang gurunya.
"Aku tidak tahu itu. Tapi guruku mengajarkan cara itu tapi tidak memperlihatkan kitabnya dan juga memberitahu siapa yang menulisnya. Jadi aku tidak tahu siapa yang menuliskannya. Kitabnya sendiri aku belum pernah melihatnya," jelas gurunya.
Kembali keheningan menyerabak di antara mereka berdua. Kasak-kusuk yang tadinya terdengar kejauhan di dalam desa juga semakin meluruh. Sekarang malam ini benar-benar terasa sunyai. Sepi. Lengang.
"Ayo, kita kembali berangkat!" ajak Pambuka.
Bergegas mereka kembali melanjutkan perjalannya semua ke bukit di sisi lain luar desa. Sambil berjalan bertanya-tanya mereka dalam hati ke mana orang-orang desa itu menuju atau apa yang hendak mereka lakukan di malam-malam larut seperti ini.
Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!